Penyimpangan kepercayaan terhadap iman
Berbicara mengenai kelompok manusia yang menyimpang dari sudut pandang sikap mereka terhadap suatu kepercayaan, maka secara umum terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: ateisme dan agnostik.
Pertama, ateisme/ الإلحاد secara istilah adalah pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan (Rabb), baik dari sisi nama-nama maupun sifat-sifat Allah[1]. Mereka hanya meyakini hal-hal yang bersifat materiil yang dapat dirasakan oleh pancaindra saja. Adapun hal-hal yang bersifat gaib, mereka mengingkarinya.
Kelompok ateis ini benar-benar mengingkari rububiyyah Allah Ta’ala. Mereka tidak meyakini bahwa ada Zat Yang Maha Mengatur segala hal yang terjadi pada alam semesta. Mereka tidak merasa diciptakan. Mereka telah jauh dari fitrahnya sebagai seorang makhluk yang lemah. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-Rum: 30)
Apabila kita perhatikan sejenak, mereka seakan hanyut dengan anggapan dan ketergantungan yang berlebihan terhadap akal dan logika, serta keilmuan duniawi yang mereka miliki. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang memaksakan pemahaman ateisnya hanya untuk menunjukkan eksistensi diri di hadapan manusia. Padahal, mereka justru sebenarnya meyakini keberadaan Allah Ta’ala.
Banyak kisah yang menggambarkan betapa nurani seorang ateis membutuhkan pertolongan Allah Yang Maha Esa dalam kondisi-kondisi sulit. Seperti bencana alam tsunami, banjir, erupsi gunung merapi, gempa, dan angin kencang. Tanyakan pada mereka dengan jujur ketika menghadapi bencana itu. Apa yang mereka pikirkan dan kepada siapa mereka hendak meminta pertolongan saat tiada manusia yang mampu menolong karena semuanya sibuk menyelamatkan diri masing-masing?
Itu hanyalah gambaran kecil dari kehidupan akhirat kelak, di mana yang hanya dapat membantu kita adalah rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Bagaimana pula rahmat dan kasih sayang tersebut dapat diperoleh jika selama hidup di dunia tidak meyakini keberadaan Allah Ta’ala?
Kedua, agnostik/اللاأدرية. Yaitu kelompok sofis (orang yang suka menggunakan alasan (argumen) yang muluk-muluk, tetapi menyesatkan) yang dikatakan berhenti pada keberadaan dan pengetahuan tentang segala sesuatu, termasuk Tuhan[2]. Sebagian mereka meyakini eksistensi Tuhan, tapi mereka tidak melaksanakan ritual ibadah apapun yang mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jika ditelisik lebih dalam, melalui berbagai sumber baik di media sosial ataupun media cetak, kita dapat memperhatikan bagaimana kelompok agnostik ini menjalani kehidupan spiritualnya. Mereka menganggap bahwa akal tidak dapat menembus pengetahuan tentang keberadaan Tuhan. Menurut mereka, ada atau tidak adanya Tuhan adalah sesuatu hal yang tidak dapat diketahui.
Sungguh sebuah pemahaman yang memaksakan akal dan sisi keilmiahan yang sebenarnya tidak ilmiah. Padahal, apabila mereka melihat dari sisi mereka sendiri yang kini hidup dan berpijak di atas bumi Allah Ta’ala, berada di bawah langit-Nya, serta dikelilingi alam semesta (yang luasnya hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir), niscaya mereka kembali menggunakan akal dan pikiran sehat mereka untuk merenungi keberadaan Allah Ta’ala, berikut dengan tujuan penciptaan alam semesta tempat mereka berada.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ما الكرسيُّ في العرشِ إلا كحلقةٍ من حديدٍ أُلقِيَتْ بين ظهري فلاةٍ من الأرضِ
“Kursi itu berada di ‘arsy, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dicampakkan di tengah padang pasir.” (HR. At-Thabrani, No 5794)[3]
Tentang menyikapi rukun iman yang keenam
Apabila kita telusuri lebih dalam terhadap rukun iman yang enam, tidak banyak pengingkaran atau perselisihan dalam pemahaman kepada rukun iman kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Artinya, iman kepada Allah, kepada malaikat, kepada para rasul, kepada kitab, dan kepada hari kiamat merupakan persoalan yang tidak begitu mendapatkan pertentangan oleh sebagian manusia, meskipun tetap saja ada yang keliru dalam pemahamannya.
