Denda Usai Pasutri Berhubungan Intim Saat Haid

Ulama fikih sepakat berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar.

Haid menjadi fitrah bagi setiap perempuan. Untuk Muslimah, haid adalah siklus bulanan yang memberikan bermacam konsekuensi. Salah satunya ialah perihal berjimak atau berhubungan intim bagi mereka yang sudah memiliki suami. Keharamannya sudah dituliskan dalam Alquran.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS al-Baqarah: 222).

Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.

QS AL-BAQARAH: 222

Pengisi kolom di Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani, menjelaskan, ulama fikih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing satu dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid atau seperlima dinar jika dilakukan pada pertengahan-akhir haid.

Pendapat di atas didukung oleh ulama dari mazhab Hanafi. Tetapi, mazhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami dan tidak kepada istri karena larangan itu ditujukan kepada suami.

Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadis berikut, “Seorang laki-laki menjimak istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda satu dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, dendanya seperlima dinar.” (HR Tirmidzi).

Sedangkan, ulama dari mazhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan, atau akhir masa haid. Mazhab Maliki berpendapat, tidak ada denda apa pun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.

Namun, pembayaran denda tersebut belum tentu menghapus dosa. Menurut Ustazah Aini, berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertobat kepada Allah, dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.

Karena itu, pasangan suami istri tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai tobat dengan meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya, dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.

REPUBLIKA

Muslimah, Inilah 7 Cara Mempercantik Diri menurut Islam

SIAPA yang tidak ingin tampil cantik dan menarik di depan khalayak ramai? Para wanita cenderung berusaha tampil secantik mungkin agar memperoleh perhatian dan pujian terutama dari lawan jenis. Dalam Islam, ada lho cara mempercantik diri, ga pake ribet, syari dan oke hasilnya.

Adanya anggapan bahwa wanita cantik akan cenderung lebih cepat mendapatkan jodoh.

Tentunya pandangan tersebut merupakan hal yang salah kaprah, karena kecantikan fisik bukanlah hal utama seperti dalam hadist berikut:

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Tahukan Anda bahwa dalam islam seorang wanita dapat terlihat cantik dan cara mempercantik diri menurut islam tanpa harus melakukan perawatan yang mahal dan menguras isi dompet. Berikut penjelannya,

1- Cara Mempercantik Diri: Rajin Berwudhu

Wudhu merupakan aktivitas yang dilakukan sebelum sholat. Tujuannya mensucikan dirih dari hadast sebagai penyempurna ibadah. Namun ternyata wudhu juga bisa mencerahkan wajah. Ketika para wanita, membasuh muka dengan air wudhu, noda dan kotoran akan luntur.

ak hanya itu, berwudhu juga menggugurkan dosa-dosa. Maka itu perbanyaklah berwudhu di setiap waktu. Seperti saat hendak keluar rumah maupun sebelum tidur malam.

2- Cara Mempercantik Diri: Rajin membaca Alquran

Alquran bukan semata-mata kitab suci yang berisi firman Allah Subhanahu wata’ala. Dengan rutin membaca ayat suci Alquran maka jiwa akan tenang dan wajah kita akan terlihat senantiasa berseri seolah mendapat nur Ilahi. Membaca kalamullah tentunya harus dilandasi oleh keikhlasan sehingga inner beauty akan terpancar hingga membuat orang terkagum-kagum.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya “Aku mendengar Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan ghurran muhajjilin (wajahnya bercahaya dan badannya bersinar) karena bekas berwudhu, maka barangsiapa mampu untuk memanjangkan ghurran hendaklah melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya “Aku mendengar Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan ghurran muhajjilin (wajahnya bercahaya dan badannya bersinar) karena bekas berwudhu, maka barangsiapa mampu untuk memanjangkan ghurran hendaklah melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

3- Cara Mempercantik Diri: Salat Tahajjud

Mengamalkan sholat tahajjud bukan perkara mudah. Sebab, sholat ini dilakukan di sepertiga malam terakhir, saat banyak orang terlelap tidur. Sehingga tak heran bila banyak orang yang lalai dan malas menunaikan ibadah sunah ini.

Padahal, di samping peluang doa kita lebih besar untuk dikabulkan Allah, sholat malam diyakini dapat membuat aura wajah kita terpancar indah. Meski tidak mengenakan krim pemutih sekalipun, wajah akan nampak cerah dan bersih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang banyak menunaikan sholat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan atau cantik di siang harinya,” (HR. Ibnu Majah).

4- Cara Mempercantik Diri: Memakai hijab sesuai syariat

Bagi seorang muslimah, kecantikan tidak diukur dari keelokan paras wajah apalagi sampai mengumbar aurat kepada lelaki bukan muhrim. Berdasarkan ajaran Islam, kecantikan wanita harus disimpan hanya untuk suaminya saja. Islam mewajibkan wanita agar mengenakan jilbab atau hijab dan diulur hingga menutupi dada.

Seorang wanita yang berhijab dengan pakaian panjang pastinya akan terlihat lebih anggun dan cantik dibandingkan wanita berpakaian minim yang mengumbar auratnya. Dengan memakai hijab, wanita juga tampak lebih terhormat serta terhindar dari risiko pelecehan. Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Ahzab ayat: 59).

5- Cara Mempercantik Diri: Rajin puasa sunah

Cara mempercantik diri menurut Islam selanjutnya ialah rutin melaksakakan puasa sunah. Menurut beberapa penelitian, puasa merupakan aktivitas yang sehat. Dengan berpuasa, risiko obesitas dapat dihindari, mengurangi risiko kanker dan menyehatkan jantung.

