Penjelasan Nama Allah “Ar-Rabb” (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Macam-macam tarbiyah Allah Ta’ala

Dalam Tafsir-nya, Syekh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa tarbiyah Allah Ta’ala itu ada dua macam. Dua macam tarbiyah Allah tersebut adalah:

Tarbiyyah umum

Yaitu pemeliharaan Allah terhadap seluruh makhluk dalam bentuk menciptakan, memberi rezeki, dan memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa hidup di dunia ini. Sehingga tarbiyah Allah jenis umum ini terkait dengan kenikmatan duniawi.

Tarbiyah khusus

Yaitu pendidikan, pengasuhan, penjagaan, dan pemeliharaan-Nya terhadap seorang mukmin [1] dalam bentuk memberi taufik kepada setiap kebaikan, serta menolak berbagai keburukan dan hal yang merusak keimanan mereka. Inti dari tarbiyah khusus ini adalah Allah mendidik seorang mukmin agar terjaga dan sempurna imannya.

Untuk memahami tarbiyah Allah yang khusus ini, kita perlu memahami ayat yang agung ini. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Allah itu Tuhan Yang Maha Sempurna, sedangkan makhluk itu penuh kekurangan dan kelemahan.

Model kekurangan dan kelemahan makhluk itu bermacam-macam. Di antara mereka ada yang memberi untuk menerima, ada yang tidak memberi sesuatu karena bakhil, membunuh untuk mengambil harta, menyakiti untuk membalas dendam, dan mengusir untuk menyengsarakan. Adapun Allah, maka:

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia.”

Allah itu sempurna dari segala sisi.

Dikutip dalam kitab Fawaidul Fawaid bahwa Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bagaimana Allah berbuat terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidaklah mencegah, kecuali untuk memberi. Tidaklah mematikan, kecuali untuk menghidupkan. Tidaklah menimpakan musibah, kecuali menyelamatkannya. Tidaklah mengujinya, kecuali untuk memurnikan keimanannya. Dan tidaklah mengeluarkannya dari perut ibunya, terlahir di dunia ini, kecuali untuk meniti jalan menuju kepada Allah dan berjumpa dengan-Nya.

Allah mencegah pemberian dunia dari seorang mukmin untuk memberi anugerah iman yang itu lebih besar dari dunia. Karena Allah tidak rida bagian yang rendah untuk hamba-Nya yang beriman. Allah menghendaki anugerah yang tinggi untuknya. Di sinilah tampak bahwa karunia Allah berupa pencegahan dunia itu lebih utama dari pemberian dunia bagi seorang mukmin.

Sekali lagi,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia.”

Pengaturan Allah atas hamba-hamba-Nya itu jauh lebih bagus daripada pengaturan hamba atas dirinya sendiri. Kasih sayang Allah kepada hamba-Nya itu jauh lebih besar dari kasih sayang hamba kepada dirinya sendiri.

Allah itu paling tahu apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya, paling mampu mewujudkan kemaslahatan untuk hamba-Nya, paling baik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, serta paling bijak dan adil dalam menakdirkan takdir hamba-Nya. Setiap takdir-Nya tidak keluar dari kasih sayang, kebaikan, karunia, hikmah, atau keadilan-Nya.

Dan seluruh hamba-Nya tidak akan bisa keluar dari pengaturan-Nya yang sempurna. Seluruh urusan itu di tangan Allah. Maka, kebahagiaan seseorang yang mengimani ini semua adalah pada menyerahkan seluruh urusan kepada-Nya, bersandar hatinya kepada-Nya semata, sambil mengambil usaha dengan maksimal disertai memohon pertolongan kepada-Nya semata. Setelah itu ia rida Allah sebagai Rabbnya, Sang Pengatur dirinya sehingga menerima pengaturan dan takdir-Nya dengan lapang dada, sabar, dan bahkan bersyukur kepada Allah semata.

