Gawai dalam Genggaman, Amal dalam Hitungan, bag. 1

Bumi ini berputar dengan cepatnya, hari berlalu, bulan berganti, dan tahun pun bertambah. Zaman terus bertumbuh dengan begitu cepatnya, hingga terkadang kita merasa menjadi yang tertinggal, karena terseok dan terjatuh mengejarnya. Begitu banyak kemudahan yang diberikan oleh Allah melalui segala rupa teknologi. Rindu yang mendalam akan mudah terobati dengan pertemuan sesaat melalui ‘video call’, rasa yang terpendam akan terurai mudah dengan percakapan akrab melalui chatting. Bahkan, segala bentuk berita dan informasi akan sangat mudah terpapar melalui website dan media sosial yang telah digunakan hampir di seluruh penjuru dunia. Sehingga terkadang waktu, tenaga, bahkan harta terbuang sia-sia hanya sekedar mengikuti berbagai macam berita viral yang tersebar di media sosial yang diikutinya. Entah berita terkini, gaya hidup, politik, kuliner, fashion, wisata, dan lain sebagainya. Apalagi jika mengikuti permainan-permainan online atau menonton film sampai lupa waktu.

Sedikit demi sedikit, namun pasti hal-hal yang terpaparkan akan mempengaruhi kehidupan seorang muslim, jika dia tidak pandai-pandai dalam mengatur dan membatasi diri dari segala informasi yang tidak bermanfaat, hal itu mungkin saja bisa merusak diri dan agamanya. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim mengetahui bagaimana memanfaatkan kemudahan ini dengan baik.

Tinggalkan yang tidak bermanfaat

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah dengan ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya.” (Hadis hasan riwayat At-Tirmidzi dan lainnya)

Syaikh Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa faedah dari hadis tersebut di antaranya adalah, setiap orang hendaknya meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, baik dalam urusan agama maupun dunianya. Yang demikian itu, lebih menjaga waktu, menyelamatkan agama, dan meringankan bebannya. Jika ia mengurusi urusan orang lain yang tidak bermanfaat baginya, pasti dia akan cepat lelah. Sebaliknya, jika dia berpaling dari urusan orang lain dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya, maka itu akan membuatnya lebih tenang dan lapang.

Mengikuti berita-berita viral yang banyak tersebar melalui media sosial baik facebook, instagram, atau website tertentu hanya akan menambah beban pikiran kita, menyita waktu, dan tenaga serta emosi yang terkadang ikut tersulut. Tentulah hal itu akan mempengaruhi aktivitas keseharian kita. Karena  membaca berita viral yang berseri, bisa melalaikan dari tugas utama yang seharusnya kita kerjakan, bisa melalaikan kita dari waktu-waktu ibadah dan waktu mustajab untuk berdoa. Maka, hendaklah kita tidak berlarut-larut dan tidak memberikan tempat untuk hal yang semacam itu dalam diri kita. Sebagai gantinya, kita ubah arah bacaan kita kepada nasihat-nasihat dari ulama yang kini pun telah banyak tersebar. Maka akun medsos kita akan lebih bermanfaat dan menyejukkan hati.

Faedah lain yang dikemukakan Syaikh Utsaimin adalah bahwa setiap orang hendaknya tidak menyia-nyiakan segala hal yang bermanfaat baginya, baik dalam urusan agama maupun dunia. Hendaknya dia selalu menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat.

Tundukkan Pandangan

Telah masyhur sebuah ungkapan ‘dari mata turun ke hati’. Dan hal ini bukan hanya masalah cinta, namun karena pandangan adalah penuntun hati, setiap yang tampak oleh mata akan memberikan pengaruh kepada hati. Dengan melihat pemandangan alam yang indah, hati menjadi gembira, lapang, dan bersemangat. Namun terkadang, hati pun bisa terluka atau ternodai karena memandang hal-hal yang tidak seharusnya terlihat.

Inilah salah satu hal yang sulit kita hindari jika kita bermain di media sosial. Berbagai macam foto dan video yang terkadang menampakkan aurat, baik wanita maupun pria, terekspos dengan mudahnya. Akun-akun komersil yang menawarkan berbagai macam kemewahan dunia, berupa pakaian, aksesori, perhiasan, dan lainnya. Sedangkan, menahan pandangan adalah sebuah kemuliaan seorang muslim. Karena pandangan jika tidak dijaga akan mengirimkan getaran ke dalam hati, kemudian hati akan berangan-angan dan berkeinginan. Sedangkan, tidaklah semua keinginan bisa dan halal untuk diwujudkan.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ، فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ لله أَوْرَثَ الله قَلْبَهُ حَلاَوَةً إِلىَ يَوْمِ يَلْقَاهُ

“Pandangan merupakan anak panah beracun dari anak-anak panah iblis. Maka, barang siapa menahan pandangannya dari kecantikan seorang wanita karena Allah, niscaya Allah akan memberikan kenikmatan dalam hatinya sampai pertemuan dengan-Nya.” (HR. Al-Hakim dalam alMustadrak, IV/313)

Nabi memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari apa saja yang tidak selayaknya kita lihat. Meski itu akan sulit dan memerlukan kesungguhan dalam melakukannya. Karena itu akan mengotori dan meninggalkan seberkas noda di dalam hati. Ada yang berkata: ‘Kesabaran menundukkan pandangan itu lebih ringan daripada kesabaran dalam menanggung beban akibatnya.”

