Saat Perkembangan Islam Berjalan Paling Pesat

Dalam 30 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di seluruh dunia telah meningkat pesat. Data statistik yang dikeluarkan Pew Research Center, menunjukkan, pada 1973 penduduk Muslim dunia sekitar 500 juta jiwa. Namun, saat ini jumlahnya naik sekitar 300 persen menjadi 1,57 miliar jiwa. Tercatat, satu dari empat penduduk dunia beragama Islam.

Dalam studinya yang berjudul ‘Memetakan Populasi Muslim Global: Sebuah Laporan Tentang Jumlah dan Distribusi Populasi Muslim Dunia’, Pew Research Center ini mengindikasikan bahwa seperlima kaum Muslim (300 juta) tinggal di negara-negara non-Muslim. Populasi Muslim minoritas di sana sering kali cukup besar.

Hasil studi yang dirilis awal Oktober 2009 ini juga menemukan bahwa Eropa memiliki sedikitnya 38 juta Muslim yang membentuk lima persen dari total populasi benua tersebut. Sebagian besar terkonsentrasi di Eropa Tengah dan Timur. Rusia memiliki lebih dari 20 juta Muslim, dan terbesar di Eropa. Menurut studi tersebut, Jerman memiliki pemeluk Muslim sebanyak 4,5 juta, Prancis sebesar 3,5 juta jiwa, Inggris sekitar dua juta orang, dan Italia sebanyak 1,3 juta jiwa. Sisanya tersebar di beberapa negara Eropa lainnya seperti Portugal, Swedia, Belanda, dan Swiss.

Namun demikian, jumlah ini diperkirakan bertambah lagi. Sebab, sebuah hasil studi di Rusia menyebutkan, jumlah pemeluk Islam di negara Beruang Merah tersebut mencapai 25 juta jiwa, atau sekitar 18 persen dari total populasi yang mencapai 145 juta jiwa. Studi tersebut mengatakan bahwa hampir 4,6 juta Muslim berada di Benua Amerika.

Di negara super power, Amerika Serikat, agama Islam dipeluk oleh sekitar 2,5 juta orang. Bahkan, di lokasi sekitar reruntuhan World Trade Center (WTC) itu akan di bangun sebuah Masjid. Sementara itu, di Kanada jumlah pemeluk Islam mencapai 700 ribu orang.

Tak jauh berbeda dengan Argentina. Umat Islam di negara tersebut mencapai 800 ribu orang, dan merupakan pemeluk Islam terbesar di Amerika Selatan. Sementara itu, di Suriname, pemeluk Islam mencapai 16 persen dari total penduduknya, dan menjadi populasi Muslim terbesar di Benua Amerika. Data yang disampaikan oleh pihak Pew Research Center mengenai populasi Muslim di Barat, terutama di Eropa dan AS itu bertolak belakang dengan perhitungan yang biasanya dilaporkan oleh organisasi-organisasi Muslim di kawasan-kawasan tersebut.

Muslim di AS, misalnya, secara umum diyakini berjumlah lebih dari tujuh juta, sementara Prancis lebih dari enam juta. Peningkatan umat Islam yang demikian pesat itu, karena makin muncul kesadaran bagi warga Eropa dan Amerika untuk mempelajari Islam. Setelah serangan terhadap WTC pada 11 September 2001, ketertarikan secara alamiah, telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam.

“Alhamdulillah, kondisi umat Islam di AS terus bertambah banyak, baik sebelum maupun sesudah peristiwa 11 September 2001,” tutur Mohammad Kudaimi, anggota Nawawi Foundation, sebuah lembaga pendidikan yang berbasis di Chicago, Amerika Serikat (AS). Menurut pria keturunan Suriah ini, dalam lima tahun terakhir ini, agama Islam menjadi agama yang paling cepat perkembangannya di bandingkan dengan agama lainnya.

Ia mengatakan, setiap harinya selalu ada warga negara non-Muslim AS yang memeluk Islam. Kondisi serupa juga terjadi di Benua Eropa dan kawasan Amerika lainnya. Menurut laporan Time, setelah peristiwa 11 September, agama Islam mendapatkan perhatian besar dari kalangan warga kulit putih Inggris yang berekonomi kuat dan berpendidikan.

Pangeran Charles, putra mahkota Inggris, mengungkapkan, prinsip-prinsip yang dianut dalam Islam akan mampu menyelamatkan dunia. “Tidak ada pemisah an antara agama dan lingkungan. Kerusakan manusia dan lingkungan akhir-akhir ini, karena melawan prinsip seperti yang diajarkan Islam,” ujar Charles sebagaimana dikutip Daily Mail, Kamis (10/6). Di Jerman, kendati masih muncul sentimen negatif dan kecurigaan terhadap Islam, namun jumlah pemeluk Islam justru makin meningkat. Mereka sangat terkesan dengan wajah Islam yang sesungguhnya, yakni damai, santun, dan penuh toleransi.

 

REPUBLIKA

Merunut Perjalanan Islam Mewarnai Eropa

Interaksi budaya kerap memicu persentuhan. Ada pertemuan antara budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Demikian pula, persentuhan pemerintahan Islam Turki Usmani dengan Eropa. Di sisi lain, transfer budaya dan peradaban juga muncul dari karya-karya intelektual Muslim yang dipelajari Eropa.

Sultan Mehmed II, penguasa Turki Usmani, menjadi salah satu aktor yang mendorong terjadinya persentuhan budaya dan peradaban itu, khususnya dalam bidang seni. Namun, seorang cendekiawan Barat, Gunsel Renda, melalui tulisannya, The Ottoman Empire and Europe: Cultural Encounters, mengungkapkan, peran sang sultan tak banyak tersingkap.

