3 Tips Pilih Pesantren dari Kemenag, Harus Ada Kiai hingga Inklusif

Orang tua dapat menyekolahkan anak-anak mereka di pesantren. Melalui pendidikan pesantren, anak-anak dilatih mandiri dan memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih dalam.

Orang tua tak perlu ragu lagi menyekolahkan anaknya di pesantren. Pasalnya di Indonesia banyak pesantren yang berkontribusi besar dalam dunia pendidikan dan menjadi tempat mengenyam ilmu bagi tokoh agama dan pemimpin besar di Indonesia.

Tokoh-tokoh itu adalah KH Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, hingga menteri dan kepala daerah yang pernah menjadi santri pesantren. Sebagaimana disinggung Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani soal pesantren sebagai tempat yang tepat untuk pengembangan anak.

“Ini sesungguhnya memberikan fakta bahwa pesantren adalah tempat yang aman, layak, dan tepat untuk pengembangan anak bangsa,” kata Dhani yang dikutip dari laman Kementerian Agama, Jumat (4/2/2022).

Walaupun beberapa waktu ini eksistensi pesantren sempat terganggu akibat adanya isu kekerasan seksual dan terorisme yang muncul di pesantren. Hal itulah yang menjadi kekhawatiran untuk sebagian orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren.

Dhani berpendapat orang tua tidak perlu khawatir lagi apabila mereka benar-benar memahami bagaimana keadaan pesantren sesungguhnya.

“Saya ingin mengingatkan bagi seluruh anak bangsa, terutama kepada seluruh orang tua yang hari ini ingin menitipkan anaknya dalam proses pendidikan pondok pesantren perlu melihat apakah lembaga yang menyebut dirinya pesantren memiliki arkanul ma’had (rukun pesantren),” ujar Dhani.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang disebut Dhani perlu diperhatikan oleh orang tua sebelum memilih pesantren. Berikut ulasan selengkapnya.

1. Ada Sosok Kiai Pengajar
Ada lima hal yang menjadi rukun pesantren. Salah satunya yaitu sosok kiai yang menjadi figur teladan dan pengasuh yang dapat membimbing santri.

“Lihat sanad keilmuannya. Sanad keilmuannya jelas, ada kiainya. Jangan menitipkan ke pesantren yang gurunya hanya satu tunggal,” kata Dhani.


2. Memiliki Fasilitas yang Mumpuni
Rukun pesantren yang harus terpenuhi selanjutnya yaitu santri mukim. Santri mukim ini mencakup pondok atau asrama, masjid atau mushola, dan juga ada kajian kitab kuning.

“Jadi perhatikan, sanad keilmuannya, ada kiainya, memiliki fasilitas yang baik, dan ada pembelajaran kitab kuning,” terang dia.

3. Pesantren yang Inklusif
Dhani mengatakan pesantren harus bersifat inklusif. Atau dalam artian, pesantren yang dipilih orang tua adalah pesantren yang memberikan izin terbuka bagi orang tua dalam berkunjung ke pesantren.

“Dan tentu saja pesantren bersifat inklusif. Orang tua boleh nengok, masyarakat boleh lihat. Dengan demikian saya bisa mengatakan pesantren aman dan layak menjadi tempat orang tua menitipkan pendidikan anak,” tutupnya.

HIKMAHDetik

Ini Latarbelakang Terbentuknya Program Pesantren For Peace

Center For The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Konrad Adenauer Stiftung Uni Eropa meluncurkan program Pesantren for Peace (PFP).

“Program ini sebagai bentuk pertahanan pesantren dalam memerangi paham-paham yang menitikberatkan Islam identik dengan kekerasan,” ujar Direktur CSRC Irfan Abu Bakar dalam sambutannya pembukaan program PFP di Jakarta, Selasa (30/6).

Menurutnya, program ini akan berlangsung selama tiga tahun atau selama 50 bulan. Program ini sudah dimulai sejak bulan januari di lima propinsi di pulau jawa. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. “Program ini akan melibatkan 600 ustad dan ustadzah, serta 300 santri putra dan putri,” ujar Irfan

Dalam pandangan Irfan, para santri dan ustaz memiliki peran penting dalam menyampaikan dakwah dan pendekatan pada masyarakat. Sehingga kemudian, mereka akan dilatih terlebih dahulu dalam PFP ini.

Program tersebut meliputi riset pemetaan analisis konflik, penyusunan modul pelatihan, pelatihan toleransi dan resolusi konflik, studi lapangan kasus konflik, pertukaran santri, pemberian dana hibah untuk kegiatan pesantren, seminar dan workshop, dan pembentukan jaringan PFP se-Pulau Jawa.

Program ini melatarbelakangi kesalapahaman konflik dan kekerasan yang bernuansa agama. Padahal, akar-akar penyebab permaslahan ini sangatlah komplek. Mulai dari aspek teologis hingga ke persoalan ekonomi, pokitik, dan sosial budaya.

Konflik dan kekerasan itu menurut Irfan dipicu oleh sikap diskriminatif, kurangnya toleransi, rendahnya rasa kebersamaan, dan kentalnya prasangka negatif antarkelompok agama maupun intra agama. “Kondisi ini yang tidak boleh kita biarkan begitu saja,” ujar Irfan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora.

Melihat Kondisi negara-negara Islam di Timur Tengah yang rentan konflik, Irfan tidak ingin Indonesia menjadi seperti itu. Maka dengan program PFP, pendekatan pada masyarakt sangatlah penting.

Melalui program PFP, Irfan juga berharap dapat menghapus paradigma radikalisme yang berasal dari pesantren. Menurutnya, justru pesantrenlah yang masih mengajarkan kemurnian ajaran islam. Justru pesantren-lah yang mampu menangkal radikalisme menjalar di kalangan masyarakat.

“Program PFP diharapkan dapat meningkatkan peran penting pesantren sebagai lokomotif moderasi islam di Indonesia,” ujar Irfan

Peran pesantren ini yang akan menegakkan dan memajukan hak asasi manusia, demokrasi dan toleransi. Hingga akan terwujud islam yang penuh perdamaian dan kelembutan dalam menyelesaikan konflik dan permasalahan yang datang.

 

sumber: Republika Online