Namun, apabila berbicara tentang rukun iman yang keenam, yaitu iman kepada takdir, maka terdapat beberapa kelompok manusia yang saling bertentangan dalam pemahaman terhadap takdir. Banyak dalil yang menyebutkan tentang takdir dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan tuntunan kepada kita tentang bagaimana pemahaman yang benar mengenai takdir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tatkala ditanya oleh Jibril ‘alaihis salam tentang iman, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
أن تؤمِنَ باللهِ، وملائِكَتِه، وكُتُبِه، ورُسُلِه، واليَومِ الآخِرِ، وتُؤمِنَ بالقَدَرِ خَيرِه وشَرِّه
“(Iman yaitu) engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir baik maupun (takdir) buruk.” (HR. Muslim no. 8, dari Umar ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu)
Oleh karenanya, penting pula bagi kita untuk mengenali pemahaman yang menyimpang terhadap pemahaman yang benar tentang takdir. Maka, terdapat dua kelompok besar manusia yang keliru dalam pemahaman mereka terhadap takdir, yaitu: Qadariyyah dan Jabariyyah.
Pertama, Qadariyyah. Merupakan kelompok yang mengingkari takdir (ketetapan) Allah dan meyakini bahwa manusia memiliki kekuatan yang menciptakan perbuatan dengan keunikan dan kemandiriannya tanpa Tuhan Yang Maha Esa[4]. Sungguh pemahaman yang sangat keliru. Mereka sangat percaya diri dengan logika berpikir mereka sendiri dan mengingkari keterbatasannya.
Padahal, sungguh kemampuan berpikir manusia sangatlah terbatas. Manusia sungguh sangat lemah dalam segala hal. Hanya saja, kesombongan diri terkadang menguasai sehingga tingkah laku keangkuhan memegang peranan besar yang menyebabkannya lupa diri, bahkan ingkar terhadap keberadaan Tuhan yang menciptakannya.
Allah Ta’ala berfirman menggambarkan sifat angkuh manusia yang ada pada Qarun,
اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ
“(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.’” (QS. Al-Qasas: 76)
Kedua, Jabariyyah. Kelompok yang berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kemauan, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengupayakan kebaikan atau kekuatan. Mereka terpaksa oleh takdir karena tidak memiliki kemampuan untuk memilih dan berusaha untuk takdirnya[5].
Dampak dari keyakinan keliru ini adalah keengganan mereka untuk berikhtiar dalam rangka mendapatkan kebaikan dunia maupun akhiratnya. Mereka keliru dalam memahami takdir, memasrahkan segalanya terjadi tanpa berupaya untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya. Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk senantiasa berikhtiar mendapatkan keridaan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad: 11)
Kaidah-kaidah dalam memahami takdir
Tidak berandai-andai
Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُل:ْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“…Jika sesuatu menimpamu, maka janganlah mengatakan, ‘Seandainya aku melakukannya, niscaya akan demikian dan demikian.’ Tetapi ucapkanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan Allah, dan apa yang dikehendakinya pasti terjadi… .’” (HR. Muslim no. 2664 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)[6]
Sikap seorang yang beriman terhadap segala hal yang telah terjadi bukanlah dengan berandai-andai apabila hal tersebut tidak terjadi. Ini menunjukkan dangkalnya keimanan terhadap apa yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Iman kepada takdir adalah iman terhadap kemahabesaran Allah dan bahwasanya Allah Ta’ala melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya dan dengan segala hikmah yang terkandung di dalamnya.
