Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 5)

Memiliki perhatian dengan bau yang wangi dan tidak mengganggu jamaah lainnya

Termasuk di antara kesempurnaan kondisi dan keadaan seseorang ketika shalat adalah memperhatikan bau badan, yaitu menghindari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bau yang tidak sedap, baik itu berupa bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung.

Syariat telah melarang seorang muslim yang memakannya untuk hadir ke masjid. Karena dalam kondisi semacam itu, bisa mengganggu dan menyakiti malaikat dan kaum muslimin yang hadir di masjid. Dan menutup pintu gangguan ini lebih utama dibandingkan dengan memperhatikan maslahat satu orang yang ingin hadir ke masjid tersebut. 

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يُرِيدُ الثُّومَ فَلَا يَغْشَنَا فِي مَسْجِدِنَا

“Barangsiapa yang makan dari pohon ini, maksudnya bawang putih, maka janganlah dia mendatangi masjid.” (HR. Bukhari no. 854 dan Muslim no. 564)

Juga dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih, serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga membuat manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” 

Beliau pernah dibawakan satu keranjang berisi sayur mayur berupa bawang merah, lalu beliau mendapatkan bau (yang kurang enak). Lalu beliau pun bertanya, dan beliau diberitahu bahwa bau itu karena di dalamnya berisi bawang merah. 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

قَرِّبُوهَا

“Dekatkanlah ia kepada sebagian pemiliknya.” 

Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak suka untuk memakannya. 

Beliau bersabda, 

كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي

“Makanlah, karena aku membisiki malaikat yang kalian tidak membisikinya.” (HR. Muslim no. 564)

Pemahaman sebaliknya yang bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas adalah bahwa bau yang enak (wangi) itu menjadi suatu keharusan bagi orang-orang yang ingin datang ke masjid, demikian pula ke tempat shalat pada saat hari raya ‘id (‘idul fitri dan ‘idul adha). 

Siapa saja yang mengkonsumsi bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung, diperintahkan untuk menjauh dari masjid dan diperintahkan untuk berdiam diri di rumahnya. Hal ini bukan karena dia punya alasan syar’i (ma’dzur) untuk tidak hadir ke masjid, akan tetapi untuk mencegah orang tersebut mengganggu dan menyakiti jamaah yang hadir di masjid. Dia telah terluput dari keutamaan shalat berjamaah, dia tidak memiliki perhatian bahwa kondisinya akan mengganggu dan menyakiti malaikat, dan juga tidak memperhatikan bagaimanakah perasaan kaum muslimin yang merasa terganggu karena baunya. 

Imam Ahmad rahimahullah -dalam salah satu riwayat dari beliau- berpendapat haramnya datang ke masjid bagi orang-orang yang makan bawang merah atau semisalnya (yang menimbulkan bau tidak enak), sampai baunya menjadi hilang. Hal ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, dan berargumentasi bahwa hukum asal larangan adalah menunjukkan hukum haram. [1]

Larangan tersebut bukanlah berarti shalat jama’ah di masjid itu tidak wajib

Yang hendaknya diperhatikan adalah bahwa larangan atas orang-orang yang memiliki bau yang tidak enak (disebabkan karena mereka makan bawang) bukanlah artinya bahwa shalat jama’ah di masjid itu tidak wajib atas mereka. Hal ini karena larangan bagi orang-orang yang makan bawang tersebut bukan karena gugurnya kewajiban shalat berjamaah di masjid, bahkan mereka tetap memiliki kewajiban untuk shalat jama’ah di masjid. Akan tetapi, mereka terhalang dari datang ke masjid karena adanya faktor penghalang (maani’), yaitu bau yang tidak enak dan mengganggu. Sehingga dia pun diperintahkan untuk tetap berada di rumahnya karena adanya faktor penghalang (maani’) tersebut. 

Perkara ini sama saja dengan bolehnya tidak menghadiri shalat jama’ah bagi orang-orang yang sudah dihidangkan makanan. Dengan catatan bahwa dia sangat membutuhkan makanan tersebut (sangat lapar), dan makanan tersebut mubah dan siap disantap (bukan masih dalam kondisi sangat panas sehingga belum bisa langsung dimakan). Akan tetapi, jika seseorang berbuat akal-akalan dengan menghidangkan makanan di setiap waktu datangnya shalat, supaya dia boleh tidak ke masjid, maka itu diharamkan atasnya. [2]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ العَشَاءُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ

“Jika shalat hampir ditegakkan (iqamah sudah dikumandangkan, pen.), sedangkan makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR. Bukhari no. 5465 dan Muslim no. 557)

Memakan bawang merah dan bawang putih yang sudah dimasak dan baunya menjadi hilang

Larangan dalam hadits-hadits di atas (larangan bagi yang memakan bawang untuk pergi ke masjid), itu khusus berlaku untuk memakan bawang yang masih mentah, karena baunya yang tidak enak. Adapun bawang yang sudah dimasak, yang sudah hilang baunya, maka tidak terlarang. Akan tetapi, jika setelah dimasak dan bau yang tidak enak tersebut masih ada (masih tersisa), maka tetap terlarang. Hal ini karena syari’at mengkaitkan hukum larangan tersebut dengan bau yang tidak enak. Sehingga jika sebabnya masih ada (bau tidak enak), hukum larangan tersebut tetap berlaku. 

