Semua Rasul Menyebarkan Islam

Banyak orang yang tidak mengenal Islam secara mendalah terkadang melihatnya sebagai agama yang meniru agama-agama sebelumnya, seperti Nasrani maupun Yahudi. Mereka menganggap Islam adalah agama yang lahir belakangan setelah kedua agama tersebut. Secara kronologis sejarah  anggapan itu bisa dibenarkan. Namun, sejatinya, semua agama samawi yang dibawa oleh ribuan Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam.

Islam bukanlah agama yang baru berdiri pada masa Nabi Muhammad, seperti disalahpahami sebagian orang. Para Nabi itu memang berbeda secara syariat tapi ajaran pokok (agama) mereka tunggal, yang bersumber dari Allah SAW yang berbicara tentang Islam (kepasrahan).

Beberapa kalangan memiliki anggapan bahwa nabi pertama yang membawa Islam adalah nabi Muhammad. Dan nabi terdahulu membawa agama yang berbeda-beda. Mereka beranggapan bahwa Nabi Ibrahim beragama tauhid dan Allah menurunkan kepada Nabi Musa dan Isa agama Yahudi dan Nashrani, bukan agama Islam.

Dalam banyak ayat al-Quran dan hadist dijelaskan bahwa Islam adalah agama semua Nabi dan Rasul. Sebutan agama Yahudi sejatinya bukan sebuah nama agama, tetapi merujuk pada tradisi dan peradaban bangsa Yahudi. Yahudi berasal dari diambil menurut salah satu marga dari dua belas leluhur Suku Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Yehuda ini adalah salah satu dari 12 putera Yakub, seseorang yang hidup sekitar abad 18 SM dan bergelar Israel. Nasrani pun tidak merujuk pada nama agama. Nasrani adalah sebutan untuk para pengikuti Nabi Isa yang diambil dari kata Nazareth nama sebuah kota.

Sementara Islam adalah sebuah ajaran yang berarti sebuah kepasrahan total kepada Allah. Islam disebutkan sebagai sebuah ajaran tentang sikap keberagamaan, tetapi juga ditegaskan sebagai sebuah agama. Allah menegaskan dalam al-Quran bahwa, “Sesungguhnya satu-satunya agama yang diridlai oleh Allah hanyalah Islam” (QS Ali ‘Imran: 19). Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85).

Islam bukan Agama Baru

Agama yang diturunkan oleh Allah sejak awal adalah tentang Islam atau tentang kepasrahan sejati yang menjunjung tinggi nilai tauhid. Jika manusia mau berfikir, sungguh tidak logis, apabila Allah ta’ala menurunkan banyak agama yang berbeda-beda kepada para nabi dan rasulnya, lantas kemudian yang diterima hanya agama Islam. Allah menegaskan Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku (Qs : Al-Anbiya : 25).

Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang sekaligus menutup agama-agama sebelumnya. Artinya Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang telah banyak disimpangkan. Dalam pandangan Islam banyak kalangan Yahudi dan Nasrani melakukan perubahan isi kitab suci dan melakukan penyimpangan atas agama dan kitab suci mereka. Mereka banyak mentahrif, menyembunyikan, serta merubah ayat-ayat yang diturunkan Allah.

Lalu, Allah mengutus Nabi Muhammad bukan untuk membawa ajaran baru. Islam bukan ajaran dan agama baru, tetapi untuk meluruskan kembali cara beragama sesuai dengan agama Allah yang dianggap telah menyimpang. Maka, ditegaskan Muhammad tidak ada perbedaan dengan agama sebelumnya karena bukan agama baru, tetapi meluruskan kembali dan menyempurnakan agama seperti sedia kala.

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud (An-Nisa’: 163).

Mungkinkah Tuhan merevisi ajaran dan agamanya? Allah tidak mengutus untuk merubah ajaran sebelumnya, tetapi meluruskan dan menyempurnakan. Meluruskan karena ada penyimpangan dan perubahan dari ketetapan dan pedoman Tuhan. Menyempurnakan karena sudah tidak ada lagi ajaran setelah diutusnya Rasulullah Muhammad. Dalam al-Quran Allah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3).

Allah Menjamin Kemurnian Islam

Islam sebagai agama yang telah sempurna dengan merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam mencakup akidah atau keyakinan, hukum dan akhlak. Kesempurnaan agama Islam dapat ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya serta etika dan norma sosial kemasyarakatan.

Bagaimana menjamin kesempurnaan Islam? Allah telah memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Quran selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam yang menjadi penghafal al-Quran. Artinya, dengan adanya umat yang mampu hafal al-Quran maka keaslian al-Quran akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.

Al-Quran pertama kali dicetak pada 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Kemudian, Hankelman mencetak al-Quran di Kota Hamburg (Jerman) pada 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. (Tafsir Ilmu Tafsir, 1991: 49). Dan kini al-Quran telah banyak dicetak diberbagai Negara di dunia.

Pemeliharaan dalam keaslian al-Quran tak berhenti disitu. Banyak Negara yang mendirikan lembaga pendidikan yang mengkhususkan untuk mempelajari isi dan makna kandungan al-Quran, serta salah satu materinya adalah menghafal al-Quran.

Bisa disimpulkan bahwa, Islam merupakan agama pertama karena manusia pertama yang lahir dibumi ini ialah Nabi Adam yang menyembah Allah sebegai Tuhannya, dan agama terakhir sebagai penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang telah banyak disimpangkan oleh umat nabi yang ingkar. Selain itu Allah berjanji untuk memelihara kitab suci al-Quran sampai akhir zaman.

ISLAM KAFFAH

Islam, Jihad, dan Peringatan Aksi Bom Thamrin

Kamis, 14 Januari 2016, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Yang melakukan aksi tersebut adalah Jaringan Ansharut Daulah (JAD).

Bom ini terjadi setelah enam tahun masyarakat merasakan ketenangan yang jelas saja menyiratkan pesan bahwa kelompok teroris tidak tinggal diam dan menunggu waktu.

Pelaku dalam peristiwa ini adalah Ahmad Muhazam yang meledakkan diri di kedai kopi Starbucks, Dian Juni Kurniadi yang menyerang pos polisi dekat gedung Sarinah, sedangkan Sunakim dan Muhammad Ali muncul belakangan menuju arah kerumunan massa lalu meledakkan diri setelah beberapa saat baku hantam dengan polisi.

Aman Abdurraham, terdakwa dalam aksi ini, adalah pendiri Jaringan Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Bagi kelompok ini, Islam bukan hanya sekadar agama yang mengajarkan nilai-nilai moral, tetapi juga seperangkat undang-undang yang perlu diterapkan dalam bentuk negara.

