Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata, “Dan dengan itulah (beribadah kepada Allah pent.) Allah perintahkan seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Penjelasan:

Apa yang disampaikan oleh penulis dalam risalah ini memberikan gambaran kepada kita bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar bagi umat manusia. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعْبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُمْ وَٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 21).

Hal ini juga ditegaskan di dalam ayat yang lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا

“Dan Rabbmu telah menetapkan; bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan hendaklah kalian berbuat baik dengan sebaik-baiknya kepada kedua orang tua” (QS. Al-Isra: 23).

Begitu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ’anhuma).

Hal ini juga semakin mempertegas bahwa asas semua ajaran para nabi adalah tauhid. Sebab tauhid inilah tujuan penciptaan jin dan manusia. Tidak ada seorang pun nabi yang diutus kecuali mendakwahkan tauhid dan memperingatkan dari bahaya syirik.

Kemudian, Syekh Rahimahullah melanjutkan,

“Apabila kamu telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya salat, tidak dinamakan salat kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik masuk ke dalam suatu ibadah, maka ibadah itu menjadi rusak, sebagaimana hadats yang menimpa pada thaharah.”

Penjelasan:

Dari keterangan beliau ini kita mendapatkan sebuah pelajaran berharga bahwa tidak semua ibadah itu bisa diterima. Sebab ibadah yang diterima adalah yang memenuhi syaratnya. Di antara syarat utama agar ibadah bisa diterima oleh Allah adalah ia harus dilandasi dengan tauhid. Tanpa tauhid, maka sebanyak apa pun amal tidak akan diterima.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar: 65).

Hal ini menunjukkan bahwa ibadah membutuhkan kepada akidah yang benar. Tanpa lurusnya akidah, maka amal ibadah dan ketaatan sebesar gunung sekali pun tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Oleh sebab itu, setiap perintah beramal selalu disertai dengan larangan berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman,

مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).

Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah untuk Allah semata. Tidak menujukan ibadah sekecil apapun kepada selain-Nya. Dalam risalah Ushul Tsalatsah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata, “Perkara terbesar yang Allah perintahkan adalah tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah.”

Maka tidak mengherankan apabila Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab pun menyusun buku khusus yang menyajikan pembahasan ilmiah mengenai tauhid ibadah ini yang telah diakui oleh para ulama mengenai keagungan dan faidahnya yang sangat besar, yaitu Kitabut Tauhid. Di dalamnya beliau menjelaskan berbagai kaidah pokok dalam tauhid dengan membawakan dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan beliau juga menjelaskan berbagai bentuk ibadah dan berbagai jenis perusaknya berupa syirik besar maupun syirik kecil.

Apabila seorang muslim begitu bersemangat menjaga salatnya agar tidak tertolak di hadapan Allah, maka tentu dia akan lebih bersemangat untuk menjaga tauhidnya agar ibadah-ibadahnya bisa diterima oleh Allah dan memasukkannya ke dalam surga. Kedudukan tauhid bagi amal ibadah sebagaimana thaharah bagi salat. Bahkan lebih penting daripada itu karena tauhid merupakan syarat diterimanya semua bentuk amal dan ketaatan hamba.

Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pembahasan tauhid tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tazkiyatun nufus atau penyucian jiwa. Karena tauhid inilah sebab utama bersihnya hati seorang hamba. Bagaimana tidak? Sedangkan Allah mengutus rasul untuk membacakan kepada umatnya ayat-ayat Allah dan menyucikan jiwa mereka serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak bisa dipisahkan pembahasan tauhid ini dengan pengajaran nilai-nilai Al-Quran. Sebab pada hakikatnya semua bagian dari Kitabullah itu membicarakan tentang tauhid dari berbagai sudut pandang; sebagaimana diterangkan oleh para ulama kita.

Dan tidak berlebihan pula jika kita katakan bahwa tidak bisa dipisahkan pembahasan tauhid ini dengan pembahasan fikih dan sejarah Islam. Karena tauhid kepada Allah merupakan fikih yang terbesar di dalam agama Islam dan karena tauhid inilah para nabi dan rasul mengharumkan nama Islam dengan seruan dakwahnya. Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah Radhiyallahu’anhu).