Menahan Komentar dan Prasangka

Para pengguna media sosial pastilah paham, bahwa setiap berita yang diunggah terkadang menimbulkan pro dan kontra, memunculkan prasangka para warganet. Apalagi, disediakan tempat untuk beradu argumen dalam kolom komentar, bahkan terkadang memicu unggahan lain untuk membantah atau mendukung unggahan sebelumnya. Hal ini seperti sebuah alur alami yang terjadi di dunia media sosial. Maka, hendaknya sebagai seorang muslim menahan lisan dan hatinya untuk tidak turut berkomentar dan berbicara mengenai sesuatu yang tidak ia pahami. Hal itu lebih utama untuk menjaga kehormatan diri. Apalagi menjerumuskan diri ke dalam perdebatan yang tidak berujung karena tidak didasari dengan ilmu yang cukup. Terlebih, jika membawa permasalahan agama yang menyangkut firman Allah dan sabda Nabi, tentu para ahli ilmulah yang berhak untuk berbicara.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat.(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kita tidak tahu perkataan kita itu akan mengangkat kita beberapa derajat, ataukah perkataan itu akan menjatuhkan kita ke dalam api neraka. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam berbicara dan berkomentar adalah sebuah usaha untuk menjaga kemuliaan diri di hadapan Allah dan makhluk-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Unggahan tertentu sengaja dibuat agar menimbulkan prasangka warganet, sehingga akan menjadi buah bibir dimana-mana, baik di jejaring sosial maupun tempat-tempat bertemu. Mendorong orang-orang untuk berprasangka dan mencari-cari tentang berita tersebut. Namun, muslim yang bijak tentu tidak akan memberikan bagian dari hati dan pikirannya untuk hal-hal yang akan merugikannya di hari perhitungan kelak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Hujurat: 12)

Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan, “Prasangka buruk yang menetap di hati seseorang tidak hanya cukup sampai di situ saja bagi yang bersangkutan, bahkan akan mendorongnya untuk mengatakan yang tidak seharusnya dan mengerjakan yang tidak sepatutnya yang di dalam hal itu juga tercakup berburuk sangka, membenci, dan memusuhi saudara sesama mukmin yang seharusnya tidak demikian.”  Maka, untuk menjaga kesucian hati, hendaknya seorang mukmin menjauhkan hal itu dari dirinya.

Lanjut ke bagian 2: Bersambung insyaallah

Penulis: Rinautami Ardi Putri

Sumber: https://muslimah.or.id/17579-gawai-dalam-genggaman-amal-dalam-hitungan-bag-1.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Hukum-Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita

PUASA pada bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Dan puasa merupakan salah satu dari rukun Islam dan pondasi Islam yang besar. Ada beberapa hukum khusus tentang puasa bagi wanita.

Allah berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ )

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)

Maka apabila seorang anak wanita sudah sampai pada batas umur yang ia berkewajiban melaksanakan agama dengan nampaknya tanda-tanda baligh, salah satunya adalah ‘haidh, pada waktu itu kewajiban puasa atasnya dimulai.

Haidh itu terkadang nampak ketika berumur sembilan tahun. Terkadang ia juga belum mengetahui wajibannya berpuasa sehingga dia tidak berpuasa karena mengira bahwa dia masih kecil, sedangkan orang tua tidak memperhatikan hal itu dan tidak memerintah untuk berpuasa.

Hal ini merupakan suatu kelengahan yang sangat besar dalam meninggalkan rukun Islam. Jika hal seperti ini terjadi, maka wajib baginya untuk mengqadha puasa yang ketika pertama kali mengalami haidh itu, walaupun hal itu telah lama berlalu, karena hal tetap berlaku dan masih menjadi tanggungannya untuk dilaksanakan.

Catatan:

Dan wajib atasnya memberi makan fakir misk setiap hari setengah sha’ makanan (kurang lebih satu liter beras) di samping ia mengqadha puasanya.

ORANG YANG WAJIB BERPUASA RAMADHAN

Apabila bulan Ramadhan tiba, maka setiap muslim dan muslimah yang sudah Aqil baligh, dalam keadaan sehat dan sedang mukim di rumah (bukan musafir) wajib berpuasa.

Orang yang sedang sakit atau musafir (sedang melakukan perjalanan) pada bulan tersebut, maka ia boleh berbuka (tidak berpuasa), dan ia wajib mengqadha puasanya di bulan lain sebanyak hari yang ia tinggalkannya.

Allah Ta’ala berfirman:

… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر …

“Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadhan, maka ia wajib berpuasa. Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Demikian pula orang yang berusia lanjut (tua renta) yang tidak sanggup berpuasa, atau seorang yang sedang sakit dengan sakit yang menahun, yang mana harapannya untuk sembuh tipis dalam waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, baik dia laki-laki, maupun wanita, dia boleh tidak berpuasa, dan untuk itu dia harus memberi makan fakir miskin setiap hari setengah sha’ (kurang lebih satu liter) dengan makanan pokok yang biasa dimakan oleh penduduknya.

Allah Ta’ala berfirman:

“…maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

‘Abdullah bin ‘Abbas (Ibnu Abbas) mengatakan bahwa keterangan ayat ini untuk orang yang berusia lanjut yang mana kemampuan menjalankan tidak dapat diharapkan.’ (HR. Al-Bukhari)

Juga untuk orang sakit yang kesembuhan penyak tidak dapat diharapkan, sama seperti hukum orang yang berusia lanjut yang ia tidak perlu mengqadha puasa, karena ia tidak mungkin bisa melakukannya.

Khusus bagi wanita terdapat beberapa halangan (udzur) yang membolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, akan tetapi ia harus membayarnya dengan cara lain atau pada bulan yang lain dengan sebab dia tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tersebut.

Adapun halangan (udzur)nya sebagai berikut:

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Haid dan Nifas

HAIDH DAN NIFAS

Diharamkan bagi wanita untuk berpuasa selama ia berada dalam keadaan haidh atau nifas, dan wajib baginya mengqadha puasa pada hari-hari lainnya, berdasarkan hadits yang tercantum dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu’anhaa ia berkata:

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاة

“Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”

Ketika Aisyah ditanya oleh seorang wanita tentang hal tersebut: “Mengapa orang yang haidh harus membayar qadha puasa sedangkan dia tidak harus membayar qadha shalat?” Maka ‘Aisyah menjelaskan bahwa perkara-perkara ini merupakan perkara ‘tauqifiyah, yang mana hukum ini mengikuti nash (dalil) yang berlaku.

HIKMAH PERINTAH TERSEBUT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XV/251): “Adapun yang keluar pada waktu haidh adalah darah haidh, dan orang yang sudah biasa haidhv dimungkinkan berpuasa pada waktu tidak keluar darah haidh, maka puasanya pada waktu itu merupakan puasa yang prima, karena tidak mengeluarkan darah yang dapat memperkuat keadaan tubuhnya, karena dia salah satu unsur tubuhnya.

