Maraknya Fenomena Pinjol, Ditzawa Dorong LAZ Bantu Korban

Orang yang mempunyai utang atau ghorimin berhak menerima bantuan zakat

Maraknya fenomena masyarakat yang terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal dengan bunga yang sangat tinggi turut menjadi sorotan dari Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama. Kasubdit Edukasi, Inovasi, dan Kerja Sama Zakat Wakaf Wida Sukmawati mengajak pengurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk turun tangan dalam membantu masyarakat yang terjerat utang pinjol.

“Karena sesungguhnya orang yang mempunyai utang (ghorimin) merupakan salah satu golongan (asnaf) yang berhak untuk menerima bantuan dari zakat,” terang Wida, Rabu (26/1/2022).

Namun dalam memberikan bantuan kepada korban, LAZ harus melakukan verifikasi terlebih dahulu terkait alasan korban sehingga dapat terjerat utang pinjol tersebut. “Jika memang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, bisa dibantu. Namun jika hanya untuk kegiatan konsumtif, ya tidak termasuk dalam golongan gharimin tadi,” terang Wida.

Oleh sebab itu, Wida mengajak umat Islam agar menyalurkan zakatnya melalui sejumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah terjamin kredibilitasnya agar penyalurannya lebih merata kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. “Dengan menyalurkan melalui BAZNAS dan LAZ yang sudah kredibel, maka zakat tersebut menjadi lebih terjamin, baik dalam penghimpunan maupun pendistribusian,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Praktek Riba dalam Transaksi Online

Pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Ta’ala, kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Allah Ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276).

Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’” (HR. Muslim no. 2995).

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اجتنبوا السبعَ الموبقاتِ . قالوا : يا رسولَ اللهِ ، وما هن ؟ قال : الشركُ باللهِ ، والسحرُ ، وقتلُ النفسِ التي حرّم اللهُ إلا بالحقِّ ، وأكلُ الربا ، وأكلُ مالِ اليتيمِ ، والتولي يومَ الزحفِ ، وقذفُ المحصناتِ المؤمناتِ الغافلاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa saja itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, kabur ketika peperangan, menuduh wanita baik-baik berzina’” (HR. Bukhari no. 2766, Muslim no. 89).

Begitu pun dalil-dalil yang lainnya yang sangat jelas menunjukkan keharaman riba dan besarnya dosa riba. Maka sudah semestinya kita menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari riba dan tidak terlibat sama sekali dalam transaksi riba.

Definisi riba

Syekh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqhi (hal. 272) menjelaskan, “Riba secara bahasa artinya: tambahan. Secara istilah syar’i, riba adalah adanya tambahan dalam pertukaran dua barang tertentu (yaitu komoditas ribawi).”

Sebagaimana hadis dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الذَّهبُ بالذَّهبِ . والفضَّةُ بالفِضَّةِ . والبُرُّ بالبُرِّ . والشعِيرُ بالشعِيرِ . والتمْرُ بالتمْرِ . والمِلحُ بالمِلحِ . مِثْلًا بِمِثْلٍ . سوَاءً بِسَواءٍ . يدًا بِيَدٍ . فإذَا اخْتَلَفَت هذهِ الأصْنَافُ ، فبيعوا كيفَ شئْتُمْ ، إذَا كانَ يدًا بِيَدٍ

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka kalian, selama dilakukan dari tangan ke tangan (kontan)” (HR. Al Bukhari, Muslim no. 1587, dan ini adalah lafaz Muslim).

Dalam riwayat lain,

الذَّهَبُ بالذَّهَبِ، والْفِضَّةُ بالفِضَّةِ، والْبُرُّ بالبُرِّ، والشَّعِيرُ بالشَّعِيرِ، والتَّمْرُ بالتَّمْرِ، والْمِلْحُ بالمِلْحِ، مِثْلًا بمِثْلٍ، يَدًا بيَدٍ، فمَن زادَ، أوِ اسْتَزادَ، فقَدْ أرْبَى

Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, tamr dengan tamr, garam dengan garam, kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (kontan). Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba” (HR. Muslim, no. 1584).

