Muslim Harus Bergembira Menyambut Ramadhan

Bergembira Menyambut Ramadhan, Salah Satu Wujud Keimanan

Salah satu tanda keimanan adalah seorang muslim bergembira dengan akan datangnya bulan Ramadhan. Ibarat akan menyambut tamu agung yang ia nanti-nantikan, maka ia persiapkan segalanya dan tentu hati menjadi sangat senang tamu Ramadhan akan datang. Tentu lebih senang lagi jika ia menjumpai Ramadhan.

Hendaknya seorang muslim khawatir akan dirinya jika tidak ada perasaan gembira akan datangnya Ramadhan. Ia merasa biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Bisa jadi ia terluput dari kebaikan yang banyak. Karena ini adalah karunia dari Allah dan seorang muslim harus bergembira.

Allah berfirman,

ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ

“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).

Lihat bagaimana para ulama dan orang shalih sangat merindukan dan berbahagia jika Ramadhan akan datang. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

“Sebagian salaf berkata, ‘Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima (amal-amal shalih di Ramadhan yang lalu) mereka.“[1]

Kenapa Harus Bergembira Menyambut Ramadhan?

Kegembiraan tersebut adalah karena banyaknya kemuliaan, keutamaan, dan berkah pada bulan Ramadhan. Beribadah semakin nikmat dan lezatnya bermunajat kepada Allah

Kabar gembira mengenai datangnya Ramadhan sebagaimana dalam hadits berikut.

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”[2]

Ulama menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kita harus bergembira dengan datangnya Ramadhan.

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan,

ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﺸﺎﺭﺓ ﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﺑﻘﺪﻭﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﺑﻘﺪﻭﻣﻪ ، ﻭﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﺇﺧﺒﺎﺭﺍً ﻣﺠﺮﺩﺍً ، ﺑﻞ ﻣﻌﻨﺎﻩ : ﺑﺸﺎﺭﺗﻬﻢ ﺑﻤﻮﺳﻢ ﻋﻈﻴﻢ

‏( ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ .. ﻟﻠﻔﻮﺯﺍﻥ ﺹ 13 ‏)

ﺃﺗﻰ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﻔﺘﺢ ﻓﻴﻪ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺔ ، ﻭ

“Hadits ini adalah kabar gembira bagi hamba Allah yanh shalih dengan datangnya Ramadhan. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi kabar kepada para sahabatnya radhiallahu ‘anhum mengenai datangnya Ramadhan. Ini bukan sekedar kabar semata, tetapi maknanya adalah bergembira dengan datangnya momen yang agung.“[3]

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,

ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻔﺘﺢ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺎﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺬﻧﺐ ﺑﻐﻠﻖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﻨﻴﺮﺍﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺑﻮﻗﺖ ﻳﻐﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻳﺸﺒﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺯﻣﺎﻥ

“Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan).[4]

Catatan: Hadits Dhaif Terkait Kegembiraan Menyambut Ramadhan

Ada hadits yang menyebutkan tentang bergembira menyambut Ramadhan, akan tetapi haditsnya oleh sebagian ulama dinilai dhaif bahkan maudhu’ (palsu)

ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ

“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka. (Nash riwayat ini disebutkan di kitab Durrat An-Nasihin)

Demikian semoga bermanfaat

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29974-muslim-harus-bergembira-menyambut-ramadhan.html

Berkumpulnya Waktu Mustajab di Jumat Ramadhan

ALHAMDULILLAH, hari ini adalah hari Jumat. Dan Jumat ini adalah Jumat pertama di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan sendiri adalah bulan yang penuh berkah. Bulan yang Allah jadikan istimewa di antara bulan lainnya untuk orang beriman. Sedang hari Jumat adalah hari istimewa dalam sepekan. Penghulu hari dan hari terbaik kaum muslimin dalam satu pekan.

Salah satu keutamaan bulan Ramadhan bagi orang beriman adalah Allah jadikan seluruh waktunya, yakni 24 jam, dalam satu bulan penuh, adalah waktu mustajab dalam berdoa. Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, Tiga orang yang doanya tidak tertolak; orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terdzalimi (HR. Ahmad).