Dari Qurrah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari dua pohon ini, beliau bersabda,

مَنْ أَكَلَهُمَا فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَقَالَ إِنْ كُنْتُمْ لَا بُدَّ آكِلِيهِمَا فَأَمِيتُوهُمَا طَبْخًا قَالَ يَعْنِي الْبَصَلَ وَالثُّومَ

“Barangsiapa memakan keduanya, janganlah ia mendekati masjid kami!” Dan beliau bersabda, “Apabila kalian harus memakannya, hilangkan bau keduanya dengan dimasak!” Qurrah berkata, “Yaitu bawang merah dan bawang putih.” (HR. Abu Dawud no. 3827, shahih) 

Apakah larangan hanya berlaku kalau betul-betul masuk ke dalam masjid saja?

Larangan hadir di masjid dalam hadits-hadits di atas tidak hanya berlaku untuk masuk ke dalam bagian dalam masjid saja, akan tetapi juga berlaku untuk halaman atau teras madjid. Dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata dalam potongan khutbah beliau yang panjang,

ثُمَّ إِنَّكُمْ، أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ، هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ، أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ، فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا

“ … Kemudian kalian wahai manusia telah memakan dua pohon yang aku memandangnya sebagai pohon yang busuk, yaitu bawang merah dan putih. Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendapatkan baunya dari seorang laki-laki di masjid niscaya dia menyuruh pergi, lalu dia dikeluarkan ke al-Baqi’. Barangsiapa yang memakan keduanya, hendaklah dia menghilangkan baunya dengan cara dimasak.” (HR. Muslim no. 567)

Bagaimana dengan bau rokok?

Jika bau yang ditimbulkan dari memakan bawang merah dan bawang putih itu menyebabkan pelakunya tidak boleh datang ke masjid, padahal hukum asal memakannya adalah halal, lalu bagaimana lagi dengan bau yang ditimbulkan karena bau rokok yang itu diharamkan secara syariat? 

Jika seorang perokok itu datang ke masjid, tentu bau rokoknya akan mengganggu kaum muslimin yang ada di masjid, dan sebelum itu, dia telah menyakiti para malaikat dengan bau rokoknya. Bagaimana mungkin dia bermunajat kepada Rabb-nya, membaca firman-firman-Nya, berdzikir dan berdoa kepada-Nya, dalam kondisi bau mulutnya yang busuk karena rokok? Lalu, bagaimana lagi dengan mereka yang justru merokok di dalam masjid dan mengganggu kaum muslimin dengan bau dan asap rokok? 

Tidak diragukan lagi, perokok juga masuk ke dalam larangan hadir ke masjid sebagaimana dilarangnya orang-orang yang memakan bawang merah dan bawang putih, karena memiliki sebab yang sama, yaitu bau yang tidak enak dan akan mengganggu jamaah kaum muslimin. Bahkan, larangan untuk bau perokok itu lebih berat dibandingkan makan bawang. 

Perokok terus-menerus terjerumus  dalam perkara yang haram, dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam perkara yang membahayakan kesehatannya, berdasarkan informasi yang valid dari ilmu kedokteran medis. Merokok juga berarti telah menyia-nyiakan harta. 

Bagaimana mungkin perokok bau tersebut ridha menyakiti kaum muslimin karena bau rokok yang ada di badan, mulut, dan di bajunya? Padahal, di masjid dia bersebelahan dengan kaum muslimin yang sedang shalat dan beribadah dalam bentuk yang lainnya. Dan hal itu bisa menjadi sebab kaum muslimin yang lain menjadi tidak khusyu’ saat sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ آذَى الْمُسْلِمِينَ فِي طُرُقِهِمْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ لَعْنَتُهُمْ

“Siapa saja yang mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan mereka, maka pasti mendapatkan laknat dari mereka.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir no. 3050) [3] [4]

Jika demikian hukuman mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan umum, lantas bagaimana lagi dengan mengganggu kaum muslimin di masjid?

