Rahmat Allah dalam Al-Qur’an

Berbicara tentang rahmat, kita akan temukan banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut tentangnya. Ada pula ayat-ayat yang menyebutkan pengaruh dari rahmat itu sendiri, perumpamaannya dan berbagai sisi tentang rahmat. Dan tiada siapapun yang mampu menjangkau kebesaran Rahmat Allah.

Nah, kali ini kita akan menyebutkan beberapa poin tentang rahmat dalam pandangan Al-Qur’an.

(1). Al-Qur’an menjelaskan bahwa rahmat Allah menyentuh segala sesuatu di alam wujud ini. Bahkan titik sekecil apapun di alam keberadaan ini semuanya bisa eksis berkat rahmat Allah Swt. Dan Rahmat itulah pondasi keberadaan di alam semesta ini.

وَرَحۡمَتِي وَسِعَتۡ كُلَّ شَيۡءٖۚ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS.Al-A’raf:156)

(2). Al-Qur’an memandang diturunkannya Risalah dan diutusnya para Nabi adalah rahmat Allah yang diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Maka barangsiapa yang layak mendapatkan rahmat yang lebih maka dia akan diperintahkan untuk menyampaikan wahyu ilahi dan memberi hidayah kepada mereka.

Karena dari orang-orang terpilih inilah akan tersampaikannya petunjuk hidup, solusi serta jalan keselamatan bagi manusia dari siksa akhirat.

Karena itu hanya Allah yang menentukan dengan rahmatnya dengan memilih para Nabi dan Rasul.

يَخۡتَصُّ بِرَحۡمَتِهِۦ مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ

“Dia menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS.Ali ‘Imran:74)

(3) Al-Qur’an sendiri adalah Rahmat Allah bagi hamba-Nya. Dan hal ini disebutkan dalam berbagai ayat, seperti :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS.Yunus:57)

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٞ وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارٗا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zhalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS.Al-Isra’:82)

(4). Nabi Muhammad Saw adalah wujud terbesar dari Rahmat Allah Swt. Beliau adalah simbol dan pemikul Rahmat Allah Swt.

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS.Al-Anbiya’:107)

(5). Dan termasuk rahmat Allah adalah keringanan dalam hukum dan kewajiban yang harus dilakukan manusia. Seperti ketika Allah membicarakan hukum Qishos dan Dhiyah.

ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ

“Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS.Al-Baqarah:178)

(6). Sikap berlemah lembut dan saling mengasihi sesama adalah Rahmat Allah yang diberikan kepada manusia.

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (QS.Ali ‘Imran:159)

Masih ada beberapa ayat lagi yang akan kita sebutkan mengenai Rahmat Allah Swt dalam Al-Qur’an. Nantikan kelanjutannya di bagian ke dua yah.

KHAZANAH ALQURAN

Apa Penyebab Seseorang Putus Asa dari Rahmat Allah Swt?

Seperti yang telah kita uraikan di artikel sebelumnya, putus asa dari Rahmat Allah adalah penyakit serius yang menimpa banyak manusia. Dan yang ingin kita cari jawabannya kali ini adalah “Apa penyebab seseorang bisa berputus asa dari Rahmat Allah?”

Banyak sebab-sebab yang membuat orang berputus asa, antara lain :

(1). Karena kebodohan dan minimnya pengetahuan tentang Allah Swt.

Apabila seorang hamba tidak mengenal Tuhannya, tidak memahami betapa besar Rahmat dan Kasih Sayang Allah kepada hamba-Nya, maka ia akan mudah terjerembab dalam lubang putus asa.

(2). Karena kurang bersabar dan ingin mendapatkan hasil yang instan.

Putus asa bisa juga muncul dari lemahnya jiwa seseorang dalam menjalani cobaan atau ujian hidup. Ia ingin segera meraih hasil yang ia dambakan, namun tidak mau bersabar untuk melalui proses yang berat untuk mendapatkannya.

(3). Karena bergaul dan berteman dengan orang-orang yang pesimis dan mudah putus asa.

Teman juga sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang. Bergaul bersama teman yang pesimis akan menjadikan jiwa kita mudah terlempar dalam jurang putus asa. Teman yang baik akan selalu memberi semangat dan harapan bagi kita bahwa selalu ada kesempatan untuk menjadi lebih baik.

(4). Karena terlalu cinta dunia dan terikat dengannya.