Hari Jumat juga merupakan hari yang memiliki waktu mustajab. Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, Pada hari Jumat itu, terdapat satu waktu, tidaklah seorang hamba yang muslim yang berdiri untuk melaksanakan shalat tepat pada waktu itu dan memohon (kebaikan) apa saja kepada Allah, kecuali Allah pasti akan memberikannya, dan beliau memberikan isyarat dengan tangannya (menunjukkan bahwa) waktu tersebut singkat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada pendapat yang mengatakan bahwa waktu tersebut adalah waktu antara dua khutbah saat rangkaian ibadah shalat Jumat, dan ada pula yang mengatakan waktu mustajab tersebut adalah bada ashar.

Kemudian apabila pada hari Jumat di bulan Ramadhan terjadi hujan. Dari Sahl bin Sad, ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, Dua doa yang tidak pernah ditolak; doa pada waktu adzan dan doa pada waktu hujan (Mustadrak Hakim). Berkata Imam an Nawawi, Bahwa penyebab doa pada waktu hujan tidak ditolak atau jarang ditolak dikarenakan pada saat itu sedang turun rahmat khususnya curahan hujan pertama di awal musim

Apalagi hujan tersebut turun pada saat khatib sedang berkhutbah, atau hujan turun saat ashar hingga waktu tertentu.

Allahu Alam

 

INILAH MOZAIK

Inilah Ibadah yang Baik Dilakukan di Bulan Ramadan

DARI Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu; juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasai).

Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadan:

a. Puasa

Allah SWT memerintahkan berpuasa di bulan Ramadan sebagai salah satu rukun Islam. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Rasulullah SAW bersabda: “Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul Allah SWT, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan pergi ke Baitul Haram.” (Muttafaqun alaih).

Puasa di bulan Ramadan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu.” (Muttafaqun alaih).

b. Membaca Alquran

Membaca Alquran sangat dianjurkan bagi setiap Muslim di setiap waktu dan kesempatan. Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah Alquran, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya (yaitu, orang yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya). (HR Muslim).

Dan membaca Alquran lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadan, karena pada bulan itulah diturunkannya Alquran.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS al-Baqarah [2]: 185).

Rasulullah SAW selalu memperbanyak membaca Alquran di hari-hari Ramadan, seperti diceritakan dalam hadis Aisyah RA, ia berkata: “Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW membaca Alquran semuanya, salat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh, selain di bulan Ramadan.” (HR Ahmad).

Dalam hadis Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan al-Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan tadarus Alquran bersama Jibril AS di setiap bulan Ramadan.

c. Mendirikan salat Tarawih berjemaah

“Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau salat di masjid, dan salatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Ketika Nabi SWT mengerjakan salat (di malam kedua), banyaklah orang yang salat di belakang beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya. Di malam yang ketiga, jumlah jemaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah SAW keluar dan melaksanakan salatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jemaah, sehingga Rasulullah SAW hanya keluar untuk melaksanakan salat Subuh.

Tatkala selesai salat Subuh, beliau menghadap kepada jemaah kaum Muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, “Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah sama bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.” Rasulullah SAW wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA).

Kemudian, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA, salat Tarawih kembali dilakukan secara berjemaah di Masjid. Dan hal itu disepakati oleh semua sahabat Rasulullah SAW pada masa itu. Wallahu A’lam.

d. Menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan. Menurut pendapat paling kuat, malam kemuliaan itu terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadar [97]: 3).

Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah SAW bersabda: “Dan barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar semata-mata karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan menghidupkan lailatul qadar adalah dengan memperbanyak salat malam, membaca Alquran, zikir, berdoa, membaca selawat, tasbih, istighfar, itikaf, dan lainnya. Aisyah RA berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan lailatul qadar, maka apa yang aku ucapkan? Beliau menjawab, Bacalah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Yang suka mengampuni, ampunilah aku.”

e. Memperbanyak sedekah

Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan Rasul SAW lebih pemurah lagi di bulan Ramadan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan saat Jibril AS menemui beliau, ” (HR Bukhari).

f. Melaksanakan ibadah umrah

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan adalah melaksanakan ibadah umrah. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nilai pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji. “Umrah di bulan Ramadan sama dengan ibadah haji.”

Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari Allah SWT untuk mengamalkannya, dan mendapatkan kebaikan serta keberkahan bulan Ramadan.

g. Memperbanyak Iktikaf

Iktikaf dalam bahasa adalah berdiam diri atau menahan diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri. Sedang dalam istilah syari, itikaf berarti berdiam di Masjid untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara tertentu, sebagaimana telah diatur oleh syariat.

Itikaf merupakan salah satu perbuatan yang dikerjakan Rasulullah SAW, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA: “Sesungguhnya Nabi SAW selalu itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beritikaf sesudah beliau.” (Muttafaqun alaih).[]

 

INILAH RAMADHAN 

Ramadhan, Bulan Penuh Berkah

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i

KEWAJIBAN BERPUASA RAMADHAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah/2:183]

Allah berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” [Al-Baqarah/2:185]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسِيْنَ

Islam dibangun di atas lima (sendi).”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antaranya, berpuasa di bulan Ramadhan. Kaum muslimin juga telah sepakat atas wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan.

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai (dasar) penamaan bulan ini dengan nama Ramadhan. Ada pendapat yang menyatakan (dari perspektif maknawi -pent) bahwa dinamakan Ramadhan karena turmadhu (تُرمَضُ) fiihidz Dzunuub (pada bulan ini dosa-dosa manu-sia dibakar) dan الرَّمْضَاءُ شِدَّةُ الْحُرِّ (ar-ramdhaa’ maknanya panas membara).[1] Pendapat yang lainnya menyatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena orang-orang Arab ketika mentransfer nama-nama bulan dari bahasa kuno, mereka menamakan bulan-bulan itu berdasarkan realita dan kondisi yang terjadi ketika zaman itu. Lalu secara kebetulan bulan ini jatuh tepat pada cuaca yang panas membakar, maka dinamakan bulan ini dengan nama Ramadhan.[2]

KEBERKAHAN BULAN RAMADHAN DAN KEUTAMAANNYA
Bulan Ramadhan memiliki banyak keberkahan, keutamaan dan berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.

Keberkahan Pertama : Adalah bahwa puasa Ramadhan merupakan penyebab terampuninya dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan.

Sebagaimana hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[3]

Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ.

Shalat fardhu lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara masa tersebut seandainya dosa-dosa besar dijauhkannya.”[4]

Keberkahan Kedua : Pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam lailatul Qadar. Namun mengenai hal ini akan dibahas secara khusus dan tersendiri pada bab selanjutnya.

Keberkahan Ketiga : Terdapat banyak hadits lain yang menjelaskan keutamaan dan keistimeaan bulan yang sangat barakah ini, di antaranya hadits yang termaktub dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ.

Apabila Ramadhan datang maka pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu.”[5]

Sedangkan dalam riwayat an-Nasa-i dan Imam Ahmad terdapat tambahan: “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah.”[6]

Keberkahan Keempat : Di antara keberkahan bulan ini adalah kaum Muslimin dapat meraih banyak keutamaan dan manfaat puasa yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, di antaranya yaitu:

1. Keutamaan-Keutamaan Duniawi
Pertama : Ketakwaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [Al-Baqarah/2: 183]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahiihain:

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ.

Puasa itu adalah perisai, jika suatu hari salah seorang di antara kalian dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia tidak berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika seseorang mencela dan mencacinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’”[7]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai,” maknanya bahwa puasa memelihara pelakunya dari adzab Neraka pada hari Kiamat, puasa memeliharanya dari hawa nafsu dan kemungkaran dalam kehidupan dunianya.[8] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah membimbing orang yang berpuasa untuk meninggalkan perkataan kotor dan keji, perbuatan-perbuatan yang buruk serta meninggalkan emosi kemarahan. Dan akhlak pelaku puasa yang mulia ini akan membantunya meraih derajat takwa. Itulah perangai yang terpuji.

Kedua : Pelipatgandaan Pahala.
Berdasarkan hadits yang tertera dalam kitab ash-Shahiihain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhhu:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan mengganjarnya…’”

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي.