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56435-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-5.html

Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 3)

Memakai penutup kepala

Sebagaimana telah kami bahas sebelumnya bahwa yang diperintahkan adalah memakai pakaian terbaik ketika shalat, yaitu shalat dalam kondisi dan keadaan yang paling baik dan sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا صلى أحدكم فليلبس ثوبيه، فإن الله أحق من تزين له

“Jika salah seorang di antara kalian shalat, pakailah dua pakaian. Karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk mendapatkan penampilan yang terbaik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath 10: 170 dan Al-Baihaqi 2: 236. Al-Albani berkata, “Sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim)

Dan bukanlah termasuk dalam penampilan yang terbaik ketika seseorang shalat dalam kondisi tidak menutupi kepala, lebih-lebih ketika dia berdomisili di suatu daerah yang menilai bahwa menutup kepala termasuk bagian dari adat kebiasaan mereka sehari-hari. Atau ketika masyarakat setempat menilai bahwa tidak memakai penutup kepala itu bukanlah perkara yang bisa diterima, karena mereka memang adat kebiasaan mereka sejak lama adalah menutup kepala. Dan termasuk perkara yang telah kita ketahui dalam masalah fiqh berpakaian adalah berpakaian sesuai dengan adat kebiasaan setempat, dengan syarat tetap memperhatikan kaidah-kaidah syariat dalam masalah berpakaian. Para ulama pun menyebutkan bahwa dimakruhkan bagi seseorang untuk menyelisihi masyarakat setempat dalam masalah berpakaian, dan perbuatan itu termasuk dalam memakai pakaian popularitas (pakaian yang tampil beda).

Adapun di suatu daerah yang menilai bahwa menutup kepala bukanlah termasuk dalam adat kebiasaan mereka, maka tidak mengapa jika tidak menutup kepala. 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

لكن لو كنا في بلد اعتادوا ألا يلبسوا اللباس فوق الرأس، صار كشف الرأس عندهم لا نقص فيه، ولا ينقص الصلاة شيئاً؛ لماذا؟ لأن الزينة لا تتناوله. فالزينة في كل موضع بحسبه

“ … akan tetapi, ketika kita berada di suatu negeri yang memiliki adat kebiasaan tidak memakai penutup di atas kepala, maka tidak memakai penutup kepala bagi mereka itu bukanlah perbuatan tercela dan tidak mengurangi kesempurnaan shalat sedikit pun. Mengapa demikian? Karena hal itu bukan termasuk bagian dari az-ziinah (pakaian terbaik). Maka az-ziinah itu berbeda-beda sesuai dengan tempat (daerah) masing-masing.” (Jilsaatu Ar-Ramadhaniyyah, 2: 149 [Maktabah Asy-Syamilah])

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya, “Ada imam yang memimpin shalat dalam keadaan tidak memakai penutup kepala. Bagaimanakah hukumnya?”

Beliau rahimahullah menjawab,

لا حرج في ذلك ؛ لأن الرأس ليس من العورة ، وإنما الواجب أن يصلي بالإزار والرداء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : « لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء » لكن إذا أخذ زينته واستكمل لباسه كان ذلك أفضل؛ لقول الله جل وعلا : { يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ } أما إن كان في بلاد ليس من عادتهم تغطية الرأس فلا بأس عليه في كشفه .

“Hal itu tidaklah menjadi masalah, karena kepala tidak termasuk aurat. Yang wajib adalah shalat dengan menggunakan izar (kain yang menutupi bagian atas) dan rida’ (kain yang menutupi bagian bawah semacam sarung). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah salah seorang dari kalian shalat memakai satu kain, tanpa mengenakan suatu kain pun di atas pundaknya.” 

Akan tetapi, jika seseorang memakai pakaian yang terbaik dan yang paling sempurna, itulah yang lebih afdhal, berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),  “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Adapun jika berada di suatu daerah (wilayah) yang menutup kepala itu bukan termasuk adat kebiasaan mereka, maka tidak masalah jika tidak menutup kepala.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 405)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56429-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-4.html

Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Memakai Pakaian Terbaik ketika Shalat (Bag. 1)

Memakai pakaian yang menutupi paha

Sesungguhnya menutupi paha termasuk dalam memakai pakaian terbaik ketika shalat, baik kita mengatakan paha itu termasuk aurat bagi laki-laki ataukah bukan. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa paha bukanlah termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا خَيْبَرَ فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلَاةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ فَرَكِبَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَكِبَ أَبُو طَلْحَةَ وَأَنَا رَدِيفُ أَبِي طَلْحَةَ فَأَجْرَى نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زُقَاقِ خَيْبَرَ وَإِنَّ رُكْبَتِي لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَسَرَ الْإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang di Khaibar. Kami melaksanakan shalat shubuh di sana di hari yang masih sangat gelap. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Thalhah mengendarai tunggangannya, sementara aku membonceng Abu Thalhah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu melewati jalan sempit di Khaibar dan saat itu sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang putih.” (HR. Bukhari no. 371)

Sisi pendalilan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tersebut adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling pemalu. Seandainya paha bukanlah aurat, tidaklah mungkin paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai tersingkap. 

