Benarkah Kartini yang Terhebat?

“Kita mengambil alih R.A Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.” (Harsja W. Bachtiar)

Sobat Panjimas, sadar dan ingatlah slalu bahwa remaja muslim harus bermental kritis, evaluatif. Generasi muda muslim nggak selayaknya hanya membebek pada apa aja yang terjadi di sekelilingnya.

Sebentar lagi 21 April. Kalian tau, kan, hari apa itu? Pun juga tau, kan, apa yang dilakuin masyarakat Indonesia, utamanya kaum hawa dalam menyambut hari itu?

Ya, 21 April adalah hari lahir R.A. Kartini, seorang tokoh pahlawan nasional yang udah kita kenal sejak kita SD, sebagai ikon emansipasi wanita. Nah, demi mengenang kembali ketokohannya, hampir setiap instansi, ibu-ibu PKK, bahkan karang taruna, nyambut itu  dengan macem-macem perayaan. Dan kita wajib ngerti dan akui, kebanyakan mereka (eh, kita) ngikutin event-event kayak gitu berangkat dari mental membebek, tanpa daya kritis sama sekali. Betul? Udah, ngaku aja, nggak dimarahin kok.

Bahkan, Sob, saking “agung”nya R.A. Kartini, sampe-sampe ada Lagu Wajib berjudul “Ibu Kita Kartini” yang anak TK aja udah pada hafal liriknya. Ya, anak-anak TK. Di negeri ini udah di-mindset lewat lagu, bahwa R.A. Kartini adalah “ibu”nya!

Sobat, bila kalian baca saksama dan ngerenungin petikan Pak Harsja di atas, logisnya akan numbuh rasa penasaran di benak. Kok bisa Belanda yang ngeawalin penokohan dan pengagungan R.A. Kartini sebagai pahlawan Indonesia? Dan karna di sekolah, kita juga dikenalin dengan tokoh-tokoh pahlawan wanita lain kayak Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Dewi Sartika, tapi kenapa nggak ada hari peringatan khusus buat mereka, apa mereka masih kalah hebat ketimbang Kartini?

Okay, ayo lepas rasa penasaran itu dengan mulai cermatin sejarahnya…

Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan  Etika” C.Th. van Deventer adalah  orang-orang Belanda yang terdepan nampilin Kartini sebagai pahlawan wanita Indonesia.

Kalian kenal Snouck Hurgronje? Aku optimis, kalian kenal nama itu. Dan kalian para remaja muslim pun faham, bahwa Snouck adalah seorang munafiq Belanda. Ia seorang penipu, ia berpura-pura jadi ulama hanya untuk merusak ajaran Islam! Snouck Hurgronje sebenernya adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda. Dan manusia pendusta itulah yang ngedorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, ngasih perhatian spesial buat Kartini dan dua saudaranya.

Singkat kisah selanjutnya, R.A. Kartini kenalan sama Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Cewek Belanda yang akrab dipanggil Stella ini lalu ngenalin Kartini pada ide-ide Barat, terutama soal  perjuangan wanita dan sosialisme. Dan ternyata Si Stella ini seorang Yahudi dan jadi aktivis Freemasonry.

Kartini, seorang wanita Jawa  yang baru beranjak dewasa pun jadi akrab banget dengan kedua perempuan Belanda itu. Ia jadi rajin berkirim surat dengan Nyonya Abendanon maupun Si Stella. Surat-surat itu berisi curhat-curhatnya soal feodalisme di kalangan bangsawan Jawa, dan keluhannya akan perlakuan diskriminasi bagi kaum wanita. Nah, jadi deh ini peluang ngebentuk arah pemikiran Kartini.

Lalu, singkat kisah berikutnya usai R.A. Kartini meninggal di usia 25 tahun pada 1911, enam tahunan berikutnya Abendanon nerbitin buku yang isinya surat-surat R.A Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Lalu diterbitin juga edisi Bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Lalu pada 1922, diterbitin versi Bahasa Indonesianya dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang“: Boeah Pikiran. Begitu ceritanya…

Nah, sekarang kita simak lagi penuturan Pak Harsja.

“Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas R.A Kartini sendiri, dalam masa kehidupan R.A Kartini, hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak mengekspos Kartini.”

