PARA ulama memberikan syarat sahnya salat jumat dilaksanakan. Di antara syarat yang disebutkan adalah mengenai syarat sah dan syarat wajib sekaligus. Artinya, jika syarat ini tidak ada, maka salat jumatnya tidak sah dan tidak wajib dilaksanakan. Syarat sah dan wajib Jumat yang sekaligus disebut oleh para ulama adalah:
1. Tempat didirikan salat Jumat adalah di masjid suatu negeri atau kampung yang berpenduduk.
2. Mendapatkan izin dari sultan atau penguasa.
3. Sudah masuk waktu pelaksanaan salat zuhur dan waktunya berlangsung terus hingga waktu Asar.
Syarat pertama disebutkan oleh mazhab Abu Hanifah. Dalam salah satu kitab pegangan dalam mazhab Abu Hanifah, Al-Mabsuth karya Abu Bakr Muhammad bin Abu Sahl As-Sarakhsi disebutkan,
“Tidak ada Jumat, tasyriq, Idul Fitri, Idul Adha, melainkan di lakukan di mishr jami. Karena para sahabat ketika menaklukkan berbagai negeri dan kampung, mereka tidaklah sibuk dengan mendirikan mimbar dan membangun jami kecuali berada di negeri dan kampung. Karenanya mereka itu sepakat bahwa mishr jami itu merupakan syarat didirikannya salat Jumat.” (Al-Mabsuth, 2: 310, Asy-Syamilah)
Yang dimaksud dengan mishr jami disebutkan oleh Imam As-Sarakhsi, “Batasan disebut mishr jami adalah yang di dalamnya ada sultan (penguasa) atau qadhi (kami) untuk menegakkan hukum hudud dan menjalankan hukum syariat lainnya.”
Sedangkan mazhab lainnya tidak menyaratkan seperti ini. Dalam mazhab Syafii disyaratkan, salat Jumat yang penting dilakukan di dalam bangunan tertutup yang ada di negeri atau perkampungan. Imam Asy-Syairazi dalam Al-Muhaddzab menyatakan, “Salat Jumat tidaklah sah dilakukan kecuali di dalam bangunan yang di mana nantinya diisi oleh orang-orang yang sah mendirikan salat jumat yang menetap di negeri atau kampung.”
Imam Nawawi menjelaskan, “Bangunan tadi bisa jadi terbuat dari batu, kayu, tanah, batang yang beruas (seperti pada tebu, pen.), pelepah kurma, dan selainnya.” (Al-Majmu, 4: 256-257)
Ulama Hambali menyatakan bahwa salat di padang pasir pun masih sah. Ibnu Qudamah rahimahullah (lahir tahun 541 H, meninggal dunia tahun 620 H) menyatakan, “Tidak disyaratkan untuk sahnya jumat untuk dilakukan di masjid. Boleh saja melakukan salat Jumat di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Demikian juga yang menjadi pendapat dalam mazhab Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa tidak boleh mengerjakan salat Jumat selain di dalam gedung.” (Al-Mughni, 3: 209)
Ulama Malikiyah menyaratkan salat Jumat dilaksanakan di tempat yang bisa menetap dalam waktu yang lama, bisa dilakukan dalam gedung atau rumah dari kayu (gubug). Namun tidak boleh salat Jumat tersebut dilakukan di kemah karena bukan tempat yang layak untuk menetap dalam waktu yang lama.
Kalau kita perhatikan dari pendapat yang ada, berarti yang menyaratkan salat dalam bangunan hanyalah mazhab Syafii. Sedangkan mazhab Hambali dan Abu Hanifah masih membolehkan di luar masjid. Adapun mazhab Malikiyah berpendapat bahwa asalkan tempatnya layak untuk tinggal, boleh didirikan salat Jumat. Sehingga dalam mazhab Syafii sendiri -sebagaimana yang dianut di negeri kita- mengenai salat di jalan jelas tidak dibolehkan karena dipersyaratkan salat Jumat mesti dalam bangunan.
Mengenai Hukum Salat di Jalan
Adapun mayoritas ulama masih membolehkan salat di jalan karena dengan alasan keumuman hadis Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semua tempat di muka adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih)
Adapun hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang salat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Kabah.” (HR. Tirmidzi, no. 346; Ibnu Majah, no. 746. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadis ini hasan. Syaikh Abdullah Al-Fauzan menilai hadis ini daif dalam Minhah Al-Allam, 2: 352-353)
Kalau hadis kedua di atas daif, berarti masih dibolehkan salat di tujuh tempat di atas kecuali jika ada dalil sahih yang melarang seperti salat di pekuburan, tempat pemandian dan tempat menderumnya unta. Ulama mazhab Hanafiyah dan Syafiiyah menganggap bahwa dimakruhkan (terlarang) salat di jalan. Al-Khatib Asy-Syarbini, salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafii menyatakan bahwa sebab dilarangnya salat di jalanadalah karena dapat mengganggu kepentingan umum, menghalangi orang untuk lewat hingga kurangnya khusyu. (Al-Mawsuah Al-Fiqhiyyah, 27: 114)
Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Yang utama tidaklah salat di jalan. Akan tetapi jika ada hajat untuk salat di tengah jalan, maka tidaklah masalah. Seperti misalnya masjid sangatlah sempit asalkan menggunakan alas saat itu.” (Minhah Al-Allam, 2: 356)
Kesimpulan, salat Jumat baiknya dilakukan di masjid, bukan di jalan raya (seperti yang dilakukan oleh para pendemo) yang akan mengganggu kepentingan umum, lebih-lebih masjid sekitar masih muat menampung jemaah. Beda halnya kalau masjid tidak bisa memuat jemaah yang jumlahnya jutaan. Baca lagi berulang pembahasan di atas.
Wallahu alam. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
– Al-Mabsuth. Abu Bakr Muhammad bin Abu Sahl As-Sarakhsi. Maktabah Syamilah (nomor halaman tidak sesuai dengan cetakan)
– Al-Majmu Syarh Al-Muhaddzab li Asy-Syairazi. Cetakan pertama, tahun 1423 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Alam Al-Kutub.
– Al-Mawsuah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Islamiyyah Kuwait.
– Al-Mughni. Cetakan tahun 1432 H. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Penerbit Dar Alam Al-Kutub.
– Minhah Al-Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, tahun 1431 H. Syaikh Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
[Muhammad Abduh Tuasikal/rumaysho]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341198/pendemo-jumatan-di-jalan-padahal-masjid-masih-muat#sthash.gPtwFEls.dpuf