Setiap amal yang dilakukan anak Adam akan dilipatgandakan. Satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Lalu Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang memberi ganjarannya. Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku semata.”[9]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Firman Allah Ta’ala yang menyatakan, ‘Dan Aku-lah yang memberi ganjarannya,’ merupakan penjelasan yang nyata tentang kebesaran karunia Allah dan melimpahnya balasan pahala-Nya karena sesungguhnya orang yang mulia dan dermawan jika mengabarkan bahwa dia sendiri yang akan menanggung balasannya, ini menunjukkan betapa besar kadar balasan yang dia persembahkan dan betapa luas pemberian yang Dia berikan.”[10]

Ketiga : Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah Ta’ala daripada wangi minyak kesturi.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.

Demi Rabb yang jiwa Muhammad (berada) di tangan-Nya, sungguh bau mulut seorang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi.”

Al-khaluuf artinya perubahan bau mulut sebagai akibat dari puasa. Namun hal ini ternyata baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahkan disukai-Nya. Hal ini menunjukkan betapa agung perkara pu-asa di sisi Allah Ta’ala. Sampai-sampai sesuatu yang menurut manusia dibenci dan dianggap jijik, ternyata di sisi Allah merupakan sesuatu yang disukai. Karena hal tersebut dibangun di atas sendi puasa yang merupakan implementasi dari ketaatan kepada Allah.

Keempat : Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu mendapatkan dua kebahagiaan
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.

Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, berbahagia pada saat dia berbuka, berbahagia dengan puasanya itu dan pada saat ia berjumpa Rabb-nya.”[11]

Kelima : Pengistimewaan terhadap orang-orang yang berpuasa dengan masuknya mereka ke dalam Surga lewat pintu khusus yang bernama ar-Rayyaan.
Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ.”

Sesungguhnya di Surga itu ada sebuah pintu yang disebut ar-Rayyaan. Pada hari Kiamat nanti orang-orang yang suka berpuasa akan masuk Surga lewat pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang diperkenankan (untuk masuk Surga) lewat pintu itu.” [12]

2. Manfaat Puasa Yang Bersifat Mendidik Dan Sosial
Pertama : Membiasakan diri untuk bersabar dan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan musibah.
Oleh karena itu, bulan ini disebut bulan kesabaran (syahru ash-shabri). Makna asal ash-shabru (kesabaran) adalah al-habsu (mengekang, menahan diri). Maka, di dalam puasa terdapat pengekangan atau penahanan diri dari (syahwat) makan dan sebagian (nafsu) kelezatan.[13] Hal ini akan menguatkan keinginan orang yang berpuasa.

Kedua : Pembinaan akhlak.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh (terhadap puasanya) walaupun ia meninggalkan makan dan minumnya.”[14]

Hakekat puasa adalah berpuasanya kedua mata dari memandang sesuatu yang haram, beruasanya pendengaran dari mendengar sesuatu yang diharamkan, puasanya lisan dari perkataan dusta, keji dan sejenisnya dan berpuasanya seluruh anggota tubuh dari melakukan sesuatu yang haram. Dalam ritual puasa terdapat pendidikan bagi setiap individu mengenai persamaan antara yang fakir dan yang kaya, berbuat baik kepada kaum fakir dan miskin.

3. Manfaat Kesehatan
Pertama : Membebaskan tubuh dari lemak-lemak yang bertumpuk -apalagi pada orang-orang yang hidup mewah- yang seringkali menjadi sumber penyakit ketika lemak-lemak itu terus bertambah.

Sakit dari jenis ini merupakan penyakit kegemukan. Maka, lapar merupakan cara terbaik untuk mengatasi kegemukan tersebut.

Kedua : Membuang kotoran-kotoran tubuh, racun-racun tubuh yang bertumpuk dan cairan-cairan tubuh yang merusak. Meringankan aliran darah pada urat nadi dan menjaganya dari tertutupnya pembuluh darah.