Dan tidak pula berlebihan jika kita katakan bahwa pembahasan tauhid inilah bagian pokok di dalam pembuktian kecintaan seorang muslim kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam; karena tauhid inilah inti ajaran Islam yang beliau sebarkan.  Lantas bagaimana mungkin seorang mengaku cinta kepada Rasul dan memuliakan beliau tetapi di saat yang sama justru jauh dari hakikat tauhid dan malah gandrung dengan berbagai bentuk pemberhalaan?!

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ

“Katakanlah, ‘Jika kalian mengaku mecintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’” (QS. Ali-Imran: 31).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘Alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud, maka bangunan (agama) akan bisa tegak berdiri di atasnya” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para dai pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal akidah. Tanpa memperbaiki akidah, tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakan berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki akidah, yaitu akidah tauhid” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16).

Semoga bermanfaat.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69544-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-6.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

اعلم أرشدك الله لطاعته أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد الله وحده مخلصا له الدين

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwa Al-Hanifiyyah, yaitu agama Ibrahim, adalah kamu beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan agama untuk-Nya.

Penjelasan :

Sebagaimana kebiasaan beliau, penulis rahimahullah mendoakan kebaikan untuk pembaca risalahnya. Hal ini mengandung sikap kelembutan seorang dai dan pengajar kepada orang yang dia ajari. Demikianlah semestinya profil seorang pendakwah. Kelembutan dan kasih sayang merupakan sifat utama yang harus ada pada seorang da’i ilallah.

Di dalam doa ini beliau memohon kepada Allah agar memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ilmu dan amalan. Karena yang dimaksud dengan ar-rusyd adalah mengamalkan kebenaran yang telah diketahui. Lawan darinya adalah ghawayah/menyimpang, yaitu tidak mengamalkan ilmu. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disifati oleh Allah sebagai orang yang tidak dholla/sesat dan tidak ghowa/menyimpang. Yang disebut dholla atau dholal adalah tidak berilmu alias bodoh sehingga tersesat dari jalan yang benar. Adapun ghowa atau ghowayah adalah tidak mengamalkan ilmu alias meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya. Kedua sifat buruk ini ternafikan dari diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka, demikianlah sifat yang dikehendaki ada pada diri setiap muslim. Menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal saleh. Saking beratnya dosa tidak mengamalkan ilmu, disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengannya maka ia diazab sebelum para pemuja berhala. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Di dalam doa ini, penulis mendoakan agar Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan sumber segala kebaikan dan asas kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang mencapai tingkatan tinggi dalam tauhid senantiasa memiliki sifat taat dan patuh kepada Allah. Sebagaimana sifat yang ada pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang Allah kisahkan di dalam Al-Qur’an. Allah menyebut beliau sebagai sosok yang qaanitan lillaah, selalu patuh dan taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan bukti kecintaan seorang hamba.

Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan orang arab innal muhibba liman yuhibbu muthii’u yang berarti bahwa orang yang mencintai tentu taat kepada siapa yang dia cintai. Ibadah kepada Allah merupakan kecintaan yang melahirkan ketaatan dan ketundukan. Karena ibadah itu tegak di atas dua pilar utama, perendahan seutuhnya kepada Allah dan kecintaan yang tinggi kepada-Nya, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.  Dalam Nuniyah-nya beliau berkata,

Ibadah kepada Ar-Rahman merupakan puncak kecintaan kepada-Nya

Beserta perendahan diri sang hamba

Itulah dua poros agama

Di atas kedua poros itulah tata surya ibadah beredar

Ketaatan kepada Allah mencakup dua bagian utama:

– melaksanakan perintah-Nya

– menjauhi larangan-Nya

Millah Ibrahim

Kemudian, penulis rahimahullah menjelaskan kepada kita tentang makna Al-Hanifiyyah atau millah Ibrahim. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendakwahkan agama Islam, sebagaimana seluruh nabi yang lain. Karena semua nabi mengajarkan Islam. Meskipun demikian, Allah memilih Ibrahim sebagai teladan bagi para nabi sesudahnya. Dan Allah turunkan dari anak cucunya para nabi setelahnya sampai nabi yang terakhir, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana beliau merupakan keturunan dari Nabi Isma’il bin Ibrahim ‘alaihimas salam.