Anggota JAD tidak hanya diberikan pemahaman-pemahaman agama yang eksklusif, tetapi mereka juga dilatih secara fisik semacam pelatihan militer untuk siap melakukan aksi-aksi serangan.

Banyak aksi teror yang diinisiasi oleh JAD, antara lain serangan di Mapolres Surakarta, bom molotov di Samarinda, ledakan di Bandung, kerusuhan di Mako Brimob tahun 2018, peristiwa bom Sarinah, dan banyak lagi. Ini semua ulah JAD.

Setelah tujuh tahun berlalu, aksi-aksi terorisme tidak juga berhenti. Para teroris merancang dan menyiapkan berbagai aksi yang siap mengejutkan kita kapan saja. Sepanjang tahun 2021, Datasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88), menangkap setidaknya 370 orang tersangka teroris.

Meskipun agama bukanlah satu-satunya faktor dari aksi pengeboman, tetapi dalam aksi ini ia berperan besar. Para pelaku meyakini betul bahwa mereka adalah Muslim. Sementara itu, dalam Islam, ajaran yang sering digunakan untuk membenarkan aksi keji ini adalah “jihad”.

Secara bahasa, jihad berasal dari kata “mujahadah” yang mempunyai arti “berperang demi menegakkan agama Tuhan.” Dalam kajian sejarah Islam, maknanya tidak tunggal. Jihad bisa juga diartikan dengan menahan diri.

Dalam Al-Qur’an sendiri, kata ja-ha-da berulang sampai 39 kali dengan berbagai makna. Sepuluh di antaranya dalam konteks peperangan. Selebihnya merujuk pada berbagai aktivitas lahir dan batin dalam menerapkan kehendak Allah di muka bumi.

Moralitas luhur, penegakan keadilan, kedamaian, hingga kesejahteraan adalah bagian dari perintah Allah. Membumikan nilai-nilai Islam. Karenanya jihad tidak bisa hanya dimaknai sebagai penerapan kekerasan di medan perang.

Tidak bisa dimungkiri bahwa ada ayat atau hadis yang kerap digunakan oleh para teroris untuk melakukan aksi teror, membunuh, melenyapkan nyawa manusia. Seperti yang tertuang dalam Q.S. Muhammad/47: 4.

فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka penggallah batang leher mereka. Selanjutnya apablia kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka, dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai.

Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia telah menguji kamu satu sama lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka..”

Jika hanya melihat sekilas, ayat ini seolah membenarkan tindakan teror dan pembunuhan. Padahal, konteks ayat ini adalah peperangan, kondisi di medan perang. “Sampai perang selesai”. Ayat ini juga berbicara tentang membebaskan tawanan. Jadi tidak semuanya harus dibunuh.

Sah-sah saja jika kita mengagumi Nabi Muhammad sebagai sosok yang kuat di medan perang, tetapi kita juga perlu melihat wajah Nabi yang sejuk dan sederhana.

Dari wajah Nabi yang dengan tulus menyuapi orang tua Yahudi, hingga wajah Nabi yang ringan membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Dengan begitu, kita bisa merasakan wajah Islam yang sejuk, damai, dan membebaskan.

Para teroris lahir dari ketakutan-ketakutan yang mereka rasakan. Perasaan terasing, terbuang, terancam. Ketika melihat negara, mereka frustasi dengan berbagai kekacauan dan ketidakadilan. Tidak heran jika mereka menganggap bahwa negaranya sebagai thaghut dan wajib diperangi.

Dalam pengalaman perempuan juga demikian. Mereka mengalami berbagai ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan sederet permasalah hidup yang kompleks. Sayangnya, ketika mereka lari ke agama, masalah yang disuguhkan penceramah adalah pendangkalan akidah, kurang ibadah, tidak menutup aurat, hingga maskiat. 

Oleh karenanya, alih-alih keluar dari permasalahan yang dihadapi, para perempuan ini semakin menarik diri, menutup aurat rapat-rapat, hingga tenggelam dalam jurang kekerasan. Pilihan yang mereka terima bukan perjuangan untuk hidup melawan kekerasan, melainkan “hidup mulia atau mati syahid.”

BINCANG SYARIAH

Merasakan Manisnya Iman

Menguatkan iman akan meningkatkan ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT.

Iman adalah keyakinan yang diteguhkan dalam hati, diikrarkan dalam lisan, dan dibuktikan dalam tindakan. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Iman memiliki lebih dari 70 cabang. Yang paling tinggi ialah bersyahadat. Adapun yang terendah, menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR Muslim).

Menguatkan iman akan meningkatkan ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT. Sebaliknya, melemahnya iman akan membuat orang tersebut cenderung mengabaikan perintah-Nya dan mudah terjerumus dalam maksiat.

Sering kali, intensitas keimanan tidak stabil. Adakalanya naik. Tidak jarang pula melandai. Karena itu, penting sekali untuk selalu berupaya menjaga kualitas dan kuantitas amalan. Berikut ini adalah beberapa perbuatan yang, insya Allah, membuat seseorang bisa merasakan lezatnya iman.

Cinta yang Utama

Rasulullah SAW pernah mengungkapkan, “Ada tiga perkara yang apabila ada dalam diri seseorang, niscaya ia akan merasakan manisnya iman.” Hal pertama ialah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain. Itu selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam Alquran surah at-Taubah ayat 24.

Artinya, “Katakanlah, ‘jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”

Maka, dalam hidup ini seorang Muslim hendaknya menyadari adanya cinta yang utama. Yakni, mencintai Allah dan Nabi Muhammad SAW.

Alasan Mencinta

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hakikat cinta merupakan gerak jiwa dari sang pencinta menuju yang dicintainya. Dalam pandangan seorang sufi abad ke-10 M, ar-Rudzbari, cinta berarti menanggalkan egoisme pribadi. Katanya, “Selama belum keluar sepenuhnya dari dirimu, engkau belum masuk ke dalam batas cinta.”

Apabila cinta dihubungkan dengan keterangan dari Nabi SAW, maka diperoleh kesimpulan bahwa Allah-lah tujuan cinta yang paling luhur. Karena itu, lezatnya iman akan dirasakan orang yang mencintai hanya karena-Nya. Dalam rumusan Rasulullah SAW, “Mencintai seseorang, dan ia (seorang Muslim) tidaklah mencintai kecuali karena Allah.”photoILUSTRASI Salah satu perkara yang memungkinkan orang merasakan manisnya iman ialah benci tidak berislam. – (DOK EPA Bagus Indahono)

Alasan Membenci

Ada cinta, ada pula kebencian. Perasaan itu bisa timbul dari dalam diri seorang manusia. Islam mengajarkan bahwa rasa benci tidak otomatis salah, asalkan diarahkan secara tepat. Misalnya, benci bermaksiat.

Dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari di atas, Nabi SAW menjelaskan, salah satu perkara yang memungkinkan seseorang merasakan manisnya iman ialah benci tidak berislam. “Benci untuk kembali pada kekufuran, sebagaimana ia (seorang Muslim) enggan dilemparkan ke neraka.”

Dengan demikian, benci dengan alasan itulah yang sebenarnya dianjurkan. Pada akhirnya, seorang Mukmin akan betul-betul bersyukur bahwa dirinya telah meyakini kebenaran Islam.

OLEH HASANUL RIZQA

KHAZANAH REPUBLIKA

Agama Untuk Orang-Orang Berakall

Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190 – 191 :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٠﴾ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (191)

Penjelasan:

Tujuan manusia Allah ciptakan untuk tinggal di bumi adalah, bertauhid, maksudnya mempersembahkan penyembahan hanya kepadaNya.

Di dalam surat Az-Dzariyat ayat 57 Allah menjelaskan tujuan mulia ini,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu.

Maka, di saat tujuan penciptaan manusia meninggali bumi ini untuk menyembah Allah, Allah tunjukkan kepada mereka tanda-tanda keberadaan, kekuasaan, kebesaran dan kemulianNya. Agar manusia menyembah Allah dengan kesadaran, keridhoan, cinta dan pengagungan. Bukan karena paksaan, atau sekedar ikut-ikutan. Tapi menyembah Allah didasari tulus ikhlas dan ilmu. Ini diantara wujud kasih sayang Allah.

Bumi yang begitu indah, langit yang gagah, lautan yang luas, gunung yang tinggi menjulang, tetumbuhan yang menyejukkan pandangan, hewan-hewan yang cerdik nan menyenangkan, siang malam yang teratur silih berganti dan masih banyak lagi tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita, adalah isyarat bagi orang-orang yang berakal, untuk kembali bersimpuh dengan penuh cinta kepadaNya.

Dalam ilmu akidah, tanda-tanda seperti ini disebut tauhid rububiyyah (mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan Tuhan, seperti mencipta, mengatur semesta dll), yang menjadi perantara untuk sampai pada inti tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah (mengesakan Allah dalam penyembahan atau ibadah).

Artinya, saat seorang sadar, bahwa Allah satu-satunya pencipta semesta yang indah dan teratur ini, konsekwensi dari kesadaran ini adalah, menyembahNya semata dan meninggalkan segala sesembahan selainNya.

Namun, tak semua manusia peka menangkap sinyal kebesaran Allah tersebut. Hanya orang-orang yang punya karakter tertentu saja, sebuah karakter yang sangat mahal, pembeda antara manusia makhluk yang paling bermartabat, dengan hewan.

Yaitu, berfikir!

Iya, hanya orang-orang yang berfikir saja yang beruntung menemukan sinyal itu. Orang-orang yang menggunakan akalnya untuk dekat dengan Tuhannya. Dialah yang bisa mengambil hikmah dari setiap tanda kebesaran Allah di sekitarnya.

Oleh karenanya, diujung ayat Allah berfirman,

لآيات لأولي الألباب

Ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal

Ini menunjukkan bahwa :

  • Diantara ibadah yang sangat besar pahalanya adalah, berfikir untuk merasakan kebesaran dan kasih sayang Allah.
  • Seorang tak akan sempurna menjadi hamba Allah, sampai dia menggunakan akal sehatnya.
  • Agama ini, diperuntukkan bagi para pemikir sehat dan obyektif.

Kemudian pada ayat berikutnya, Allah terangkan diantara sifat orang yang berakal itu adalah…

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّـهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Yaitu orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. 

Inilah sifat mereka:

1. Gemar mengingat Allah.

Ini mencakup segala jenis dzikir, yaitu mengingat Allah dengan hati, lisannya dan anggota badan.

Maka masuk juga dalam karakter ini, orang yang sholat dengan berdiri saat mampu, duduk dan berbaring saat tidak mampu.

2. Gemar menggunakan pikirannya untuk menemukan kebesaran Allah.

Jika kita perhatikan dua sifat di atas, keduanya mewakili dua poin penting dalam kehidupan manusia : gemar dzikir adalah ekpresi ibadah. Kemudian gemar berfikir adalah ekpresi akal. Ini dalil bahwa :

Untuk bisa beribadah kepada Allah dengan professional, seorang harus membuka dan menggunakan pikirannya.
Seorang disebut benar berakal sehat, manakala ia taat beribadah kepada Allah. Dan ibadah yang paling utama adalah tauhid…

Wallahua’lam bis showab.

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta

Referensi tafsir:

Taisir Ar Kariim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan (tafsir As-Sa’di), karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -rahimahullah-.

Read more https://konsultasisyariah.com/36195-agama-untuk-orang-orang-berakal.html

Islam Agama Perdamaian!

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِين

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah:208)

Kata “Islam” di ambil dari kata السِّلم atau السَّلَام yang artinya kedamaian atau perdamaian.

Kedamaian adalah puncak tujuan bagi setiap orang yang berakal. Karena kata “السَّلام” sendiri menurut para Ahli bahasa mengarah pada arti kesehatan dan keselamatan.

Kata السَّلَامَة sebagaimana juga telah di adopsi dalam bahasa Indonesia memiliki arti selamat, atau selamatnya manusia dari berbagai musibah dan bahaya.

Islam membimbing manusia untuk meraih kedamaian dalam beberapa hal :

1. Kedamaian dalam hubungan manusia dengan Tuhannya.

2. Kedamaian dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

3. Kedamaian dalam hubungan manusia dengan masyarakatnya.

Di mulai dengan hati yang damai akan mengantarkan pada rumah yang penuh kedamaian, kemudian masyarakat yang damai dan dunia yang damai sebagai tujuan akhirnya.

Inilah kedamaian yang ingin di bangun oleh konsep Islam. Tak heran bila kita perhatikan, seluruh sisi agama ini penuh dengan kedamaian, seperti :

(1). Salah satu Nama Allah adalah As-Salam.

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera.” (QS.Al-Hasyr:23)

(2). Nama agama itu sendiri di ambil dari kata As-Salam.

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS.Ali ‘Imran:19)

(3). Ungkapan penyambutan dan penghormatannya juga dengan mengucap “Salam”.

وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡۖ

“Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum (selamat sejahtera untuk kamu).” (QS.Al-An’am:54)

(4). Kedamaian di saat turunnya Al-Qur’an.

سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ

“Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS.Al-Qadar:5)

(5). Kedamaian dalam Akidah dan keyakinan di dalamnya.

(6). Perdamaian kepada penganut agama dan keyakinan yang lain.

(7). Perdamaian kepada seluruh manusia selama mereka tidak menjadi musuh yang melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin dan mengusir kaum muslimin dari kampung halaman mereka. Maka saat itulah Islam akan bangkit untuk melawan kedzaliman dan membela kaum yang tertindas.

(8). Kedamaian dalam hukum serta keadilan dalam menegakkan kebenaran.

Bila kita simpulkan maka akan kita temukan bahwa agama ini adalah kedamaian yang berbalut dengan kedamaian pada setiap sisinya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Menguasai Sepertiga Dunia Hanya Dalam Waktu 30 Tahun

Ada yang mengatakan umat Islam terlihat lemah saat ini, tertindas dan dipermainkan. Mari kita lihat sejenak kunci dan sejarah kebangkitannya…

Belum ada dalam sejarah dunia, 30 tahun menguasai sepertiga dunia? Ya benar, di zaman khulafa Ar-Rasyidin dan beberapa khalifah dinasti Umayyah, Islam menguasai hampir sepertiga dunia. Dua imperium besar saat itu hancur yaitu Persia dan Romawi. Mesir dan Afrika Utara, Spanyol (Andalusia) dan Sebagian Eropa, Persia dan sebagian Asia tengah mejadi kekuasaan Islam. Kemudian dalam waktu yang cukup lama di bawah naungan Islam, mereka makmur dan berjaya sebagaimana zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz yang saat itu sulit mencari orang yang mau menerima sedekah karena sulit ditemui orang miskin serta kemakmuran dirasakan oleh makhluk selain manusia.

Apakah resepnya? Apa kuncinya?

Mungkin orang sekarang akan berkata, politik yang kuat, ekonomi yang besar dan militer persenjataan yang lengkap. Itu kunci ingin sukses dan berjaya kata mereka

Ternyata tidak juga, sudah banyak sejarah bangsa terdahulu dan negara-negara dengan politik kuat, ekonomi stabil ternyata tidak terlalu lama berkuasa kemudian hancur bahkan tidak tersisa bekas sedikitpun.

Sebaliknya, tahukan dari mana asal daerah yang menaklukkan sepertiga dunia tersebut?

Iya, dari tanah Arab, kaum Quraisy yang tidak pernah diperhitungkan sama sekali oleh dua imperium besar tersebut. Mengapa tidak pernah diperhitungkan?

Lihatlah, Tanah Arab kering  dan tidak subur, menunjukkan ekonomi mereka lemah

Politik mereka lemah, karena orang Arab Quraisy punya keyakinan jika kabilah mereka dipimpin oleh orang lain maka mereka merasa terhinakan, mereka terpecah belah sendiri antar kabilah dan sulit bersatu menjadi kekuatan besar

Persenjataan? Jangan bandingkan senjata orang Arab dengan manjanik (pelempar batu besar) milik orang Persia dan Romawi

Jumlahpun sering sekali kalah jauh, ingatkan perang Mu’tah? 3000 muslimin melawan 200.000 musuh, ingat juga perang badar berapa jumlahnya

Mengapa bisa menang kaum musilmin? Kuncinya adalah TAUHID dan KEIMANAN

Memang benar kekuatan ekonomi, politik dan militer penting untuk berjaya, akan tetapi yang lebih penting adalah TAUHID dan KEIMANAN, inilah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun di Mekkah dan dikuatkan dahulu pondasinya

TAUHID DAN KEIMANAN kuat, maka akan lahir pembela Islam yang mereka berpikir:

“Hidup mulia dengan Islam dan lebih cinta kehidupan akhirat”

Ketika berperang “Hidup mulia atau mati syahid” lahirlah singa peperangan yang banyak ditakuti musuh kaum muslimin, bahkan dalam hadits musuh sudah diberi rasa takut dahulu sebelum bertemu.

Mereka berjuang untuk memajukan Islam dengan anugrah Allah yang mereka punyai, dengan harta, dengan pikiran, dengan nyawa, dengan jabatan. Dokter akan memperjuangkan Islam dengan ilmu kedokterannya, ahli tehnik juga demikian dan ehli ekonomi juga demikian.

Ilmuan Islam berusaha profesional memajukan ilmu dan teknologi untuk memberikan manfaat yang banyak kepada manusia dan untuk kemajuan Islam. Lihatlah bagaimana kemajuan ilmu pengtahuan dan teknolgi Islam di zaman keemasannya, yang di zaman ini penemuan mereka diadopsi ilmuan  barat kemudian mereka berlomba-lomba mematenkan dan mengembangkannya sampai saat ini.

Jadi jawablah dengan bijak jika ada yang berkata,

“Ngapain kebanyakan ngaji, bahas tauhid dan syirik, bahas sunnah dan bid’ah, bahas fikh mendalam, itu lho mereka sudah pada ke bulan dengan teknologi, nah elo-elo semua masih sarungan duduk bahas kitab.”

Jawabannya:

“Biarlah mereka ke bulan dan kita ke surga” (kalau benar lho pernah ke bulan, padahal.. ah sudahlah^^)

So, mari terus kita belajar tauhid, akidah dan keimanan, kita dakwahkan dan kita sebarkan ke masyarakat. Ingat kita bukan atheis yang hanya mengandalkan hukum sebab-akibat saja. Kita juga mengandalkan keimanan dan berkah dari Allah.

Setelah itu mari perjuangan agama Islam dengan jalan jihad masing-masing (ingat tidak semua harus jadi ustadz):

-Yang mahasiswa belajar yang rajin supaya menjadi ilmuan Islam

-Yang dikantor kerja yang profesional supaya bisa membela Islam dengan jabatannya minimal dilingkungan kantor

-Pelaku bisnis kerja yang giat agar sebagian harta disumbangkan untuk kemajuan Islam

Ya, dengan iman dan takwah, Allah akan membuka pinta berkah dan kerjayaan umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَ‌ىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَ‌كَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْ‌ضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mengingkari, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)

Ya Allah muliakanlah kaum muslimin, menangkanlah para mujahidin dan berkahilah negeri kaum muslimin.