Tidak semua barang dapat terkena hukum riba. Hanya barang-barang tertentu saja yang disebut sebagai al amwal ar ribawiyah (komoditas ribawi); yakni enam komoditas yang disebutkan dalam hadis di atas. Barang tersebut diantaranya emas, perak, burr (gandum kering), sya’ir (gandum basah), garam dan kurma, serta semua barang yang di-qiyas-kan kepada enam komoditas ini.

Dengan menggunakan qiyas, para ulama mengelompokkan komoditas ribawi terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Semua yang termasuk ats-tsamaniyah (alat tukar), di-qiyas-kan kepada emas dan perak. Sehingga uang dengan secara bentukmya (kertas, logam, fiat, digital, dst.) termasuk dalam komoditas ribawi.

2. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al kayli (makanan yang ditakar ukurannya), di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga beras yang diukur dengan ukuran liter, ini termasuk komoditas ribawi.

3. Semua yang termasuk ath thu’mu ma’al wazni (makanan yang ditimbang beratnya), yang juga di-qiyas-kan kepada burr, sya’ir, garam dan kurma. Sehingga tepung, jagung, gula ini termasuk komoditas ribawi.

Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Kaidah riba dalam hutang-piutang

Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah,

كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا

“setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat atau tambahan (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba.”

Kaidah ini bukanlah sebuah hadis yang sahih dari Nabi. Namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan para ulama. Syekh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “Hadis ini lemah menurut para ulama, tidak sahih. Namun maknanya benar menurut mereka. Bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat, maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no. 463).

Misalnya jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat atau tambahan yang datang dari transaksi hutang-piutang. Sehingga transaksi ini disebut riba sebagaimana kaidah di atas.

Sebagaimana juga disebutkan dalam hadis yang telah disebutkan di atas, “Emas dengan emas, perak dengan perak … siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.” Sedangkan uang di-qiyas-kan kepada emas dan perak, sehingga pertukaran uang dengan uang dalam hutang-piutang tidak boleh ada tambahan. Jika ada tambahan maka termasuk riba.

Hadiah pun termasuk riba

Hadiah yang diberikan penghutang kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, juga termasuk riba. Karena ini termasuk tambahan dalam hutang piutang. Sebagaimana hadis,

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا

“Dari Abu Burdah, ia berkata: Suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba. Jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu, lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak, jangan Anda mengambilnya, karena itu riba” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan rincian hukum terkait hadiah dari penghutang,

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ

“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadis Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).

Beberapa bentuk riba dalam transaksi online

1. Kartu kredit

Sebagaimana kita ketahui kartu kredit adalah kartu yang digunakan untuk melakukan pembayaran dengan pinjaman hutang dari penerbit kartu, kemudian dilunasi di kemudian hari. Biasanya penerbit kartu adalah bank, dan biasanya ada bunga yang dikenakan atas pinjaman yang telah dilakukan oleh pemegang kartu. Maka jelas di sini ada tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Demikian juga kartu kredit yang mempromosikan bunga 0% namun pemegang kartu akan dikenai denda jika melunasi hutang lewat dari batas waktu tertentu. Dimana denda ini pada hakikatnya juga termasuk tambahan dalam transaksi hutang-piutang, sehingga termasuk riba.

Para ulama dalam Majma’ Fiqhil Islami dalam muktamar ke-12 di Riyadh, pada tanggal 25 Jumadal Akhirah 1421H merilis ketetapan tentang hukum kartu kredit. Ketetapan tersebut tercantum pada ketetapan nomor 108, yang mana di dalamnya menjelaskan, “Pertama, tidak boleh menerbitkan kartu kredit dan tidak boleh menggunakannya, jika dipersyaratkan adanya tambahan riba. Walaupun pemegang kartu kredit berkomitmen untuk melunasi hutang pada jangka waktu tertentu yang bunganya 0%. Kedua, dibolehkan menerbitkan kartu kredit jika tidak mengandung ketentuan adanya tambahan ribawi terhadap pokok hutang.”