Adapun apabila puasanya dilakukan pada waktu keluar darah, yaitu waktu haidh, darah yang keluar adalah bagian dari unsur tubuhnya yang akan menyebabkan tubuhnya kurang prima dan lemah, dan puasanya akan terlaksana dengan kondisi yang tidak stabil, maka wanita itu diperintahkan berpuasa bukan pada haidh.

1- Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Hamil dan Menyusui

Puasa bagi seorang wanita dalam keadaan hamil atau dalam keadaan menyusui bisa menyulitkan baginya atau bagi anak bayi di dalam kandungannya, atau keduanya mendapatkan kesulitan. Maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam keadaan tersebut.

Lalu apabila kesulitan itu terjadi pada anak bayinya saja yang menyebabkan ibu tidak berpuasa, maka ia wajib mengqadha puasa dan juga memberi makan orang miskin setiap harinya.

Apabila kesulitan terjadi pada ibunya, ia hanya cukup mengqadha puasanya saja.

Hal ini berdasarkan ayat tersebut karena hamil’ dan ‘wanita menyusui’ termasuk dalam pengertian yang umum dari firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنِ .

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. Al-Baqarah: 184)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (379) “Dan yang mengikuti pengertian dalam ayat ini (orang-orang yang berat menjalankannya) adalah wanita hamil dan wanita menyusui apabila keduanya mengkhawatirkan akan kesehatan dirinya atau anaknya.”

Syukhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika wanita yang sedang hamil itu mengkhawatirkan janinnya maka ia boleh tidak berpuasa dan membayar qadha puasanya untuk setiap hari yang ditinggalkaonnya, serta memberi makan setiap harinya seorang miskin sebayak satu kati roti (makanan pokok).”

a. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Mustahadhah

Adalah darah yang keluar yang tidak sesuai dengan darah haidh seperti yang telah kita bicarakan. Maka wanita yang mengalaminya wajib berpuasa, tidak dibolehkan berbuka dengan alasan darah istihadhah tersebut.
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ketika membicarakan ‘tidak puasanya wanita yang sedang haidh: “berbeda dengan darah istihadhah, karena istihadhah keluarnya meliputi tenggang waktu dan tidak ada waktu jeda untuk diperintahkan berpuasa, dan mungkin menahannya agar tidak keluar sebagaim muntah, dan keluarnya darah pada luka bisul dan keluarnya mani pada waktu mimpi.

Untuk hal-hal tersebut tidak ada tenggang waktu tertentu yang memungkinkan untuk menjaga kejadiannya. Dengan demikian keadaan ini tidak dijadikan larangan untuk berpuasa seperti datangnya darah haidh (Majmuu’al-Fataawaa)(XXV/251)

b. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Kewajiban wanita haidh, wanita hamil dan wanita menyusui.

Apabila mereka tidak mengqadha puasa atas hari yang mereka tinggalkan antara bulan Ramadhan yang mereka tidak berpuasa dengan bulan Ramadhan yang akan datang, sedangkan segera mengqadha itu lebih utama (afdhal), dan jika hari-hari menjelang bulan Ramadhan yang mendatang itu tinggal (hanya beberapa hari lagi), maka kesempatan ini digunakan untuk mengqadha puasanya dari ditinggalkan pada Ramadhan yang telah lalu sehingga masuknya Ramadhan berikutnya.

Dan hal itu tidak disebabkan karena halangan (udzur) sehingga mereka belum mengqadhanya, maka wajib bagi mereka (nanti) untuk mengqadhanya dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya menurut hitungan jumlah harinya.

Akan tetapi apabila ia tidak mengqadhanya disebabkan suatu halangan (udzur), maka mereka hanya mengqadha puasanya saja Demikian pula bagi orang yang mempunyai kewajiban puasa qadha yang disebabkan oleh halangan sakit atau safar (berpergian jauh), maka hukumnya sama seperti mereka yang tidak berpuasa karena haidh, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

c. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Puasa sunnah.

Tidak dibolehkan bagi wanita untuk puasa sunnah apabila suaminya berada di rumah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi shallallahu bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدُ إِلَّا بِإِذْهِ.

“Tidak boleh bagi seorang isteri melakukan puasa (sunnah), sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izin suaminya.”

Dalam sebagian riwsayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan:

“Adapun jika sang suami mengizinkannya untuk melakukan puasa Sunnah, atau suaminya tidak ada di rumah, atau memang ia tidak bersuami, maka disunnahkan baginya untuk mengerjakan puasa Sunnah terutama pada hari-hari yang disunnahkan berpuasa, seperti hari Senin dan hari Kamis, 3 hari setiap bulan (tanggal 13, 14, 15), 6 hari di bulan Syawwal, hari ‘arafah, dan hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) dan sehari sebelumnya, atau sehari setelahnya.”

Pengecualian terjadi, yaitu tidak layak baginya mengerjakan puasa sunnah sedangkan ia mempunyai utang qadha Ramadhan, maka puasa qadha harus didahulukan.

d. Hukum Khusus tentang Puasa bagi Wanita: Wanita haidh suci di tengah hari Ramadhan

Apabila seorang wanita suci dari haidhnya di tengah hari pada bulan Ramadhan, maka ia harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa di sisa waktu tersebut hingga Maghrib. Dan puasa di hari itu harus diqadha beserta hari-hari yang ia tinggalkan karena Sedangkan imsaknya (menahan diri dan ikut berpuasa pada hari itu karena telah suci dari haidhnya) adalah suatu kewajiban baginya untuk menghormati waktu puasa/bulan Ramadhan. []

Dinukil dari kitab “Tuntunan Praktis Fikih Wanita” oleh Syaikh Dr. Shalih Fauzan Al-Fauzan.

ISLAMPOS

Denda Usai Pasutri Berhubungan Intim Saat Haid

Ulama fikih sepakat berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar.

Haid menjadi fitrah bagi setiap perempuan. Untuk Muslimah, haid adalah siklus bulanan yang memberikan bermacam konsekuensi. Salah satunya ialah perihal berjimak atau berhubungan intim bagi mereka yang sudah memiliki suami. Keharamannya sudah dituliskan dalam Alquran.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS al-Baqarah: 222).

Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.

QS AL-BAQARAH: 222

Pengisi kolom di Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani, menjelaskan, ulama fikih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing satu dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid atau seperlima dinar jika dilakukan pada pertengahan-akhir haid.

Pendapat di atas didukung oleh ulama dari mazhab Hanafi. Tetapi, mazhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami dan tidak kepada istri karena larangan itu ditujukan kepada suami.

Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadis berikut, “Seorang laki-laki menjimak istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda satu dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, dendanya seperlima dinar.” (HR Tirmidzi).

Sedangkan, ulama dari mazhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan, atau akhir masa haid. Mazhab Maliki berpendapat, tidak ada denda apa pun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.

Namun, pembayaran denda tersebut belum tentu menghapus dosa. Menurut Ustazah Aini, berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertobat kepada Allah, dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.

Karena itu, pasangan suami istri tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai tobat dengan meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya, dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.

REPUBLIKA

Muslimah, Inilah 7 Cara Mempercantik Diri menurut Islam

SIAPA yang tidak ingin tampil cantik dan menarik di depan khalayak ramai? Para wanita cenderung berusaha tampil secantik mungkin agar memperoleh perhatian dan pujian terutama dari lawan jenis. Dalam Islam, ada lho cara mempercantik diri, ga pake ribet, syari dan oke hasilnya.

Adanya anggapan bahwa wanita cantik akan cenderung lebih cepat mendapatkan jodoh.

Tentunya pandangan tersebut merupakan hal yang salah kaprah, karena kecantikan fisik bukanlah hal utama seperti dalam hadist berikut:

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Tahukan Anda bahwa dalam islam seorang wanita dapat terlihat cantik dan cara mempercantik diri menurut islam tanpa harus melakukan perawatan yang mahal dan menguras isi dompet. Berikut penjelannya,

1- Cara Mempercantik Diri: Rajin Berwudhu

Wudhu merupakan aktivitas yang dilakukan sebelum sholat. Tujuannya mensucikan dirih dari hadast sebagai penyempurna ibadah. Namun ternyata wudhu juga bisa mencerahkan wajah. Ketika para wanita, membasuh muka dengan air wudhu, noda dan kotoran akan luntur.

ak hanya itu, berwudhu juga menggugurkan dosa-dosa. Maka itu perbanyaklah berwudhu di setiap waktu. Seperti saat hendak keluar rumah maupun sebelum tidur malam.

2- Cara Mempercantik Diri: Rajin membaca Alquran

Alquran bukan semata-mata kitab suci yang berisi firman Allah Subhanahu wata’ala. Dengan rutin membaca ayat suci Alquran maka jiwa akan tenang dan wajah kita akan terlihat senantiasa berseri seolah mendapat nur Ilahi. Membaca kalamullah tentunya harus dilandasi oleh keikhlasan sehingga inner beauty akan terpancar hingga membuat orang terkagum-kagum.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya “Aku mendengar Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan ghurran muhajjilin (wajahnya bercahaya dan badannya bersinar) karena bekas berwudhu, maka barangsiapa mampu untuk memanjangkan ghurran hendaklah melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya “Aku mendengar Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan ghurran muhajjilin (wajahnya bercahaya dan badannya bersinar) karena bekas berwudhu, maka barangsiapa mampu untuk memanjangkan ghurran hendaklah melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

3- Cara Mempercantik Diri: Salat Tahajjud

Mengamalkan sholat tahajjud bukan perkara mudah. Sebab, sholat ini dilakukan di sepertiga malam terakhir, saat banyak orang terlelap tidur. Sehingga tak heran bila banyak orang yang lalai dan malas menunaikan ibadah sunah ini.

Padahal, di samping peluang doa kita lebih besar untuk dikabulkan Allah, sholat malam diyakini dapat membuat aura wajah kita terpancar indah. Meski tidak mengenakan krim pemutih sekalipun, wajah akan nampak cerah dan bersih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang banyak menunaikan sholat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan atau cantik di siang harinya,” (HR. Ibnu Majah).

4- Cara Mempercantik Diri: Memakai hijab sesuai syariat

Bagi seorang muslimah, kecantikan tidak diukur dari keelokan paras wajah apalagi sampai mengumbar aurat kepada lelaki bukan muhrim. Berdasarkan ajaran Islam, kecantikan wanita harus disimpan hanya untuk suaminya saja. Islam mewajibkan wanita agar mengenakan jilbab atau hijab dan diulur hingga menutupi dada.

Seorang wanita yang berhijab dengan pakaian panjang pastinya akan terlihat lebih anggun dan cantik dibandingkan wanita berpakaian minim yang mengumbar auratnya. Dengan memakai hijab, wanita juga tampak lebih terhormat serta terhindar dari risiko pelecehan. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Ahzab ayat: 59).

5- Cara Mempercantik Diri: Rajin puasa sunah

Cara mempercantik diri menurut Islam selanjutnya ialah rutin melaksakakan puasa sunah. Menurut beberapa penelitian, puasa merupakan aktivitas yang sehat. Dengan berpuasa, risiko obesitas dapat dihindari, mengurangi risiko kanker dan menyehatkan jantung.

Para muslimah tidak perlu menjalankan puasa setiap hari. Cukup puasa sunah Senin dan Kamis, maka Insya Allah kecantikan aura wajah menjadi semakin terpancar.

6- Cara Mempercantik Diri: Merawat diri tanpa mengubah bentuk

Islam tidak melarang wanita untuk mempercantik diri dengan make-up. Boleh-boleh saja mengenakan bedak saat keluar rumah. Sejumlah perawatan alamiah seperti dari minyak zaitun, susu, atau madu agar kesehatan kulit terawat juga sangat dianjurkan.

Namun satu hal yang perlu diperhatikan, Islam melarang seseorang mengubah bentuk wajah dan tubuhnya tanpa alasan yang kuat. Semisal ia ingin hidung mancung, lalu melakukan operasi plastik. Hal ini benar-benar dilarang oleh Islam. Termasuk mencukur alis, memasang tato, dan tindakan lainnya yang bertujuan mengubah bentuk asli ciptaan Allah.

