Petunjuk Nabi dalam Bepergian dan Melakukan Perjalanan (Bag.2)

Keenam: Nabi melarang wanita untuk bepergian sendirian

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحرمٍ، وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya. Dan tidak boleh seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahram.”

Seorang lelaki kemudian berdiri dan mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا

“Sesungguhnya istriku telah keluar untuk menjalankan ibadah haji, sementara aku telah diwajibkan untuk mengikuti sebuah peperangan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,

اِنْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

“Pergilah dan kerjakan haji bersama istrimu.” (HR. Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341)

Nabi memerintahkan lelaki tersebut untuk mendahulukan kepentingan menemani istrinya pergi berhaji (sehingga istrinya tidak safar sendirian tanpa mahram) daripada menjawab panggilan berjihad yang mana merupakan kewajiban bagi dirinya sebagai seorang lelaki. Ini menunjukkan betapa pentingnya mahram bagi seorang wanita tatkala melakukan safar. Sebuah perintah Nabi yang sayangnya banyak dihiraukan oleh wanita muslimah di zaman sekarang.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dari kalangan perempuan untuk melakukan hal serupa.

Ketujuh: Memanfaatkan momentum safar untuk berdoa

Safar merupakan salah satu kondisi di mana doa seorang muslim menjadi mustajab dan mudah dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Saat seorang muslim sedang dalam perjalanan safarnya, alangkah baiknya untuk berdoa bagi dirinya sendiri, kedua orang tuanya, dan bagi kemaslahatan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

ثلاثُ دعواتٍ مستجاباتٌ لا شَكَّ فيهِنَّ ؛ دَعوةُ المظلومِ ، ودعوةُ المسافرِ ، ودعوةُ الوالدِ على ولدِهِ

“Tiga doa yang tidak ada keraguan akan diterima: doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua (ayah dan ibu) kepada anaknya.” (HR. Abu Dawud no. 1536, Tirmidzi no. 1905, Ibnu Majah no. 3862, dan Ahmad no. 7501)

Kedelapan: Disunahkan mengqasar (memendekkan) salat dan diperbolehkan untuk menjamaknya

Mengqasar salat adalah mengerjakan salat Zuhur, Asar, dan Isya menjadi dua rakaat saja. Adapun salat Subuh dan Magrib, maka tidak bisa diqasar.

Qasar (memendekkan) salat merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap perjalanan panjangnya. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan,

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Aku menemani Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam (dalam perjalanan safarnya) dan beliau tidak pernah menambah salat lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian juga Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ’anhum.” (HR. Bukhari no. 1102, Muslim no. 689)

Adapun menjamak salat bagi musafir, maka hukumnya adalah diperbolehkan, baik itu menggabungkan salat Zuhur dengan Asar, ataupun salat Magrib dengan Isya’. Yaitu, apabila terdapat kesulitan dalam perjalanannya untuk melaksanakan setiap salat tepat pada waktunya. Seperti menaiki kendaraan umum yang tidak berhenti di setiap waktu salat, atau tatkala bepergian dengan transportasi yang terikat dengan jadwal keberangkatan ketat, seperti pesawat dan kereta.

Perlu kita bedakan juga antara sunah qasar dan sunah menjamak salat. Di mana yang menjadi keringanan secara khusus bagi seorang musafir adalah mengqasar. Adapun menjamak salat, maka ia bukanlah sunah yang terikat dengan safar secara khusus.

Menjamak salat dilakukan dengan menyesuaikan kondisi perjalanan kita. Jika menemukan kondisi yang menyusahkan untuk melaksanakan setiap salat tepat pada waktunya, maka kita diperbolehkan untuk menjamak salat. Namun, apabila dimungkinkan untuk melaksanakan setiap salat tepat pada waktunya (meskipun diqasar), maka itu lebih utama.

Terlebih lagi, apabila kita sedang singgah di suatu tempat atau telah sampai di tempat tujuan kita, maka melaksanakannya tepat pada waktunya itu lebih utama. Syekh Binbaz rahimahullah pernah mengatakan,

وله الجمع، يجوز له الجمع بين الظهر والعصر، بين المغرب والعشاء، لكن تركه أفضل، إذا كان نازلًا ليس عليه مشقة تركه أفضل.