2. Pinjaman online (pinjol)

Di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP. Uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. Namun jelas di sana ada bunganya. Bahkan bunga besar dan mencekik. Andaikan bunga pinjaman ini kecil, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama. Apalagi jika bunganya besar.

Ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir Rahimahullah mengatakan,

أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang, jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5/28).

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan, “Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

3. Diskon karena simpan saldo

Dr. Erwandi Tarmizi Hafizhahullah dalam buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (hal. 279 – 281) menjelaskan bahwa saldo digital seperti OVO, DANA, Gopay, Shopeepay, dan semisalnya, hakikatnya adalah transaksi hutang-piutang. Artinya, ketika nasabah melakukan deposit saldo, hakikatnya nasabah sedang memberikan hutang kepada provider layanan. Bukan akad wadi’ah (penitipan). Karena dalam akad wadi’ah, orang yang dititipkan tidak boleh menggunakan barang titipan tanpa izin dari pemiliknya. Sedangkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan pembayaran digital menggunakan saldo yang terkumpul untuk investasi dan semisalnya.

Ketika yang terjadi adalah transaksi hutang-piutang, maka tidak boleh ada manfaat tambahan yang diberikan kepada nasabah, seperti cashback, diskon, hadiah dan semisalnya. Karena adanya manfaat tambahan tersebut, membuat ia menjadi transaksi riba. Sebagaimana riwayat dari Abu Burdah, ia berkata, “suatu hari saya datang di  kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam rRadhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi, gandum, atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba’” (HR. Al-Bukhari no. 3814).

Para ulama dalam Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Akad top-up Gopay adalah akad hutang seperti deposit uang di bank. Maka diskon harga bagi konsumen adalah manfaat yang didapatkan dari menghutangi dan ini adalah riba. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dan kaidah baku dalam muamalah, “Semua hutang yang menghasilkan manfaat maka itu adalah riba.” Artinya, diskon Gopay adalah riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 3).

Namun boleh saja menggunakan saldo digital selama tidak ada manfaat tambahan seperti cashback, diskon, hadiah , dan semisalnya. Karena pada prinsipnya, boleh saja melakukan transaksi hutang-piutang selama tidak ada tambahan riba. Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad menjelaskan, “Hukum memakai Gopay pada asalnya adalah halal, asalkan tidak memakai atau mendapatkan potongan harga maupun manfaat tambahan lainnya, karena hal itulah yang menjadikannya riba” (Fatwa Dewan Fatwa Perhimpunan Al Irsyad, no. 05/DFPA/VI/1439, poin 4).

4. Jual-beli emas secara online

Jika pembaca sekalian telah memahami hadis yang telah disebutkan di atas, disebutkan di sana “Emas dengan emas, perak dengan perak … kadarnya harus semisal dan sama, harus dari tangan ke tangan (serah terima langsung)” (HR. Muslim, no. 1584). Maka jual-beli emas disyaratkan harus serah terima barang secara langsung, tidak boleh ada penundaan. Jika terjadi penundaan maka terjadi riba nasi’ah. Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ ketika ditanya tentang jual-beli emas melalui telepon, mereka menjawab,

هذا العقد لا يجوز أيضا؛ لتأخر قبض العوضين عنه، الثمن والمثمن، وهما معا من الذهب أو أحدهما من الذهب والآخر من الفضة، أو ما يقوم مقامهما من الورق النقدي، وذلك يسمى بربا النسأ، وهو محرم، وإنما يستأنف البيع عند حضور الثمن بما يتفقان عليه من الثمن وقت العقد يدا بيد‏.‏

“Akad yang seperti ini tidak diperbolehkan juga. Karena adanya penundaan qabdh (serah-terima), antara dua barang yang ditukarkan, antara tsaman dengan tsaman. Sedangkan barang yang dipertukarkan adalah sama-sama emas atau salah satunya emas dan yang lainnya perak, atau juga barang-barang yang menempati posisi keduanya seperti uang kertas dan logam. Ini dinamakan riba nasi’ah, dan ini haram hukumnya. Solusinya, akad jual-belinya diulang kembali ketika menyerahkan pembayaran nominal harga yang telah disepakati dan barang diserah-terimakan secara langsung di majelis akad ketika itu” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 13/475).