Peristiwa apapun yang menimpa seorang mukmin di jalan ketaatan kepada Allah itu hakikatnya adalah bentuk tarbiyah Allah yang spesial untuknya

Allah Ta’ala berfirman,

وَبَلَوْنٰهُمْ بِالْحَسَنٰتِ وَالسَّيِّاٰتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan Kami uji mereka dengan kelapangan/kesenangan dan kesulitan/musibah, agar mereka kembali (taat dan tobat).” (QS. Al-A’raf : 168)

Oleh karena itu, ketika Allah menakdirkan seorang mukmin dan mengaturnya dengan berbagai kejadian yang tidak diinginkan saat melakukan berbagai macam amal ibadah, maka yakinlah bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya dan hal itu bagian dari tarbiyah Allah atas keimanannya.

Contoh-contoh tarbiyah khusus

Berikut ini contoh-contoh tarbiyah khusus dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, bahkan untuk para nabi-Nya:

Tarbiyah Allah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

Allah Ta’ala berfirman,

عَبَسَ وَتَوَلّٰىٓۙ اَنْ جَاۤءَهُ الْاَعْمٰى

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta (Abdullah bin Ummi Maktum) telah datang kepadanya.” (QS. ‘Abasa: 1-2)

Dalam surat ‘Abasa dari ayat pertama sampai kesepuluh, terdapat teguran lembut dari Allah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu yang buta. Padahal, ia datang kepada kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta diajari agama Islam dengan mengucapkan, “Wahai Utusan Allah, berilah aku petunjuk.” [2]

Saat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bermuka masam dan berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu itu setidaknya karena tiga alasan:

Pertama: Beliau sedang sibuk mendakwahi pembesar kafir suku Quraisy yang diharapkan mereka masuk ke dalam agama Islam. Sehingga, akan masuk Islam pula para pengikutnya. Karena, waktu itu pembesar kafir tersebut menyatakan dirinya tidak membenci tauhid dan agama Islam [3], sehingga ada harapan dia masuk Islam, dan demikian pula para pengikutnya.

Kedua: Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beralih memberi perhatian kepada Abdullah bin Ummi Maktum, pria buta yang menurut pandangan pembesar kafir tersebut adalah orang yang rendah derajatnya, dikhawatirkan ia merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena memberi perhatian kepada orang yang menurut pandangan mereka rendah derajatnya daripada memberi perhatian kepada mereka lebih dahulu. Padahal dari sikap pembesar kafir tersebut, ada harapan ia masuk Islam.

Ketiga: Pembesar kafir suku Quraisy yang didakwahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu sama-sama belum masuk Islam. Seandainya Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu sudah masuk Islam ketika itu, tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpaling darinya dan ia akan disebut dalam ayat di atas dengan sebutan mukmin atau semisalnya dan bukan sebutan orang yang buta. Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu masuk Islam setelah turunnya ayat tersebut. [4]

Sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah ijtihad dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sama sekali bukanlah maksud beliau merendahkan Abdullah bin Ummi Maktum. Karena tujuan beliau berdakwah adalah menyebarkan agama Islam ini demi meraih rida Allah semata, bukan pujian, harta, jabatan, dan status sosial. Sehingga, beliau tidak mendakwahi orang karena ingin dapat harta, jabatan, atau tujuan duniawi lainnya.

Tarbiyah Allah untuk utusan-Nya yang paling mulia ini mengandung pelajaran besar bahwa Allah mengajarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam metode dakwah yang paling baik dengan mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar, yaitu dengan mendahulukan mad’u (jemaah/audien) yang semangat mengetahui ajaran Islam, ingin membersihkan diri dari dosa dan takut kepada Allah, daripada jemaah yang tidak semangat dalam mengetahui ajaran Islam dan tidak bersegera dalam memperolehnya.

