Berikut ini penjelasan terkait peristiwa mihnah membuktikan dampak buruk negara teokrasi. Pasalnya, angan-angan mendirikan negara khilafah dengan menjadikan Islam sebagai satu-satunya dasar negara dan ideologi hanyalah semu. Bukan berarti Islam adalah agama yang buruk.
Namun jika penerapannya dipaksakan untuk menjadi dasar negara, maka dampak buruknya jauh lebih banyak. Karena justru, agama malah seringkali menjadi pembenaran dari kekerasan dan diskriminasi bagi kaum lain. Salah satunya adalah peristiwa Mihnah yang menunjukkan dampak buruk negara teokrasi.
Peristiwa Mihnah Usai Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan Rasulullah sebagai kepala negara saat itu beralih kepada beberapa sahabatnya. Adapun terpilihnya mereka tidak melalui proses yang sama karena adanya dinamika setelah itu.
Begitu juga ketetapan hukum yang berlaku kadangkala berubah, menyesuaikan dengan kondisi sosial dan kemaslahatan pada saat itu. Meski tetap berlandaskan nilai-nilai Alquran dan Hadis berupa keadilan, kemanusiaan, dan cinta. Keempat sahabat yang memegang tampuk kekuasaan pasca Rasulullah wafat disebut Khulafaur Rasyidin.
Adapun setelah empat sahabat tersebut, pemerintahan Islam terpecah menjadi beberapa dinasti. Mula-mula hanya terdiri dua Dinasti yaitu Umayyah dan Abassiyah. Tapi seiring meluasnya wilayah Islam sekaligus konflik-konflik politik, pemerintahan Islam terbagi-bagi menjadi dinasti-dinasti kecil.
Dalam sejarahnya, dinasti-dinasti tersebut memberi keuntungan penyebaran Islam ke berbagai penjuru. Bahkan beberapa negara Eropa pernah dikuasai oleh Islam yang juga turut membangun peradaban di sana. Namun keniscayaan di bumi tentu berlangsung, saat suatu peradaban maju, ada yang tertinggal. Semua hanya menunggu giliran.
Di balik majunya peradaban dan keilmuan di bawah naungan dinasti-dinasti itu, ada kisah kelam yang tak banyak diceritakan. Kisah-kisah penyiksaan bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah kepada para ilmuwan dan ulama karena memaksakan satu ideologi tertentu yang mereka yakini kebenarannya.
Sejarah harus jujur mengungkapkan bahwa beberapa ilmuwan muslim dan ulama yang kini karyanya masih kita pelajari, tersiksa dan wafat dengan cara yang tragis. Peristiwa itu disebut Mihnah yang mengacu pada periode penyiksaan ilmuwan muslim dan ulama.
Salah satu contohnya adalah penyiksaan yang dialami oleh Imam Bukhari karena dipaksa untuk menerima konsep kemakhlukan Alquran yang dianut oleh Mu’tazilah. (Baca: Tujuh Ulama yang Dipenjara Era Khalifah Islamiyah).
Dikutip dari buku “Al-Bukhari dan Metode Kritik Hadis” karya Mohammad Nabiel yang merujuk kitab-kitab sejarah diceritakan beberapa penganiayaan dan pembunuhan terhadap para ilmuwan muslim yang dilakukan oleh Khalifah al-Ma’mun dan dilanggengkan oleh khalifah-khalifah berikutnya.
Ia menjunjung teologi Mu’tazilah dan memaksakannya pada setiap penduduk di wilayah kekuasaannya. Kisah serupa juga dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Ia dipenjara selama 18 bulan oleh al-Ma’mun yang saat itu menjabat sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah.
Saat itu, ia menganut paham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk. Siapapun yang berhaluan dari paham tersebut akan mendapat tindakan penyiksaan, dan salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Begitu juga ulama hadis, Imam Nasa’i (w. 303 H) yang mendapatkan penyiksaan sampai ia wafat karena menolak untuk memuji Muawiyah dan menolak memberi pembenaran atas suatu kebijakan politik tertentu.
Imam Syafi’i, seorang pakar fikih yang melahirkan mazhab Syafi’iyah hingga diikuti banyak muslim terutama di wilayah Asia Tenggara, juga menolak paham Mu’tazilah hingga akhirnya ia memutuskan pindah ke Mesir.
Pada saat itu, merujuk pada karya Kyai Mustofa Ali Ya’qub yang berjudul “Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis”, Imam Syafii sempat ditanya oleh utusan Khalifah al-Ma’mun tentang pendapatnya mengenai kemakhlukan Alquran. Imam Syafi’i lalu mengangkat jari telunjuknya dan mengatakan, “ini makhluk!” untuk mengecoh mereka agar bisa melarikan diri ke Mesir.
Sayf al-Din al-Amidi (w. 631 H), seorang ahli fikih bermazhab Hanbali dituduh melakukan bid’ah akibat fitnah dan kedengkian kepadanya. Imam al-Baydhawi (w. 685 H), seorang kami bermazhab Syafi’i mendapat banyak penderitaan karena dituduh menganut ajaran Syi’ah.
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah (w. 751 H) beserta gurunya, Ibnu Taimiyah (w. 728 H), dipenjara dan disiksa karena menolak untuk mengeluarkan fatwa yang dipesan oleh pemerintah saat itu. Masih terus karena periode mihnah yang disebabkan oleh kuatnya ideologi Mu’tazilah, Imam al-Subki (w. 771 H) yang menjadi hakim agung di Suriah dipenjara dan disiksa karena dituduh melakukan bid’ah.
Demikian kisah penyiksaan ulama atau yang disebut periode Mihnah. Peristiwa Mihnah menunjukkan bahwa memaksakan ideologi tertentu pada suatu pemerintahan dan menjadikannya dasar negara justru akan memecah belah persatuan masyarakat. Ini diakibatkan oleh keyakinan pada kebenaran yang dianggap tunggal.’