Semua telah Allah Ta’ala tetapkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Dalam hadis lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin adalah qalam (pena), kemudian Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Pena berkata, ‘Apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya.’” (HR. Tirmidzi no. 2155. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)
Allah Ta’ala telah menetapkan segala hal yang terjadi pada alam semesta ini. Mulai dari hal yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Kita wajib meyakini hal ini dengan haqqul yaqin dengan tanpa mengesampingkan pengetahuan bahwa segala yang telah Allah Ta’ala tetapkan mengandung hikmah yang dapat kita petik untuk kebaikan kehidupan kita di masa yang akan datang. Keyakinan tersebut juga harus disertai dengan ikhtiar yang maksimal untuk meraih keridaan Allah Ta’ala di setiap waktu.
Memahami maksud ketetapan Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)
Perhatikanlah! Orang yang mengerti dan memahami bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan segala hal yang terjadi dalam lauh mahfudz, maka akan menjadi hamba Allah yang lebih bijak dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Apabila ia ditimpa cobaan, ia tidak larut dalam duka karena pemahamannya tentang takdir Allah. Sedangkan apabila ia mendapatkan nikmat, ia tidak berbangga diri karena pemahaman yang benar tentang rukun iman yang ke-6.
Apa yang telah ditetapkan Allah tidak akan keliru
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“Hendaklah engkau tahu bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput darimu. Dan segala sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, pasti tidak akan menimpamu.” (HR. Ahmad 5: 185. Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini qawiy (kuat))
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa segala hal yang telah Allah Ta’ala tetapkan tersebut wajib kita yakini bahwa banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, hadis di atas menggambarkan kemahaadilan Allah Ta’ala terhadap apa yang telah ditetapkan-Nya. Karena segala hal yang menjadi takdir kita (baik berupa kenikmatan maupun ujian/cobaan), tidak akan pernah meleset dari kehidupan kita. Begitu pula sebaliknya. Subhanallah!
Maksud dari pemahaman menyimpang
Saudaraku, memahami lebih jauh maksud dari penyimpangan-penyimpangan manusia terhadap rukun iman, maka akan kita dapati bahwa sebagian besar mereka justru hanya menginginkan kebebasan dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.
Kebebasan yang mereka sendiri tetapkan definisinya. Bebas melakukan segala hal, baik secara fisik maupun nonfisik. Padahal, disadari atau tidak, kebebasan tersebut sebenarnya merupakan belenggu dari hawa nafsu mereka sendiri. Mereka berpikir berdasarkan logika dan hawa nafsu, sehingga meskipun mereka menganggap bahwa mereka telah meraih kebebasan dalam berpikir dan bertingkah laku, sesungguhnya merekalah yang terikat dan terbelenggu.
Sebaliknya, orang yang beriman dan memahami rukun iman dengan benar sebagaimana pemahaman yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan praktik yang dicontohkan oleh para generasi terbaik, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, maka itulah kebebasan sejati. Bebas menjadi hamba Allah Ta’ala dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebebasan yang membawa seorang hamba menuju keridaan dan jannah-Nya Allah Ta’ala.
Wallahua’lam
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Catatan kaki:
[1] Lihat kitab Syarah Qawaidul Saba min Al-Kitab At-Tadmuriyah, karya Syekh Yusuf Al-Ghafish, hal. 13.
[2] Lihat kitab Takmilatul Ma’ajim Al-Arabiyah, karya Reinhart Dozy, hal. 188.
[3] Lihat kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah, karya Ibnu Katsir, 1: 11.
[4] Lihat kitab Majallatu Al-Buhuts Al-Islamiyyah, hal. 235.
[5] Lihat kitab Mujmal Ushul Ahli As Sunnah, karya Nashir Al-‘Aql, hal. 21.
[6] Lihat kitab Majmu Al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, 8: 73.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85175-penyimpangan-terhadap-iman-dan-takdir.html