Rakyat Aceh pernah sangat berjasa kepada pemerintah Indonesia, dengan membelikan pesawat pertama Indonesia. Cikal bakal berdirinya PT Garuda Indonesia. Selama ini sejarah tersebut hanya menguap begitu saja. Disampaikan dari lisan ke lisan, karena minim penuangan via tulisan.
Pada Selasa (27/2) lalu, Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh menyambangi kediaman salah seorang pelaku sejarah yang hingga detik ini masih menyimpan dengan baik, bukti berupa obligasi sebagai donatur pembelian pesawat Seulawah 001. Adalah Nyak Sandang, salah seorang warga Gampong Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya yang kini berusia 91 tahun.
Nyak Sandang atau yang akrab disapa Ayah oleh warga Gampong, sehari-hari hanya beraktifitas dirumahnya. Ketika tim ACT Aceh menyambangi kediamannya, Ayah sedang duduk di depan rumah bersama istri yang terpaut tiga tahun dengan usianya kini.
“Begitu tiba, kami disambut ramah oleh anaknya yang tinggal bersebelahan dengan rumah Nyak Sandang. Tak ada reaksi apa-apa dari Nyak Sandang, beliau tetap pada posisinya. Hanya gerakan kepala ke kiri dan ke kanan secara perlahan, seolah sedang mencari tahu siapa yang bertamu,” ujar HumasACT Aceh, Rahmat Aulia, seperti dalam siaran persnya, Jumat (23/3).
Sejak operasi katarak pada salah satu matanya. Penglihatan Nyak Sandang jadi gelap total. Entah sejak kapan Nyak Sandang mengidap katarak. Yang jelas, operasi tahap pertama pada salah satu matanya gagal. Atas inisiatif bersama, pihak keluarga tidak mengizinkan untuk operasi pada mata sebelahnya lagi.
Namun dibalik kekurangan tersebut, Nyak Sandang punya semangat 45 dalam bercerita. Termasuk kisah bagaimana dulunya, ia bersama ribuan warga Kecamatan Lamno pergi ke lapangan Masjid Lamno untuk bertemu dengan gubernur Aceh, Tgk. H. Daud Bere’euh, atau Ayah memanggilnya dengan sebutan Abu Daod.
Gubernur Aceh yang pertama tersebut datang ke Lamno setelah sebelumnya bertemu dengan Soekarno di Banda Aceh. “Dihadapan kumpulan saudagar Aceh waktu itu, Soekarno meminta dengan iba sambil bercucuran air mata agar rakyat Aceh mau gotong royong menyumbangkan hartanya agar Indonesia bisa beli pesawat,” ujar Rahmat mengutip kisah Nyak Sandang.
Mengingat saat itu, Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya, tentu pesawat menjadi armada yang sangat penting untuk berpergian atau berhubungan dengan luar negeri. Mengabarkan kepada dunia bahwa telah berdiri sebuah negara bernama Indonesia.
Tim ACT Aceh tiba dirumah Nyak Sandang sekitar pukul dua siang. Rumah ukuran 6×6 m yang merupakan bantuan NGO luar ini ditempati bersama istrinya. ACT Aceh datang untuk silaturahmi sekaligus membawa santunan kepada Nyak Sandang.
“Begitu saya pancing tentang sumbangan rakyat Aceh untuk membeli pesawat. Nyak Sandang langsung saja bercerita tentang kisah heroik rakyat Lamno dalam mengumpulkan sumbangan untuk memenuhi permintaan Soekarno melalui Tgk. Daud Bere’euh,” kata Rahmat.
Sebelum Abu Daod tiba di Lamno, berita kedatangan orang nomor satu di Aceh pada saat itu sudah tersebar ke segenap penjuru gampong. Di setiap meunasah, bergema informasi bahwa Gubenrur Aceh akan datang ke Lamno. Masyarakat yang ingin ikut, harap kumpul di meunasah untuk nantinya pergi sama-sama dengan angkutan yang sudah disediakan.
Waktu hari H, angkutan yang mengantarkan masyarakat ke lapangan masjid sudah siap untuk mengangkut semua masyarakat bertemu dengan Abu Daod. Bahkan, menurut cerita Nyak Sandang, ada warga yang rela jalan kaki berkilo-kilo karena tidak terangkut dengan angkutan yang tersedia hanya untuk melihat langsung bagaimana wujud dan rupa gubernur Aceh. Yang tinggal di gampong hanya orang tua lanjut usia yang memang sudah susah untuk berpergian.
Antusias masyarakat untuk bertemu dengan gubernur bukan tanpa alasan. Indonesia dan Aceh khususnya cukup lama berada dalam kondisi peperangan di mana tidak ada pemerintahan sah yang mengendalikan negeri.
Jadi, ketika tersiar kabar bahwa Aceh sudah mempunyai gubernur, masyarakat menyambutnya dengan haru-biru, semua bersuka cita ketika mendengarnya. Apalagi ketika tahu bahwa Gubernur Aceh akan ke Kecamatan Lamno. Bertemu dengan masyarakat Lamno.
Hari itu tepat pukul sebelas pagi tahun 1950. Tepat lima tahun setelah Indonesia merdeka. Masyarakat tumpah ruah di lapangan Masjid Lamno. Semua berdesak-desakan memenuhi lapangan. Nyak Sandang waktu itu masih berumur 23 tahun. Bersama kedua orang tuanya dan seluruh warga Lamno, mereka memenuhi lapangan masjid.