“Orang yang safar dibolehkan menjamak salat Zuhur dan Asar, salat Magrib dan Isya. Namun, meninggalkan hal tersebut lebih utama. Jika ia sedang singgah di suatu tempat dan tidak ada kesulitan (untuk melaksanakan setiap salat pada waktuya), maka meninggalkan jamak itu lebih utama.” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi)

Kesembilan: Segera pulang menemui keluarganya tatkala sudah selesai dari urusannya

Saat telah menyelesaikan urusan yang menyebabkan kita melakukan safar dan perjalanan jauh, serta meninggalkan keluarga, maka syariat memerintahkan kita untuk bersegera pulang dan tidak menunda-nunda bertemu dengan keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أحَدَكُمْ طَعَامَهُ وشَرَابَهُ ونَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إلى أهْلِه

“Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka, apabila dia telah selesai dari urusannya, hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

Kesepuluh: Membaca doa tatkala perjalanan pulang dari safarnya

Saat perjalanan pulang dari safar, disunahkan membaca doa safar kembali,

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبونَ  ثمَّ قالَ الحمدُ للَّهِ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ اللَّهُ أَكبرُ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ سبحانَك إنِّي ظلمتُ نفسِي فاغفِر لي فإنَّهُ لا يغفِرُ الذُّنوبَ إلَّا أنتَ

“Mahasuci Zat yang telah menundukkan untuk kami hewan ini, dan tidaklah kami dapat memaksakannya, dan hanya kepada Tuhan kami, niscaya kami akan kembali.” Kemudian ia mengucapkan, “Alhamdulillaah.” tiga kali, “Wallaahu akbar ” tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan “Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa, kecuali engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602, Tirmidzi no. 3446, dan Ahmad no. 753)

Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa,

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هذا البِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ العَمَلِ ما تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هذا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ في الأهْلِ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بكَ مِن وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ المَنْظَرِ، وَسُوءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَالأهْلِ

“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan dan takwa serta amal perbuatan yang Engkau ridai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan ini dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam bepergian dan pelindung terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan, dan kepulangan yang menyusahkan dalam harta benda, keluarga, dan anak.” (HR. Muslim no. 1342)

Kemudian ditambah dengan bacaan,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ

“Tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, dan pujian dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Kita kembali, sebagai hamba yang bertobat, beribadah, sujud untuk Rabb kita dan yang memuji-Nya. Allah Mahabenar dengan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan sendiri musuh-musuh-Nya.”

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ إذَا قَفَلَ مِنَ الغَزْوِ، أوِ الحَجِّ، أوِ العُمْرَةِ؛ يَبْدَأُ فيُكَبِّرُ ثَلَاثَ مِرَارٍ، ثُمَّ يقولُ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وحْدَهُ لا شَرِيكَ له، له المُلْكُ، وله الحَمْدُ، وهو علَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ، آيِبُونَ تَائِبُونَ، عَابِدُونَ سَاجِدُونَ، لِرَبِّنَا حَامِدُونَ، صَدَقَ اللَّهُ وعْدَهُ، ونَصَرَ عَبْدَهُ، وهَزَمَ الأحْزَابَ وحْدَهُ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah kembali dari peperangan, haji atau umrah, maka beliau mengucapkan takbir di setiap tempat yang tinggi sebanyak tiga kali, kemudian beliau membaca, ‘Tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia berkuasa atas segala sesuatu. Kita kembali sebagai hamba yang bertobat, beribadah, dan bersujud kepada Rabb kita dengan terus memuji-Nya. Allah akan menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan golongan-golongan kafir dengan sendiri-Nya.’”  (HR. Bukhari no. 4116 dan Muslim no. 1344)

Kesebelas: Makruh hukumnya pulang malam hari ke rumah setelah melakukan safar dengan durasi yang lama tanpa memberi kabar terlebih dahulu

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

نَهَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلًا يَتَخَوَّنُهُمْ، أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang laki-laki mengetuk pintu rumah isterinya (saat kembali dari perjalanan) di waktu malam dengan maksud hendak memergoki atau mencari-cari kesalahan mereka.” (HR. Bukhari no. 1801 dan Muslim no. 715)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إذا قدمَ أحدُكُمْ لَيْلًا ، فلا يأتيَنَّ أَهْلهُ طُرُوقًا ؛ حتى تَسْتَحِدَّ المُغِيبَه ، و تَمْتَشِطَ الشَّعِثَه

“Jika salah seorang dari kalian tiba (dari perjalanan), janganlah kalian pulang ke rumah keluargamu tengah malam, supaya keluarga yang ditinggalkan dapat bersiap-siap dan menyisir rambut (menyambut kedatanganmu).” (HR. Muslim no. 715)

Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, hikmahnya adalah agar seorang istri dapat bersiap diri untuk menyambut suaminya ketika pulang, serta untuk menghindari nampaknya hal-hal kurang baik yang mungkin saja timbul karena lamanya mereka tidak berkumpul dan tidak berjumpa. Wallahu A’lam Bisshawab.

[Selesai]

Kembali ke bagian 1: Petunjuk Nabi dalam Bepergian dan Melakukan Perjalanan (Bag.1)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/90885-petunjuk-nabi-dalam-bepergian-dan-melakukan-perjalanan-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id