Keterikatan kepada dunia akan membuat seseorang mudah lupa ketika ia senang dan mudah putus asa ketika ia kehilangan sesuatu yang ia cintai. Betapa banyak orang yang kehilangan harapan dan semangat hidup ketika ia kehilangan orang yang ia sayangi atau kehilangan harta, jabatan dan kesehatan yang selama ini ia banggakan.

Simak ayat-ayat berikut ini :

وَإِذَآ أَذَقۡنَا ٱلنَّاسَ رَحۡمَةٗ فَرِحُواْ بِهَاۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ إِذَا هُمۡ يَقۡنَطُونَ

“Dan apabila Kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. Tetapi apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) karena kesalahan mereka sendiri, seketika itu mereka berputus asa.” (QS.Ar-Rum:36)

لَّا يَسۡأمُ ٱلۡإِنسَٰنُ مِن دُعَآءِ ٱلۡخَيۡرِ وَإِن مَّسَّهُ ٱلشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya.” (QS.Fushilat:49)

وَإِذَآ أَنۡعَمۡنَا عَلَى ٱلۡإِنسَٰنِ أَعۡرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِۦ وَإِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa.” (QS.Al-Isra’:83)

Lalu apa obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang mematikan ini? Tunggu jawabannya di artikel esok hari, Insya Allah !

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

10 Cara Rasulullah SAW Menjemput Rahmat Allah SWT

Suatu hari Baginda Nabi Muhammad SAW didatangi Jibril, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang berada di tengah-tengah lautan. Di situ Allah SWT mengeluarkan sumber air tawar yang sangat segar sebesar satu jari, di situ juga Allah SWT menumbuhkan satu pohon delima, setiap malam delima itu berbuah satu delima.

Setiap harinya, hamba Allah tersebut mandi dan berwudhu pada mata air tersebut. Lalu ia memetik buah delima untuk dimakannya, kemudian berdiri untuk mengerjakan shalat dan dalam shalatnya ia berkata: “Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan bersujud dan supaya badanku tidak tersentuh oleh bumi dan lainnya, sampai aku dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud”.

Maka Allah SWT menerima doa hambanya tersebut. Aku (Jibril) mendapatkan petunjuk dari Allah SWT bahwa hamba Allah itu akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud. Maka Allah SWT menyuruh: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”. Untuk yang ketiga kalinya Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut pun berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah SWT tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah SWT berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu. (HR Sulaiman Bin Harom, dari Muhammad Bin Al-Mankadir, dari Jabir RA).

Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga karena rahmat Allah SWT, bukan karena banyaknya amal ibadah. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal ibadah yang kita lakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, puasa, dan amalan-amalan lainnya tidak ada arti? Jangan salah persepsi. Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia, amal ibadah adalah sebuah proses atau alat untuk menjemput rahmat Allah SWT. Karena rahmat Allah tidak diobral begitu saja kepada manusia. Akan tetapi, harus diundang dan dijemput.

Rasulullah SAW mengajarkan kepala umatnya beberapa cara agar rahmat Allah itu bisa diraih. Pertama, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah SWT dengan menyempurnakan ibadah kepada-Nya dan merasa diperhatikan (diawasi) oleh Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Kedua, bertakwa kepada-Nya dan menaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (QS al-A’raf [7]: 156-157). Ketiga, kasih sayang kepada makhluk-Nya, baik manusia, binatang. maupun tumbuhan.

Keempat, beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah (QS al-Baqarah [2]: 218). Kelima, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Rasulullah SAW (QS an-Nur [24]: 56). Keenam, berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkannya dengan bertawasul dengan nama-nama-Nya yang Mahapengasih (ar-Rahman) lagi Mahapenyayang (ar-Rahim). Firman Allah SWT, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS al-Kahfi [18]: 10).

Ketujuh, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran (QS al-An’am [6]: 155). Kedelapan, menaati Allah SWT dan Rasul-Nya (QS Ali Imran [6]: 132). Kesembilan, mendengar dan memperhatikan dengan tenang ketika dibacakan Alquran (QS al-A’raf [7]: 204). Kesepuluh, memperbanyak istigfar, memohon ampunan dari Allah SWT. Firmannya, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS an-Naml [27]: 46).

Oleh Suprianto

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Meraih Rahmat Allah

RASULULLAH SAW adalah orang yang diberi rahmat yang besar oleh Allah. Ia senantiasa bergerak seperti penebar cahaya kebaikan. Kebaikannya penuh ketulusan dan keindahan. Hidupnya diliputi kesabaran, tawadu’, dan ketenangan.