Selain itu, Allah hendak menambah kesempurnaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam dalam menghadapi orang buta yang tidak bisa melihat beliau, namun semangat ingin mendapatkan petunjuk Allah. Di samping itu juga, tarbiyah rabbani ini merupakan pelajaran bagi umat beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, khususnya para da’i, dan keseluruhan umat Islam pada umumnya.

Tarbiyah Allah kepada Nabi Adam dan Rasulullah Ibrahim ‘alaihimas salam [5]

Cemburu atau Al-Ghairah adalah salah satu dari sifat Allah Ta’ala. Sifat cemburu Allah ini disebutkan dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللَّهِ: أَنْ يَأْتِيَ الْعَبْدُ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah cemburu, dan sesungguhnya seorang mukmin cemburu (juga). Sedangkan cemburu Allah itu (ada saat) seorang hamba melakukan perkara yang diharamkan atasnya.”

Jadi, maksud cemburu Allah kepada hamba-Nya adalah Allah tidak menjadikannya menghamba kepada makhluk. Namun, Allah hanya menjadikannya sebagai hamba-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan cemburu Allah itu ada pada saat seorang hamba melakukan perkara yang diharamkan atasnya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa di antara bentuk cemburu Allah adalah cemburu-Nya kepada hamba-Nya yang dicintai-Nya, yaitu Adam ‘alaihis salam, saat kelezatan surga mengisi relung hatinya dengan kuat dan beliau begitu semangatnya tinggal kekal di dalamnya, maka Allah pun mengeluarkannya dari surga.

Tarbiyah Allah untuk Nabi Adam ‘alaihis salam itu dalam bentuk Allah membiarkan Nabi Adam ‘alaihis salam berbuat dosa, sehingga Allah keluarkan beliau dari surga, agar ibadah cintanya kepada Allah tetap terjaga dan steril dari semua kotoran.

Demikian pula, tatkala kecintaan yang besar kepada Isma’il telah masuk ke dalam hati salah satu dari hamba yang paling dicintai-Nya, yaitu Khalilullah Ibrahim ‘alahis salam, maka Allah pun memerintahkan beliau untuk menyembelihnya. Sehingga keluar dari hatinya rasa cinta kepada selain Allah Ta’ala tersebut. Karena jika tidak, cinta tersebut berpotensi mendominasi dan mengotori kecintaannya kepada Allah.

Semua itu karena Allah Ta’ala tidak rida hati hamba yang dicintai-Nya berpaling kepada selain-Nya. Karena Allah mencintai tauhid dan tidak rida terhadap syirik, serta agar ibadah cinta, takut, dan harap tetap dan terus untuk Allah semata, tidak mendua dalam hati hamba-Nya.

Tarbiyah Allah ini pun juga melahirkan sikap bersegera kepada keridaan Allah dengan lebih baik sampai mencapai derajat tauhid dan iman yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sebagaimana hal ini terbukti pada diri Nabi Adam ‘alaihis salam saat terjatuh dalam maksiat. Allah berfirman dalam ayat ke-121 surah Tha-Ha,

فَاَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۚ وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى

“Kemudian keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga. Dan Adam telah bermaksiat kepada Tuhannya, maka tersesatlah dia (dari jalan kebenaran).”

Namun, justru itu menjadi pelajaran besar bagi beliau untuk bertobat dan memperbaiki diri. Allah pun dalam ayat setelahnya (ayat ke-122) berfirman,

ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى

“Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.”

Jadilah Adam ‘alaihis salam sebagai hamba yang Allah pilih sebagai nabi-Nya. Allah terima tobatnya dan Allah sempurnakan hidayah-Nya untuknya dan sempurnakan pula keimanannya, setelah sebelumnya disebut bermaksiat dan tersesat dari jalan kebenaran. [6]

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74832-penjelasan-nama-allah-ar-rabb-bag-2.html

Penjelasan Nama Allah “Ar-Rabb” (Bag. 1)

Penjelasan Nama Allah “الربّ”

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Makna “الربّ”

Makna bahasa “الربّ”