Lebih daripada itu, Allah pun memilih Ibrahim sebagai khalil/kekasih-Nya. Tidak lain karena tingkat penghambaan beliau dan nilai ketauhidannya yang sangat mulia. Bagaimana tidak? Begitu banyak ujian dan cobaan yang beliau hadapi dalam memperjuangkan dakwah tauhid ini. Dan beliau pun mendapat taufik dari Allah untuk melalui segala ujian itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan. Oleh sebab itu, masyhur perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa beliau mengatakan, “Dengan sabar dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama.”

Ibrahim merupakan sosok yang sangat penting dalam dakwah tauhid ini. Bahkan sampai-sampai berbagai penganut agama pun menisbatkan diri sebagai penerus ajarannya. Walaupun pada umumnya, itu hanya klaim semata tanpa bukti. Orang-orang Yahudi mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim, padahal mereka pun telah menyelewengkan ayat-ayat Taurat, kitab suci yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Mereka pun menolak untuk beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal, mereka mengenal dengan baik ciri-ciri beliau -yang telah dijelaskan di dalam Taurat- sebagaimana seorang bapak mengenali anak-anaknya sendiri. Begitu pula, orang Nasrani mengklaim sebagai penerus ajaran Ibrahim karena mereka mengaku sebagai pengikut ajaran Isa ‘alaihis salam yang mereka angkat sebagai Tuhan. Sehingga, jatuhlah mereka dalam sikap berlebihan dan mempersekutukan Allah Ar-Rahman. Mereka menisbatkan anak kepada Allah. Sesuatu yang sama sekali tidak diajarkan oleh Nabi Ibrahim, bahkan tidak juga oleh Nabi Isa ‘alaihis salam.

Bukan hanya itu, kaum musyrikin pun tidak mau kalah. Mereka yang sekian lama memenuhi pelataran Ka’bah dengan berhala pun menganggap bahwa merekalah yang paling pantas disebut sebagai pewaris ajaran Ibrahim. Karena merekalah yang mengagungkan Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim bersama Ismail putranya. Padahal, Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah berhala. Demikianlah, setan mengelabui manusia dan menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Maka, siapa pun yang mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim wajib menyadari bahwa agama yang beliau sampaikan kepada manusia adalah Islam. Ajaran yang menuntut setiap hamba untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah.

Ajaran Kitab Suci dari Langit

Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

“Dan tidak mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan salat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (disebutkan oleh Imam Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim At-Tanzil, hal. 1426)

Syekh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa dari ayat ini kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu, barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya, dia tujukan kepada selain Allah, maka dia juga bukan orang yang bertauhid. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hal. 76-77)

Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata, maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid. Sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya, maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syariat disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syariat disebut sebagai ibadah yang bid’ah. (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syekh Shalih bin Abdillah Al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 9)

Allah berfirman,

مَا كَانَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ یَهُودِیࣰّا وَلَا نَصۡرَانِیࣰّا وَلَـٰكِن كَانَ حَنِیفࣰا مُّسۡلِمࣰا

“Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Allah ‘Azza Wajalla menjadikan Ibrahim sebagai seorang yang hanif, dalam artian orang yang berpaling dari jalan syirik menuju tauhid yang murni. Adapun Al-Hanifiyah adalah millah/ajaran yang berpaling dari segala kebatilan menuju kebenaran dan menjauh dari semua bentuk kebatilan serta condong menuju kebenaran. Itulah millah bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam.” (lihat Syarh al-Qawa’id Al-Arba’ dengan tahqiq ‘Adil Rifa’i, hal. 13-14)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat, serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Allah berfirman,

وَقَالُوا۟ كُونُوا۟ هُودًا أَوۡ نَصَـٰرَىٰ تَهۡتَدُوا۟ۗ قُلۡ بَلۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمَ حَنِیفࣰاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk!’ Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah : 135)

Allah berfirman,

إِنَّ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِیفࣰا وَلَمۡ یَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

شَاكِرࣰا لِّأَنۡعُمِهِۚ ٱجۡتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.  Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (An-Nahl : 120-121)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syariat yang diridai.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/611)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza Wajalla dalam surat Az-Zukhruf,