Saudaraku, kita ini sebetulnya makhluk rahmat.Tapl kita belum mencapainya kalau hanya baru menyayangi teman dekat. Ia akan meningkat kalau kita sudah rahmatan lil ‘alamiin. Sehingga untuk mencapainya kita harus berupaya serta memohon dan berharap rahmat yang besar kepada Allah.

Salah satu cara mengupayakan rahmat Allah adalah dengan mendatangi majelis ilmu dan majelis zikir. Nah. cara lainnya adalah mensyukuri sifat rahmat yang ada pada diri kita sendiri, sebagai makhluk rahmat.

Pertama, dengan menebarkan sifat itu kepada yang paling berhak mendapatkan. Yaitu orangtua. Bagaimana pun orangtua kita, darah dagingnya tetap ada pada kita Itu takdir. Sehingga misalnya orangtua kita bergelimang dosa, maka kita tetap yang harus berada di barisan terdepan agar orangtua diberi ampunan oleh Allah.

Atau misalkan orangtua terlilit utang, kita yang berusaha melunasinya. Sekuatnya kita berusaha menumpahkan kasih sayang, perhatian, dan minimal mendoakan mereka dengan tulus. Allah pasti mengetahui.

Yang kedua, keluarga dan anak. Misalkan kalau kita menebarkan sifat rahmat pada anak, bukan dengan berpidato, “Anakku, ayah sangat mencintaimu, siang malam ayah membanting tulang cuma demi kamu nak.” Kata anaknya, “Ayah Iebay, kemarin ayah membanting piring.” Atau, “Anakku, setiap hari air mata ibu selalu mengalir untukmu”. Anaknya berkata,”BaikIah bu, nanti saya ajari cara mengiris bawang merah yang benar.”

Tidak bisa dengan kata-kata. Karena anak-anak itu mengertinya bahasa hati.Tunjukkanlah dengan diri kita sendiri yang terus merunduk dan bertobat. Bukan dengan merasa berjasa sebagai Orangtua, maupun dengan membelikan ponsel atau mobil.

Demikian pula terhadap keluarga atau saudara. Karena sudah takdirnya kita menjadi adik-kakak maupun sepupu. Berikan perhatian yang tulus kepada mereka. Jangan sampai, misalnya, kita sering berwakaf tapi saudara sendiri terabaikan. Hubungan silaturahim harus kita sambung danjaga.

Yang ketiga, anak-anak yatim. Yang ini sudah amat jelas dalilnya. Dan ini bukan perkara mendirikan panti yatim piatu. Tapi berikanlah perhatian kepada mereka dengan terus merunduk dan bertobat. Karena mereka yatim memang takdir dari Allah. Sebagai ladang amal dan tempat bagi kita untuk menebarkan sifat rahmat.

Yang keempat, fakir miskin dan termasuk single parent. Kita harus benar-benar banyak bertafa kur dengan apa yang menjadi takdir mereka. Supaya kita juga bisa menyadari bahwa takdir kita yang diberi Iebih oIeh Allah adalah untuk membantu dan menolongnya. Bukan malah meremehkan atau menzaliminya.

Yang kelima, orang yang sakit dan ditimpa musibah. Kunjungi dan beri perhatian pada mereka.Tapi saat mengunjungi jangan membuat mereka sakit hati. Misalnya, “Ini nih akibat dosamu, ini azabnya baru persekot lho.” Ringankan beban mereka. Seperti dengan membantu biaya rumah sakitnya. Kalau kita sanggup, bayari seluruhnya. Karena uang yang kita pegang juga milik Allah.

Dan yang keenam, yang harus kita tebarkan sifat rahmat padanya adalah para khadimat atau yang membantu kita.Yang ini kita harus benar-benar hati-hati.

Karena kadang-kadang kita suka merendahkan, bahkan ada yang tega menganiaya pembantunya. Padahal Rasulullah mengajarkan bahwa para pembantu itu juga saudara-saudara kita. Kita diperintahkan memberi makan dan pakaian yang sama dengan kita.

Atau mungkin kita memang sopan kepada mereka, tapi sifat rahmatnya tetap belum ada. Misalnya, “Tolong ambilkan sandal saya, maaf merepotkan dan terima kasih.” Kata pembantunya, ‘Maaf, saya sedang capek, kalau ambil sendiri bagaimana?” Lalu dibalas, “BaikIah, silakan istirahat di rumah sendiri dan tidak usah ke sini Iagi.” Memang sopan, tapi langsung PHK-nya ini belum rahmat.