Para muslimah tidak perlu menjalankan puasa setiap hari. Cukup puasa sunah Senin dan Kamis, maka Insya Allah kecantikan aura wajah menjadi semakin terpancar.

6- Cara Mempercantik Diri: Merawat diri tanpa mengubah bentuk

Islam tidak melarang wanita untuk mempercantik diri dengan make-up. Boleh-boleh saja mengenakan bedak saat keluar rumah. Sejumlah perawatan alamiah seperti dari minyak zaitun, susu, atau madu agar kesehatan kulit terawat juga sangat dianjurkan.

Namun satu hal yang perlu diperhatikan, Islam melarang seseorang mengubah bentuk wajah dan tubuhnya tanpa alasan yang kuat. Semisal ia ingin hidung mancung, lalu melakukan operasi plastik. Hal ini benar-benar dilarang oleh Islam. Termasuk mencukur alis, memasang tato, dan tindakan lainnya yang bertujuan mengubah bentuk asli ciptaan Allah.

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 119 yang artinya: “Dan pasti akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan kusuruh mereka mengubah ciptaan Allah (lalu mereka benar-benar mengubahnya). Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh dia menderita kerugian yang nyata,” (QS. An-Nisa: 119).

7- Cara Mempercantik Diri: Murah senyum

Senyum dapat menghadirkan kesejukan di hati orang lain yang memandangnya. Menurut penelitian, tersenyum dapat membuat orang awet muda. Tersenyum juga bisa memancarkan kecantikan dalam hati (inner beauty). Dengan tersenyum, kita akan disayangi orang lain dan mudah memperoleh sahabat.

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu,” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

8- Cara Mempercantik Diri: Menjauhi Maksiat

Dari Abu Harairah :

“Seorang hamba jika telah melakukan kesalahan maka ia diberi titik hitam di dalam hatinya. Jika ia meninggalkannya dan bertaubat maka hatinya akan bersih. Jika ia kembali lagi berbuat maksiat maka akan kembali diberi titik hitam pada hatinya hingga tertutup.”

Perbuatan maksiat yang dilakuka jelas akan membuat hati kotor dan penuh noda. Secara otomatis hal tersebut akan terlihat dari cahaya wajah yang semakin memudar. Sebagai manusia kita tidak bisa terhindar dari khilaf dan dosa. Namun, sebaik baiknya manusia ialah ia yang menyadari dosa dan segera bertaubat. []

ISLAMPOS

Ancaman Nabi Muhammad pada Istri yang Minta Cerai karena Hal Sepele

Bahtera rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan tenang, hening, dan nyaman. Ombak pertengkarangan antara pasangan suami istri pasti selalu ada di dalamnya. Di antara mereka ada yang dapat melewati terjangan ombak tersebut dengan baik dan mulus. Namun tidak sedikit pula jalinan rumah tangga yang tenggelam dalam derasnya ombak. Artinya, perjalanan rumah tangganya hancur di tengah jalan. Entah suami atau istri yang minta cerai.

Siapa pun pasangan suami istri pastinya tidak menghendaki perceraian. Selain dibenci Allah, perceraian juga tidak jarang memutus silaturahim ikatan dua keluarga yang tadinya terjalin dengan baik ketika pasangan suami istri masih menjalani rumah tangganya. Namun cerai juga bisa menjadi solusi ketika suami, misalnya, merusak cinta suci yang diikat dengan tali pernikahan dengan cara selingkuh, berbuat kekerasan, berjudi dan mabuk-mabukan.

Sebaliknya, jika perceraian terjadi hanya karena permasalahan yang tidak begitu besar di mata masyarakat umum, maka bisa jadi yang terlebih dulu meminta cerailah yang dibenci Allah, baik suami maupun istri.

Perlu diketahui bahwa dalam mazhab Syafi’I yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia, perkataan “Saya cerai kamu” yang diucapkan suami itu sudah termasuk cerai dalam hukum Islam, walaupun belum masuk di persidangan perceraian di kejaksaan. Artinya, ketika sudah mengatakan demikian, secara fikih, suami itu sudah tidak boleh melakukan hubungan suami istri, kecuali sudah rujuk terlebih dulu. Karenanya, untuk hati-hati, para suami jangan sembarangan mengucapkan kata cerai kepada istrinya.

Begitupun istri, jangan mudah meminta cerai kepada suami karena masalah sepele dalam rumah tangga. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai pada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh.

Karenanya, ulama mengklasifikasi permasalahan apa saja yang memperbolehkan istri menggugat atau meminta cerai pada suaminya. Pertama, suami sering melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, sehingga membuatnya cacat. Kedua, suami sering meninggalkan salat, berjudi, mabuk, main perempuan. Ketiga, suami tidak memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak dan istri selayaknya, padahal ia mampu. Keempat, suami enggan memenuhi kebutuhan biologis istri padahal ia mampu.

Karenanya, alangkah baiknya bila suami atau istri tidak mudah mengucapkan kata cerai. Apalagi jika masih dapat dikomunikasikan dengan baik di antara keduanya. Bila perlu, keduanya mendatangkan orang lain untuk mendamaikan perseteruan rumah tangganya. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Jangan Suka Ngerumpi!