Kata الربّdalam bahasa Arab merupakan sifat musyabbahah [1] dengan wazan فَعْلٌ , atau mashdar, sedangkan kata kerjanya adalah

ربَّ يربُّ ربوبية atau ربَّى  يربِّي تربية

Jika dibawakan pada ربَّ يربُّ ربوبية , maka maknanya ada dua, yaitu “memiliki” (ملك) atau “men-tarbiyyah” (ربَّى). Dan yang paling kuat adalah makna men-tarbiyyah/memelihara (ربَّى). Dengan demikian, رَبٌّ  maknanya adalah مُرَبٍّ. Karena maksud “Ar-Rabb” sebagai nama Allah adalah Yang mengatur makhluk dan mengurus urusannya serta menyampaikannya kepada kesempurnaannya. [2]

Ar-Raghib rahimahullah berkata dalam Al-Mufradat (hal. 184),

الربُّ في الأصلِ التربيةُ، وهو إنشاءُ الشَّيءِ حالًا فحالًا إلى حدِّ التَّمامِ

“Ar-Rabb aslinya adalah (dari mashdar) at-tarbiyyah, yaitu menyusun sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan yang lainnya sampai sempurna.”

Ahli tafsir lainnya menjelaskan bahwa tarbiyyah adalah,

التَّرْبِيَةُ تَبْلِيغُ الشَّيْءِ إلى كَمالِهِ تَدْرِيجًا

“Menyampaikan sesuatu kepada kesempurnaan secara bertahap.” [3]

Dengan demikian, “Rabb” secara bahasa adalah yang men-tarbiyyah (memelihara) sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan lainnya sampai sempurna.

Makna “الربّ” sebagai nama Allah Ta’ala

Dalam mendefinisikan “الربّ” sebagai nama Allah, di antara ulama ada yang mendefinisikan dengan tiga atau empat makna, sedangkan makna-makna yang lainnya kembali kepadanya.

Misalnya, Ibnul Anbari, Az-Zujjaaji, Al-Khaththabi, Al-Qurthubi, dan Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahumullah termasuk para ulama yang mencukupkan definisinya dengan tiga makna. Sedangkan sebagian ulama lainnya, seperti Ibnul Atsir rahimahullah mencukupkan definisinya dengan empat makna.

Syekh Abdur Razzaq hafizhahullah berkata,

الرب: ذو الربوبية على خلقه اجمعين خلقا وملكا وتصرفا وتدبيرا

“Ar-Rabb adalah Yang memiliki rububiyyah atas seluruh makhluk-Nya, dengan menciptakannya, memilikinya, berbuat atasnya (sesuai kehendak-Nya) serta mengaturnya.” [4]

Syekh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

الرب، هو المربي جميع العالمين -وهم من سوى الله- بخلقه إياهم، وإعداده لهم الآلات، وإنعامه عليهم بالنعم العظيمة، التي لو فقدوها، لم يمكن لهم البقاء

“Ar-Rabb adalah Yang mentarbiyyah (memelihara) seluruh alam semesta (makhluk) dengan menciptakan mereka, mempersiapkan berbagai sarana untuk mereka, memberi nikmat kepada mereka dengan nikmat yang besar, yang seandainya mereka tidak mendapatkannya, maka mereka tidak mungkin bisa hidup.” [5]

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah berkata,

الرب هو من اجتمع فيه ثلاثة أوصاف: الخلق، والملك، والتدبير؛ فهو الخالق، المالك لكل شيء، المدبر لجميع الأمور

“Ar-Rabb adalah Yang terkumpul tiga sifat padanya: penciptaan, kepemilikan, dan pengaturan. Jadi, Ar-Rabb adalah Yang Mahamenciptakan, Yang Mahamemiliki segala sesuatu, dan Yang Mengatur segala urusan.” [6]

Semua definisi ini tidaklah saling bertentangan, karena “الربّ” adalah nama Allah yang menunjukkan kepada sejumlah makna, bukan hanya satu makna. Bahkan jika disebutkan nama “الربّ” sendirian, hal itu menunjukkan kepada seluruh nama Allah dan sifat-Nya yang lainnya, seperti yang akan datang penjelasannya, insyaAllah.