Ketiga : Puasa memiliki pengaruh positif terhadap banyak penyakit, di antaranya untuk sakit maag, tekanan darah tinggi, stress maupun depresi.[15] Karena itu puasa mempunyai dampak positif yang mengagumkan dalam menjaga kesehatan. Apalagi puasa itu dijalani secara benar dan terarah pada waktu-waktu yang paling utama (afdhal) menurut syari’at. Secara pasti tubuh membutuhkan proses seperti puasa, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya, at-Thibbun Nabawi.[16] Para dokter di dunia barat telah memperhatikan puasa sebagai salah satu cara yang efektif dari berbagai model terapi medis. Sebagian mereka mengatakan, “Sesungguhnya faedah lapar dalam terapi medis memiliki keunggulan yang berlipat kali dari penggunaan obat-obatan.[17] Dokter yang lainnya mengatakan, “Sesungguhnya puasa sebulan penuh dapat menghilangkan berbagai sisa-sisa kotoran badan selama setahun.[18] Inilah hal paling nyata dari manfaat puasa dan barakahnya di dunia dan akhirat, puasa yang telah diwajibkan Allah kepada kaum Muslimin sebulan penuh dalam setahun. Dia-lah puasa Ramadhan yang penuh barakah itu.

Keberkahan Kelima : Yaitu besarnya keutamaan amal shalih yang dilakukan dalam bulan ini, dan besarnya motivasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memacu kaum Muslimin beramal shalih pada bulan ini. Di antara amal shalih yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama : Qiyaamul lail
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi motivasi (kepada para Sahabat) untuk mendirikan qiyaam Ramadhaan (shalat malam Ramadhan) tanpa menyuruh mereka dengan paksaan. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Barangsiapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’”

Lalu setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal sekalipun, ibadah ini terus berlanjut. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq dan permulaan masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Tarawih bersama Sahabat-Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, kemudian beliau meninggalkannya lantaran khawatir kaum Muslimin menganggap wajib hukumnya shalat tersebut. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab berinisiatif untuk mengumpulkan orang-orang di masjid menunaikan shalat Tarawih.[20] Dan alhamdulillaah, ritual (syi’ar) seperti ini masih terus berlangsung hingga hari ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sungguh-sungguh dan giat dalam beribadah serta berdo’a pada sepuluh malam terakhir (al-‘asyrul awaakhir) dari bulan Ramadhan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila memasuki sepuluh hari (yang terakhir di bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan kainnya ’” [21][22]

Kedua : Ash-Shadaqah.
Imam al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu nahuma, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam kebaikan. Dan beliau lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan pada saat Jibril menemuinya. Maka pada saat Jibril menemuinya, ketika itulah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam kebaikan dari pada angin yang berhembus.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah anjuran untuk memperbanyak berderma dan bersedekah, lebih-lebih lagi dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah ini.

Ketiga : Tilaawah al-Qur-aanil Kariim.
Disunnahkan untuk memperbanyak tilaawah al-Qur-an (membaca al-Qur-an) pada bulan Ramadhan. Pada bulan inilah al-Qur-an diturunkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulang-ulang hapalannya bacaan al-Qur-annya bersama Jibril, satu kali di setiap Ramadhan. Sebagaimana yang tertera dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Dalam hadits itu disebutkan:

وَكَانَ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ.

Jibril menemuinya setiap malam pada bulan Ramadhan hingga terbaring. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hapalan bacaan al-Qur-annya pada Jibril.” [23]

Para Salafush Shalih Radhiyallahu anhum memperbanyak bacaan al-Qur-annya di dalam shalat maupun pada kesempatan lainnya. [24]

Keempat : Al-I’tikaaf.
I’tikaaf yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahua anhuma disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, (amalan ini terus dilakukannya-pent) hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau meneruskan amal ber-i’tikaf sepeninggalnya.” [25]

Tidak diragukan lagi bahwa i’tikaf akan membantu pelakunya berkonsentrasi untuk melakukan ibadah dan bertaqarrub kepada Allah Jalla wa ‘Alaa. Lebih lagi pada saat-saat yang dimulia-kan, seperti bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Kelima : Al-‘Umrah
Dalil yang menunjukkan keutamaan melaksanakan ‘Umrah pada bulan Ramadhan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita Anshar yang tidak sempat melaksanakan haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً.