Nah, saudaraku. Mari kita syukuri sifat rahmat yang ada pada diri kita ini. Kita harus terus berdoa dan berupaya supaya kita dirahmati AIIah Swt. Karena dengan rahmat Allah hidup kita di dunia bisa selalu tenang,. Dengan rahmat-Nya pula kita bisa selamat saat tiba waktunYa untuk pulang kembali kepada-Nya. [*]

INILAH MOZAIK

Hakikat Bersyukur

Sebuah yang hadis diriwayatkan Hakim dari Jabir bin Abdullah RA menyebutkan, di akhirat nanti ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun.

Ahli ibadah tersebut pun dipersilakan Allah SWT untuk memasuki surga. “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke dalam surga karena rahmat-Ku,” bunyi Firman Allah dalam hadis qudsi tersebut.

Namun, ada yang menyangkal di dalam hati si ahli ibadah. Mengapa ia masuk surga lantaran rahmat Allah? Bukankah ia telah beribadah selama 500 tahun? “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam surga karena amalku?” tanyanya.

Allah SWT pun memperlihatkan nikmat yang telah diberikan-Nya bagi si ahli ibadah. Nikmat Allah tersebut ditimbang dengan seluruh amal ibadah yang telah ia kerjakan. Ternyata, nikmat penglihatan dari sebelah matanya saja sudah melebihi ibadah 500 tahun si ahli ibadah. Akhirnya, si ahli ibadah pun tunduk di hadapan Allah dan menyadari betapa kecilnya nilai ibadahnya.

Tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak bersyukur kepada Allah. Sebanyak apa pun ibadah yang dilakukan, tak akan sebanding dengan nikmat dan karunia yang telah diterima dari Allah. Demikianlah hakikat dari ibadah, sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba kepada Rabb-nya. Jadi, menunaikan ibadah bukan hanya sebatas “pelunas utang” dan menunaikan kewajiban saja.

Rasulullah SAW sebagai seorang hamba yang dijamin tidak berdosa (maksum) adalah teladan dalam hal bersyukur. Suatu kali, istri beliau SAW bertanya, mengapa suaminya itu selalu shalat tahajud sepanjang malam. Bahkan, kaki beliau SAW pun sudah bengkak lantaran lamanya berdiri. “Ya Rasulullah, bukankah Allah SWT telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” ujar Aisyah.

Aisyah mengisyaratkan, buat apalagi susah-susah ibadah, toh Rasulullah SAW sudah dijamin Allah masuk surga. Seluruh kesalahannya, kalaupun ada, sudah diampuni Allah. Dan, ia adalah makhluk yang paling mulia di muka bumi. Lalu, mengapa ia masih merepotkan diri dengan ibadah sepanjang malam?

“Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur,” jawab Rasulullah (HR Bukhari).

Demikianlah Rasulullah mencontohkan, hakikat dari ibadah bukanlah sebatas “pelunas utang” atau pembersih diri dari dosa. Ibadah adalah luapan rasa syukur kepada Allah.

 

REPUBLIKA

10 Cara Rasulullah Menjemput Rahmat Allah

Suatu hari Baginda Nabi Muhammad SAW didatangi Jibril, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, ada seorang hamba Allah yang beribadah selama 500 tahun di atas sebuah bukit yang berada di tengah-tengah lautan. Di situ Allah SWT mengeluarkan sumber air tawar yang sangat segar sebesar satu jari, di situ juga Allah SWT menumbuhkan satu pohon delima, setiap malam delima itu berbuah satu delima.

Setiap harinya, hamba Allah tersebut mandi dan berwudhu pada mata air tersebut. Lalu ia memetik buah delima untuk dimakannya, kemudian berdiri untuk mengerjakan shalat dan dalam shalatnya ia berkata: “Ya Allah, matikanlah aku dalam keadaan bersujud dan supaya badanku tidak tersentuh oleh bumi dan lainnya, sampai aku dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud”.

Maka Allah SWT menerima doa hambanya tersebut. Aku (Jibril) mendapatkan petunjuk dari Allah SWT bahwa hamba Allah itu akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bersujud. Maka Allah SWT menyuruh: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”. Untuk yang ketiga kalinya Allah SWT menyuruh lagi: “Masukkan hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku”. Akan tetapi, hamba tersebut pun berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena amal ibadahku”.

Maka Allah SWT menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah SWT tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah SWT berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu. (HR Sulaiman Bin Harom, dari Muhammad Bin Al-Mankadir, dari Jabir RA).

Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga karena rahmat Allah SWT, bukan karena banyaknya amal ibadah. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal ibadah yang kita lakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, puasa, dan amalan-amalan lainnya tidak ada arti? Jangan salah persepsi. Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia, amal ibadah adalah sebuah proses atau alat untuk menjemput rahmat Allah SWT. Karena rahmat Allah tidak diobral begitu saja kepada manusia. Akan tetapi, harus diundang dan dijemput.

Rasulullah SAW mengajarkan kepala umatnya beberapa cara agar rahmat Allah itu bisa diraih. Pertama, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah SWT dengan menyempurnakan ibadah kepada-Nya dan merasa diperhatikan (diawasi) oleh Allah (QS al-A’raf [7]: 56). Kedua, bertakwa kepada-Nya dan menaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (QS al-A’raf [7]: 156-157). Ketiga, kasih sayang kepada makhluk-Nya, baik manusia, binatang. maupun tumbuhan.

Keempat, beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah (QS al-Baqarah [2]: 218). Kelima, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Rasulullah SAW (QS an-Nur [24]: 56). Keenam, berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkannya dengan bertawasul dengan nama-nama-Nya yang Mahapengasih (ar-Rahman) lagi Mahapenyayang (ar-Rahim). Firman Allah SWT, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (QS al-Kahfi [18]: 10).

Ketujuh, membaca, menghafal, dan mengamalkan Alquran (QS al-An’am [6]: 155). Kedelapan, menaati Allah SWT dan Rasul-Nya (QS Ali Imran [6]: 132). Kesembilan, mendengar dan memperhatikan dengan tenang ketika dibacakan Alquran (QS al-A’raf [7]: 204). Kesepuluh, memperbanyak istigfar, memohon ampunan dari Allah SWT. Firmannya, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS an-Naml [27]: 46).

 

 

Oleh: Suprianto

sumber:Republika Online

Sudahkah Bermohon Rahmat-Nya?

HIDUP di dunia pastinya berhubungan dengan berbagai keinginan dan kebutuhan. Itulah garisan Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) sebagai syahwat setiap manusia.

Mulai dari ketertarikan kepada wanita, anak, keluarga, kebun, kendaraan, hingga kepada timbunan emas dan perak.

Namun bedanya, orang-orang beriman patuh kepada aturan Allah sedang mereka yang ingkar tak mau peduli dengan tata hidup yang juga sudah diatur oleh Allah Sang Pencipta.

Sebagaimana orang beriman juga dituntut untuk mendahulukan kepentingan agama dan akhirat di atas dorongan keinginan duniawi tersebut.

Olehnya, seorang Mukmin patut bersyukur kepada Allah atas karunia hidayah yang diberikan.

Ada Nabi utusan Allah yang memberi bimbingan sekaligus teladan yang nyata kepada umatnya. Serta al-Qur’an dan Sunnah sebagai panduan pokok dalam menjalani hidup berislam.

Kisah sekumpulan pemuda al-Kahfi atau yang dikenal Ashabul Kahfi adalah salah satu cermin teladan tersebut. ia disebut secara khusus dalam sebuah nama surah al-Qur’an, surah al-Kahfi.

Mereka adalah para pemuda di zamannya yang tak tergiur dengan kenikmatan materi dunia. Mereka rela berpisah bahkan lari darinya untuk menyelamatkan keimanan kepada Allah.

Ajaibnya lagi, dalam posisi terintimidasi dan terdzalimi demikian, tak ada sedikitpun keluhan atas kondisi yang mereka alami. Setidaknya hal itu tampak dari doa yang mereka ratapkan.

Alih-alih berkesah dengan segala harta yang mesti ditinggal pergi atau mengeluh dengan fasilitas inap yang berbeda jauh antara sesaknya gua dengan ketika masih nyaman tinggal di lingkungan istana.

Dalam munajat syahdu tersebut, pemuda al-Kahfi itu justru hanya memohon satu perkara saja, memelas rahmat Allah serta bimbingan yang tak jemu bagi mereka.

Allah berfirman:

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Surah al-Kahfi [18]: 10).

Bagi orang beriman, inilah puncak daripada hakikat ilmu dan iman yang dimiliki.

Kala seorang Muslim berada di titik kesadaran sekaligus keyakinan bahwa dunia dan segala daya tarik yang menyertainya hanyalah secuil dibanding nikmat iman yang dikaruniakan oleh Allah.

Seluruh isi materi dunia yang kadang menjadi sumber rebutan bahkan pertikaian manusia itu tak bernilai apa-apa jika Allah enggan mengiringinya dengan berkah dan rahmat-Nya.