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦۤ إِنَّنِی بَرَاۤءࣱ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ

إِلَّا ٱلَّذِی فَطَرَنِی فَإِنَّهُۥ سَیَهۡدِینِ

وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِیَةࣰ فِی عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ یَرۡجِعُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Zat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.’ Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (Az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kalimat ini, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan mencampakkan segala berhala yang disembah selain-Nya, itulah kalimat laa ilaha illallah yang dijadikan oleh Ibrahim sebagai ketetapan bagi anak keturunannya supaya dengan sebab itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dari keturunan Ibrahim ‘alaihis salam tunduk mengikutinya.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/225)

Syekh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah Al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim Al-Khalil ‘alaihis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat Al-Bayan Al-Murashsha’ Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Allah berfirman,

ثُمَّ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۖ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, ‘Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.’” (An-Nahl : 123)

Allah berfirman,

قُلۡ إِنَّنِی هَدَىٰنِی رَبِّیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ دِینࣰا قِیَمࣰا مِّلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.’” (Al-An’am : 161)

Syekh Shalih bin Abdul Aziz alu Syekh hafizhahullah berkata, “Maka millah Ibrahim ‘alaihis salam itu adalah tauhid.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘, hal. 15)

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah berkata, “Millah Ibrahim itu adalah syariat dan keyakinan yang dijalani oleh bapaknya para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam. Dan Ibrahim adalah salah satu nabi yang paling utama dan termasuk jajaran rasul yang digelari sebagai ulul ‘azmi.” (lihat Syarh Mutun Al-‘Aqidah, hal. 224)

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘Azza Wajalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Agama Para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Para nabi itu adalah saudara-saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Dan agama mereka itu adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiyaa’ : 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya,

یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۖ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (Huud : 50).

Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush sholatu wassalam. (lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 19)

Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Orang yang hanif adalah yang beriman kepada seluruh rasul dari yang pertama hingga yang terakhir.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Qatadah rahimahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 11)

Demikian sedikit kumpulan catatan. Semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Bersambung insyaAllah.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69320-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-5.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

وإذ أذنب استغفر

(Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk) orang yang beristigfar apabila terjerumus dalam perbuatan dosa.

Pentingnya melakukan istigfar

Dalam doa yang agung ini, beliau memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada orang yang membaca risalahnya, supaya menjadi orang yang kembali kepada Allah, bertaubat kepada-Nya apabila terjatuh dalam maksiat dan dosa. Sebagaimana telah diketahui bahwa manusia seringkali terjerat oleh kemauan hawa nafsunya sehingga melakukan apa yang dilarang oleh Allah atau bahkan meninggalkan kewajiban yang diperintahkan dalam agama.

Untuk itulah seorang muslim diajarkan untuk selalu beristigfar. Dalam banyak kesempatan, kita diperintahkan untuk memohon ampunan. Di antaranya, ketika selesai mengerjakan salat, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk membaca istigfar 3 kali. Hal itu bukan berarti salat adalah perbuatan dosa. Tetapi, memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagus apapun amal yang dilakukan oleh hamba, maka Hak-Hak Allah terlalu Agung dan Maha Sempurna sehingga tidak bisa dihargai dengan ketaatan dan amal manusia yang penuh kekurangan.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah مطالعة عيب النفس والعمل (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal). Mencermati dan menyadari begitu banyak aib pada diri dan amal-amal yang kita kerjakan. Karena ibadah kepada Allah itu berporos pada dua pilar, cinta yang sepenuhnya dan perendahan diri yang seutuhnya kepada Allah. Sementara perendahan diri tidak bisa muncul, kecuali dengan menelaah aib pada diri dan amalan hamba. Demikian kandungan makna yang diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib.

Penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua pokok/kaidah ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu    مشاهدة المنة (musyahadatul minnah), yaitu menyaksikan curahan nikmat-nikmat Allah dan مطالعة عيب النفس والعمل (muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal), yaitu selalu meneliti aib pada diri dan amal perbuatan. Dengan senantiasa menyaksikan dan menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan kepada hamba, akan tumbuhlah kecintaan. Dan dengan selalu meneliti aib pada diri dan amalan, akan menumbuhkan perendahan diri yang sempurna kepada Rabbnya. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 8 tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim Al-Arna’uth)

Dengan selalu menyaksikan dan menyadari betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan, akan menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal perbuatan, akan melahirkan sikap perendahan diri, merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu. Sehingga orang itu tidak memandang dirinya, kecuali berada dalam kondisi bangkrut. Pintu terdekat yang akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu gerbang perasaan bangkrut. Dia tidak melihat dirinya memiliki kedudukan, posisi, dan peran yang layak diandalkan/dibanggakan. Sehingga, dia pun akan mengabdi kepada Allah melalui pintu gerbang perasaan fakir yang seutuhnya dan kondisi jiwa yang merasa dilanda kebangkrutan. (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 7)

Apabila kita teliti kembali amal dan ibadah yang kita kerjakan, ada banyak sekali kekurangan dan cacatnya. Dari sanalah, kita mengetahui letak pentingnya muhasabah. Sebagaimana yang dinasihatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu“Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab! Dan timbanglah amal-amal kalian sebelum kalian ditimbang (di akhirat)!”

Istigfar adalah memohon ampunan kepada Allah atas dosa yang dilakukan. Dosa itu sendiri meliputi dua kategori. Terjadi karena menerjang larangan atau karena tidak menunaikan kewajiban. Bisa jadi seorang tidak melakukan perkara yang diharamkan pada suatu waktu, tetapi pada saat itu dia tidak menunaikan kewajiban dan tugasnya dengan baik. Dan inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah taqshir/keteledoran dan cacat amalan.

Sikap seorang mukmin terhadap amalannya

Seorang mukmin, ketika melihat amalannya, maka dia berharap kepada Allah supaya amalnya diterima. Meskipun demikian, dia selalu ingat dan waspada akan dosa dan kekurangannya. Jangan sampai amalnya hancur dan sirna gara-gara dosa. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari dalam Sahihnya mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di bawah gunung. Dia takut gunung itu runtuh menimpa dirinya.”

Karena itulah, Hasan Al-Bashri rahimahullah menjelaskan bahwa seorang mukmin itu memadukan dalam dirinya antara perbuatan ihsan/kebaikan dan ketaatan dengan perasaan syafaqah/takut dan khawatir. Sebaliknya, orang kafir dan fajir memadukan dalam dirinya antara perbuatan jelek/dosa dengan merasa aman/baik-baik saja. Lihatlah sosok para sahabat -manusia terbaik setelah para nabi- yang dituturkan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mereka semua khawatir apabila kemunafikan bersemayam di dalam diri mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengaku bahwa imannya seperti imannya Jibril dan Mika’il.”

Dari sini pula, kita mengetahui bahwa istigfar yang dimaksud bukan hanya ucapan lisan tanpa keyakinan dan kesadaran di dalam hati. Sebab, zikir yang paling utama adalah yang menggabungkan antara ucapan lisan dengan penghayatan di dalam hati terhadap apa yang dibaca. Oleh sebab itu, istigfar yang tidak disertai dengan perendahan diri dan ketundukan kepada Allah, bukanlah istigfar yang hakiki. Karena ketaatan yang Allah terima adalah ibadah yang berakar dari dalam hati. Allah berfirman,

یَوۡمَ لَا یَنفَعُ مَالࣱ وَلَا بَنُونَ

إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبࣲ سَلِیمࣲ

“Pada hari itu (kiamat) tiada berguna harta dan keturunan laki-laki kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy-Syu’ara’ : 88-89)

Sehingga sebagian salaf berkata, “Betapa banyak orang yang lisannya beristigfar tetapi dimurkai. Sedangkan, ada orang-orang yang lisannya diam tetapi senantiasa dirahmati.” Setiap muslim membutuhkan waktu-waktu khusus untuk menyendiri dengan Rabbnya. Mengingat dosa dan kesalahannya untuk bertaubat dan menangisi kedurhakaan yang selama ini dia lakukan. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam manusia terbaik di muka bumi saja beristigfar kepada Allah dalam sehari sampai 70 kali atau seratus kali bahkan lebih. Lalu, bagaimana lagi dengan kita?!

Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari no. 6307)

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar. Beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari oleh Ibnu Hajar, 11/115)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung. Dia takut apabila gunung itu jatuh/runtuh menimpa dirinya.” (lihat Fath Al-Bari, 11/118)

Demikianlah sifat seorang muslim. Bahwa dia senantiasa merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah. Dia menganggap kecil amal salehnya dan dia mengkhawatirkan dampak perbuatan buruknya meskipun itu kecil. (lihat Fath Al-Bari, 11/119)

‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan, “Adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari buang air (kamar kecil) maka beliau mengucapkan

غفراك

‘ghufroonak’

(Artinya ‘Kami mohon ampunan-Mu, ya Allah).” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

Makna doa ini adalah “Aku memohon ampunan-Mu kepada-Mu, ya Allah.” Yaitu, Engkau tutupi dosa-dosaku dan Engkau tidak menghukumku karena dosa-dosa itu. (lihat keterangan Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, 1/242)

Hikmah dari bacaan ini adalah apabila seorang telah menunaikan hajatnya (dengan membuang kotoran secara fisik), hendaklah dia mengingat kotoran secara maknawi yang mengganggu kehidupannya yaitu dosa-dosa. Karena, sesungguhnya menanggung dosa lebih berat dan lebih membahayakan daripada menanggung kotoran yang berupa ‘air besar’ atau ‘air kecil’. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita mengingat dosa-dosa kita dan memohon ampunan Allah atasnya. (lihat keterangan Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Fathu Dzil Jalal wal Ikram, hlm. 306)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai umat manusia, bertaubatlah kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari kepada-Nya seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah menjelaskan kandungan hadis ini, “Adapun kita (apabila dibandingkan dengan Nabi) maka sesungguhnya kita ini jauh lebih membutuhkan istigfar dan taubat.” (lihat Syarh Muslim [8/293]). Benarlah apa yang dikatakan oleh An-Nawawi, semoga Allah merahmati dan mengampuni kita dan beliau.

Dan apabila kita cermati keadaan kaum muslimin di zaman ini, maka akan kita dapati bahwa amalan ini (bertaubat 100 kali dalam sehari) termasuk salah satu amalan yang sudah banyak ditinggalkan manusia (sunnah mahjurah), kecuali pada sebagian manusia yang Allah berikan taufik kepada mereka dan betapa sedikitnya mereka itu. Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan segenap pembaca untuk mengamalkannya.

Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Ibnu Umar, beliau berkata, “Bahwa dirinya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,

أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه

‘astaghfirullahalladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atuubu ilaih’ dalam sebuah majelis sebelum bangkit sebanyak 100 kali.” (lihat Fath Al-Bari, 11/115). Kepada Allah semata kita mohon pertolongan.

Semoga catatan yang singkat ini bermanfaat.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69223-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-4.html

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata,

“Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristigfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.”

Penjelasan

Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas salah satu tanda kebahagiaan yaitu bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan kepada kita. Berikutnya kita akan membahas tanda kebahagiaan yang kedua, yaitu bersabar saat tertimpa musibah dan bencana.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, segala sesuatu yang terjadi di alam dunia ini telah tertulis dalam lauhul mahfuzh 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Termasuk di dalamnya musibah yang kita alami. Tidaklah menimpa musibah melainkan dengan izin dari Allah.

Kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah bersabar menghadapinya. Sabar yaitu menahan diri dari marah kepada ketetapan Allah, menahan anggota badan dari ekspresi ketidakpuasan seperti merobek-robek kerah baju atau menampar-nampar pipi, dan menahan lisan dari meratap. Sebagaimana digambarkan oleh para ulama salaf, bahwa sabar dalam iman seperti kepala di dalam badan. Apabila sabarnya hilang maka tidak ada lagi kehidupan pada badan.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dalam Kitab Tauhid juga membuat bab khusus dengan judul “Termasuk keimanan kepada Allah adalah bersabar menghadapi takdir Allah“. Maksudnya adalah takdir yang terasa menyakitkan seperti musibah dan bencana. Iman kepada Allah mencakup iman kepada uluhiyahrububiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman kepada rububiyah Allah.