Nah, lo. Jadi artinya, R.A. Kartini memang sengaja ditokohkan oleh Belanda sebagai “pahlawan” karna jalan pikiran wanita itu udah mereka bentuk jadi berkiblat ke Barat. Dan kelakuan Belanda ini jelas sebuah bentuk konspirasi politik. Dan… ternyata berhasil juga. Iya, kan? Iya lah. Buktinya, kalian para remaja muslim pun pada enjoy aja ngikutin aneka kegiatan peringatan Hari Kartini. Betul? Udah, ngaku aja nggak papa. Beneran nggak papa. Asal… setelah baca tulisan ini, mindset kalian tentang ikon pahlawan wanita Indonesia harus diubah!

Kita punya pahlawan-pahlawan wanita yang jauh lebih hebat dari Kartini. Mereka jelas udah ngelakuin perlawanan terhadap Belanda. Lewat pendidikan, media, bahkan dengan terjun ke medan pertempuran, kayak Cut Nyak Dien.

Informasi tentang kehebatan wanita-wanita Indonesia mestinya dibuka seluas-luasnya, sehingga kita-kita jadi ngeh dan ngambil inspirasinya. Dan kalo nyatanya dalam banyak hal mereka lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus akui dan hargai dengan jujur, adil, dan bijak, tanpa memperkecil penghargaan kita pada R.A. Kartini.

Kalo R.A. Kartini hanya nyampein ide-idenya dalam surat pribadi ke cewek Belanda, para tokoh pahlawan wanita yang lain udah lebih jauh ambil langkah dan tindakan nyata.

Jika nama dan pemikiran R.A. Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang seorang Belanda, Rohana Kudus, seorang tokoh pahlawan wanita di bidang media, udah nyebarin ide-idenya langsung lewat koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri ini pada masa R.A. Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Ya, sebelum lahir Kartini, sejarah telah nyata bilang bahwa wanita-wanita Indonesia nggak semuanya terbelakang akibat diskriminasi. Dan R.A. Kartini pun bukan tokoh utama penentang diskriminasi dan keterbelakangan wanita Indonesia.

Ayo, Sobat, kita tatap bareng-bareng pake mata dan hati, agar tampak wajah tokoh-tokoh di atas tadi. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang buat kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang, ia juga seorang ulama.

Di Aceh,  kisah wanita ikut berperang atau jadi pemimpin pasukan perang bukanlah fenomena aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien, dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki panglima Angkatan Laut wanita bernama Malahayati.

Makanya, Sobat, ayolah berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa bangsa Indonesia sampe hari ini masih aja ngikutin opini nggak adil bentukan Belanda ini?

Cut Nyak Dien nggak pernah sudi tunduk pada Belanda. Ia nggak pernah nyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini!

Sobat Panjimas yang semoga Allah muliakan, yuk kita renungin masalah ini, lalu kita rombak mindset kita. Jangan mau lagi jalan pikiran kita diracuni kaum kafir dengan tipudayanya. Mari kita ingatkan, ajak saudara-saudara muslim kita untuk sadar akan tipudaya ini.

Dan di edisi depan, Sobat, insya Allah kita akan ungkap soal kaitan R.A. Kartini dengan Snouck Hurgrunje. Ingat ya, Selasa depan, insya Allah. Wallahu a’lam. [IB]

 

sumber: Panji Mas

Perempuan Tiang Peradaban

Umar bin Abdullah bin Abi Rabi’ah (w 93H/711 M), pujangga ternama yang hidup pada Dinasti Umayah, tak henti-hentinya memuja kecantikan perempuan. Ia menjadikan kaum hawa tersebut sebagai inspirasi dalam puisi-puisinya. Dalam kekagumannya, sosok yang didaulat sebagai tokoh Quraisy paling puitis itu menulis:

Aku melihat paras dan aura kehawaannya
Seperti sinar rembulan yang elok
Ketika tampak dari kegelapan
Dengan segera wajahnya bersinar

Kekaguman dan penghormatannya terhadap perempuan begitu mengkristal. Ia juga sering disebut-sebut sebagai spesialis penyair yang berkaitan dengan kecantikan, keelokan, dan misteri agung perempuan. Begitulah perempuan.

Kerapuhan mereka bukan untuk ditindas, mereka lemah, tetapi sejatinya sangat kuat, melampaui batas kemampuan pria meski tak banyak yang menyadari. Perilaku barbar manusia modern saat ini yang memperbudak, menjual, dan menindas perempuan mengingatkan kita terhadap kelakuan yang sama pada peradaban masa kuno.  

