Pemilihan umum adalah momen penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Melalui pemilihan umum, rakyat memiliki kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Namun, di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama tertentu, terdapat fenomena yang memprihatinkan, yaitu politisasi agama dalam Pemilu [pemilihan umum].
Penggunaan tren agama sebagai komoditas politik, terutama menjelang pemilihan umum mengalami kenaikan. Politisasi agama merujuk pada penggunaan agama sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik untuk kekuasaan dan memperoleh dukungan massa tertentu. Hal ini dapat dilakukan oleh partai politik, kandidat, atau kelompok-kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan sentimen agama untuk mendapatkan dukungan politik.
Politisasi agama dalam pemilihan umum memiliki bahaya yang serius bagi stabilitas politik, harmoni sosial, dan nilai-nilai demokrasi. Dalam esai ini, kami akan membahas dampak, tantangan, dan solusi terkait bahaya politisasi agama saat pemilihan umum.
Dampak Politisasi Agama dalam Pemilu
Ketika agama digunakan secara politis, hal itu dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Pertama, meningkatnya ketegangan sosial dan konflik. Salah satu dampak paling mencolok dari politisasi agama dalam pemilihan umum adalah meningkatnya ketegangan sosial dan konflik antar-kelompok. Politisasi agama cenderung memperkuat identitas keagamaan dan memicu sikap eksklusifisme terhadap kelompok lain.
Hal ini bisa mengarah pada polarisasi masyarakat, meningkatnya intoleransi, dan bahkan kekerasan antar-agama. Ketika politik berperan dalam memanipulasi sentimen agama, agenda politik menggantikan pertimbangan rasional, dan hal ini dapat menghancurkan dasar-dasar pluralisme dan keharmonisan sosial. [R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred, 2000].
Lebih lanjut, politisasi agama dalam pemilu mencakup meningkatnya polarisasi masyarakat, diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok agama minoritas, reduksi kompleksitas isu-isu politik, dan penurunan kualitas pemimpin yang dipilih.
Ini mengarah pada pembagian yang lebih dalam dalam masyarakat, penekanan terhadap suara minoritas, pengabaian isu-isu penting yang tidak berkaitan dengan agama, dan pemilihan pemimpin yang tidak berdasarkan kualifikasi dan kemampuan mereka.
Kedua, ancaman terhadap prinsip kebebasan beragama. Politisasi agama dalam pemilihan umum juga memberikan ancaman terhadap prinsip kebebasan beragama. Penggunaan agama sebagai alat politik cenderung membatasi kebebasan individu untuk mempraktikkan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Agama yang semestinya menjadi sumber inspirasi dan pemersatu, malah menjadi alat pembagian dan perpecahan. Akibatnya, masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda mungkin menghadapi diskriminasi dan marginalisasi.
Dalam konteks demokrasi, politisasi agama mengancam prinsip inklusi, kebebasan berpikir, dan keadilan dalam kebijakan publik. Eksklusi dan marginalisasi kelompok agama minoritas mengancam keragaman dan harmoni sosial.
Sementara penindasan terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi merusak prinsip kebebasan dalam demokrasi. Keputusan politik yang didasarkan pada pertimbangan agama juga mengarah pada kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan.
Selain itu, politisasi agama dalam Pemilu juga dapat mengancam kebebasan beragama secara individual. Ketika agama dikendalikan oleh kepentingan politik, individu yang berbeda keyakinan dapat menjadi sasaran penindasan dan diskriminasi. Kebebasan beribadah, hak untuk mengamalkan agama masing-masing, dan hak untuk memilih atau mengubah keyakinan dapat terancam oleh politisasi agama yang keras
Tak kalah penting, politisasi agama dalam demokrasi sering kali berdampak pada kebebasan berpikir dan berekspresi. Kritik terhadap agama atau pemimpin agama dapat dianggap sebagai penghinaan atau tindakan anti-agama, yang dapat menghasilkan kriminalisasi dan penindasan terhadap kebebasan berpendapat.
Ketiga, penurunan kualitas debat dan kampanye. Politisasi agama juga berdampak pada penurunan kualitas debat dan kampanye politik. Ketika pemilihan umum menjadi ajang di mana agama dipolitisasi, isu-isu esensial seperti ekonomi, pendidikan, dan lingkungan sering kali terpinggirkan.
Kandidat cenderung berfokus pada retorika agama dan penggunaan simbol-simbol keagamaan, bukannya mengusung ide-ide kebijakan yang konstruktif. Akibatnya, pemilih kurang mendapatkan informasi yang substansial dan berimbang, sehingga terhambatnya partisipasi publik yang cerdas dan rasional.
