Pahala untuk Seorang Istri yang Bersedekah dari Harta Suami

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَتِ المَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ، كَانَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ، وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ، وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ، لاَ يَنْقُصُ بَعْضُهُمْ أَجْرَ بَعْضٍ شَيْئًا

Jika seorang wanita bersedekah dari makanan yang ada di rumah (suami)-nya, tanpa menimbulkan mafsadah (kerusakan atau kerugian), maka baginya pahala atas apa yang diinfakkan. Dan suaminya mendapatkan pahala atas apa yang diusahakannya. Demikian juga bagi seorang penjaga harta/bendahara (akan mendapatkan pahala) dengan tidak dikurangi sedikit pun pahala masing-masing dari mereka.” (HR. Bukhari no. 1425 dan Muslim no. 1024)

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis di atas merupakan dalil bahwa seorang istri boleh bersedekah dari makanan yang ada di rumah suaminya, meskipun dia tidak meminta izin kepada suami terlebih dahulu. Hal ini karena ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang memberikan penjelasan. Jika izin suami adalah syarat, maka tentu akan dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu juga.

Inilah yang dipahami oleh para ulama mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Adapun menurut pendapat ulama Hambali, hal itu berlaku untuk harta yang nilainya kecil yang secara adat kebiasaan masyarakat, pasti diizinkan kalau hendak disedekahkan. Misalnya, roti, kelebihan makanan yang dimasak pada hari itu, buah-buahan, atau semisalnya yang menurut budaya masyarakat setempat, sang suami pasti rida dan mengizinkannya. Sehingga seorang istri akan mendapat rida dan izin suami, meskipun tidak meminta izin secara langsung.

Sedekah tersebut dipersyaratkan, “tanpa menimbulkan mafsadah (kerusakan atau kerugian)”. Yaitu, sedekah tersebut sifatnya tidak berlebih-lebihan dan boros. Misalnya, mensedekahkan harta milik suami yang secara adat kebiasaan itu tidak biasa disedekahkan tanpa izin dan sepengetahuan suami. Maka, hal ini tidaklah diperbolehkan karena bisa mencegah dan menghalangi sang suami dari menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada istri dan kerabat lain yang wajib dia nafkahi.

Sehingga dalam hadis tersebut dicontohkan makanan. Karena memang pada umumnya, jika yang disedekahkan adalah makanan, maka sang suami akan rida dan mengizinkan. Berbeda halnya jika yang akan disedekahkan adalah uang atau perhiasan. Jika istri ingin menyedekahkan uang dan perhiasan, maka harus mendapatkan izin yang tegas dari sang suami.

Kandungan kedua, zahir hadis tersebut menunjukkan bahwa jika seorang istri menyedekahkan makanan yang ada di rumahnya, maka dia mendapatkan pahala yang sempurna, sebagaimana sang suami juga akan mendapatkan pahala yang sempurna. Karena mereka yang berserikat dalam ketaatan, tentu akan berserikat pula dalam mendapatkan pahala. Seorang suami mendapatkan pahala sesuai dengan amal (pekerjaan) yang diusahakannya, sedangkan sang istri juga mendapatkan pahala sesuai dengan amal sedekahnya. Demikian pula seorang penjaga harta (bendahara). Masing-masing mereka tidaklah saling bersaing satu sama lain, karena pahala dan keutamaan dari Allah sangatlah besar.

Akan tetapi, terdapat hadis lain yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَتِ المَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا، عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ، فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ

Jika seorang istri bersedekah dari harta hasil usaha suaminya tanpa perintah sang suami, maka sang istri mendapatkan separuh pahala.” (HR. Bukhari no. 2066 dan Muslim no. 1026)

Hadis ini menunjukkan bahwa sang istri hanya mendapatkan separuh pahala. Sehingga dua hadis ini dikompromikan dengan penjelasan berikut ini:

Jika seorang istri menyedekahkan harta suami dengan izin dan sepengetahuan suami, maka dia akan mendapatkan pahala yang sempurna. Hadis yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dibawa ke makna tersebut. Akan tetapi, apabila seorang istri menyedekahkan tanpa izin atau tanpa sepengetahuan sang suami, maka sang istri hanya mendapatkan separuh pahala.

Bahkan, jika seorang istri mengetahui bahwa sang suami tidak akan mengizinkannya atau bahkan melarang, maka dia tidak boleh bersedekah. Jika tetap bersedekah dalam kondisi seperti itu, dia tidak mendapatkan pahala, dan bahkan mendapatkan dosa. Hal ini karena hal itu sama saja dengan perbuatan menyedekahkan harta yang bukan miliknya tanpa izin sang pemilik harta. Wallahu Ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89054-pahala-untuk-seorang-istri-yang-bersedekah-dari-harta-suami.html