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 119 yang artinya: “Dan pasti akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan kusuruh mereka mengubah ciptaan Allah (lalu mereka benar-benar mengubahnya). Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh dia menderita kerugian yang nyata,” (QS. An-Nisa: 119).

7- Cara Mempercantik Diri: Murah senyum

Senyum dapat menghadirkan kesejukan di hati orang lain yang memandangnya. Menurut penelitian, tersenyum dapat membuat orang awet muda. Tersenyum juga bisa memancarkan kecantikan dalam hati (inner beauty). Dengan tersenyum, kita akan disayangi orang lain dan mudah memperoleh sahabat.

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu,” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

8- Cara Mempercantik Diri: Menjauhi Maksiat

Dari Abu Harairah :

“Seorang hamba jika telah melakukan kesalahan maka ia diberi titik hitam di dalam hatinya. Jika ia meninggalkannya dan bertaubat maka hatinya akan bersih. Jika ia kembali lagi berbuat maksiat maka akan kembali diberi titik hitam pada hatinya hingga tertutup.”

Perbuatan maksiat yang dilakuka jelas akan membuat hati kotor dan penuh noda. Secara otomatis hal tersebut akan terlihat dari cahaya wajah yang semakin memudar. Sebagai manusia kita tidak bisa terhindar dari khilaf dan dosa. Namun, sebaik baiknya manusia ialah ia yang menyadari dosa dan segera bertaubat. []

ISLAMPOS

Ancaman Nabi Muhammad pada Istri yang Minta Cerai karena Hal Sepele

Bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan tenang, hening, dan nyaman. Ombak pertengkarangan antara pasangan suami istri pasti selalu ada di dalamnya. Di antara mereka ada yang dapat melewati terjangan ombak tersebut dengan baik dan mulus. Namun tidak sedikit pula jalinan rumah tangga yang tenggelam dalam derasnya ombak. Artinya, perjalanan rumah tangganya hancur di tengah jalan. Entah suami atau istri yang minta cerai.

Siapa pun pasangan suami istri pastinya tidak menghendaki perceraian. Selain dibenci Allah, perceraian juga tidak jarang memutus silaturahim ikatan dua keluarga yang tadinya terjalin dengan baik ketika pasangan suami istri masih menjalani rumah tangganya. Namun cerai juga bisa menjadi solusi ketika suami, misalnya, merusak cinta suci yang diikat dengan tali pernikahan dengan cara selingkuh, berbuat kekerasan, berjudi dan mabuk-mabukan.

Sebaliknya, jika perceraian terjadi hanya karena permasalahan yang tidak begitu besar di mata masyarakat umum, maka bisa jadi yang terlebih dulu meminta cerailah yang dibenci Allah, baik suami maupun istri.

Perlu diketahui bahwa dalam mazhab Syafi’I yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, perkataan “Saya cerai kamu” yang diucapkan suami itu sudah termasuk cerai dalam hukum Islam, walaupun belum masuk di persidangan perceraian di kejaksaan. Artinya, ketika sudah mengatakan demikian, secara fikih, suami itu sudah tidak boleh melakukan hubungan suami istri, kecuali sudah rujuk terlebih dulu. Karenanya, untuk hati-hati, para suami jangan sembarangan mengucapkan kata cerai kepada istrinya.

Begitupun istri, jangan mudah meminta cerai kepada suami karena masalah sepele dalam rumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai pada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh.

Karenanya, ulama mengklasifikasi permasalahan apa saja yang memperbolehkan istri menggugat atau meminta cerai pada suaminya. Pertama, suami sering melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, sehingga membuatnya cacat. Kedua, suami sering meninggalkan salat, berjudi, mabuk, main perempuan. Ketiga, suami tidak memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak dan istri selayaknya, padahal ia mampu. Keempat, suami enggan memenuhi kebutuhan biologis istri padahal ia mampu.

Karenanya, alangkah baiknya bila suami atau istri tidak mudah mengucapkan kata cerai. Apalagi jika masih dapat dikomunikasikan dengan baik di antara keduanya. Bila perlu, keduanya mendatangkan orang lain untuk mendamaikan perseteruan rumah tangganya. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Jangan Suka Ngerumpi!

Dunia kamu wanita sangat identik dengan ngerumpi. Kecuali mereka yang dianugerahi taufiq Allah ta’ala untuk menjaga lisannya. Dalam KBBI, merumpi artinya: mengobrol sambil bergunjing dengan teman, biasanya dalam kelompok kecil. Terlalu banyak berbicara tanpa tujuan atau sekedar untuk mengisi waktu seringkali melalaikan wanita hingga tanpa disadari ia terjerumus kepada ghibah. Bahkan tak jarang karena bergaul dengan teman yang hobi merumpi ia mulai kurang bersyukur pada suaminya atau mengekspos aib-aib suaminya. Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Yang terbaik dilakukan seorang laki-laki (suami) adalah menjauhkan wanita dari interaksi (ngerumpi) sesamanya karena mereka akan merusak dari (bersyukur) kepada suami.” (Al-Furu’ Ibnu Muflih, 5/108).

Sungguh nasehat indah agar wanita terjaga agamanya dan menjauhi ngerumpi karena ini perkara yang dianggap sepele oleh banyak wanita yang kurang taat pada Allah Ta’ala. Membuat wanita bahkan membenci suaminya atau kurang puas dengan nafkah dari suami karena terpengaruh obrolan dengan temannya. Bisa jadi karena berawal dari ngerumpi wanita menuntut hal-hal yang di luar kemampuan suami entah berkaitan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya yang lebih bersifat materi dunia. Karena dampak buruk ngerumpi yang membuat rasa syukur seorang berkurang maka hal ini bisa menyebabkan menjadi mayoritas penghuni neraka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ينظرُ اللَّهُ إلى امرأةٍ لا تشكُرُ لزوجِها وَهيَ لا تستَغني عنهُ

Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup).” (HR. An-Nasa’i no 249, Al-Baihaqi [VII/295], dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, no. 289).