Dunia kamu wanita sangat identik dengan ngerumpi. Kecuali mereka yang dianugerahi taufiq Allah ta’ala untuk menjaga lisannya. Dalam KBBI, merumpi artinya: mengobrol sambil bergunjing dengan teman, biasanya dalam kelompok kecil. Terlalu banyak berbicara tanpa tujuan atau sekedar untuk mengisi waktu seringkali melalaikan wanita hingga tanpa disadari ia terjerumus kepada ghibah. Bahkan tak jarang karena bergaul dengan teman yang hobi merumpi ia mulai kurang bersyukur pada suaminya atau mengekspos aib-aib suaminya. Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Yang terbaik dilakukan seorang laki-laki (suami) adalah menjauhkan wanita dari interaksi (ngerumpi) sesamanya karena mereka akan merusak dari (bersyukur) kepada suami.” (Al-Furu’ Ibnu Muflih, 5/108).

Sungguh nasehat indah agar wanita terjaga agamanya dan menjauhi ngerumpi karena ini perkara yang dianggap sepele oleh banyak wanita yang kurang taat pada Allah Ta’ala. Membuat wanita bahkan membenci suaminya atau kurang puas dengan nafkah dari suami karena terpengaruh obrolan dengan temannya. Bisa jadi karena berawal dari ngerumpi wanita menuntut hal-hal yang di luar kemampuan suami entah berkaitan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya yang lebih bersifat materi dunia. Karena dampak buruk ngerumpi yang membuat rasa syukur seorang berkurang maka hal ini bisa menyebabkan menjadi mayoritas penghuni neraka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ينظرُ اللَّهُ إلى امرأةٍ لا تشكُرُ لزوجِها وَهيَ لا تستَغني عنهُ

Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup).” (HR. An-Nasa’i no 249, Al-Baihaqi [VII/295], dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, no. 289).

Saatnya seorang wanita lebih berhati-hati agar terhindar dari pembicaraan yang sia-sia, karena biasanya wanita lebih unggul berbicara dibandingkan laki-laki. Disamping itu wanita menyukai pergaulan, perkumpulan, kunjungan, dan berbagai pesta. Maka disinilah peran suami sholeh sangat penting agar bisa bersikap arif dan santun mengingatkan istrinya ketika berlebihan dalam berbicara serta bergaul dengan orang lain.

Taufik Al Hakim berkata, “Belum pernah aku temukan dua orang perempuan yang sedang duduk dan keduanya tidak berbicara. Aku pernah menyaksikan sekelompok wanita sedang berkumpul saya heran bagaimana mereka saling menghadirkan bahan pembicaraan. Kadang saya merasa paling cerewet di antara kaum laki-laki, namun ketika saya bandingkan dengan kaum wanita ternyata saya paling pendiam di antara mereka.” (Mut’atul Hadits, Abdullah Ad-Dawud, hal.72).

Menjauhi ngerumpi butuh tekad kuat dan semangat agar benar-benar tertanam di hati bahwa ngerumpi itu godaan besar bagi yang bisa mencelakakan akhirat dan dunianya. Wanita cerdas itu bukan hanya pandai bergaul namun ia juga sosok yang mampu membentengi dirinya dari pergaulan yang merusak masa depannya. Dia selalu memperbaiki lisannya, akhlaknya, dan menjauhi majelis-majelis serumpi yang menyia-nyiakan waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam bersabda,

الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Perkataan yang baik itu Shadaqah.” (HR. Al Bukhari dengan sanad muallaq. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu).

Hendaklah para istri bahagia dan bersyukur kepada Allah Ta’ala memiliki suami yang gemar mengingatkannya pada kebaikan. Ini tanda cinta tulus suami agar istri selalu dalam ketaatan pada Allah Ta’ala. Bukankah kewajiban istri taat pada suami selama semua perintahnya tidak bermaksiat pada Allah Ta’ala? Perbaikilah juga manajemen waktu baik untuk ibadah seperti salat, puasa, membaca Al-Qur’an atau amaliah sosial lainnya agar sesuai skala prioritas. Niscaya berbalas surga ketika kita menjadikan ketaatan kepada suami dan anak shaleh lainnya demi kecintaan pada Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

Apabila seorang wanita mengerjakan salat lima waktu, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, niscaya dia akan masuk surga dari pintu pintu surga yang dia inginkan.” (HR. Ahmad dalam no. 1661, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 4151).

Nabi Sallallahu’alaihi wa sallam berwasiat,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, namun ketaatannya hanya dalam kebaikan.” (HR. Bukhari no. 7257, Muslim no. 1840).

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2011

2. One Heart, Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, Zainal Abidin bin Syamsudin, pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2013

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14411-jangan-suka-ngerumpi.html

Hukum Berhubungan Seks Sebelum Bersuci dari Haid

Salah satu hal yang diharamkan ketika haid adalah bersetubuh. Lalu, bagaimana hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid? Padahal sudah tidak keluar darahnya?

Syekh Muhammad Asy-Syirbini Al-Khathib dalam kitab Al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Ibn Syuja’ menjelaskan sebagaimana berikut.

(و) السابع ( الوطء ) ولو بعد انقطاعه وقبل الغسل لقوله تعالى { ولا تقربوهن حتى يطهرن }

Bagian ketujuh (dari hal yang diharamkan saat haid) adalah bersetubuh. Meskipun darah sudah terhenti dan belum mandi suci karena firman Allah swt. “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah: 222).

Imam Al-Mawardi di dalam kitab Al-Hawi fi Fiqh As-Syafii menjelaskan bahwa keharaman bersetubuh berlaku sampai telah bersuci dari haid adalah pendapat imam As-Syafii, imam Malik, dan mayoritas ulama fiqh.

Sementara itu, menurut imam Abu Hanifah boleh bersetubuh sebelum bersuci dari haid jika haidnya sudah mencapai batas maksimal haid. Namun, jika belum pada batas maksimal haid dan sudah bersih darahnya, maka ia harus tetap mandi bersuci dahulu sebelum bersetubuh.