Sebaliknya, sejumput nikmat di dunia akan terasa melapangkan jiwa sekiranya yang sedikit itu dirahmati oleh Allah.

Di sana ada berkah, kelapangan, serta kemanfaatan bagi hamba-Nya dan orang-orang di sekitarnya.

Mengapa mesti rahmat

Realitas masyarakat dan bangsa hari ini layak ditengok dan dijadikan cermin untuk berkaca.

Orang berilmu, misalnya. Nyaris setiap tahun sejumlah perguruan tinggi melahirkan ratusan sarjana dan cendekia Muslim dari berbagai disiplin ilmu.

Namun hampir setiap hari pula media-media massa memberitakan hal yang jauh dari nilai-nilai pendidikan. Terjadi degradasi adab dan kemerosotan moral lainnya.

Deretan gelar akademik itu seolah runtuh seketika di hadapan Allah jika pengetahuan itu tak mampu mengundang rahmat Allah padanya.

Maksud hati ilmu dicari agar memberi faidah kepada orang lain. Apa daya pengetahuan yang luas tak ubahnya onak dalam duri, hanya menggelisahkan bahkan menyakiti diri.

Pangkat dan jabatan juga bisa bernasib sama nantinya andai urusan itu tak mampu mendulang berkah Allah.

Akibatnya, kekuasaan yang dimiliki laris manis hanya untuk menindas orang lain. Kelak di Hari Pembalasan orang itu baru tersadar, ada amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Di sana ada ribuan bahkan jutaan rakyat akan mengadu atas kedzaliman yang mereka rasakan selama diatasi oleh pemimpin yang tidak adil dan amanah.

Sebab kepemimpinan itu telah dicabut keberkahannya dan jauh dari rahmat Allah.

Sebaliknya, pemandangan berbeda akan terlihat ketika Allah berkenan merahmati suatu perbuatan manusia.

Keluarga yang dinaungi rahmat Allah niscaya mampu melahirkan generasi keturunan yang shaleh/shalehah.

Bersama orang tuanya, anak-anak bisa mendapatkan ketenangan dan keteduhan jiwa di dalam keluarga.

Di lingkungan pendidikan, proses menuntut ilmu dan kegiatan belajar mengajar juga terasa berkahnya kala para guru menyayangi murid-muridnya.

Sang guru lalu mengajari mereka dengan penuh ketulusan. Mereka tidak hanya sebagai penyampai ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga sebagai teladan dalam akhlak, ibadah, dan amal shaleh lainnya.

Selanjutnya, murid-murid berlomba mengamalkan ilmu yang dipelajari. Mereka menaruh hormat dan adab kepada orang lain terutama kepada guru dan orangtua.

Sebab sekali lagi, hanya dengan Rahmat Allah-lah setiap karunia bisa dinikmati dengan nyaman. Ia tumbuh dan berkembang dalam bingkai keberkahan.

Bagi orang beriman, hidup menjadi sederhana. Tinggal memilih, bersabar atau bersyukur kepada Penciptanya.*/Masykur

 

sumber: Hidayatullah

Cara Meraih Rahmat Allah

RASULULLAH Saw adalah orang yang diberi rahmat yang besar oleh Allah. Ia senantiasa bergerak seperti penebar cahaya kebaikan. Kebaikannya penuh ketulusan dan keindahan. Hidupnya diliputi kesabaran, tawadlu, dan ketenangan.

Saudaraku, kita ini sebetulnya makhluk rahmat. Tapi kita belum mencapainya kalau hanya baru menyayangi teman dekat. Ia akan meningkat kalau kita sudah rahmatan lil alamiin. Sehingga untuk mencapainya kita harus berupaya serta memohon dan berharap rahmat yang besar kepada Allah.

Salah satu cara mengupayakan rahmat Allah adalah dengan mendatangi majelis ilmu dan majelis zikir. Nah, cara lainnya adalah mensyukuri sifat rahmat yang ada pada diri kita sendiri, sebagai makhluk rahmat.

Pertama, dengan menebarkan sifat itu kepada yang paling berhak mendapatkan. Yaitu orangtua. Bagaimana pun orangtua kita, darah dagingnya tetap ada pada kita. Itu takdir. Sehingga misalnya orangtua kita bergelimang dosa, maka kita tetap yang harus berada di barisan terdepan agar orangtua diberi ampunan oleh Allah.