Selain mengembangkan budaya Islam, Mehmed II juga dikenal sebagai sosok yang tertarik dengan sejarah masa lalu dan budaya Barat. Ketertarikan itu telah sejak belia tertanam di dalam benaknya. “Ia merupakan penguasa Turki Usmani pertama yang menjalin pertalian budaya dengan Barat,” ujar Renda.

Penerimaan terhadap budaya lain dan ilmu pengetahuan, bisa tecermin dari koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Di rak-rak perpustakaannya, bertebaran buku ilmiah yang ditulis dalam beragam bahasa. Buku itu juga sangat beraneka, dari kajian geogarfi, kesehatan, sejarah, hingga filsafat.

Bibel dan karya-karya Yunani klasik menjadi koleksi perpustakaan pribadi Mehmed II itu. Langkah Mehmed II membuka diri menjalin interaksi memicu sejumlah ilmuwan Barat memberikan apresiasi kepadanya. Giorgios Amirutzes dari Trabezond, misalnya, membuat peta dunia untuk sultan dengan menggunakan Geographike karya Ptolemeus.

Di Istana Topkapi, ada salinan Geographike dalam bahasa Latin serta terjemahan buku tersebut dalam bahasa Italia oleh Berlinghieri Fiorentino yang didedikasikan untuk Mehmed II. Pribadi Mehmed II, pandangan politik, dan sikapnya, akhirnya menebarkan citra Turki di dunia seni Eropa.

Sejumlah seniman Eropa membuat potret Mehmed II sebagai bentuk apresiasi. Di sisi lain, ia meminta dibuatkan potret dirinya. Ia pernah meminta bantuan sejumlah seniman melalui penguasa Italia. Costanza da Ferrara menjadi seniman Italia pertama yang datang ke istana Turki Usmani. Ia dikirim oleh Raja Naples, Ferdinand Ferrante II.

Hubungan Turki Usmani-Eropa yang berlangsung selama berabad-abad, terjadi di tengah perkembangan politik dan ekonomi di kedua belah pihak. Dalam bidang perdagangan, karpet Turki juga banyak diimpor oleh Eropa. Bahkan, motif rancangan pada karpet tak jarang mengikuti perkembangan seni, baik di Eropa maupun Turki Usmani.

Dengan latar belakang ini, di antara komunitas Muslim, Turki memiliki hubungan paling dekat dengan Eropa. Hubungan erat tersebut tecermin pula dalam seni dan budaya. Pada abad sebelumnya, pengaruh Muslim di bidang kuliner merambah Eropa dan menjadi rujukan.

Merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa tubuh memiliki haknya yang harus dipenuhi, dokter dan ilmuwan Muslim menyusun sejumlah buku yang terkait dengan makanan sehat. Demikian pula, dengan cara penyajiannya. Misalnya, Ibnu Sa’id alQurtubi pada abad ke-10 dengan karyanya Kitab Khalq al-janin wa Tadbir al-hibala.

Buku ini membahas diet bagi janin dan ibu yang sedang hamil. Lalu, ada Abu Marwan Ibn Zuhr (10921161) dengan karyanya, Al-Taysir fi ‘l-mudawat wa-‘ltadbir Kitab al-Aghdia. Ini merupakan buku tentang nutrisi. Buku yang membahas masakan secara khusus juga banyak jumlahnya.

Di antaranya adalah Kanz al-fawa’id fi tanwi’ almawa’id yang ada di abad ke-10. Penulisnya anonim dan buku ini diperkirakan dari Mesir. Seorang Muslim Spanyol pada abad ke-12 bernama Ibnu Razin Attujibi, menyusun sebuah buku berjudul Fadhalat al-Khiwan fi Atayyibat at-Ta’am wa-‘l-‘Alwan.

Selain itu, terdapat penulis lainnya, yaitu Mohammed al-Baghdadi, cendekiawan dari Irak pada abad ke-13, dengan karyanya Kitab at-Tabikh. Pada abad yang sama, Dawud al-Antaki dari Suriah, meluncurkan buku berjudul Tadhkira. Demikian pula, dengan Ibnu Adim yang juga dari Suriah, memiliki karya Wasla ‘l-habîb fi wasf al-tayyibât wa at-thibb.

Menurut Zohor Idrisi, seorang peneliti di Foundation for Science, Technology, and Civilization, dalam tulisannya The Influence of Islamic Culinary Art on Europe, pada abad ke-13, buku-buku yang disusun oleh dokter dan ilmuwan Muslim itu menarik perhatian, baik para penguasa maupun gereja di Barat. Rasa tertarik itu kian meningkat saat wilayah Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris menjadi pusat studi karya kedokteran Muslim. Tak berhenti sampai di situ, di lingkaran penguasa dan aristokrat Eropa, permintaan makanan yang berasal dari dunia Muslim serta rempah mengalami peningkatan.

Sayangnya, ujar Idrisi, para aristokrat Eropa tak mengindahkan aturan diet dari konsumsi sayuran dan daging. Akibatnya, mereka diserang encok. Masuknya manisan, selai, dan makanan yang diawetkan ke Eropa melahirkan masalah baru lainnya bagi mereka, yaitu konstipasi. Mereka mengabaikan rekomendasi dokter Muslim soal makanan.

Namun, ada pula yang benar-benar mengikuti aturan pola makanan yang termuat dalam buku-buku karya Muslim itu. Di antaranya adalah Ratu Cristina yang mengua sai Denmark, Swedia, dan Norwegia. Ia tak mengalami permasalahan seperti yang dihadapi oleh para penguasa lainnya.

 

REPUBLIKA