Saatnya seorang wanita lebih berhati-hati agar terhindar dari pembicaraan yang sia-sia, karena biasanya wanita lebih unggul berbicara dibandingkan laki-laki. Disamping itu wanita menyukai pergaulan, perkumpulan, kunjungan, dan berbagai pesta. Maka disinilah peran suami sholeh sangat penting agar bisa bersikap arif dan santun mengingatkan istrinya ketika berlebihan dalam berbicara serta bergaul dengan orang lain.

Taufik Al Hakim berkata, “Belum pernah aku temukan dua orang perempuan yang sedang duduk dan keduanya tidak berbicara. Aku pernah menyaksikan sekelompok wanita sedang berkumpul saya heran bagaimana mereka saling menghadirkan bahan pembicaraan. Kadang saya merasa paling cerewet di antara kaum laki-laki, namun ketika saya bandingkan dengan kaum wanita ternyata saya paling pendiam di antara mereka.” (Mut’atul Hadits, Abdullah Ad-Dawud, hal.72).

Menjauhi ngerumpi butuh tekad kuat dan semangat agar benar-benar tertanam di hati bahwa ngerumpi itu godaan besar bagi yang bisa mencelakakan akhirat dan dunianya. Wanita cerdas itu bukan hanya pandai bergaul namun ia juga sosok yang mampu membentengi dirinya dari pergaulan yang merusak masa depannya. Dia selalu memperbaiki lisannya, akhlaknya, dan menjauhi majelis-majelis serumpi yang menyia-nyiakan waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,

الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Perkataan yang baik itu Shadaqah.” (HR. Al Bukhari dengan sanad muallaq. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu).

Hendaklah para istri bahagia dan bersyukur kepada Allah Ta’ala memiliki suami yang gemar mengingatkannya pada kebaikan. Ini tanda cinta tulus suami agar istri selalu dalam ketaatan pada Allah Ta’ala. Bukankah kewajiban istri taat pada suami selama semua perintahnya tidak bermaksiat pada Allah Ta’ala? Perbaikilah juga manajemen waktu baik untuk ibadah seperti salat, puasa, membaca Al-Qur’an atau amaliah sosial lainnya agar sesuai skala prioritas. Niscaya berbalas surga ketika kita menjadikan ketaatan kepada suami dan anak shaleh lainnya demi kecintaan pada Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

Apabila seorang wanita mengerjakan salat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, niscaya dia akan masuk surga dari pintu pintu surga yang dia inginkan.” (HR. Ahmad dalam no. 1661, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 4151).

Nabi Sallallahu’alaihi wa sallam berwasiat,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, namun ketaatannya hanya dalam kebaikan.” (HR. Bukhari no. 7257, Muslim no. 1840).

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2011

2. One Heart, Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, Zainal Abidin bin Syamsudin, pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2013

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14411-jangan-suka-ngerumpi.html

Hukum Berhubungan Seks Sebelum Bersuci dari Haid

Salah satu hal yang diharamkan ketika haid adalah bersetubuh. Lalu, bagaimana hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid? Padahal sudah tidak keluar darahnya?

Syekh Muhammad Asy-Syirbini Al-Khathib dalam kitab Al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Ibn Syuja’ menjelaskan sebagaimana berikut.

(و) السابع ( الوطء ) ولو بعد انقطاعه وقبل الغسل لقوله تعالى { ولا تقربوهن حتى يطهرن }

Bagian ketujuh (dari hal yang diharamkan saat haid) adalah bersetubuh. Meskipun darah sudah terhenti dan belum mandi suci karena firman Allah swt. “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah: 222).

Imam Al-Mawardi di dalam kitab Al-Hawi fi Fiqh As-Syafii menjelaskan bahwa keharaman bersetubuh berlaku sampai telah bersuci dari haid adalah pendapat imam As-Syafii, imam Malik, dan mayoritas ulama fiqh.

Sementara itu, menurut imam Abu Hanifah boleh bersetubuh sebelum bersuci dari haid jika haidnya sudah mencapai batas maksimal haid. Namun, jika belum pada batas maksimal haid dan sudah bersih darahnya, maka ia harus tetap mandi bersuci dahulu sebelum bersetubuh.

Bersetubuh saat istri haid meskipun darah sudah terhenti namun belum bersuci tersebut diharamkan jika memang disengaja dan tahu bahwa itu haram. Jika suami/istri itu tidak mengetahui bahwa hal itu diharamkan, lupa, atau dipaksa, maka hal itu tidak dihukumi haram.

Kasus tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas r.a. sebagaimana berikut.

إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah mengampuni perbuatan umatku disebabkan ketidaksengajaan, lupa, atau dipaksa.”

Adapun bagi orang yang terlanjur bersetubuh dengan istrinya yang belum bersuci dari haid meskipun darah telah terhenti, ulama Syafiiyah menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar.

Sementara jika ia terlajur bersetubuh dengan istrinya saat darah haid masih keluar deras, maka ia disunahkan untuk shadaqah satu dinar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. riwayat imam At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Abbas r.a.

إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌوَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ

“Jika darah itu merah, maka (shadaqah) satu dinar, dan jika darah itu kuning maka setengah dinar.”

Keterangan tersebut merupakan penjelasan dari Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beliau juga menjelaskan bahwa satu dinar adalah setara dengan 4.25 gram emas.

Demikianlah penjelasan hukum berhubungan badan sebelum bersuci dari haid. Menurut jumhur ulama fiqh meskipun darah telah terhenti, maka tetap diharamkan bersetubuh/berhubungan badan sebelum bersuci/mandi besar.

Jika sudah terlanjur bersetubuh sebelum bersuci, maka ulama menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar. Tentunya juga dengan meminta ampunan kepada Allah swt. karena telah melanggar aturan yang ada.

Demikian hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid. Semoga bermanfaat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Peran Perempuan di Ranah Domestik Bernilai dalam Islam

Sebagian besar perempuan kini bisa menjadi apa pun yang diinginkan. Tidak ada lagi tembok yang membatasi dan menghalangi mereka untuk beraktivitas. Ada perempuan yang memutuskan untuk menjadi anggota kepolisian atau tentara, misalnya.