Atau misalkan orangtua terlilit utang, kita yang berusaha melunasinya. Sekuatnya kita berusaha menumpahkan kasih sayang, perhatian, dan minimal mendoakan mereka dengan tulus. Allah pasti mengetahui.

Yang kedua, keluarga dan anak. Misalkan kalau kita menebarkan sifat rahmat pada anak, bukan dengan berpidato,”Anakku, ayah sangat mencintaimu, siang malam ayah membanting tulang cuma demi kamu nak.” Kata anaknya, “Ayah lebay, kemarin ayah membanting piring.” Atau, “Anakku, setiap hari air mata ibu selalu mengalir untukmu.” Anaknya berkata, “Baiklah bu, nanti saya ajari cara mengiris bawang merah yang benar.”

Tidak bisa dengan kata-kata. Karena anak-anak itu mengertinya bahasa hati. Tunjukkanlah dengan diri kita sendiri yang terus merunduk dan bertobat. Bukan dengan merasa berjasa sebagai orangtua, maupun dengan membelikan ponselatau mobil.

Demikian pula terhadap keluarga atau saudara. Karena sudah takdirnya kita menjadi adik-kakak maupun sepupu. Berikan perhatian yang tulus kepada mereka. Jangan sampai, misalnya, kita sering berwakaf tapi saudara sendiri terabaikan. Hubungan silaturahim harus kita sambung dan jaga.

Yang ketiga, anak-anak yatim. Yang ini sudah amat jelas dalilnya. Dan ini bukan perkara mendirikan panti yatim piatu. Tapi berikanlah perhatian kepada mereka dengan terus merunduk dan bertobat. Karena mereka yatim memang takdir dari Allah. Sebagai ladang amal dan tempat bagi kita untuk menebarkan sifat rahmat.

Yang keempat, fakir miskin dan termasuk single parent. Kita harus benar-benar banyak bertafakur dengan apa yang menjadi takdir mereka. Supaya kita juga bisa menyadari bahwa takdir kita yang diberi lebih oleh Allah adalah untuk membantu dan menolongnya. Bukan malah meremehkan atau menzaliminya.

Yang kelima, orang yang sakit dan ditimpa musibah. Kunjungi dan beri perhatian pada mereka. Tapi saat mengunjungi jangan membuat mereka sakit hati. Misalnya, “Ini nih akibat dosamu, ini azabnya baru persekot lho.” Ringankan beban mereka. Seperti dengan membantu biaya rumah sakitnya. Kalau kita sanggup, bayari seluruhnya. Karena uang yang kita pegang juga milik Allah.

Dan yang keenam, yang harus kita tebarkan sifat rahmat padanya adalah para khadimatatau yang membantu kita. Yang ini kita harus benar-benar hati-hati. Karena kadang-kadang kita suka merendahkan, bahkan ada yang tega menganiaya pembantunya. Padahal Rasulullahmengajarkan bahwa para pembantu itu juga saudara-saudara kita. Kita diperintahkan memberi makan dan pakaian yang sama dengan kita.

Atau mungkin kita memang sopan kepada mereka, tapi sifat rahmatnya tetap belum ada. Misalnya,”Tolong ambilkan sandal saya, maaf merepotkan dan terima kasih.” Kata pembantunya, “Maaf, saya sedang capek, kalau ambil sendiri bagaimana?” Lalu dibalas, “Baiklah, silakan istirahat di rumah sendiri dan tidak usah ke sini lagi.” Memang sopan, tapi langsung PHK-nya ini belum rahmat.

Nah, saudaraku. Mari kita syukuri sifat rahmat yang ada pada diri kita ini. Kita harus terus berdoa dan berupaya supaya kita dirahmati Allah SWT. Karena dengan rahmat Allah hidup kita di dunia bisa selalu tenang. Dengan rahmat-Nya pula kita bisa selamat saat tiba waktunya untuk pulang kembali kepada-Nya. [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2247737/cara-meraih-rahmat-allah#sthash.ai8GIp6P.dpuf

Fokus pada Rahmat Allah

KETIKA saudara berkumpul di masjid membaca al-Quran atau khusyuk mengikuti pengajian, bagaimanakah rasanya hati saudara? Ketikaberkumpul di rumah Allah, hati bisa merasakan ketenangan. Juga menjadi lebih kuat dan siap, serta lebih adem dan yakinmengarungi hidup ini.