Mengimani Allah sebagai Rabb mengandung makna keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Sementara takdir Allah merupakan salah satu perbuatan Allah dan kekuasaan Allah. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat kebaikan dan nikmat maka yang diperintahkan kepada kita adalah mensyukuri nikmat itu dengan menggunakan nikmat dalam ketaatan. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat musibah dan sesuatu yang tidak kita sukai maka yang diperintahkan kepada kita adalah bersabar menerimanya.

Cobaan menempa keimanan

Allah berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh  kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS. Al-Hajj: 11).

Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan “berpaling ke belakang” maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/400-401).

Syekh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena fitnah atau cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam beragama, pent- …” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 10).

Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang, maka manusia menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 11).

Hasan al-Bashri Rahimahullah menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hlm. 859-860).

Syekh as-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 534).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang paling aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah ketika dunia ini dibukakan untuk kalian sebagaimana ia telah dibukakan untuk orang-orang sebelum kalian. Maka kalian pun berlomba-lomba untuk meraupnya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk meraupnya. Maka dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka” (HR. Bukhari).

Syekh Abdul Karim al-Khudhair berkata, “Ujian dalam bentuk kesulitan/musibah bisa dilalui oleh banyak orang. Akan tetapi ujian dalam bentuk kelapangan, terbukanya dunia, dan kekayaan; betapa sedikit orang yang bisa melampauinya. Ini merupakan perkara yang bisa disaksikan oleh semuanya. Kenyataan yang terjadi pada umumnya kaum muslimin ketika dibukakan untuk mereka dunia ternyata mereka justru menyepelekan perintah-perintah Allah ‘Azza wa jalla dan berpaling dari jalan kebenaran. Dan mereka pun menukar nikmat yang Allah berikan dengan kekafiran yang mereka kerjakan…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan min Shahih al-Bukhari, hlm. 13).

Musibah adalah cobaan

Diantara bentuk cobaan itu adalah musibah yang menimpa kaum beriman. Allah berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ(٣)

“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta” (QS. al-’Ankabut: 2-3).

Musibah dan bencana ini adalah cobaan dari Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah menimpakan cobaan atau musibah untuk mencelakakannya, hanya saja Allah memberikan musibah kepadanya untuk menguji kesabaran dan penghambaannya kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah berhak mendapatkan penghambaan dikala susah sebagaimana Dia juga berhak mendapatkan penghambaan di kala senang…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 4 penerbit Maktabah Darul Bayan).

Ya, dengan adanya musibah dan diikuti dengan kesabaran akan membuahkan keutamaan dan pahala yang sangat besar dari Allah. Allah berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali ‘Imran: 146).

Allah juga berfirman,

وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. al-Anfal: 46).

Allah berfirman,

مَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya” (QS. at-Taghabun: 11).

Alqomah -seorang ulama tabi’in– mengatakan, “Maksud ayat ini adalah berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah, maka dia pun rida dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu adalah bahwa sabar merupakan sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 278 karya Syekh Shalih al-Fauzan).

Karena itulah tidak heran apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan musibah kepadanya” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 379).

Dari Anas Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah akan sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani).

Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 175).

Dengan demikian kesabaran adalah kebaikan yang sangat besar. Sebab dengan bersabar ketika tertimpa musibah akan mendatangkan pahala dan sekaligus menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama juga menjelaskan bahwa sabar dalam makna yang luas mencakup sabar dalam melaksanakan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan. Selain itu ada juga sabar dalam menghadapi musibah (sebagaimana yang sedang kita bahas). Sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah bagian dari syukur kepada Allah; sebab hakikat syukur adalah beramal saleh. Oleh sebab itu dikatakan oleh para ulama salaf bahwa iman mencakup dua bagian; sabar dan syukur.

Dari sini kita juga mengetahui bahwa sesungguhnya sebab kebahagiaan hamba itu ada pada iman dan amal saleh, sabar dan syukur, serta tunduk patuh kepada perintah dan larangan Allah. Allah berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ (١)  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ(٢)  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ(٣)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3).

Demikian pembahasan kita pada kesempatan ini, semoga Allah berikan kemudahan untuk bertemu lagi dalam seri yang akan datang masih bersama risalah al-Qawa’id al-Arba’ karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah.

Barakallahu fiikum.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69221-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-3.html