Sifat Allah yang terkandung dalam nama “الربّ”

Dalam nama الربّterkandung sifat rububiyyah. Apakah sifat rububiyyah ini termasuk sifat dzatiyyah (sifat yang senantiasa Allah bersifat dengannya) atau sifat fi’liyyah (sifat yang terkait dengan kehendak Allah) ?

Jawabannya adalah karena nama الربّ menunjukkan kepada seluruh nama Allah dan sifat-Nya yang lainnya, maka sifat rububiyyah, ditinjau dari sisi mengandung makna tarbiyyah (yaitu penciptaan, pengaturan, pemberian nikmat, dan semisalnya), maka sifat rububiyyah merupakan sifat fi’liyyah.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi bahwa sifat rububiyyah mengandung makna memiliki, menguasai, lagi ditaati (kandungan makna sayyid ), dan semisalnya, maka sifat rububiyyah merupakan sifat dzatiyyah. [7]

Nama “الربّ” dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Nama الربّsangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an Al-Karim, baik disebutkan sendirian maupun disandarkan kepada selain-Nya. Yang disebutkan sendirian sejumlah 151 kali, sedangkan yang disebutkan dengan disandarkan sejumlah lebih dari 130 kali. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ

Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.’” (QS. Saba’: 15)

سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

“(Kepada mereka dikatakan), ‘Salam’; sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Yasin: 58)

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Fatihah: 2)

اِذْ قَالَ لَهٗ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْۙ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

“(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab, ‘Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-Baqarah: 131)

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162)

قُلْ اَغَيْرَ اللّٰهِ اَبْغِيْ رَبًّا وَّهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍۗ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ اِلَّا عَلَيْهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali. Dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.’” (QS. Al-An’am: 164)

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-A’raf: 54)

لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُ ۗرَبُّكُمْ وَرَبُّ اٰبَاۤىِٕكُمُ الْاَوَّلِيْنَ

“Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu dahulu.” (QS. Ad-Dukhan: 8)

رَبُّ الْمَشْرِقَيْنِ وَرَبُّ الْمَغْرِبَيْنِ

“Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat.” (QS. Ar-Rahman: 17)

وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam. (QS. At-Takwir: 29)

Dari hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ

“Adapun pada saat ruku’, maka agungkanlah Ar-Rabb ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أقربُ ما يكونُ الربُّ من العبدِ في جوفِ الليلِ الآخرِ فإِنِ استطعْتَ أن تكونَ ممن يذكرُ اللهَ في تلْكَ الساعَةِ فكُنْ

“Paling dekatnya Ar-Rabb dengan hamba adalah pada tengah malam terakhir. Jika Engkau mampu menjadi orang yang berzikir kepada Allah di saat itu, maka jadilah orang tersebut!” (HR. At-Tirmidzi, sahih)

Kekhususan nama “الربّ”

Di antara kekhususan nama “الربّ” adalah:

Ketika nama “الربّ” disebutkan sendirian, hal itu menunjukkan seluruh nama Allah Ta’ala yang lainnya

“الربّ” adalah nama Allah yang menunjukkan kepada sejumlah makna, bukan hanya satu makna. Bahkan jika disebutkan nama “الربّ” sendirian, maka menunjukkan kepada seluruh nama Allah dan sifat-Nya yang lainnya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hal ini [8]:

إن الرب هو القادر ، الخالق ، البارئ ، المصور ، الحي القيوم ، العليم ، السميع البصير ، المحسن ، المنعم الجواد ، المعطي المانع ، الضار النافع ، المقدم المؤخر الذي يضل من يشاء ويهدي من يشاء ، ويسعد من يشاء ويشقي من يشاء ، ويعز من يشاء ويذل من يشاء
~ إلى غير ذلك من معاني ربوبيته ، التي له منها ما يستحقه من الأسماء الحسنى