Wallahu ta’ala a’lam, demikian beberapa contoh praktek riba dalam transaksi online. Hendaknya jauhkan diri kita dari model-model transaksi demikian. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/71668-praktek-riba-dalam-transaksi-online.html

Mengapa Anda Harus Hindari Pinjaman Online? Ini Alasannya

Pinjaman online kerap mendatangkan unsur zalim dan mudharat

Kemajuan teknologi di zaman ini, membawa banyak kemudahan bagi Umat Islam. Salah satu kemudahan yang bisa kita dapatkan melalui teknologi adalah dengan hadirnya financial technologi atau fintech.   

Saat ini, hal tersebut sedang marak dilakukan banyak masyarakat khususnya umat Islam dengan meminjam uang melalui aplikasi atau tawaran-tawaran pinjaman melalui pesan yang masuk ke ponsel kita yang biasa disebut pinjaman online (Pinjol). 

Banyak masyarakat yang tergiur dengan hal itu. karena dirasa sangat mudah untuk mendapatkan uang dan dengan cepat bisa mengatasi keperluanya. Namun, di balik itu, kita sering juga mendengar bagaimana negatifnya akibat meminjam uang dari Pinjol ini. Lantas, bagaimana pandangan dan hukum Islam terkait dengan Pinjol ini? 

Anggota Komisi Fatwa MUI, menjelaskan dalam prinsip Hukum Islam, dikenal dengan ‘’mengupayakan banyak yang maslahah dan meninggalkan yang mudharat’’. Artinya, berusaha untuk melakukan perbuatan yang memberikan manfaat, ketimbang melakukan yang mendatangkan keburukan atau  kerugian. 

Dia menyebutkan, dalam berbagai kasus yang terjadi di Pinjol ada nasabah yang meminjam lewat Pinjol sebesar Rp 2 juta. Tetapi, dalam beberapa bulan dan dikalkulasikan dengan bunganya bisa berlipat-lipat. “Sehingga, yang tadinya Rp 2 juta, bisa menjadi Rp 20 juta bahkan bisa lebih,” tutur dia kepada MUI.OR.ID, Selasa (15/6). 

Jadi, kata Kiai Nurul, jika pinjaman tersebut berkembang biak banyak seperti itu, pasti akan ada pihak yang dizalimi. Padahal, di ujung ayat tentang riba antara lain QS  Al Baqarah 279 disebutkan  لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ: ‘’latazlimuna wala tuzlamun’’ mereka tidak melakukan kezaliman dan mereka tidak dizalimi. 

“Jadi, kalau ada unsur zalim dan menzalimi. Itu berarti ada dharar. Padahal, prinsip anjaran Islam ‘’adh dharar yuzal’’ atau setiap yang membawa mudharat, harus dihilangkan.

Kiai Nurul memprediksi, pinjaman online yang saat ini sedang marak akan hilang karena seleksi alam. Dia juga menambahkan, bahwa saat ini yang sangat penting untuk dilakukan adalah dengan mengedukasi masyarakat agar tidak menggubris atau bila perlu langsung menghapus pesan tawaran pinjaman online. “Karna pinjaman online, kecenderunganya sudah pasti merugikan dan mendzalimi pihak yang meminjam,” kata dia.  

Oleh karena itu, berdasarkan prinsip hukum Islam, الضرر يزال adh dhararu yuzal, kemudharatan harus dihapuskan. Sedangkan, جلب النفع ودفع الضرر jalbun naf’i wadafu adh dharar, menarik yang manfaat dan menghindarkan mudharat harus diutamakan. 

Maka, pinjaman online itu, menurut pandangan Kiai Nurul harus dihapuskan. Karena mudharatnya akan jauh lebih berbahaya. Adapun pinjaman online berbasis syariah, dia menuturkan sayangnya itu pun hampir sama praktiknya. Baginya, pinjamin yang bunganya berkembang biak sangat besar merupakan kezaliman dan tindak kejahatan cyber crime yang pelakunya harus diusut.

