Pemujaan kepada Makhluk

Perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam muncul di tengah-tengah umat manusia yang berbeda-beda dalam hal peribadatan. Di antara mereka, ada yang menyembah malaikat, ada pula yang menyembah para nabi dan orang-orang saleh. Selain itu, ada juga di antara mereka yang memuja batu dan pohon. Ada yang menyembah matahari dan bulan.

Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap memerangi mereka dan tidak membeda-bedakan mereka. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَقَـٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةࣱ وَیَكُونَ ٱلدِّینُ كُلُّهُۥ لِلَّهِۚ

Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama seluruhnya menjadi milik Allah.” (QS. Al-Anfal: 39)

Dalil bahwasanya ada di antara mereka (orang musyrik) yang memuja matahari dan bulan adalah firman Allah,

وَمِنۡ ءَایَـٰتِهِ ٱلَّیۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُوا۟ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُوا۟ لِلَّهِ ٱلَّذِی خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِیَّاهُ تَعۡبُدُونَ

Di antara tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi, sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37)

Dalil bahwasanya ada di antara mereka yang memuja malaikat adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا یَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةَ وَٱلنَّبِیِّـۧنَ أَرۡبَابًاۗ

Dan dia (rasul) tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan.” (QS. Ali ‘Imran: 80)

Dalil bahwasanya ada di antara mereka yang menyembah nabi-nabi adalah firman Allah,

وَإِذۡ قَالَ ٱللَّهُ یَـٰعِیسَى ٱبۡنَ مَرۡیَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِی وَأُمِّیَ إِلَـٰهَیۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ قَالَ سُبۡحَـٰنَكَ مَا یَكُونُ لِیۤ أَنۡ أَقُولَ مَا لَیۡسَ لِی بِحَقٍّۚ إِن كُنتُ قُلۡتُهُۥ فَقَدۡ عَلِمۡتَهُۥۚ تَعۡلَمُ مَا فِی نَفۡسِی وَلَاۤ أَعۡلَمُ مَا فِی نَفۡسِكَۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّـٰمُ ٱلۡغُیُوبِ

Dan ingatlah ketika Allah bertanya, ‘Wahai Isa bin Maryam, apakah engkau berkata kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain Allah.’ Maka, Isa menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak layak bagiku untuk mengatakan sesuatu yang bukan menjadi hakku. Jika aku telah mengatakannya, pastilah Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.’ ” (QS. Al-Ma’idah: 116)

Dalil bahwasanya ada di antara mereka yang memuja orang-orang saleh adalah firman Allah,

أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ یَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِیلَةَ أَیُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَیَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَیَخَافُونَ عَذَابَهُۥۤۚ

Mereka itu (yang diseru selain Allah) justru mencari kedekatan diri kepada Allah, siapakah di antara mereka yang paling bisa dekat dengan-Nya dan berharap rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya.” (QS. Al-Isra’: 57)

Dalil bahwasanya ada di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu adalah firman Allah,

أَفَرَءَیۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰۤ

Bagaimanakah pendapat kalian tentang Latta, ‘Uzza, dan Manat sesembahan yang ketiga.” (QS. An-Najm: 19-20)

Demikian pula, hadis Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ’anhu. Beliau berkata, “Suatu ketika kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain. Ketika itu, kami masih baru keluar dari kekafiran (baru masuk Islam). Sementara orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka gunakan untuk tempat iktikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu dikenal dengan nama Dzatu Anwath. Lalu, ketika kami melewati pohon itu, sebagian di antara kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami sebuah Dzatu  Anwath (tempat istimewa untuk menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.’ ” (Al-Hadits)”

(lihat Mu’allafat Asy-Syaikh Al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 201-202)

Pemujaan matahari dan bulan

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنۡ ءَایَـٰتِهِ ٱلَّیۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُوا۟ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُوا۟ لِلَّهِ ٱلَّذِی خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِیَّاهُ تَعۡبُدُونَ

Di antara tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi, sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat, “Janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi, sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua.” Beliau rahimahullah berkata, “Janganlah kalian mempersekutukan hal itu dengan-Nya. Karena tidaklah berguna ibadah kalian kepada-Nya, jika kalian juga beribadah kepada selain-Nya. Sebab, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 182 cet. Dar Thaibah)

Pemujaan malaikat dan nabi

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا یَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةَ وَٱلنَّبِیِّـۧنَ أَرۡبَابًاۗ

Dan dia (rasul) tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan.” (QS. Ali ‘Imran: 80)

Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa Al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan (bahwa mereka adalah anak Allah, pent).” (lihat Ma’alim At-Tanzil, hal. 220 oleh Al-Baghawi)

Pemujaan orang saleh

Dalil bahwasanya ada di antara mereka yang memuja orang-orang saleh adalah firman Allah,

أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ یَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِیلَةَ أَیُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَیَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَیَخَافُونَ عَذَابَهُۥۤۚ