Bersetubuh saat istri haid meskipun darah sudah terhenti namun belum bersuci tersebut diharamkan jika memang disengaja dan tahu bahwa itu haram. Jika suami/istri itu tidak mengetahui bahwa hal itu diharamkan, lupa, atau dipaksa, maka hal itu tidak dihukumi haram.

Kasus tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas r.a. sebagaimana berikut.

إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah mengampuni perbuatan umatku disebabkan ketidaksengajaan, lupa, atau dipaksa.”

Adapun bagi orang yang terlanjur bersetubuh dengan istrinya yang belum bersuci dari haid meskipun darah telah terhenti, ulama Syafiiyah menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar.

Sementara jika ia terlajur bersetubuh dengan istrinya saat darah haid masih keluar deras, maka ia disunahkan untuk shadaqah satu dinar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. riwayat imam At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Abbas r.a.

إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌوَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ

“Jika darah itu merah, maka (shadaqah) satu dinar, dan jika darah itu kuning maka setengah dinar.”

Keterangan tersebut merupakan penjelasan dari Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beliau juga menjelaskan bahwa satu dinar adalah setara dengan 4.25 gram emas.

Demikianlah penjelasan hukum berhubungan badan sebelum bersuci dari haid. Menurut jumhur ulama fiqh meskipun darah telah terhenti, maka tetap diharamkan bersetubuh/berhubungan badan sebelum bersuci/mandi besar.

Jika sudah terlanjur bersetubuh sebelum bersuci, maka ulama menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar. Tentunya juga dengan meminta ampunan kepada Allah swt. karena telah melanggar aturan yang ada.

Demikian hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid. Semoga bermanfaat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Peran Perempuan di Ranah Domestik Bernilai dalam Islam

Sebagian besar perempuan kini bisa menjadi apa pun yang diinginkan. Tidak ada lagi tembok yang membatasi dan menghalangi mereka untuk beraktivitas. Ada perempuan yang memutuskan untuk menjadi anggota kepolisian atau tentara, misalnya.

Dimana profesi ini dianggap sebagai pekerjaan yang lumrah untuk laki-laki saja. Lalu ada pula yang memutuskan menjadi guru, pekerja kantor, pengusaha hingga kepala negara.

Ini berkat upaya para pendahulu kita yang memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan hak. Namun, apakah perempuan yang memutuskan untuk tetap fokus di ranah domestik jauh dari kemajuan zaman?

Menjaga, merawat anak, tetap berada di rumah, dan bersuka cita mengurus segala kebutuhan dapur. Apakah semua aktivitas yang dipilih oleh para ibu rumah tangga bertentangan tujuan dengan emansipasi perempuan?

Tentu saja tidak. Namun sebagaian orang beranggapan jika memilih fokus menjadi ibu rumah tangga bukanlah bentuk dari emansipasi perempuan. Kita perlu ingat lini paling awal adalah keluarga.

Keluarga menjadi pondasi yang kuat dalam membentuk karakter generasi muda. Di situlah peran perempuan sebagai ibu dari para anak-anaknya. Wawasan yang dimiliki, dapat diturunkan dan dikenalkan pada anak-anak. Sehingga kelak anak dapat bermamfaat bagi diri sendiri, sosial dan di ranah profesionalitas atau pekerjaan.

Di sisi lain, ibu rumah tangga punya peran penting memenuhi atau menjalankan fungsi fisik, psikologis dan sosial anak. Islam pun memberikan posisi yang amat baik bagi perempuan yang memilih fokus mengarah pada ranah domestik.

Bahkan Rasulullah Saw pun membalikkan perhatian masyarakat yang awalnya tidak memperhitungkan posisi ibu rumah tangga. Hal itu ia sampaikan dalam sebuah hadis.

حديث أبي هريرة  قال: جاء رجل إلى رسول الله ﷺ فقال: يا رسول الله، من أحق الناس بحسن صحابتي؟ -يعني: صحبتي، قال: أمك قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أمك، قال: ثم من؟ قال: أبوك

Abu Hurairah Ra menuturkan bahwa ada seorang laki-laki datang dan bertanya pada Rasulullah Saw “Siapakah orang yang paling berhak layani dan temani? Rasulullah Saw menjawab, ‘ibumu’. Lalu siapa?” orang itu bertanya lagii. “Ibumu”. Terus siapa? “Ibumu”. Setelah itu siapa?”Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah Saw (H.R Imam Muslim dalam Shahih-nya no 6664).

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir di dalam bukunya berjudul 60 Hadits Shahih menjelaskan jika hadis di atas adalah membalikkan kesadaran masyarakat Jahililyah. Dimana kala itu lebih memberikan penghormatan kepada laki-laki ketimbang perempuan.

Posisi perempuan kala itu tidak dianggap. Padahal, perempuan beperan penting dalam regenerasi kemanusiaan. Ia yang telah mengandung, melahirkan, menyusui merawat hingga membesarkan anak.

Di sisi lain, hadis di atas menurut Faqihuddin merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap peran domestik dan reproduksi perempuan yang kerap diabaikan masyarakat. Perempuan disuruh untuk menyelesaikan semua peran tersebut tanpa bantuan dari orang terdekat, masyarakat bahkan negara.

Bentuk bantuan atau dukungan tentu saja bukan hanya sekadar pujian atau kalimat pemanis. Namun memberikan hak seperti kesempatan untuk mengenyam pendidikan, memberdayakan perempuan dan mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan. Dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, memilih menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah dan berlawanan dengan emansipasi perempuan. Semua keputusan perempuan, selagi dalam kesadaran dan memang karena keinginan hati maka tidak jadi masalah. Hargai, dan selalu saling memberi dukungan.

