Rahasia Kuatnya Hafalan Imam Waki’

Imam Syafii yang telah hafal al-Quran saat umur 7 tahun pernah terganggu hafalannya, apa rahasia kuatnya hafalan Imam Waki’?

SOSOK masyhur dengan panggilan Imam Waki’ ini memiliki nama asli Abu Sufyan Waki’ bin al-Jarrah ar-Ruwassi al-Kufi. Ia  adalah al-imam, al-hâfizh dengan hafalan yang sangat kuat, sekaligus ahli hadis yang sangat terkenal dari negeri Iraq.

Menurut Ahmad bin Hanbal, Waki’’ bin al-Jarrah lahir pada tahun 129 H (At-Târikh al-Kabîr, 8/179). Menurut Imam adz-Dzahabi, Imam Waki’’ telah aktif menimba ilmu sejak usia dini dan telah mulai mengajarkan ilmu hadis pada usia 30 tahun.

Selama hampir 40 tahun Imam Waki’’ menjadi tujuan para pencari ilmu dari berbagai penjuru negeri.  Tentang kekuatan hafalannya, Imam Ishaq bin Rahawaih berkata, “Hafalanku dan hafalan Ibn al-Mubarak berat dan betul-betul diupayakan. Adapun hafalan Waki’’ adalah murni. Satu kali berdiri ia bisa menyampaikan 700 hadis hanya dengan mengandalkan hafalannya.” (Al-Jarh wa at-Tadîl, 1/221).

Imam Ahmad bin Hanbal pun mengakui, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya daripada Waki’’ dan tidak ada yang sebanding dengan dia dalam hal ibadahnya.” (Al-Jarh wa at-Tadîl, 1/219).

Imam Ahmad juga berkisah, “Aku tidak pernah melihat Waki’ membawa kitab (saat mengajar).”

Karena itu, kata Yahya bin Ma’in, “Aku tidak melihat ulama yang lebih utama ketimbang Waki’ bin al-Jarrah.” (Al-Mustafâd min Dzayl Târîkh Baghdâd, 2/104).

Mengapa Imam Waki’ begitu kuat hafalannya? Salah satu rahasianya diungkap oleh pernyataannya sendiri.

Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Imam Waki’’ tentang obat apakah yang bisa memperkuat hafalan, ia menjawab, “Jika aku ajarkan kepada engkau, maukah engkau amalkan?” Orang itu menjawab, “Ya, demi Allah.” Kata Imam Waki’’, “Tinggalkan maksiat! Tak ada obat yang mujarab semisal itu.” (“Mukadimah” tahqîq kitab Az-Zuhd karya Imam Waki’, hlm. 13-69).

Imam Syafii juga pernah berkisah, “Aku pernah mengadukan kepada Waki’’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjuki aku agar meninggalkan maksiat. Ia memberitahu aku bahwa ilmu adalah cahaya Allah. Cahaya-Nya tidak mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’ânah ath-Thâlibîn, 2/190).

Padahal Imam Syafii adalah orang yang juga kuat hafalannya. Imam Syafii pernah berkata, “Aku telah hafal al-Quran saat umur 7 tahun. Aku pun telah hapal Kitab Al-Muwatha’ (karya Imam Malik) saat umur 10 tahun. Saat berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa.” (Tharh at-Tatsrîb, 1/95-96).

Lalu mengapa hafalan Imam Syafii bisa terganggu? Saat itu Imam Syafii mengadu kepada gurunya, Imam Waki’, “Aku tidak dapat mengulangi hafalanku dengan cepat. Apa sebabnya?” Imam Waki’ berkata, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa. Cobalah engkau renungkan!”

Imam Syafii pun merenung, apa kira-kira dosa yang telah ia perbuat? Ia  pun teringat bahwa pernah suatu saat melihat tanpa sengaja betis seorang wanita yang tersingkap saat wanita itu sedang menaiki kendaraannya. Imam Syafii pun segera memalingkan wajahnya.

Imam Waki’’ juga dikenal dengan kekhusyukan dan kesungguhannya dalam beribadah. Di antara perkara yang sangat ia perhatikan adalah shalat.

Ia berkata, “Siapa yang tidak mendapati takbir pertama (bersama imam dalam shalat berjamaah di masjid, pen.), janganlah terlalu berharap tentang kebaikan dirinya.” (Al-Baihaqi, Syuab al-Imân, 3/74).

Kata Ibrahim bin Syammas,  Waqi bin Jarrah juga pernah berkata, “Siapa saja yang tidak bersiap-siap (untuk shalat berjamaah di masjid, pen) saat  waktu shalat hampir tiba, ia berarti tidak memuliakan shalat.”

Namun demikian, meski amat banyak melakukan ibadah, Imam Waki’’ memandang bahwa mengajarkan hadis lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah.  “Andai shalat (sunnah) itu lebih utama daripada mengajarkan hadis, niscaya aku tidak akan pernah mengajarkan hadis.”

Ia juga berkata, “Kalau bukan karena mengingat besarnya keutamaan shalawat kepada Nabi ﷺ, niscaya aku tidak akan mengajarkan hadis.”

Imam Waki’’ pun sangat menjaga lisannya. Imam Ahmad berkata, “Ia tidak pernah membicarakan orang lain.”

Imam Waki’’ juga sosok yang tidak suka meminta-minta kepada manusia. Ia pun tidak suka dengan popularitas.

Ia tidak senang orang lain mengetahui shalat, puasa, atau ibadah yang ia lakukan.  Imam Waqi bin Jarrah juga adalah sosok ulama yang amat zuhud.

Tentang zuhud, ia berkata, “Jika seseorang meninggalkan urusan keduniawian tidak sampai taraf para sahabat seperti Salman, Abu Dzar, dll maka aku tidak mengatakan bahwa ia adalah seorang yang zuhud. Bagiku di dunia  ini ada yang halal, haram dan syubhat. Yang halal akan dihisab. Yang syubhat akan dicela. Oleh karena itu posisikan dunia ini seperti bangkai. Ambilah dari dunia ini untuk sekadar membuatmu bertahan hidup.” (An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ, 11/123, Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, 11/144).*/ Arief B. Iskandar, khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

HIDAYATULLAH