Mereka itu (yang diseru selain Allah) justru mencari kedekatan diri kepada Allah, siapakah di antara mereka yang paling bisa dekat dengan-Nya dan berharap rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya.” (QS. Al-Isra’: 57)

Ibnu ‘Abbas dan Mujahid menafsirkan, bahwa yang dimaksud ‘yang diseru selain Allah’ di dalam ayat ini adalah ‘Isa, ibunya (Maryam), ‘Uzair, malaikat, matahari dan bulan, serta bintang-bintang. Mereka semua mencari kedekatan diri atau kedudukan yang mulia di sisi Allah. Adapun Ibnu Mas’ud menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kejadian yang menimpa orang musyrikin Arab masa silam yang menyembah kepada jin, kemudian ternyata jin yang mereka sembah masuk Islam, sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Sementara mereka terus bertahan di atas kesyirikannya. Maka, Allah pun mencela perbuatan mereka dengan turunnya ayat ini. (lihat Ma’alim At-Tanzil, hal. 746)

Pemujaan batu dan pohon

Dalil bahwasanya ada di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu adalah firman Allah,

أَفَرَءَیۡتُمُ ٱللَّـٰتَ وَٱلۡعُزَّىٰ وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلۡأُخۡرَىٰۤ

Bagaimanakah pendapat kalian tentang Latta, ‘Uzza, dan Manat sesembahan yang ketiga.” (QS. An-Najm: 19-20)

Latta dahulunya adalah sosok lelaki yang suka mencampur gandum dengan daging untuk disedekahkan kepada para jemaah haji. Ketika lelaki saleh ini meninggal, maka orang-orang pun menjadikan kuburnya sebagai tempat ibadah. Adapun ‘Uzza adalah sebuah pohon keramat yang dikelilingi dengan bangunan dan kain penutup. Sementara Manat adalah batu putih besar yang berukir dan disembah oleh para penduduk Tha’if. (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 48 oleh Muhammad bin Sa’ad Al-Hanin)

Adapun dalil terjadinya pemujaan kepada pohon di dalam As-Sunnah adalah hadis Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ’anhu. Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ’anhu berkata, “Suatu ketika, kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain. Ketika itu, kami masih baru keluar dari kekafiran (baru masuk Islam). Sementara orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka gunakan untuk tempat iktikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu dikenal dengan nama Dzatu Anwath. Lalu, ketika kami melewati pohon itu, sebagian di antara kami berkata, “Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami sebuah Dzatu  Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari para sahabat tatkala mereka meminta kepada beliau untuk dibuatkan sebuah tempat khusus (pohon) untuk menggantungkan senjata dan mengharap berkah darinya, sebab perbuatan ini adalah termasuk kesyirikan.

Faedah hadis

Dari hadis di atas, ada beberapa pelajaran penting yang patut untuk kita renungkan, yaitu:

Pertama: Besarnya bahaya akibat tidak memahami tauhid. Sehingga, hal itu akan menyeret seseorang ke dalam perbuatan atau keyakinan syirik dalam keadaan dia tidak menyadarinya. Maka, kebodohan dalam masalah akidah adalah sangat berbahaya.

Kedua: Hadis di atas menunjukkan bahaya meniru-niru orang musyrik. Karena hal itu akan bisa menyeret kepada tindak kemusyrikan. Oleh sebab itu, tidak boleh meniru-niru (tasyabbuh) kepada mereka.

Ketiga: Mencari berkah kepada pohon, batu, dan bangunan (termasuk di dalamnya kubur-kubur wali) adalah perbuatan syirik. Karena di dalamnya terkandung pencarian berkah kepada selain Allah, entah itu ditujukan kepada batu, pohon, kubur, atau tempat-tempat keramat yang lain. Itu semua termasuk syirik. (lihat transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, hal. 29)

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan beberapa catatan berharga sebagai berikut:

Pertama: Sesembahan yang ada di masa diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beraneka ragam, tidak terbatas berupa berhala. Bahkan, di antara mereka ada yang memuja nabi dan orang saleh. Sehingga pemujaan kepada orang saleh (baca: kuburnya) termasuk perbuatan syirik yang harus diperangi.

Kedua: Keumuman perintah untuk memerangi segala jenis orang musyrik (yaitu, yang beribadah kepada selain Allah), apa pun bentuk sesembahannya, entah itu malaikat, nabi, ataupun orang saleh (wali).

Ketiga: Kebatilan penafsiran para pengagung kubur yang membatasi tafsir ayat-ayat tentang syirik hanya kepada pemujaan terhadap berhala dan (menurut mereka) hal itu tidak berlaku (bukan syirik) apabila yang dipuja adalah nabi atau orang saleh. (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh Muhammad bin Sa’ad Al-Hanin, hal. 49)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/90840-pemujaan-kepada-makhluk.html
Copyright © 2024 muslim.or.id