BINCANG MUSLIMAH

Nafkah Keluarga Boleh Ditanggung Bersama-Sama

Dahulu mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari hampir sepenuhnya ditanggung oleh laki-laki. Begitu pun dalam rumah tangga, tanggung jawab menacari nafkah dipikul oleh sang suami.

Pergerakan laki-laki memang dianggap lebih luwes. Punya tenaga yang kuat dan pemikiran yang luas. Selain itu laki-laki dirasa mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Sehingga berada di luar yang penuh marabahaya tidak menjadi masalah.

Laki-laki bekerja di luar rumah, maka perempuan yang mengurus segala sesuatu kebutuhan yang ada di dalamnya. Dimulai dari merapikan isi  rumah, mengurus panganan hingga mengasuh anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, perempuan kini punya kesempatan yang sama. Dimulai dari mempunyai hak mendapatkan pendidikan yang sama. Sehingga kaum hawa bisa menempa kemampuan dan wawasan seperti laki-laki.

Mendapatkan hak seperti kesempatan mengenyam dunia pendidikan tentu telah mengubah segalanya. Perempuan terbukti punya kualitas dan profesionalitas yang sama dengan laki-laki. Selain itu mereka juga dapat diberi tanggung jawab dan kredibel dengan urusan di luar domestik.

Sehingga, muncul sosok-sosok perempuan yang turut andil dalam mencari rezeki. Luasnya kesempatan menumbuhkan kepercayaan diri perempuan untuk turut serta dalam dunia kerja. Selain itu, perempuan mulai punya kemampuan melindungi secara mandiri.

Fenomena ini menunjukkan satu hal. Yaitu sudah saatnya pandangan yang menganggap perempuan hanya menerima dan bergantung pada orang lain dihapuskan.

Perempuan yang bekerja dan mencari nafkah bagi keluarga bersama suami bukanlah suatu keganjilan sosial. Bahkan di dalam Islam hal ini diperbolehkan. Itu artinya, nafkah keluarga bisa ditanggung bersama asal tidak bertentangan dengan prinsip keislaman.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir di dalam bukunya yang berjudul 60 Hadis Shahih dijelaskan dalam Islam sendiri, mencari nafkah memang dibebankan kepada pihak laki-laki. Kala itu memang laki-laki punya fleksibelitas  yang memungkinkan untuk bekerja di luar rumah ketimbang perempuan.

عن رائطة امرأة عبد الله بن مسعودرضي الله عنهما, اتت الى النبي صلى الله عليه و سلم, فقالت

إِنِّي امْرَأَةٌ ذَاتُ صَنْعَةٍ , أَبِيعُ مِنْهَا , وَلَيْسَ لِوَلَدِي وَلَا لِزَوْجِي شَيْءٌ. وسألته عن النفقة عليهم, فقال: لك في ذالك اجر ماانفقت عليه

“Diriwayatkan dari Raithah bin Abdullah, istri Abdullah bin Mas’ud. Ia pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw dan bertutur “Wahai Rasulullah, aku perempuan pekerja. Lalu aku menjual hasil pekerjaanku. Aku melakukan ini semua karena aku, suamiku, maupun anakku tidak memiliki harta apa pun”. Kamu memperoleh pahal dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka, jawab Nabi Muhammad Saw.

(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, Juz 1 hlm 290 no hadits 4239).

Masih dalam buku yang sama, Faqihuddin menjelaskan jika Raithah binti Abdullah R.a mengelola industri kecil. Ia merupakan istri dari seorang ulama besar di kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud.

Sebagaimana hadis di atas, Raithah menceritakan perihal dirinya yang bekerja mencari nafkah demi menghidupi keluarga. Nabi Muhammad pun tidak melarang dan justru memberkati usaha Raithah. Nabi Muhamamd pun mengatakan sebagaimana laki-laki, perempuan pun diberi pahala saat bekerja dan mencari nafkah.

Sehingga dapat disimpulkan jika saat ini mencari nafkah dalam keluarga tidak hanya dilakukan oleh satu pihak saja.  Namun, nafkah keluarga juga bisa dapat ditanggung secara bersama, begitu pun pada perempuan. Hal ini dikarenakn selain dapat meringankan kebutuhan keluarga, mencari nafkah atau rezeki dikatakan Rasulullah dapat mendatangkan pahala.

BINCANG MUSLIMAH

Sibuk Introspeksi Diri Sendiri

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan sibuk memperbaiki diri dan tidak peduli dengan aib orang lain. Dan barangsiapa mengenali Rabbnya, niscaya ia akan sibuk beribadah kepada-Nya dan tidak peduli dengan hawa nafsunya” (Al-Fawaid, hal. 80).

Introspeksi diri merupakan perkara penting yang kadang terluput dari kita terlebih lagi bagi orang yang merasa dirinya memiliki banyak kelebihan yang sejatinya hal ini merupakan nikmat dari Allah. Namun bagi orang beriman, mengoreksi kekurangan diri sendiri dan memandang dirinya serba kurang dalam beribadah dan beramal shalih merupakan langkah penting agar terpacu untuk menjadi mukmin yang lebih gemar beribadah, sosok yang lebih takut kepada Allah dan senantiasa dalam jalur ketakwaan.

