Pebincangan para sahabat adalah sebaik-baik perbincangan. Mereka tak memperbincangkan sesuatu kecuali kebaikan. Tak ada diskusi yang sia-sia, melainkan di dalamnya membicarakan amal. Jarang muncul perdebatan tentang sebuah perkara, melainkan banyak percakapan soal amal.
Seperti percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka’ab ini. Umar yang meriwayatkan atsar ini bertanya kepada Ubay, “Wahai Ubay, apa makna takwa?” Ubay yang ditanya justru balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”
Umar menjawab, “Tentu saja pernah.” “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” lanjut Ubay bertanya. “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati,” jawab Umar. Ubay lantas berkata, “Itulah hakikat takwa.”
Percakapan yang sarat akan ilmu. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita yang mengaku manusia bertakwa ini. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT.
Ia rela mengerem lajunya, memangkas egonya, menajamkan pandangan, menelisik sekitar, dan mencari celah jalan selamat. Semua fungsi tubuh ia maksimalkan agar ia tak celaka. Agar sebiji duri pun tak melukai kemudian mengucurkan darah dari kakinya. Takwa hakikatnya hati-hati.
Kita selalu diajarkan maka takwa. Takwa ialah menjalani perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Definisi yang sudah puluhan tahun kita hafal. Namun, bagaimanakah implementasinya? Apakah justru kita menjadi pribadi yang malas-malasan menjalankah perintah Allah SWT dan penasaran ingin mencoba apa yang dilarang Allah? Naudzubillah.
Hidup pada zaman yang serbaterbolak-balik ini, kita memerlukan tameng berupa akal sehat. Agar orang bertakwa tetap ‘waras’. Kita hidup pada saat oknum penegak hukum meruntuhkan hukum, oknum pemimpin rakyat mengakali rakyat. Suka sesama jenis dianggap normal, minuman keras dianggap barang investasi, diliput media karena bercerai adalah kerja membangun citra.
Saat nilai kebaikan seolah diputarbalikkan, orang bertakwa butuh kehati-hatian. Ia harus menelisik dengan keras apa yang ia makan benarkah halal? Ia harus berhati-hati. Manusia bertakwa harus memasang radar yang sensitif. Apa yang dianggap sebagian besar orang-orang hari ini belum tentu benar di mata Allah SWT. Nilai tertinggi yang harus kita yakini adalah nilai-nilai yang diturunkan Allah SWT. Keyakinan seperti itu tak akan berubah sampai kapan pun.
Orang bertakwa dan orang beriman tidak dapat dipisahkan. Sifat takwa melebur dalam keimanan. Begitu juga sebaliknya. Menjadi orang bertakwa adalah berusaha keras menggenapi apa saja prasyaratnya. Allah SWT berfirman, “Beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 177).
Ada banyak peluang amal yang menjadikan seseorang insan bertakwa. Termasuk, ibadah yang akan umat Islam lakukan saat Ramadhan. Shaum Ramadhan adalah salah satu jalan membentuk orang-orang yang bertakwa.
Puasa Ramadhan pun memerlukan kehati-hatian. Seseorang yang berpuasa harus berusaha keras menghindari apa-apa yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Kuncinya adalah berhati-hati.
Berhati-hati dalam implementasi takwa bahkan sampai pada taraf yang ketat. Seseorang rela meninggalkan hal-hal yang sejatinya boleh dilakukan karena takut terjerumus dalam kesia-siaan. Hasan al-Bashri pernah berkata, “Sifat takwa senantiasa melekat pada seorang yang bertakwa selama ia meninggalkan banyak hal yang sebenarnya halal karena khawatir haram.”
Takwa yang bukan sebatas slogan akan membekas dalam jiwa seseorang. Ia akan menjadi filter. Ia ada zat asing masuk ke dalam hati, takwa akan menyaringnya. Jika ia buruk, ia akan memerintahkan tubuh untuk menjauhinya. Takwa yang sebenarnya akan menjadi karakter. Orang bertakwa secara otomatis mengerti mana saja jalan yang boleh ia tempuh maka yang ia harus hindari. Seperti kesimpulan Umar saat berbincang dengan Ubay. Umar RA menyimpulkan, “Takwa adalah berjalan di hutan dengan hati-hati.”