Termasuk di antara ulama masa kini yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata,

والذي يظهر لي أن الفخذ ليس بعورة إلا إذا خيف من بروزه فتنة فإنه يجب ستره كأفخاذ الشباب .

“Yang tampak bagiku adalah bahwa paha itu tidak termasuk aurat, kecuali jika dikhawatirkan dapat menimbulkan godaan, maka wajib ditutup, seperti paha para pemuda.” (Majmu’ Al-Fataawa, 12: 216)

Kemudian beliau rahimahullah pun melemahkan (menilai dha’if) hadits-hadits yang dijadikan sebagai dalil bahwa paha termasuk dalam aurat. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ

“Sesungguhnya paha itu termasuk dalam aurat.” (HR. Abu Dawud no. 4014, At-Tirmidzi no. 2795, dan Ahmad 25: 274)

Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa paha adalah aurat, dan menyatakan bahwa hadits di atas adalah hadits yang shahih. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

وأما الفخذ فهو عورة على الراجح عند أكثر أهل العلم ، وعليه أن يستره في الصلاة وعند الناس أيضا .

“Adapun paha, itu termasuk aurat menurut pendapat yang paling kuat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, paha wajib ditutup ketika shalat dan juga ketika bersama manusia (di luar shalat, pent.).” (Majmu’ Al-Fataawa, 29: 218)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah juga berkata,

الفخذ عورة كما جاء في عدة أحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم.

“Paha adalah aurat sebagaimana yang terdapat dalam berbagai hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Duruusun li Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, 2: 23 [Maktabah Asy-Syamilah])

Terlepas dari dua pendapat di kalangan ulama tersebut, memakai pakaian terbaik ketika shalat dan menutup aurat adalah dua hal yang berbeda. Hal ini karena menutupi paha termasuk dalam cakupan makna umum dari perintah dalam firman Allah Ta’ala,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فإذا قلنا على أحد القولين وهو إحدي الروايتين عن أحمد : أن العورة هي السوأتان، وأن الفخذ ليست بعورة، فهذا في جواز نظر الرجل إليها، ليس هو في الصلاة والطواف، فلا يجوز أن يصلي الرجل مكشوف الفخذين، سواء قيل هما عورة، أو لا . ولا يطوف عريانا .

“Jika kita berpendapat berdasarkan salah satu riwayat dari (pendapat) Imam Ahmad bahwa aurat itu hanyalah qubul dan dubur, dan bahwa paha bukanlah termasuk aurat, maka ini hanya untuk bolehnya dipandang laki-laki lainnya, bukan untuk shalat dan ketika thawaf. Maka tidak boleh bagi seseorang untuk shalat dalam keadaan dua pahanya terbuka, baik mengatakan paha itu aurat ataukah bukan. Dan tidak boleh pula thawaf dalam keadaan telanjang.” (Majmu’ Al-Fataawa, 22: 116)

Sebagian pakaian yang dipakai terutama saat musim panas bersifat tipis dan transparan, yang tidak bisa menutupi paha ketika seseorang memakai celana pendek. Maka hendaknya hal itu menjadi bahan perhatian. Oleh karena itu, hendaknya memakai celana panjang, atau menghindari model-model pakaian semacam itu. Hal ini karena menutup aurat termasuk dalam syarat sah shalat. Selain itu, penutup aurat itu bukanlah sesuatu yang transparan, sehingga kulit yang ada di balik pakaian penutup tersebut masih jelas terlihat. 

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

يجب الستر بما يحول بين الناظر ولون البشرة فلا يكفى ثوب رقيق يشاهد من ورائه سواد البشرة أو بياضها

“Wajib untuk menutup dengan sesuatu yang menghalangi antara mata orang yang melihat dengan warna kulit. Maka tidaklah mencukupi pakaian yang tipis yang kulit di baliknya masih bisa dilihat, baik ulit berwarna hitam ataukah putih … “ (Al-Majmu’, 3: 170)

Demikian pula, hendaknya menjadi perhatian bagi para ayah untuk memakaikan anak-anak mereka dengan pakaian yang terbaik. Tidak sepantasnya mereka hanya memakaikan anak-anak yang diajak ke masjid hanya dengan celana pendek sehingga tersingkaplah (tampak) pahanya. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا

“Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, At-Tirmidzi no. 407, hadits hasan shahih)

Hadits di atas juga mencakup perintah bagi anak-anak yang masih berusia tujuh tahun agar memenuhi syarat-syarat shalat, di antaranya adalah wudhu dan menutup aurat, serta hal-hal yang bisa menyempurnakan shalat, bukan hanya shalat namun asal-asalan. 

[Bersambung]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55766-memakai-pakaian-terbaik-ketika-shalat-bag-2.html