Orang yang menyibukkan hatinya untuk menghitung segala aibnya, dosa-dosanya maka tak akan lisannya menikam saudaranya dengan ghibah. Hatinya tak akan memandang remeh dan hasad dengan mencari-cari kekurangan saudaranya. Sebagaimana makna potongan ayat Al-Quran:

وَّلَا تَجَسَّسُوْا… …

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang” (QS. Al-Hujurat: 12)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Jangan memeriksa rahasia seorang muslim dan jangan mencari-carinya. Tinggalkanlah mereka apa adanya, dan lupakan kesalahan-kesalahan mereka, karena jika dicari-cari akan terjadi hal (buruk) yang tidak seharusnya terjadi” (Tafsir Karim Ar-Rahman, hal. 801)

Sibuk meneliti kesalahan, cela dan aib sesama muslim bisa membuat hati keras dan tidak peka pada aib sendiri, menghabiskan waktu dan bisa memicu permusuhan serta bukti nyata buruknya akhlak seorang mukmin.

Para ulama mengatakan, tanda akhlak mulia ada sepuluh:

1) Sedikit berselisih

2) Bersikap adil

3) Meninggalkan sikap mencari-cari kesalahan orang lain

4) Berusaha memperbaiki keburukan-keburukan yang nampak

5) Mencari udzur bagi orang yang jatuh pada kesalahan

6) Bersabar menghadapi gangguan

7) Introspeksi dengan mencela diri sendiri (musibah akibat ulah sendiri)

8) Fokus dan sibuk mengurus aib-aib sendiri tanpa mengurusi aib orang lain

9) Berwajah ceria

10) Lembut perkataannya

(At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir 5/535)

Muhasabah diri akan membuat kita tidak ada waktu dan tidak ada kesempatan untuk mengoreksi aib sesama. Membuat hati lebih tenang karena tidak ada pikiran-pikiran buruk kepada orang lain. Kita tak memperoleh manfaat akhirat, justru menuai dosa menyebabkan kerugian di sisi Allah Ta’ala.

Al-Hasan Al Bashri berkata, “Seorang mukmin senantiasa mengoreksi dirinya karena Allah, hisab pada hari kiamat terasa ringan bagi kaum yang telah melakukan muhasabah dirinya di dunia. Sebaliknya, hisab pada hari kiamat terasa berat bagi orang yang tak pernah melakukan muhasabah” (Ihya Ulumuddin IV:404)

Ada nasehat sangat menyentuh iman dari sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang. Sungguh akan lebih meringankan diri kalian di dalam hisab, jika hal ini kalian telah melakukan hisab terhadap diri kalian. Dan hisablah untuk menghadapi hari yang paling besar, “Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu) tiada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)” (QS. Al-Haqqah: 18)” (Tahdzib Madarijis Salikin I:176).

Saatnya kita merenungi diri untuk bangkit memperbaiki diri dan memantapkan diri menjadi sosok yang lebih dalam berakidah, berakhlak mulia, beramal shalih dan senantiasa menjauhi larangan-larangan Allah.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jauhilah engkau dari menyibukkan memperbaiki diri orang lain, sebelum engkau memperbaiki dirimu sendiri” (Minhajul Qashidin, hal. 22)

Semoga uraian di atas bermanfaat. Aamiin yaa mujibas saailiin.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1) Majalah As-Sunnah edisi 07/THNXXI/1438H

2) oneline.to/hijrahapp

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14205-sibuk-introspeksi-diri-sendiri.html

Fikih Mesin Cuci; Suci tidak Harus Boros Air

Perkembangan teknologi dapat memudahkan segala pekerjaan manusia, termasuk dalam mencuci pakaian. Pada zaman modern ini, mencuci dengan mesin cuci adalah hal yang lumrah. Meski begitu, sebagian orang masih takut dan ragu mencuci dengan mesin cuci, karena khawatir ia tidak dapat menyucikan pakaian.

Kekhawatiran ini agaknya berangkat dari penjelasan sejumlah literatur fikih, bahwa cara menyucikan najis (yang mutawassithah) adalah dengan membuang najisnya kalau masih ada (najis ‘ainiyyah), lalu mengalirkan air pada bekas najis tersebut (najis hukmiyyah) sehingga najisnya hilang.

Kata “mengalirkan air” ini kadang disalahpahami, sehingga melahirkan sikap pemborosan air, bahkan di kalangan santri sekalipun. Padahal, Rasulullah Saw. sejak 14 abad lalu telah mengingatkan untuk tidak berlebihan menggunakan air.

Maka makna dari “mengalirkan air” ini perlu ditelisik lebih teliti, agar fikih tidak tampak seolah bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw., salah satu landasan hukum fikih itu sendiri.

Ada suatu kaidah yang masyhur dalam mazhab Syafi’i terkait menyucikan najis. Kaidah al-warid dan al-mawrud. Sesuatu yang al-warid (yang mendatangi) statusnya lebih dominan dibanding yang al-mawrud (yang didatangi).

Sebelumnya perlu diketahui bahwa kaidah ini hanya diaplikasikan ketika air yang digunakan untuk menyucikan najis kurang dari 2 qullah, sekitar 270 liter air. (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1/75).

Adapun jika volume air lebih dari 2 qullah, tidak ada pembedaan antara al-warid dan al-mawrud. Air 2 qullah dapat menyucikan benda bernajis. Baik dengan menyiramkannya kepada benda tersebut, atau dengan mencelupkan benda bernajis ke dalam air 2 qullah.

Praktek kaidah al-warid dan al-mawrud: ketika ada benda bernajis jatuh/dimasukkan ke dalam air yang kurang dari 2 qullah, maka yang menjadi al-warid adalah benda bernajis, dan yang menjadi al-mawrud adalah air. Dalam kasus ini, benda bernajis mendominasi air dan mengubah status air menjadi najis.