Dimana profesi ini dianggap sebagai pekerjaan yang lumrah untuk laki-laki saja. Lalu ada pula yang memutuskan menjadi guru, pekerja kantor, pengusaha hingga kepala negara.

Ini berkat upaya para pendahulu kita yang memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan hak. Namun, apakah perempuan yang memutuskan untuk tetap fokus di ranah domestik jauh dari kemajuan zaman?

Menjaga, merawat anak, tetap berada di rumah, dan bersuka cita mengurus segala kebutuhan dapur. Apakah semua aktivitas yang dipilih oleh para ibu rumah tangga bertentangan tujuan dengan emansipasi perempuan?

Tentu saja tidak. Namun sebagaian orang beranggapan jika memilih fokus menjadi ibu rumah tangga bukanlah bentuk dari emansipasi perempuan. Kita perlu ingat lini paling awal adalah keluarga.

Keluarga menjadi pondasi yang kuat dalam membentuk karakter generasi muda. Di situlah peran perempuan sebagai ibu dari para anak-anaknya. Wawasan yang dimiliki, dapat diturunkan dan dikenalkan pada anak-anak. Sehingga kelak anak dapat bermamfaat bagi diri sendiri, sosial dan di ranah profesionalitas atau pekerjaan.

Di sisi lain, ibu rumah tangga punya peran penting memenuhi atau menjalankan fungsi fisik, psikologis dan sosial anak. Islam pun memberikan posisi yang amat baik bagi perempuan yang memilih fokus mengarah pada ranah domestik.

Bahkan Rasulullah Saw pun membalikkan perhatian masyarakat yang awalnya tidak memperhitungkan posisi ibu rumah tangga. Hal itu ia sampaikan dalam sebuah hadis.

حديث أبي هريرة  قال: جاء رجل إلى رسول الله ﷺ فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ -يعني: صحبتي، قال: أمك قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أبوك

Abu Hurairah Ra menuturkan bahwa ada seorang laki-laki datang dan bertanya pada Rasulullah Saw “Siapakah orang yang paling berhak layani dan temani? Rasulullah Saw menjawab, ‘ibumu’. Lalu siapa?” orang itu bertanya lagii. “Ibumu”. Terus siapa? “Ibumu”. Setelah itu siapa?”Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah Saw (H.R Imam Muslim dalam Shahih-nya no 6664).

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir di dalam bukunya berjudul 60 Hadits Shahih menjelaskan jika hadis di atas adalah membalikkan kesadaran masyarakat Jahililyah. Dimana kala itu lebih memberikan penghormatan kepada laki-laki ketimbang perempuan.

Posisi perempuan kala itu tidak dianggap. Padahal, perempuan beperan penting dalam regenerasi kemanusiaan. Ia yang telah mengandung, melahirkan, menyusui merawat hingga membesarkan anak.

Di sisi lain, hadis di atas menurut Faqihuddin merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap peran domestik dan reproduksi perempuan yang kerap diabaikan masyarakat. Perempuan disuruh untuk menyelesaikan semua peran tersebut tanpa bantuan dari orang terdekat, masyarakat bahkan negara.

Bentuk bantuan atau dukungan tentu saja bukan hanya sekadar pujian atau kalimat pemanis. Namun memberikan hak seperti kesempatan untuk mengenyam pendidikan, memberdayakan perempuan dan mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan. Dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, memilih menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah dan berlawanan dengan emansipasi perempuan. Semua keputusan perempuan, selagi dalam kesadaran dan memang karena keinginan hati maka tidak jadi masalah. Hargai, dan selalu saling memberi dukungan.

BINCANG MUSLIMAH

Nafkah Keluarga Boleh Ditanggung Bersama-Sama

Dahulu mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari hampir sepenuhnya ditanggung oleh laki-laki. Begitu pun dalam rumah tangga, tanggung jawab menacari nafkah dipikul oleh sang suami.

Pergerakan laki-laki memang dianggap lebih luwes. Punya tenaga yang kuat dan pemikiran yang luas. Selain itu laki-laki dirasa mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Sehingga berada di luar yang penuh marabahaya tidak menjadi masalah.

Laki-laki bekerja di luar rumah, maka perempuan yang mengurus segala sesuatu kebutuhan yang ada di dalamnya. Dimulai dari merapikan isi  rumah, mengurus panganan hingga mengasuh anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, perempuan kini punya kesempatan yang sama. Dimulai dari mempunyai hak mendapatkan pendidikan yang sama. Sehingga kaum hawa bisa menempa kemampuan dan wawasan seperti laki-laki.

Mendapatkan hak seperti kesempatan mengenyam dunia pendidikan tentu telah mengubah segalanya. Perempuan terbukti punya kualitas dan profesionalitas yang sama dengan laki-laki. Selain itu mereka juga dapat diberi tanggung jawab dan kredibel dengan urusan di luar domestik.

Sehingga, muncul sosok-sosok perempuan yang turut andil dalam mencari rezeki. Luasnya kesempatan menumbuhkan kepercayaan diri perempuan untuk turut serta dalam dunia kerja. Selain itu, perempuan mulai punya kemampuan melindungi secara mandiri.

Fenomena ini menunjukkan satu hal. Yaitu sudah saatnya pandangan yang menganggap perempuan hanya menerima dan bergantung pada orang lain dihapuskan.

Perempuan yang bekerja dan mencari nafkah bagi keluarga bersama suami bukanlah suatu keganjilan sosial. Bahkan di dalam Islam hal ini diperbolehkan. Itu artinya, nafkah keluarga bisa ditanggung bersama asal tidak bertentangan dengan prinsip keislaman.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir di dalam bukunya yang berjudul 60 Hadis Shahih dijelaskan dalam Islam sendiri, mencari nafkah memang dibebankan kepada pihak laki-laki. Kala itu memang laki-laki punya fleksibelitas  yang memungkinkan untuk bekerja di luar rumah ketimbang perempuan.