Amin yaa mujiibas saa-iliin, perkanankanlah wahai Engkau Yang Maha Mengabulkan bagi yang meminta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Potret Umat di Akhir Zaman: Semakin Bodoh dalam Ilmu Agama

SEMAKIN dekat dengan hari kiamat, kehidupan manusia akan semakin bobrok akibat kebodohan mereka terhadap ilmu agama. Kelaka akan datang hari-hari yang di dalamnya turun dan tersebar kejahilan yang disebabkan oleh malasnya manusia dan enggannya mereka dari menuntut ilmu agama, yaitu ilmu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لَأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيْهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ الْعِلْمُ

“Sesungguhnya di depan hari kiamat ada hari-hari yang kejahilan diturunkan di dalamnya, dan ilmu diangkat”. (HR. Al-Bukhori no.6654)

Kita bisa melihat pada hari ini sudah banyak syariat maupun sunnah Nabi SAW yang dilalaikan orang sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur (ditinggalkan).

Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits,

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing“. (HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman/232)

Semua ini disebabkan karena kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap agamanya dan sunnah Rasulullah SAW. Kurangnya perhatian mereka menuntut ilmu syar’i karena kesibukan duniawi yang memalingkan mereka. Sementara mereka tak ada perhatian lagi dengan majelis ilmu dan majelis ta’lim. Akibatnya, agama dan Sunnah Rasulullah SAW terasa asing dan aneh di sisi mereka.

Memang mereka terkadang mendatangi majelis ta’lim. Namun jika mereka hadir, nampak pada wajah mereka lelah dan keterpaksaan ikut majelis ta’lim. Mereka hanya sekadar hadir agar orang tidak mencelanya. Karenanya jangan heran jika kita melihat orang-orang ini hadir di majelis ta’lim, ada yang ngantuk, bahkan tidur. Ada yang bersandar di tembok, jauh dari ustaz. Ada yang sengaja duduk di belakang untuk sembunyi; jika ngantuk dan tertidur, ia bisa sembunyikan wajahnya di balik punggung kawannya. Ada yang cerita dengan temannya sehingga mengganggu ceramah ustaz. Ada yang melayang pikirannya entah kemana. Inilah kondisi mereka sehingga tak heran jika mereka tetap jahil terhadap agamanya.

Jika mendengar cerita yang menguntungkan dunianya, maka matanya terbelalak. Betul dunia adalah nikmat yang Allah berikan. Namun jangan dijadikan tujuan hidup dan pusat perhatian. Dunia diambil sekedar bekal menuju Allah Ta’ala.

Allah tidak memberikan nikmat kepada seorang hamba-Nya, kecuali nikmat itu hanya sekedar alat dan sarana yang dipakai untuk beribadah dan beramal sholeh. Dunia dengan segala nikmatnya bukanlah merupakan tujuan dan terminal terakhir bagi seorang muslim. Akan tetapi merupakan tempat persinggahan mengambil bekal menuju perjalanan akhir, yaitu akhirat.

Fenomena berlombanya kaum muslimin memperbanyak harta benda dan fasilitas duniawi sehingga membuat mereka lupa terhadap agamanya merupakan sebab tersebarnya kejahilan. Jika semakin hari, semakin tersebar kejahilan, maka ketahuilah bahwa ini adalah salah satu diantara ciri dan tanda dekatnya hari kiamat.

Nabi SAW bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ : أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَ يُثْبَتَ الْجَهْلُ

“Di antara tanda-tanda kiamat: Diangkatnya ilmu, dan kokohnya (banyaknya) kejahilan”. (HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya/80) dan Muslim dalam Shohih-nya/2671)

Rasulullah SAW juga bersabda:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُُرُ الْهَرْجُ

“Zaman akan saling mendekat, diangkatnya ilmu, munculnya berbagai fitnah, diletakkan kerakusan, dan banyaknya peperangan”. (HR. Al-Bukhoriy no.989 dan Muslim no.157)

Di tengah kabut kejahilan menyelimuti manusia, tersebarlah berbagai macam maksiat berupa pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan kerakusan terhadap harta. Ini semua diakibatkan oleh hilangnya ilmu agama yang bermanfaat di tengah manusia. Seperti fenomena memilukan yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Wallahualam. []

SUMBER: QURAN DAN SUNNAH

ISLAMPOS

Bangunan Islam (Syarah Rukun Islam)

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الَّرحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم)

Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. [HR Bukhari dan Muslim].

TAKHRIJ HADITS

  1. Shahihul Bukhari, Kitabul Iman, Bab al Iman wa Qaulin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,“Buniyal Islamu ‘ala khamsin”, no. 8.
  2. Shahih MuslimKitabul Iman, Bab Bayanu Arkanil Islam, no.16.
  3. Sunan at TirmidziKitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
  4. Sunan an Nasaa-iKitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
  5. Musnad Imam Ahmad, II/26, 93, 120, 143.
  6. Al Humaidi, no. 703.
  7. Ibnu Hibban, no. 158 dan 1446.

Menurut Imam Ibnu Daqiqil ‘Id (wafat th. 702 H), pada beberapa riwayat disebutkan haji lebih dahulu daripada puasa. Hal ini keraguan dari perawi. Wallahu a’lam. Oleh karena itu, ketika Ibnu ‘Umar mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya, lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia berkata,”Begitulah yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [Muslim, no.16, 19].

Menurut Imam an Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits ini, ia berkata: “Demikianlah, dalam riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekadar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa lebih dahulu daripada haji”. [Syarah Muslim, I/178,179].

AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS) 
Hadits ini mempunyai kedudukan yang agung, karena menerangkan asas dan kaidah-kaidah Islam, yakni Islam dibangun di atasnya, yang dengannya seorang hamba menjadi Muslim. Dan tanpa asas ini, seorang hamba berarti keluar dari agama.

Imam Nawawi berkata,”Sesungguhnya hadits ini merupakan pijakan yang agung dalam mengenal agama Islam. Dengan dasar hadits ini tegaknya agama Islam. Hadits ini mengumpulkan rukun-rukunnya”. [Syarah Muslim, I/179].

Abul Abbas al Qurthubi (wafat th. 671H) berkata,”Lima hal tersebut menjadi asas dan landasan tegaknya agama Islam. Lima hal di atas disebut secara khusus, tanpa menyebutkan jihad –padahal jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang kafir– karena kelima hal tersebut merupakan salah satu fardhu kifayah. Sehingga, pada saat tertentu kewajiban tersebut bisa menjadi gugur.” [Syarah Arba’in an Nawawiyah, hlm. 37, oleh Ibnu Daqiqil ‘Id].