Sebaliknya, jika air dialirkan/disiramkan kepada benda bernajis, yang menjadi al-warid adalah air, dan benda bernajis menjadi al-mawrud. Dalam kasus ini, air dapat menyucikan benda bernajis tersebut.

Kaidah ini disimpulkan berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sampai ia membasuh tangannya tersebut, karena ia tidak tahu dimana tangannya semalam”. (H.R. Bukhari & Muslim)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan umatnya agar tidak langsung mencelupkan tangannya ke wadah air untuk bersuci. Karena bisa saja tangannya menyentuh najis ketika sedang tidur. Artinya, tangan yang bernajis tersebut statusnya sebagai al-warid akan mengubah status air (al-mawrud) menjadi bernajis dan tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Konsep al-warid dan al-mawrud ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i. Jika air dialirkan kepada benda bernajis, benda tersebut menjadi suci. Sebaliknya jika benda bernajis dimasukkan ke air yang kurang dari 2 qullah, air berubah menjadi najis dan tidak dapat menyucikan benda bernajis tersebut. [lihat al-Rafi’i: al-Syarh al-Kabir, 245; al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, 1/138].

Jika konsep al-warid dan al-mawrud ini diaplikasikan pada persoalan mencuci pakaian bernajis (najis hukmiyyah) dengan mesin cuci, maka cukup dengan cara meletakkan pakaian di tabung mesin cuci terlebih dahulu. Lalu mengalirkan air tanpa mencampurnya dengan detergen. Dengan cara ini, pakaian sudah suci. Baru selanjutnya membuang air yang dialirkan tadi, kemudian mencuci seperti biasa.

Opsi kedua adalah dengan cara mencuci dengan air dan detergen seperti biasa. Lalu saat hendak membilas, air detergen dibuang habis. Kemudian pakaian dialirkan air untuk membilas dan menyucikannya.

Kedua cara ini sudah cukup untuk mengubah status pakaian bernajis menjadi suci, walaupun air yang digunakan hanya sedikit. Suci tidak mesti boros air. Kalau memang cara menyucikan najis butuh banyak air, tentu akan menyulitkan orang-orang yang tinggal di negeri gersang.

Saking pentingnya hemat air, ada sebagian ulama mazhab Syafi’i yang bersikap lebih longgar perihal menyucikan najis. Salah satunya imam Ibnu Suraij. Menurut beliau, ketika benda bernajis dimasukkan ke dalam air yang kurang dari 2 qullah, benda bernajis tersebut dapat berubah menjadi suci. Asalkan memang diniatkan untuk menyucikannya. Jika tidak ada niat untuk menyucikan, konsep al-warid dan al-mawrud tetap berlaku. [lihat Ibnu Shalah: Syarh Musykil al-Wasith, 1/88].

Oleh karenanya, tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa mencuci dengan mesin cuci tidak dapat menyucikan pakaian bernajis. Asalkan dengan cara mengalirkan air kepada pakaian bernajis, pakaian akan suci. Meskipun air yang digunakan hanya sedikit.

Bahkan jika dengan cara sebaliknya pun, misal memasukkan pakaian ke dalam tabung mesin yang sudah diisi air, pakaian bisa suci. Asalkan diniatkan untuk menyucikannya, sebagaimana pandangan imam Ibnu Suraij. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG MUSLIMAH

Sayyidah Asiyah; Teladan dalam Keimanan

Termasuk salah satu perempuan yang dimuliakan oleh Allah dan diabadikan namanya dalam Al-Qur’an ialah Sayyidah Asiyah binti Muzahim. Beliau merupakan istri dari Fir’aun, dan ibu asuh Nabi Musa. Beliau juga merupakan satu dari sekian nama yang dicatat oleh Allah untuk dijadikan teladan akan keimanan yang dimiliki dan pengorbanannya yang begitu besar.

Maka tidak heran sesungguhnya tema International Women Day 2021 tempo lalu adalah “Choose To Challenge” (dari tantangan menuju perubahan). Dalam konteks ini, Sayyidah Asiyah menemukan relevansinya di sini. Asiyah merupakan perempuan yang tidak hanya sekadar dipenuhi tantangan dan pilihan yang sulit, namun tetap struggle, tetap berpendirian teguh memegang keyakinannya. Inilah makna sesungguhnya dari peringatan International Women Day itu.

Memuliakan perempuan berarti memuliakan peradaban, yang sejatinya telah diabadikan dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

Artinya: Dan Allah telah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun (Asiyah), ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. Al-Tahrim: 11)

Imam At-Thabari dalam kitabnya Jami’ Al-Bayan, menafsirkan ayat ini bahwa Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang Shiddiq (jujur) dan mengesakan-Nya, istri Fir’aun yaitu Aisyah ialah wanita yang benar-benar beriman kepada Allah dan mengesakan-Nya. Ia telah bersaksi atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa.

Keadaan Sayyidah Asiyah pada saat itu benar-benar di bawah musuh-musuh Allah, yaitu lingkungan orang kafir. Kendati demikian, hal itu tidak membahayakannya apalagi meruntuhkan keimanannya akan Allah. Imam At-Thabari juga mengatakan redaksi doa yang terkandung dalam ayat tersebut bermakna bahwa Allah mengabulkan doa Asiyah, istri Fir’aun dengan membangunkan sebuah rumah yang indah di surga Firdaus.

Di dalam tafsir yang lain, makna doa tersebut adalah senantiasa dekat kepada rahmat dan karunia Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Syaukani, Imam Az-Zamakhsari dan Imam Baghawi.

