Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik – dalam riwayat lain: yang mulia.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad dan al-Hakim, dari Abu Hurairah)
ADA banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh Islam. Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya disebut dengan muru’ah. Apakah itu?
Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, Muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”
Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan muru’ah pun menjadi sangat luas. Sebagai ilustrasi, Imam Abu Bakr al-Khara’ithiy (w. 327 H) telah menyusun karya berjudul Makarimul Akhlaq (akhlak-akhlak mulia), yang terdiri dari 3 juz dan memuat 1.041 riwayat. Untuk tema sebaliknya, beliau menyusun kitab berjudul Masawi’ul Akhlaq (akhlak-akhlak buruk) setebal 5 juz kecil dan mengandung 872 riwayat.
Sebenarnya, ada beragam pandangan dalam masalah muru’ah ini. Para pakar hadits, fiqh, bahasa, dan sastrawan memiliki uraian tersendiri menurut sudut pandang masing-masing.
Meskipun demikian, umumnya mereka bersepakat bahwa inti muru’ah adalah akhlak mulia. Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini.
Bagaimana hasilnya? Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “Muru’ah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).
Bila kita renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-akhlak mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.
Pilar pertama, kunci muru’ah adalah memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan yang baik
Tanpanya seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah, sebab seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk. Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang, sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in, w. 94 H), “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan itu menunjukkan saudaranya.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).
Pilar kedua, yaitu kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dsb. Menurut Al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang lain, pelit, dan lebih senang jika diberi.
Allah berfirman;
وَأُحْضِرَتِ ٱلْأَنفُسُ ٱلشُّحَّ
“Dan manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa’: 128).
Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan kecenderungan negatif tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin.
Senada dengan ini Allah berfirman pula dalam QS: at-Taghabun: 16:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di dunia dan akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Untuk pilar ketiga, yaitu rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis sebagaimana disitir Al-Qur’an. Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam.
Iblis merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam. Allah pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya dari Surga.
Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud. Qatadah berkata, “Iblis iri kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku tercipta dari api, sedangkan dia ini dari tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah kesombongan. Musuh Allah itu merasa dirinya lebih hebat sehingga tidak mau bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada QS: al-Baqarah: 34).
Dengan kata lain, ketawadhuan akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat. Di balik ketawadhuan seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan topeng palsu, sebenarnya bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berlomba dalam kebaikan, tidak mencari-cari aib orang lain, menghormati orang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dsb.
Pilar terakhir muru’ah adalah tekun beribadah
Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus. Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi yang tanpa iman.
Walaupun seseorang telah menyempurnakan 3 pilar muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih terjaga.
Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan seseorang terjaga, dan inilah puncak Muru’ah. Wallahu a’lam.*
Penulis pengasuh PP Arrahmah Puteri Malang