Ibnu Rajab mengatakan, jihad tidak disebutkan pada hadits Ibnu ‘Umar di atas, padahal jihad merupakan amal perbuatan termulia. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa, Ibnu Umar ‘ditanya : “Bagaimana dengan jihad?” Ibnu ‘Umar menjawab,”Jihad itu bagus, namun hanya hadits itulah yang aku terima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [Diriwayatkan Imam Ahmad].

Disebutkan di hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu : Pokok segala sesuatu ialah Islam, tiangnya shalat, dan puncaknya ialah jihad.

Kendati keberadaan jihad menduduki tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun jihad bukan merupakan salah satu tiang dan rukunnya, tempat bangunan Islam dibangun di atasnya, karena dua sebab. Pertama, jihad -menurut jumhur ulama- adalah fardhu kifayah dan bukan fardhu ‘ain. Ini berbeda dengan kelima rukun di atas. Kedua, jihad tidak berlangsung hingga akhir zaman. Jika Nabi Isa Alaihissallam telah turun dan ketika itu tidak ada agama selain Islam, maka dengan sendirinya perang berhenti, tidak lagi membutuhkan jihad. Ini berbeda dengan kelima rukun Islam yang tetap diwajibkan kepada kaum Mukminin hingga keputusan Allah datang kepada mereka, dan ketika itu mereka dalam keadaan seperti itu. Wallahu a’lam. [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I/152].

SYARAH HADITS
Maksud hadits di atas ialah, Islam dibangun di atas lima hal. Dan ia seperti tiang-tiang bangunannya.

Hadits di atas diriwayatkan Muhammad bin Nashr al Marwazi dalam Kitabush Shalat, no. 413, sanadnya shahih menurut syarat Muslim. Redaksinya berbunyi :

بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسِ دَعَائِمَ

Islam dibangun di atas lima tiang …

Maksud hadits tersebut adalah, penyerupaan Islam dengan bangunan. Adapun tiang-tiang bangunan tersebut berupa kelima hal tersebut. Jadi, bangunan tidak akan kuat tanpa tiang-tiangnya. Sedangkan ajaran-ajaran Islam lainnya berfungsi sebagai penyempurna bangunan. Jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut hilang dari bangunan Islam, maka bangunan itu berkurang, namun tetap bisa berdiri dan tidak ambruk, meskipun berkurangnya salah satu dari penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang tersebut ambruk, maka Islam akan runtuh disebabkan tidak adanya kelima tiang penyangga tersebut, dan ini tanpa diragukan lagi.

Islam juga ambruk dengan hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dengan dua kalimat syahadat ialah, beriman kepada Allah dan RasulNya.

Disebutkan dalam riwayat Bukhari “Islam dibangun atas lima: beriman kepada Allah dan RasulNya, … dan seterusnya” (no. 4514). Dalam riwayat Muslim disebutkan “Islam dibangun atas lima: hendaknya mentauhidkan Allah…” (no. 16)(19). Dalam riwayat Muslim lainnya (no.16)(20) disebutkan :

بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسٍ: أن يُعبَدَ اللهُ وَيُكفَرَ بِمَا دُونَهُ…

Islam dibangun atas lima: hendaknya beribadah kepada Allah dan mengingkari peribadahan kepada selainNya… [Lihat penjelasan Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, I/145].

Seorang hamba tidak dikatakan Islam, sehingga dia melaksanakan asas, tiang dan rukun Islam yang dijelaskan dalam hadits ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan asas dan tonggak ini sebagai bangunan yang kuat dan kokoh. Orang yang tidak berdiri di atas tonggak ini, maka dia akan binasa. Adapun perkara-perkara Islam lainnya yang wajib, ia sebagai penyempurna bagi rukun Islam ini.

Bangunan ini sangat dibutuhkan oleh seorang hamba. Empat tiang yang disebutkan dalam hadits ini, dibangun di atas dua kalimat syahadat, Asyhadu an-la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar- Rasulullah. Karena sesungguhnya, Allah tidak akan menerima sesuatu pun dari amal seseorang tanpa syahadatain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebut rukun-rukun iman yang wajib lainnya, karena beriman bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, memiliki konsekwensi mengimani seluruh yang disebutkan dalam masalah keyakinan dan ibadah, sebagaimana juga tidak disebutkan tentang jihad, padahal jihad merupakan kewajiban yang besar, yang dengannya kejayaan Islam ditegakkan, panji-panji Islam dikibarkan, dan dengannya orang-orang kafir dan munafik diperangi. Tidak disebutkannya jihad, karena jihad adalah fardhu kifayah yang tidak diwajibkan kepada setiap orang, melainkan pada keadaan-keadaan tertentu saja. [Lihat Qawaid wa Fawaid Minal Arba’in an Nawawiyah,  hlm. 53,54].

BANGUNAN ISLAM
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengilustrasikan Islam dengan sebuah bangunan yang tertata rapi. Tegak di atas pondasi-pondasi yang kokoh. Pondasi-pondasi tersebut sebagai berikut.

Pertama. Dua Kalimat Syahadat.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ

Makna Laa Ilaaha Illallaah.

Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (laa ma’buda bi haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala . Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kubur, pohon, batu, kayu dan lainnya, semuanya merupakan sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak dapat menolak bahaya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim. [Yunus/10:106].

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [al Hajj/22 : 62].

Penafsiran Yang Salah Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas.

  • Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ مَعْبُوْدَ إلاَّ اللهِ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah); padahal makna tersebut rancu, karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.
  • Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah); padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ(laa ilaaha illallaah). Dan penafsiran ini masih berupa tauhid rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Demikian ini yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
  • Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ لِلّه (tidak ada hak untuk menghukumi kecuali hanya bagi Allah); padahal pengertian ini juga tidak cukup, karena apabila mengesakan Allah dengan pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Kuasa saja lalu berdo’a kepada selainNya, atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selainNya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.[1]
  • Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin ditanya tentang penafsiran la ilaha illallaah. Penafsiran tersebut ialah “mengeluarkan keyakinan yang jujur dari segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang jujur atas Dzat Allah”.

Menjawab tentang penafsiran ini, Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Ini merupakan penafsiran batil, tidak dikenal oleh Salafush Shalih; karena bukan demikian yang dimaksud dengan meyakini Allah dan mengeluarkan keyakinan dari selainnya. Ini tidak mungkin, karena keyakinan ada juga pada selain Allah. Sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya denga ‘ainul yaqin (at Takatsur/102 ayat 6-7), meyakini sesuatu yang konkrit sudah diketahui tidak menafikan tauhid. Jadi, berdasarkan pengertian ini, maka tafsir di atas tertolak”. [2]

Rukun Laa Ilaaha Illallaah.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;

–  النَّفْيُ (mengingkari). Yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala .

