Salah satu tradisi di Indonesia yang sering terjadi adalah mengadakan pawai obor dalam menyambut dan merayakan Isra Mikraj Nabi Muhammad. Semua itu mereka lakukan sebagai manifestasi cinta kepada baginda nabi, namun dengan ekspresi menyalakan obor. Lantas, bagaimana hukumnya? Apakah perayaan itu identik dengan orang Majusi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa merayakan Isra Mikraj Nabi Muhammad bukanlah termasuk kewajiban, bukan pula termasuk larangan, namun termasuk ada tradisi yang tidak memiliki hubungan dengan hukum syariat.
Hal ini sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad dalam kitabnya, ia mengatakan:
هذا الأمر عادي لا صلة له بالتشريع الحكمي، فلا يوصف بأنه مشروع، كما أنه ليس معارضا لأصل من أصول الدين
“Persoalan ini (merayakan isra Mikraj dan Maulid Nabi) merupakan tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan hukum syariat, sehingga tidak bisa disebut anjuran (tidak pula disebut larangan), sebagaimana ia tidak bertentangan dengan pokok dari beberapa pokok agama Islam.” (Sayyid Muhammad, al-Anwaru al-Bahiyyah min Isra wa Mikraji Khairil Bariyyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 83).
Karena tidak memiliki hubungan dengan syariat, maka orang-orang yang merayakannya tidak bisa dikatakan haram. Kendati demikian, bagaimana jika perayaan tersebut justru dengan pawai obor? Bukankah termasuk menyerupai perbuatan orang-orang majusi?
Perlu diketahui, bahwa setiap perbuatan yang tidak ada ketentuan (nash) yang pasti dari syariat perihal keharamannya, maka hukumnya boleh-boleh saja. Seperti merayakan sesuatu dengan pawai obor, karena tidak ada nash yang mengharamkannya.
Hal ini selaras dengan salah satu kaidah fiqih yang berbunyi:
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ
“Hukum asal dari setiap sesuatu adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan keharamannya (maka hukumnya haram).”
Jika digugat, “Merayakan obor memang hukumnya boleh, tapi bisa menjadi haram karena ada unsur menyerupai orang-orang majusi”. Benarkah demikian? Mari kita lanjut pembahasannya.
Perlu diketahui bahwa tidak semua tasyabbuh (menyerupai) non-muslim, atau majusi, bisa berhukum haram (tidak diperbolehkan). Ada juga beberapa perbuatan yang juga dilakukan oleh umat Islam sekalipun ada unsur tasyabbuh dengan mereka namun diperbolehkan, seperti makan, minum, menggunakan pakaian dan lainnya.
Berkaitan dengan hal ini, Sultanul Ulama Syekh Izzuddin bin Abdissalam dalam kitabnya mengatakan bahwa jika terdapat perbuatan wajib, sunnah, atau pun mubah, yang sekilas juga dilakukan oleh orang-orang non-muslim, sekalipun beda dalam pengaplikasiannya, maka tetap boleh dilakukan. Bahkan tidak boleh meninggalkannya dengan alasan karena juga dilakukan oleh mereka,
وما فعلوه على وفق الايجاب أو الندب أو الاباحة في شرعنا فلا يترك لأجل تعاطيهم اياه، فان الشرع لا ينهى عن التشبه بما أذن الله فيه
“Adapun sesuatu yang dilakukan oleh mereka (non-muslim), kemudian mirip dengan perbuatan wajib, sunnah, atau pun mubah dalam syariat Islam, maka tidak boleh ditinggalkan disebabkan juga dilakukan mereka padanya.
Sebab, syariat tidak melarang menyerupai dalam hal-hal yang mendapatkan izin dari Allah dengannya.” (Syekh Izzuddin, Fatawa Sultan al-Ulama al-Izz bin Abdissalam, [Darul Mishriyah: 2022], halaman 273).
Simpulan Hukum
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa merayakan Isra Mikraj dengan pawai obor hukumnya diperbolehkan, karena tidak ada dalil pasti yang melarangnya. Sedangkan anggapan haram karena menyerupai orang majusi tidak bisa dibenarkan. Sebab, perayaan dalam hal ini sekadar kebetulan saja, yang ternyata sama dengan ritual orang majusi. Wallahu a’lam.