Abu Hurairahmenceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda,“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah dari rumah-rumahnya, mereka membaca kitab-kitab Allah kemudian mempelajarinya, dan berzikir kepada Allah, melainkan Allah akan menurunkan kepadanya sakinah (ketenangan). Dan Allah akan menghujaninya dengan rahmat, kemudian akan diliputi oleh para malaikat, dan akan disebutkan disisi Allah oleh Allah di sisi makhluk-Nya yang paling mulia.”(HR. Imam Muslim)

Jadi, majelis zikir atau majelis ilmu itu merupakan salah satu tempat datangnya rahmat Allah. Perbanyaklah menghadirinya supaya kita bisa mendapatkan ketenangan, dan merasakan bagaimana saat Allah memberi rahmat-Nya kepada kita.

Seperti ketenangan ketika di majelis ilmu itulah, ketenangan hidup orang yang sudah dirahmati Allah. Melalui rahmat Allah yang besar, hidupnya penuh kesabaran dan ketawaduan. Dia terus bergerak bagai penebar cahaya kebaikan. Kebaikan demi kebaikan itu dilakukannya dengan amat ringan, tulus,dan indah. Sebagaimana Rasulullah yang hidupnya penuh dengan rahmat Allah.

Sebaliknya, orang yang tidak mendapat rahmat, mudah tersinggung dan emosional. Hidupnya tidak tenang dan sulit merunduk. Dia susah membantu orang, lebih kepada sombong dan kikir. Seperti diminta berzakat saja menolak.”Enak saja, ini hasil keringat saya sendiri, perjuangan gigih lahir batin, rawe-rawe lantas malang-malang putung.” Apalagi untuk rajin berbagi. Sekalipun berbuat kebaikan, maka tidak jauh dari ujub dan riya.

Kalau misalkan orang yang dirahmati Allah diberi kekayaan, maka ketika melihat harta itu dia akan banyak bertafakur. “Ya Allah, semua ini milik-Mu dan titipan-Mu.” Dia menyadari bahwa dirinya hanyawakil Allah di bumi untuk misalnya membantu orang-orang yang lapar, kekurangan biaya maupun terlilit utang dengan kekayaan yang dititipkan itu. Amat ringan baginya berbagi dan berbuat kebaikan.

Dengan terus merunduk, orang yang dirahmati Allah akan terus pula memohon hidayah Allah, supaya harta yang dititipkan padanya diringankan hisabnya di akhirat. Dia terus meminta pertolongan Allah agar diberi kesanggupan bersyukur, dan jangan sampai ada sepeser pun hak orang lain yang tertahan.

Begitu pula misalkan seorang anak yang dirahmati Allah. Dia menjadi penyejuk hati. Tidak hanya bagi orangtuanya, tapi setiap yang melihatnya akan senang. Karena bicara, sikap,dan pribadinya menenteramkan, serta ibadahnya pun nyaman. Berbeda dengan anak yang tidak dirahmati Allah. Berada dekat dengannya akan membuat sakit hati. Jangankan melihat, mendengar namanya pun orang sudah mual.

Nah, saudaraku. Rahmat yang diberikan Allah itu akan menyelinap ke relung hati, lalu memenuhi seluruh tubuh, sehingga sifatnya melimpah dengan welas asih. Makanya kita harus fokus pada rahmat Allah. Bukan pada kekayaan atau duniawi lainnya. Tidak masalah kita mau ditakdirkan di posisi mana saja di kehidupan ini. Asalkan bisa dirahmati Allah, maka episode hidup bagaimana pun akan terasa ringan. Selamat di dunia dan akhirat.

Mari kita fokus pada rahmat Allah. Sering-sering memohon kepada Allah, yang salah satu doanya adalah seperti doa para pemuda yang berlindung di dalam gua,“Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”(QS. al-Kahf [18]: 10)

Dalam doa itu, selain mengharapkan rahmat-Nya, juga memohon kepada Allah agar diberi petunjuk yang benar-benar sempurna. Karena Allah yang paling mengetahui solusi terbaik bagi setiap sisi dan persoalan dalam kehidupan kita.

Saudaraku. Hidup kita tidak akan selamat kalau hanya mengandalkan amal. Tapi rahmat Allah yang bisa menyelamatkan. Pernah ada yang bertanya, “Berarti kita tidak membutuhkan amal?” Yang begini salah. Karena rahmat Allah itu justru harus kita kejar dengan meningkatkan amal. Doa itu pemandu amal. Amal kita mendatangkan rahmat Allah, dan dengan rahmat Allah kita akan selamat. Insya Allah. [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2247733/fokus-pada-rahmat-allah#sthash.KAStq3Ps.dpuf