Abu Daod mulai berpidato. Bahwa beberapa waktu lalu presiden Indonesia, Soekarno, datang berkunjung ke Kuta Raja (Banda Aceh-red). Soekarno menemui Abu Daod berikut beberapa saudagar Aceh di Hotel Kuta Raja (Samping Masjid Raya).
Soekarno dengan segala kerendahan hati meminta Abu Daod untuk menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh agar menyisihkan sedikit hartanya untuk membeli pesawat.
Saat itu, pemerintah Indonesia belum memiliki satu pesawat pun. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke Lamno, Abu Daod pun kembali ke Banda Aceh.
Setelah Abu Daod pulang kembali ke Banda Aceh. Abu Disabang yang merupakan ulama yang sangat disegani di Lamno langsung merespons seruan tersebut. Dari titah Abu Disabang lah, rakyat Lamno bahu membahu mengumpulkan harta untuk membeli burung besi pertama Indonesia.
Nyak Sandang menuturkan, orang tuanya menjual sepetak kebun yang di dalamnya terdapat 40 batang pohon kelapa seharga Rp 100. Uang hasil jual kebun senilai Rp 100 tersebut, semuanya disumbangkan untuk donasi membeli pesawat.
“ureung tuha lon jameun geu pueblo lampoh yang dalam jih na peut ploh bak u. Harga lampoh nyan nibak masa nyan sertoh perak. Hase geupeublo nyan geu sumbang mandum untuk bloe pesawat keu nanggroe tanyoe nyoe (Orang tua saya menjual sepetak kebun yang didalamnya ada 40 batang kelapa. Harga kebun tersebut pada saat itu seratus perak. Hasil menjual kebun tersebut, semuanya disumbangkan untuk beli pesawat negara kita ini),” ujar Nyak Sandang semangat.
Nyak Sandang juga menuturkan, bahkan ada salah seorang saudagar Lamno yang menjual salah satu rumahnya dan menyerahkan seluruh hasil penjualan tersebut untuk membeli pesawat.
“Ureung Lamno, menye ka geukheun le Abu Disabang bantu, nyan meu lumba-lumba bantu. Na yang pueblo itek, manok, lampoh bahkan na yang pueblo rumoh. Ureung jameun menye ka ulama titah, nyan hana preh singeh le. Kadang menye geuyu grob lam krueng, di grop cit. Dumnan keu sayang ureung awai keu ulama (Orang lamno, kalau Abu Disabang bilang bantu, semua berlomba-lomba bantu. Ada yang jual itik, ayam, kebun bahkan ada yang jual rumah. Orang dulu kalau perintah ulama tidak nunggu besok lagi. Mungkin kalau ulama suruh loncat ke sungai, loncat juga),” ungkap Nyak Sandang.
Abu Disabang merupakan salah satu ulama kharismatik yang sangat disegani di Lamno. Pengaruhnya luar biasa pada saat itu. Ketika Rahmat mengkonfirmasi apakah Abu Disabang berasal dari Sabang (Pulau Weh), Nyak Sandang mengatakan kurang tahu terkait hal itu.
Ketika Soekarno meminta sumbangan kepada rakyat Aceh, beliau berjanji dalam 40 tahun sumbangan tersebut akan dikembalikan. Namun takdir berkata lain, belum sempat janji tersebut ditunaikan. Posisi Soekarno sudah tergantikan dengan naiknya Soeharto sebagai presiden kedua Indonesia.
Hingga detik ini, Nyak Sandang masih menyimpan dengan rapi tanda penerimaan uang darinya kepada pemerintah Indonesia, yang memuat keterangan bahwa sumbangan tersebut berbentuk hutang pemerintah Indonesia kepada rakyat Aceh.
Dalam tanda penerimaan tersebut memuat jenis hutang, jumlah, nama yang mendaftarkan, tahun dan tanda tangan penerima. Semua keterangan tersebut ditulis dalam ejaan lama, seperti jenis utang yang ditulis Matjam Hutang, jumlah utang yang ditulis Djumlah Hutang dan nama yang mendaftarkan dengan ejaan Nama Jang Mendaftarkan.
Penasaran, Rahmat menanyakan bagaimana Nyak Sandang bisa serapi itu dalam menyimpan suatu barang. Nyak Sandang menuturkan bahwa dari dulu ia memang punya kebiasaan menyimpan semua barang-barang lama dengan rapi. Semua dokumen seperti ijazah sekolah, sertifikat, beliau simpan dengan sangat apik.
“Sayangnya ketika banjir besar beberapa waktu silam, semua dokumen tersebut raib dan hanya menyisakan beberapa dokumen saja. Salah satunya adalah bukti penerimaan hutang pembelian pesawat yang telah beliau pres sedemikian rupa,” ujar Rahmat.
Melihat besarnya pengorbanan atau jasa orang tua beliau kepada Indonesia. Lantas Rahmat menanyakan apa yang beliau harapkan kepada pemerintah Indonesia, khususnya maskapai Garuda yang cikal-bakalnya adalah dari pesawat Seulawah 001 sumbangan rakyat Aceh. Mendapati pertanyaan demikian, beliau hanya tersenyum. Lalu menjawab bahwa beliau tidak mengharapkan apa-apa, pengorbanan orang tuanya, masyarakat gampong dan juga beliau kepada pemerintah Indonesia mutlak atas dasar ikhlas ingin membangun negeri.
Dengan kondisi kehidupannya sekarang yang bisa dibilang dalam kekurangan, tapi Nyak Sandang tetap memegang prinsip untuk tidak pernah mengiba kepada siapa pun. Jiwa besar ini mungkin yang membuat Nyak Sandang selalu terlihat tenang dan berkharisma di usia senjanya.