“Ini salah satu tindak pidana, pelakunya mesti dihukum tapi pihak berwajib (perlu) untuk melacak satu akun atau person tertentu yang melakukan kejahatan bidang cyber crime,” kata dia. 

Sumber: mui

KHAZANAH REPUBLIKA

Pinjaman Online Jauh dari Syariat Islam

Setiap Muslim hendaknya menghindari akad dalam pinjaman yang tak sesuai syariat Islam.

Pinjaman online (pinjol) sedang menjadi tren di tengah masyarakat Indonesia. Banyak orang tergoda meminjam uang secara online karena dirasa sangat mudah dan cepat bisa mengatasi keperluannya.

Namun, di balik itu, kita sering juga mendengar bagaimana negatifnya akibat meminjam uang secara online ini. Lantas, bagaimana sejatinya pandangan dan hukum Islam terkait pinjaman online?

“Dalam kasus pinjaman online, sudah sangat tampak bahwa praktik ini jauh dari garis hukum syariat,” ujar pakar fikih di Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Zarkasih Lc, saat dihubungi Republika, Rabu (16/6).

Hal pertama yang membuat pinjaman online jauh dari syariat Islam, menurut dia, adalah adanya riba. Tak tanggung-tanggung, ada dua riba sekaligus yang terkandung dalam pinjaman online.

“Yakni riba nasiah, yaitu tambahan karena penundaan, juga riba fadhl, yakni tambahan yang disyaratkan oleh pihak pemberi utang dari nilai pokok utang,” katanya.

Ia mencontohkan, seseorang yang meminjam secara online sebanyak Rp 1 juta, tapi uang yang diterima kurang dari Rp 1 juta. Nantinya ia harus mengembalikan utangnya sebesar Rp 1 juta ditambah bunga dan denda jika terjadi keterlambatan.

“Jauh sekali dari konsep memudahkan dan memberi pertolongan yang mana itulah tujuan utang dalam syariat,” katanya.

Keburukan lain dari pinjaman online, menurut Ustaz Zarkasih, adalah membuat orang mudah meminjam walau tidak sedang memiliki kebutuhan yang mendesak. Hal ini terjadi karena aksesnya yang sangat mudah.

“Ini jelas-jelas tidak sesuai dengan semangat syariat yang seketat mungkin mencegah seorang Muslim untuk gampang berutang,” katanya.

Sementara, peneliti dari Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Isnan Ansory Lc MAg, berpandangan, umat Islam dilarang melakukan pinjaman kepada lembaga apa pun dan dengan cara apa pun, baik online maupun offline, jika di dalamnya terdapat akad ribawi.

“Yaitu akad utang piutang dengan penambahan nilai pinjaman dari pokok pinjaman,” kata Ustaz Isnan.

Terlebih, jika karena suatu keterlambatan kemudian dibebankan bunga tambahan atas pinjamannya, dalam akad seperti ini telah terjadi dua dosa riba sekaligus, yaitu riba fadhl dan riba nasiah.

Ia menekankan, setiap Muslim hendaknya menghindari akad-akad seperti itu, sembari tetap mengusahakan jalan akad lainnya yang halal. Misalnya, melalui pinjaman tidak berbunga atau melalui akad mudharabah (pemberian modal usaha dengan ketentuan bagi hasil atas keuntungan yang didapat).

“Di samping itu, umat juga perlu diedukasi tentang sisi negatif utang,” katanya.

Meski berutang tidak dilarang dalam Islam, selama tidak berdasarkan pada akad yang ribawi, tetap saja banyak hal yang negatif dalam utang. Apalagi jika berutang hanya sekadar untuk memenuhi hasrat gaya hidup yang tidak ditopang dengan kemampuan pelunasan utang yang logis.

“Jadi, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, haramnya riba dalam akad utang piutang. Kedua, sisi negatif berutang.”

OLEH UMAR MUKHTAR

REPUBLIKAid