 

Apakah memang siklus peradaban masa kini tengah berbalik ke masa lampau sebagaimana yang diteorikan oleh Lauer, Oswald Spengler, atau Pitirim Sorokin? Berbagai peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa direncanakan pada titik tertentu.

Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional, dan modern tidak jelas. Atau, ini adalah upaya mencapai peradaban yang lebih tinggi, seperti prediksi Arnold Toynbee?

Dari sisi lain, betapa pada hakikatnya sebagian kecil dunia mengakui bahwa cara, metode, dan prinsip-prinsip penghormatan Islam terhadap perempuan menginspirasi dunia. Ini, antara lain, terlihat dari sejumlah karya para orientalis. Kratosvieski, orientalis asal Rusia, menulis Asbania al-Muslimah.

Menurutnya, terangkatnya martabat perempuan Spanyol terpengaruh oleh tradisi umat Islam yang berkuasa beberapa dekade di wilayah tersebut. Pendapatnya itu dikuatkan oleh ilmuwan asal Prancis, Brufansal, dengan karyanya yang berjudul, La Civilisation Arabe en Espagne (Peradaban Arab di Spanyol).

 

Penghormatan terhadap perempuan yang digariskan oleh Islam bukti bahwa Islam selangkah lebih maju dibandingkan dengan peradaban yang lebih dulu eksis dan tumbang. Pada saat perempuan dikebiri haknya, Islam memberikan secara proporsional hak-hak tersebut, dalam banyak hal, mereka setara dengan laki-laki, bahkan lebih mengetahui, seperti dalam kasus pengetahuan keagamaan keperempuanan, Aisyah RA contohnya.

Tak mengherankan bila sejarah mencatat banyak tokoh dari golongan hawa yang sukses menorehkan prestasi di berbagai bidang. Meski, perbandingannya masih teramat kecil. Bagi Fatimah Mernissi itu wajar, mengingat budaya patriarki yang teramat kental dalam masyarakat Arab saat itu. Meski demikian, peradaban Islam menjadi tonggak bangkitnya kemuliaan perempuan. Mereka berperan besar dalam membangun peradaban yang bermartabat.

Dalam bidang fikih, sejarah mencatat nama Amra’ binti Abdurrahman (98 H/716 M), Hafsah binti Sirrin (100 H/718 M), atau Ummu al-Bani Atikah. Ada pula perempuan yang terekam sejarah sebagai ahli hukum, seperti Ummu Isa bin Ibrahim (328 H/939 M) dan Amah al-Wahid (377 H/987 M).

Sejarah juga mengabadikan sejumlah nama penyair perempuan. Abu Faraj al-Ishfahani dalam kitabnya yang berjudul, Akhbar an-Nisa’ fi Kitab al-Aghani, memperkirakan jumlah pujangga perempuan itu ada pada kisaran 200 orang. Sebagian besar mereka hidup pada tabiin, generasi kedua pascasahabat.

Ada Salamah al-Qash, Khansa, atau Jamilah as-Sulamiyah yang mahir berpuisi dan bermusik. Meski sebagian besar karya mereka nyaris tak berbekas. Sejarawan menyebut, karya-karya sastra mendominasi buku-buku yang dibakar oleh Hulagu Khan saat meluluhlantakkan Baghdad pada 1258 M.

 

Ada banyak alasan tentunya mengapa tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah peradaban Islam tak banyak terungkap meski harus tetap diakui bahwa capaian ini pun jauh lebih baik ketimbang peradaban yang eksis sebelumnya.

Ibnu Sa’ad dalam magnum opus-nya di bidang biografi, ath-Thabaqat al-Kubra, hanya memasukkan 629 nama perempuan dari total 4.250 entri para tokoh yang ia catat. Persentasenya hanya sekitar 15 persen. Pemandangan serupa juga akan kita dapatkan saat menelaah kitab Wafiyat al-A’yan karya Ibnu Khalikan yang hanya mencantumkan enam tokoh perempuan dari 826 entri nama. Begitulah sejarah.

Meski banyak sisi yang terlupakan, setidaknya seberapa pun besarnya torehan yang dicapai oleh peradaban Islam menggambarkan bahwa risalah ini begitu memuliakan perempuan. Dari rahim merekalah peradaban ini tumbuh. Sebab itulah, mereka adalah tiang peradaban.

 

sumber: Republika Online