– اْلإِثْبَاتُ (menetapkan). Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Tidak ada sekutu bagiNya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Barangsiapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al Baqarah/2 : 256].

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [an Nahl/16 : 36].

Makna Dari Syahadat Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

– طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. [an Nisaa`/4 : 13].

– تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya… [al Hadid/ 57 : 28].

– اجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

… Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…  [al Hasyr/59 : 7].

–  أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan.

Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut yang telah disyari’atkan dan dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib ittiba` kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali ‘Imran/3 : 31]. [3]

Kesaksian bahwa, tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, artinya, mengakui adanya Allah yang Tunggal, serta membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rukun ini ibarat pondasi bagi rukun-rukun yang lain. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ…

Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah… [HR Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22, dan Ibnu Hibban, no. 175].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَن قَالَ: لاَإِلهَ إلاَّ الله مُخْلِصًا دَخَلَ الجَنّة

Barangsiapa yang menyatakan tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dengan penuh keikhlasan, maka ia akan masuk surga. (HR al Bazzar).

Kedua. Menegakkan Shalat.
Shalat merupakan hubungan antara hamba dengan Rabb-nya yang wajib dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلُّوا كمَا رَأيتُمُونِى أُصَلَّي

Shalatlah, sebagaimana kalian melihat aku shalat. [HR Bukhari].

Beruntunglah orang yang melaksanakan shalat dengan khusyu` dan thuma’ninah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya. [al Mu’minun/23 : 1, 2].

Barangsiapa yang menjaga shalat yang lima waktu, maka pada hari kiamat, ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dia dijanjikan oleh Allah akan dimasukkan ke dalam surga.

Shalat akan mendidik seorang muslim agar selalu takut dan mengharap kepada Allah. Yang dengannya, seorang muslim akan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhai Allah. Allah berfirman:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al‘Ankabut/29 : 45].

Shalat merupakan amal yang pertama dihisab pada hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أوّل مَايُحَاسَبُ بِهِ العَبدُ يَوم القِيَامَة الصَّلاةُ, فَإن صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ, وَإن فَسَدَت فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ

Amal seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya. Dan apabila shalatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya. [HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, II/512 no.1880, dari sahabat Anas bin Malik. Dishahihkanoleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 1358].

Shalat yang wajib akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Oleh karena itu, dalam masalah shalat, seorang muslim harus memperhatikan :

  • Harus dikerjakan pada waktunya, dab yang utama ialah di awal waktu.
  • Harus dikerjakan dengan khusyu` dan thuma’ninah.
  • Harus dikerjakan sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari mulai takbir sampai salam.[4]
  • Bagi laki-laki, mengerjakannya dengan berjama’ah di masjid.

Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat.
Para ulama kaum Muslimin telah sepakat, orang yang meninggalkan shalat dan mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir dan keluar dari agama Islam.

Adapun orang yang meninggalkan shalat karena malas atau sibuk dengan tanpa alasan, sementara itu orang tersebut memiliki keyakinan tentang wajibnya, dalam hal ini para ulama berselisih paham tentang hukumnya.

Pendapat Pertama mengatakan, bahwa mereka telah kafir. Sahabat yang berpendapat seperti itu adalah Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdullah dan Abu Darda’. Adapun selain sahabat yang berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abdullah bin Mubarak serta an Nakhaa-i. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. [HR Muslim, no. 82].

Dari ‘Abdullah bin Syaqiq al ‘Uqaili, ia berkata :

كانَ أَصحَابُ رسُول الله لاَ يَرَونَ مِنَ الأَعْمَالِ شَيئًا تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat sesuatu amal yang ditinggalkan menjadi kufur, kecuali shalat. [HR Tirmidzi, no. 2622].

Pendapat Kedua mengatakan, bahwa mereka adalah fasik tanpa mengkafirkannya. Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama salaf, di antaranya Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah :

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ

Ada lima waktu shalat yang diwajibkan Allah atas hamba-hambaNya. Barangsiapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikit pun dan meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dengan Allah yang akan memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki janji dengan Allah. Kalau mau, Allah akan menyiksanya. Dan kalau mau, Allah akan mengampuninya. [HR Ahmad dan Malik]

Adapun syahid dari hadits ini, bahwa orang yang meninggalkan shalat, bisa jadi ia akan diampuni. Ini menunjukkan, meninggalkannya tidak termasuk kufur hakiki. Seandainya itu kufur, maka pelakunya akan terhalang dari ampunan Allah. Begitu juga tidak kekalnya ia dalam neraka menunjukkan bahwa, meninggalkan shalat tidak termasuk kufur hakiki. Karena orang yang kafir akan kekal selama-lamanya di neraka. Juga dalil yang mereka jadikan sebagai hujjah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia. Dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. [an Nisaa`/4 : 116].

Juga pertanyaan Shilah bin Zufar kepada Hudzaifah : “Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat, puasa, haji dan shadaqah?” Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzaifah menjawab,”Wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka”. Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga kali. [HR Ibnu Majah, no. 4049 dan Hakim, IV/473, 545].

Ketika mengomentari hadits ini, Syaikh al Albani berkata : “Hadits ini mengandung hukum fiqih yang penting. Bahwa syahadat dapat menyelamatkan orang yang mengucapkannya dari kekekalan di neraka kelak pada hari Kiamat, sekalipun ia tidak menjalankan rukun islam lainnya, seperti shalat dan lain-lain,” kemudian beliau melanjutkan,”Saya menilai, yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh jumhur (mayoritas ulama). Dan pendapat yang dikemukakan sahabat tentang pengkafiran itu, bukanlah kafir yang menjadikannya kekal di neraka, yang tidak mungkin diampuni oleh Allah. Mengapa begitu? Sebab Shilah bin Zhufar yang pemahamannya hampir sama dengan Imam Ahmad ketika bertanya ‘Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tidak mengetahui shalat …, lalu Hudzaifah menjawab, wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka,’ perkataan ini diucapkannya tiga kali. Ini merupakan penyataan dari Hudzaifah bahwa, orang yang meninggalkan shalat dan selainnya dari rukun-rukun, ia tidak kafir; bahkan dia seorang muslim yang akan selamat dari kekekalan dalam neraka pada hari Kiamat”. [Lihat Silsilah Ahadits ash Shahihah, I/175 no. 87, al Qismul Awwal].

Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) mengatakan, orang yang meninggalkan shalat wajib, maka dia telah melakukan dosa besar yang paling besar. Dosanya, lebih besar di sisi Allah dari membunuh, mengambil harta, berzina, mencuri dan minum khamr. Orang yang meninggalkan shalat wajib, ia akan mendapat kemurkaan Allah dan dihinakan di dunia dan akhirat. [Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29].

Insya Allah bersambung

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

 

Read more https://almanhaj.or.id/12026-bangunan-islam-syarah-rukun-islam.html

Mengaku Islam Kok Perilaku di Medsos Buruk

BELAKANGAN ini makin nyata adanya kelompok orang yang mengaku muslim dan beriman tetapi tidak menampakkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-harinya. Gejala ini sangat banyak kita temui baik dalam rutinitas keseharian apalagi di media sosial. Sumpah serapah dan caci maki, tak urung mewarnai “komunikasi” (kalau boleh disebut komunikasi) yang terjadi.

Kita pun dibuat bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin seorang yang mengaku Islam, melakukan hal-hal seperti itu?” Untuk memahaminya, perlu dijelaskan adanya perbedaan antara orang-orang muslim (ber-Islam), mukmin (beriman), dan muhsin (ber-ihsan).

Definisi keislaman dipaparkan dalam Al-Hujurat ayat 14: “Orang-orang Arab Badui (a’rab, pengembara Badui yang belum mengembangkan peradaban, bukan ‘arab) itu berkata: Kami telah beriman…. Katakanlah: Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah menjadi muslim (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”

Sedang definisi keimanan dipaparkan dalam Al-Anfal ayat 2 -3: “Sesungguhnya orang2 beriman ialah mereka yg bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jadi kira-kira Muslim itu yang melaksanakan kewajiban syariah secara lahiriah, sedangkan Mukmin adalah sikap hati (batiniyah). Orang beriman (Mukmin) adalah yang gemetar hatinya bila mendengar kata Allah dan bertambah terus imannya ketika membaca ayat Allah. Mukmin menjaga dan menghayati shalatnya–yakni menghadirkan hati dalam ibadah–dan melahirkan amal-amal saleh antara lain dalam bentuk sedekah.

Sedang berkenaan dengan Ihsan, Allah Swt. berfirman dalam Al-Mulk, ayat 23: “… Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih sempurna amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Dalam hadis Jibril disebutkan ihsan adalah menyembahNya dalam keadaan kita (seolah-olah, yakni bukan dengan mata fisik) melihat Allah Swt. Atau kalau kita tidak bisa merasa seolah melihatNya, kita yakin bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Dalam hadis lain dikatakan: “Allah Swt. cinta pada orang yang jika menyelesaikan pekerjaan, dia selesaikannya dengan ihsan (sempurna).”

Ada juga dalam hadis lain disebutkan: “Allah telah menetapkan al-ihsan dalam semua hal.” (HR Muslim)

Ada 166 ayat yang mengandung kata ihsan dan turunannya. Salah satunya yang populer: “Sungguh Allah menyuruh berlaku adil & berbuat ihsan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (An-Nahl: 90 )

Segera tampak bahwa ihsan terkait erat dengan kepemilikan dan penerapan akhlak mulia secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, orang yang berihsan tak hanya menahan marah, tetapi juga memaafkan orang yang bersalah padanya dan menyempurnakannya dengan berbuat baik padanya.

Sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran: 134; “Dan orang yang menahan marahnya & yg memaafkan kesalahan org2. Dan Allah mencintai org yang menyempurnakan kebaikan (berbuat ihsan).”

Yang menarik dalam ayat di atas adalah bahwa Allah sendiri tidak pernah menyebut diriNya “mencintai orang-orang beriman” atau “orang-orang Muslim”, tetapi “mencintai orang-orang yang berihsan”.

Ihsan adalah menyempurnakan seluruh amal agar secara spiritual kita makin dekat kepadaNya. Maka tak sedikit ulama mengidentikkan Ihsan dengan tasawuf.

Dan bukan kebetulan juga tasawuf disebut mazhab cinta, yang mempromosikan hubungan saling cinta manusia dengan Allah (dan dengan manusia serta makhluk-makhluk lain). Penjelasan lbh panjang tentang tasawuf sbg mazhab cinta al. ada di buku saya: ISLAM Risalah Cinta dan Kebahagiaan.

Jadi, Islam-Iman-Ihsan sejajar dengan Syariah-Akidah-Tasawuf (akhlak). Ketiganya tak terpisahkan, tapi puncaknya adalah akhlak. Dengan kata lain, puncak keislaman kita harus terwujud pada kepemilikan/penerapan akhlak mulia. Tak akan banyak berarti bila kita mengaku Islam, dan tak akan terbukti mengaku beriman, kecuali jika kita telah benar-benar memiliki/menerapkan akhlak mulia. Inilah makna hadis Nabi Saw.: “Aku tak diutus kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Demikian juga inti dari firmanNya yang sering kita ulang-ulang: “Dan tak Kami utus kau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih-sayang) untuk alam semesta.”

Maka, orang-orang yang mengaku Muslim tapi tak berakhlak mulia bisa jadi baru mencapai tahap Islam, mungkin iman, tetapi belum ihsan. WalLah a’lam.[Haidar Bagir/islamindonesia]

 

INILAH MOZAIK

Ini Syarat Jika Ingin Berakhlak Islami

SYAIKH Abdul Aziz bin Baz mengatakan, di antara prasyarat yang mengantarkan pada akhlak Islami adalah memperbanyak membaca Al Quran serta men-tadabburi maknanya.

Setelah itu bersungguh-sungguh untuk berperilaku dengan akhlak yang sebagaimana Allah Taala sebutkan dalam Al Quran mengenai sifat-sifat para hamba-Nya yang shalih. Hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia.

Demikian juga hendaknya memperbanyak duduk bersama orang-orang baik dan berakrab-akrab dengan mereka. Juga dengan memperbanyak membaca hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang menunjukkan tentang akhlak mulia.

Demikian juga hendaknya banyak membaca kisah-kisah orang terdahulu dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah dan sejarah Islam, yaitu membaca bagaimana sifat dan akhlak orang-orang shalih di masa itu. Semua hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia dan beristiqamah di atasnya.

Namun sebab yang paling besar adalah Al Quran. Dengan banyak membacanya serta men-tadaburi maknanya dengan benar-benar menghadirkan hati yang penuh keinginan tulus untuk berakhlak mulia ketika membaca Al Quran dan men-tadaburi-nya. Inilah hal terbesar yang bisa mengantarkan kepada akhlak mulia, dengan juga memberi perhatian yang serius terhadap hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam tentang akhlak mulia. [ ]