“Sesungguhnya Ar-Rabb adalah Al-Qodiir (Yang Mahakuasa), Al-Khaliq (Yang Mahamenciptakan), Al-Bari’ (Yang Mahamengadakan), Al-Mushawwir (Yang Membentuk rupa), Al-Hayyu (Yang Mahahidup), Al-Qoyyuum (Yang Mahamandiri dan mengurus segala sesuatu), Al-‘Aliim (Yang Mahamengetahui), As-Samii’ (Yang Mahamendengar), Al-Bashiir (Yang Mahamelihat), Al-Muhsin (Yang Mahaberbuat Baik), Al-Mun’im (Yang Mahamemberi nikmat), Al-Jawwaad (Yang Mahadermawan), Al-Mu’thi (Yang Mahamemberi), Al-Maani’ (Yang Mahamencegah), Adh-Dhaar (Yang Mahamenimpakan mudharat), An-Nafi’ (Yang Memberi manfaat), Al-Muqoddim (Yang Mahamendahulukan) lagi Al-Muakhkhir (Yang Mahamengakhirkan), Yang menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya, membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, menyengsarakan siapa yang dikehendaki-Nya, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya, menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, dan selainnya dari makna-makna rububiyyah-Nya, yang hanya milik Ar-Rabblah dari seluruh nama-nama terindah yang berhak dimiliki-Nya.”

Jika nama “الربّ” disebutkan tanpa disandarkan kepada kata yang lainnya, maka hanya untuk Allah semata

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya berkata,

ولا يُستعملُ الربُّ لغيرِ اللهِ، بل بالإضافةِ، تقولُ: رَبُّ الدارِ، رَبُّ كذا، وأما الربُّ فلا يُقال إلا للهِ عز وجل

Kata “الربّ” tidaklah digunakan untuk selain Allah. Namun (jika harus digunakan untuk selain Allah), maka dengan disandarkan kepada kata lainnya. Contoh: rabbud daar (pemilik  rumah), rabbu kadza (pemilik sesuatu). Adapun jika disebut “الربّ” saja, maka tidak disebutkan, kecuali untuk Allah “Azza wa Jalla semata.”

Ibnul Atsiir rahimahullah berkata,

ولا يُطلقُ غيرَ مضافٍ إلا على اللهِ تعالى، وإذا أُطْلِقَ على غيرِهِ أُضيفَ، فيقال: رَبُّ كذا

“Tidaklah (الربّ) disebutkan tanpa disandarkan ke kata lain, kecuali untuk Allah Ta’ala. Dan jika disebutkan untuk selain-Nya, maka harus disandarkan, sehingga disebut: rabbu kadza (pemilik sesuatu).” (An-Nihayah, 1: 179) [9]

Al-Baghawi rahimahullah berkata,

وَلَا يُقَالُ لِلْمَخْلُوقِ هُوَ الرَّبُّ مُعَرَّفًا إِنَّمَا يُقَالُ رَبُّ كَذَا مُضَافًا، لِأَنَّ الْأَلِفَ وَاللَّامَ لِلتَّعْمِيمِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُ الْكُلَّ

Kata “الربّ” tidaklah digunakan untuk makhluk, yaitu kata “الربّ” yang beralif lam ta’rif. Hanya saja, jika penyebutan untuk makhluk, maka disebutkan rabbu kadza (pemilik sesuatu), dengan disandarkan kepada kata lainnya. Karena alif lam itu menunjukkan makna umum, sedangkan makhluk tidaklah memiliki semua makna “الربّ”.

Sebagai kesimpulan, tidaklah disebut “الربّ” dengan beralif lam (tidak disandarkan kepada kata lain), kecuali untuk Allah Ta’ala saja.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74830-penjelasan-nama-allah-ar-rabb-bag-1.html