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir menafsirkan bahwa Allah mengumpamakan, sesungguhnya pergaulan orang mukmin terhadap orang kafir tidaklah membahayakan dirinya, jikalau memang mempunyai keperluan kepada mereka. Serta senantiasa memegang teguh keyakinan mereka, urusan mereka hanya sebatas persoalan duniawi, kemanusiaan, tidak lebih dari itu. “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, demikian yang allah firmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun.

Lebih lanjut lagi, Ibnu Katsir mengutip ayat Al-Qur’an Surat Ali Imran: 28 dengan tafsiran, “Janganlah kalian orang-orang mukmin mengambil orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Artinya, perihal keyakinan dan akidah, kita harus tetap mengutamakan orang-orang mukmin daripada non-muslim.

Sayyidah Asiyah sebagaimana digambarkan oleh ayat di atas merupakan perempuan suci, bahkan kekafiran suaminya (Fir’aun) tak lantas membahayakan terhadap dirinya, karena Asiyah senantiasa taat kepada Allah tanpa sedikitpun ia merasa takut untuk menolak segala keburukan yang dilakukan oleh suaminya termasuk berhubungan badan (jima’) dengannya.

Makna dari doa Asiyah di atas sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Az-Zamakhsyari tidak hanya ingin dibangunkan rumah di surga-Nya, melainkan agar ia senantiasa dekat dengan rahmat Allah. Dalam kitab Tafsir Al-Kasyaf,  Az-Zamakhsyari mengatakan,

فإن قلت ما معنى الجمع بين عندك وفي الجنة؟ قلت طلبت القرب من رحمة الله والبعد من عذاب أعدائه، ثم بينت مكان القرب بقولها { فِى ٱلْجَنَّةِ } أو أرادت ارتفاع الدرجة في الجنة

Jika engkau ditanya, apa makna doa ayat di atas “baina indaka” (di sisi-Nya) dan “fil jannah” (dalam surga)? Maka kamu menjawab, “sesungguhnya ia bermakna bahwa Asiyah meminta agar senantiasa dekat dengan rahmat-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya. Kemudian makna dekat itu ia lukiskan dalam redaksi fil jannah. Artinya, di surga-Nya adalah representasi ketinggian derajat (jannat al-ma’wa) seorang hamba dan kedekatannnya dengan Allah. (Tafsir AlKasyaf, juz 6, hal. 134)

Penafsiran ini kemudian dikonfirmasi Al-Syaukani dalam kitabnya Fathul Qadir bahwa yang dimaksud doa itu adalah rumah yang dekat dengan rahmat Allah Swt (bait qariban min rahmatika). Dan ketinggian keluhuran derajat serta diriingi ridha-Nya di setiap aktifitasnya.

Imam Al-Baghawi dalam kitab Ma’alim Al-Tanzil justru menggambarkan doa Asiyah dengan nuansa sufistik. Bahwa Allah akan membuka atau menyingkap (kasyaf) surga sehingga Asiyah melihatnya.

Pada satu kisah, ketika Asiyah akan dieksekusi mati, Fir’aun hendak melemparkan batu sangat besar (shakhrah ‘adzimah) kepada istrinya, kemudian Asiyah berdoa, “idz qalat rabbibni lii ‘indakan baitan fil jannah”, maka saat itu juga Allah swt memperlihatkan mutiara surga beserta kenikmatannya kepadanya.

Selepas itu Allah mencabut ruhnya sebelum ia dilempar batu oleh Fir’aun sehingga Asiyah tanpa sedikitpun merasa kesakitan. Imam Al-Hasan dan Ibnu Kisan menuturkan: Allah swt mengangkat Asiyah ke atas surga-Nya, dan ia sedang bersuka ria meminum dan memakan di dalam surga. Sementara redaksi berikutnya, “wa najjini minal qaumidz dzalimin”, Muqatil menafsirkannya dengan Allah menjauhkan Asiyah dari amalan Fir’aun berupa syirik. Abu Shalih dari Ibn Abbas berkata: yang dimaksud amalan itu ialah jima’ (bersetubuh).

Memuliakan Perempuan Berarti Memuliakan Peradaban

Secara eksplisit Ayat di atas mengindikasikan kepada kita kaum lelaki, bahwa suatu kewajiban bagi kaum laki-laki untuk memberikan surga kepada istri bagi yang sudah berkeluarga. Maksud surga di sini yaitu pakaian, makanan, rumah atau dalam filosofi Jawa dikenal Sandang, Pangan, Papan. Apabila belum bisa memberikannya secara optimal, paling tidak adalah memberikan rasa kasih sayang, bermuka riang terhadap istri, menyenangkan hatinya, menentramkan jiwanya. Singkat katanya, saling melengkapi dan saling memahami.

Bagi laki-laki yang belum menikah adalah memberikan rasa aman kepada perempuan, melindungi harkat dan martabatnya, tidak melecehkan dan tidak berbuat senonoh kepadanya, apalagi sampai menciderai kemurniannya, dan segala perbuatan yang mampu memuliakannya.

Walhasil, dari doa Sayyidah Asiyah kita belajar untuk memuliakan perempuan, sebab dengan memuliakan perempuan berarti kita memuliakan peradaban. Parameter kemajuan peradaban ini diukur dari bagaimana kiprah seorang perempuan itu dapat terlaksana dengan baik. Bila kiprah perempuan terpasung, kemurniannya dirampas lalu bagaimana kemajuan peradaban manusia akan dicapai. Kemudian bagaimana dengan nasib generasi penerus kelak? Alih-alih memajukan peradaban, justru malah meluluhlantahkannya.

Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.

BINCANG MUSLIMAH