عن رائطة امرأة عبد الله بن مسعودرضي الله عنهما, اتت الى النبي صلى الله عليه و سلم, فقالت

إِنِّي امْرَأَةٌ ذَاتُ صَنْعَةٍ , أَبِيعُ مِنْهَا , وَلَيْسَ لِوَلَدِي وَلَا لِزَوْجِي شَيْءٌ. وسألته عن النفقة عليهم, فقال: لك في ذالك اجر ماانفقت عليه

“Diriwayatkan dari Raithah bin Abdullah, istri Abdullah bin Mas’ud. Ia pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw dan bertutur “Wahai Rasulullah, aku perempuan pekerja. Lalu aku menjual hasil pekerjaanku. Aku melakukan ini semua karena aku, suamiku, maupun anakku tidak memiliki harta apa pun”. Kamu memperoleh pahal dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka, jawab Nabi Muhammad Saw.

(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, Juz 1 hlm 290 no hadits 4239).

Masih dalam buku yang sama, Faqihuddin menjelaskan jika Raithah binti Abdullah R.a mengelola industri kecil. Ia merupakan istri dari seorang ulama besar di kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud.

Sebagaimana hadis di atas, Raithah menceritakan perihal dirinya yang bekerja mencari nafkah demi menghidupi keluarga. Nabi Muhammad pun tidak melarang dan justru memberkati usaha Raithah. Nabi Muhamamd pun mengatakan sebagaimana laki-laki, perempuan pun diberi pahala saat bekerja dan mencari nafkah.

Sehingga dapat disimpulkan jika saat ini mencari nafkah dalam keluarga tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja.  Namun, nafkah keluarga juga bisa dapat ditanggung secara bersama, begitu pun pada perempuan. Hal ini dikarenakn selain dapat meringankan kebutuhan keluarga, mencari nafkah atau rezeki dikatakan Rasulullah dapat mendatangkan pahala.

BINCANG MUSLIMAH

Sibuk Introspeksi Diri Sendiri

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan sibuk memperbaiki diri dan tidak peduli dengan aib orang lain. Dan barangsiapa mengenali Rabbnya, niscaya ia akan sibuk beribadah kepada-Nya dan tidak peduli dengan hawa nafsunya” (Al-Fawaid, hal. 80).

Introspeksi diri merupakan perkara penting yang kadang terluput dari kita terlebih lagi bagi orang yang merasa dirinya memiliki banyak kelebihan yang sejatinya hal ini merupakan nikmat dari Allah. Namun bagi orang beriman, mengoreksi kekurangan diri sendiri dan memandang dirinya serba kurang dalam beribadah dan beramal shalih merupakan langkah penting agar terpacu untuk menjadi mukmin yang lebih gemar beribadah, sosok yang lebih takut kepada Allah dan senantiasa dalam jalur ketakwaan.

Orang yang menyibukkan hatinya untuk menghitung segala aibnya, dosa-dosanya maka tak akan lisannya menikam saudaranya dengan ghibah. Hatinya tak akan memandang remeh dan hasad dengan mencari-cari kekurangan saudaranya. Sebagaimana makna potongan ayat Al-Quran:

وَّلَا تَجَسَّسُوْا… …

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang” (QS. Al-Hujurat: 12)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Jangan memeriksa rahasia seorang muslim dan jangan mencari-carinya. Tinggalkanlah mereka apa adanya, dan lupakan kesalahan-kesalahan mereka, karena jika dicari-cari akan terjadi hal (buruk) yang tidak seharusnya terjadi” (Tafsir Karim Ar-Rahman, hal. 801)

Sibuk meneliti kesalahan, cela dan aib sesama muslim bisa membuat hati keras dan tidak peka pada aib sendiri, menghabiskan waktu dan bisa memicu permusuhan serta bukti nyata buruknya akhlak seorang mukmin.

Para ulama mengatakan, tanda akhlak mulia ada sepuluh:

1) Sedikit berselisih

2) Bersikap adil

3) Meninggalkan sikap mencari-cari kesalahan orang lain

4) Berusaha memperbaiki keburukan-keburukan yang nampak

5) Mencari udzur bagi orang yang jatuh pada kesalahan

6) Bersabar menghadapi gangguan

7) Introspeksi dengan mencela diri sendiri (musibah akibat ulah sendiri)

8) Fokus dan sibuk mengurus aib-aib sendiri tanpa mengurusi aib orang lain

9) Berwajah ceria

10) Lembut perkataannya

(At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir 5/535)

Muhasabah diri akan membuat kita tidak ada waktu dan tidak ada kesempatan untuk mengoreksi aib sesama. Membuat hati lebih tenang karena tidak ada pikiran-pikiran buruk kepada orang lain. Kita tak memperoleh manfaat akhirat, justru menuai dosa menyebabkan kerugian di sisi Allah Ta’ala.

Al-Hasan Al Bashri berkata, “Seorang mukmin senantiasa mengoreksi dirinya karena Allah, hisab pada hari kiamat terasa ringan bagi kaum yang telah melakukan muhasabah dirinya di dunia. Sebaliknya, hisab pada hari kiamat terasa berat bagi orang yang tak pernah melakukan muhasabah” (Ihya Ulumuddin IV:404)

Ada nasehat sangat menyentuh iman dari sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sungguh akan lebih meringankan diri kalian di dalam hisab, jika hal ini kalian telah melakukan hisab terhadap diri kalian. Dan hisablah untuk menghadapi hari yang paling besar, “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu) tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)” (QS. Al-Haqqah: 18)” (Tahdzib Madarijis Salikin I:176).

Saatnya kita merenungi diri untuk bangkit memperbaiki diri dan memantapkan diri menjadi sosok yang lebih dalam berakidah, berakhlak mulia, beramal shalih dan senantiasa menjauhi larangan-larangan Allah.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jauhilah engkau dari menyibukkan memperbaiki diri orang lain, sebelum engkau memperbaiki dirimu sendiri” (Minhajul Qashidin, hal. 22)

Semoga uraian di atas bermanfaat. Aamiin yaa mujibas saailiin.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1) Majalah As-Sunnah edisi 07/THNXXI/1438H

2) oneline.to/hijrahapp

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14205-sibuk-introspeksi-diri-sendiri.html