Lebih jauh lagi, narasi polarisasi agama hanya akan mempersempit makna dari pemilihan umum, yang ujungnya tidak adanya literasi politik bagi masyarakat. Padahal, seyogianya masyarakat diberdayakan dengan pengetahuan yang memadai tentang politik, agama, dan hubungan antara keduanya. Pendidikan politik yang inklusif dan obyektif dapat membantu masyarakat memahami bahwa politisasi agama merusak prinsip demokrasi dan kehidupan sosial yang harmonis.
Keempat, politisasi agama mengakibatkan ketidakadilan dalam kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif. Keputusan politik yang didasarkan pada pertimbangan agama bukanlah fondasi yang kuat untuk menciptakan kebijakan yang adil dan merata bagi semua warga negara. Ini merusak prinsip kesetaraan dan keadilan dalam demokrasi.
Lebih jauh, ketika faktor “agama” tertentu menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan, prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan beragama dapat terabaikan. Kebijakan yang memihak pada satu agama tertentu atau membatasi kebebasan beragama dapat mengecualikan kelompok minoritas atau agama-agama yang berbeda. Dalam konteks ini, politisasi agama melanggar prinsip dasar keadilan dalam kebijakan publik, memperkuat ketidakadilan struktural, dan meningkatkan kesenjangan sosial.
Oleh karena itu, penting bagi negara-negara yang menganut prinsip demokrasi dan kebebasan untuk melindungi prinsip-prinsip dasar keadilan dan pluralisme dalam kebijakan publik. Pemisahan agama dan politik, pengakuan hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang inklusif adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi politisasi agama dan memastikan keadilan dalam kebijakan publik.
Pentingnya Persatuan dan Kesamaan Hak dalam Islam
Islam adalah agama yang menekankan persaudaraan dan kesatuan antara umat manusia. Al-Quran, kitab suci Islam, menekankan pentingnya persatuan dan menolak segala bentuk diskriminasi atau pemisahan berdasarkan ras, suku, atau latar belakang etnis. Islam menegaskan bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah dan perbedaan hanya berdasarkan ketakwaan.
Prinsip persatuan dalam Islam juga tercermin dalam praktik ibadah wajib seperti salat berjamaah, di mana umat Muslim berkumpul bersama untuk melaksanakan salat di masjid. Selain itu, Islam mendorong umatnya untuk menjaga persatuan dan menghindari perpecahan dengan mempromosikan kerja sama, toleransi, dan perdamaian antara individu dan kelompok.
Prinsip persamaan dalam Islam mencakup beberapa aspek, termasuk kesetaraan di hadapan hukum dan keadilan. Islam menekankan bahwa semua orang memiliki hak-hak yang sama, termasuk hak atas kebebasan, keadilan, dan perlakuan yang adil. Islam juga menekankan perlunya memperlakukan semua orang dengan hormat, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau kebangsaan mereka.
Dalam konteks ini firman Allah dalam Q,S al Hujarat [49], ayat 13, Allah menyatakan;
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya; Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.
Profesor Qurasih Shihab dalam buku Islam dan Kebangsaan; Tauhid, Kemanusiaan, dan Kewarganegaraan, halaman 37 mengatakan ayat di atas menegaskan bahwa manusia semua sama derajat kemanusiaannya di sisi Allah. Tidak ada perbedaan antara seorang manusia atau satu suku dengan yang lain, tidak juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara lelaki dan perempuan. Pasalnya, semuanya diciptakan dari laki-laki dan perempuan.
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan persatuan dan kesatuan umat manusia. Islam menekankan pentingnya persaudaraan dan keterikatan antara sesama manusia tanpa memandang suku, ras, atau bangsa. Prinsip-prinsip Islam mendorong umat muslim untuk hidup secara harmonis dalam masyarakat yang beragam.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat memenuhi sendiri aneka kebutuhan kita. Dari sini manusia, harus bekerja sama bahkan mengorbankan sebagian dari kepentingan untuk meraih manfaat bersama, sehingga dari sini persatuan kita butuhkan dalam arti harus menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan masing-masing.
Tanpa persatuan dan kesatuan umat manusia akan hancur berantakan dan terjebak dalam perpecahan. Dalam konteks ini, perselisihan dan perpecahan dapat memiliki dampak yang serius pada stabilitas politik dan sosial suatu negara atau komunitas. Ketika ketidakharmonisan dan konflik merajalela, ketegangan politik dan sosial meningkat, dan kondisi menjadi tidak stabil. Dalam Q.S al Anfal [8]; ayat 46, Allah berfirman;
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
Artinya; Taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Sikap perselisihan dan perpecahan memiliki konsekuensi serius yang dapat merusak hubungan sosial, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan intelektual. Al-Qur’an, melalui ayat di atas mengajak kita untuk memahami dan menghindari bahaya-bahaya ini dengan mempromosikan perdamaian, toleransi, solidaritas, dan persatuan dalam kehidupan kita sehari-hari.