Apabila datang bulan Ramadhan, maka laksanakanlah ‘umrah kamu, sesungguhnya ‘umrah pada bulan Ramadhan nilainya setara dengan Haji.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “(‘Umrah pada Ramadhan itu) dapat menggantikan Haji atau menggantikan Haji bersamaku.” [26] Maksudnya, nilai pahala ‘umrahnya wanita Anshar menyamai nilai pahala ber-Haji, bukannya ‘umrah tersebut dapat menggantikan kedudukan hukum wajibnya Haji, sehingga dapat menggugurkan hukum wajibnya haji tersebut, bukanlah demikian.[27] [27]

Keberkahan keenam, bahwasanya keberkahan-keberkahan Ramadhan adalah banyak peristiwa-peristiwa besar nan mulia yang terjadi di bulan ini. Dan sesungguhnya dari sekian banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan yang penuh berkah ini, maka peristiwa yang paling fenomenal dan sangat bermanfaat untuk ummat manusia adalah peristiwa turunnya al-Qur-an al-Karim.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” [Al-Baqarah/2: 185]

Sedangkan di antara peristiwa fenomenal lainnya yang sarat manfaat, adalah sebagai berikut:

Pertama, Perang Badar Kubra, yang dinamakan sebagai yaumul Furqaan (hari Pembeda).
Pada hari itu Allah memisahkan dan membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Maka, ketika itu, kelompok minoritas yang beriman meraih kemenangan atas kelompok besar yang kafir yang jauh lebih unggul dalam hal kuantitas pasukan dan perbekalan. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedua Hijriyyah.

Kedua, Futuh Makkah
Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat besar pada kaum mukminin dengan futuh (penaklukan) yang penuh barakah ini. Orang-orang secara berbondong-bondong masuk ke dalam Islam, lalu jadilah Makkah sebagai Daarul Islam (negeri Islam), setelah sebelumnya menjadi pusat kesyirikan orang-orang musyrik. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah.

Ketiga, Perang Hiththin pada tahun 584 H.
Dalam peperangan ini kaum Salibis mengalami kekalahan yang telak. Dan Shalahuddin al-Ayubi meraih kemenangan-kemenangan besar, lalu mengembalikan hak-hak kaum muslimin dan merebut kembali Baitul Maqdis.

Keempat, Peperangan ‘Ain Jaluut
Inilah peperangan sengit yang diakhiri dengan kemenangan bagi kaum muslimin atas pasukan Tartar. Peperangan ini terjadi pada tahun 658 Hijriyyah.

Setelah kami memaparkan secara global berbagai keutamaan yang menjadi keistimewaan bulan Ramadhan, dan sekian banyak keberkahan yang terkandung di dalam bulan mulia ini, maka tidak ada upaya kecuali aku berdo’a untuk saudara-saudaraku sesama muslim agar mereka terus meneguk berbagai keutamaan itu, dan bisa meraih berkah-berkah itu sebagai implementasi dari perintah Allah Ta’ala dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, dan para pendahulu dari ummat yang terpilih ini, serta sebagai upaya mendulang berbagai manfaat yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, juga dari berbagai kebaikan yang luas.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Fathul Baari (IV/113).
[2] Ash-Shihhaah, karya al-Jauhari (III/1081), dengan sedikit perubahan.
[3] Shahih al-Bukhari (II/228) Kitaabush Shaum bab Man Shaama Ramadhaana liman wa Ihtisaaban wa Niyyatan dan Shahih Muslim (I/524) Kitaabush Shalaah al-Musaafiriin bab at-Targhiib fii Qiyaami Ramadhaan
[4] Shahih Muslim (I/209) Kitaabuth Thahaarah bab ash-Shala-waatil Khamsi wal Jumlah ilal Jumu’ah.
[5] Shahih al-Bukhari (II/227) Kitaabush Shaum bab Hal Yuqaalu Ramadhaanu aw Syahru Ramadhaan.
[6] Sunan an-Nasa-i (IV/129) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlu Syahri Ramadhaan dan Musnad Imam Ahmad (II/230)
[7] Shahih al-Bukhari (II/228) Kitaabush Shaum bab Hal Yaquulu innii Shaa-im dan Shahih Muslim (II/807) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlu ash-Shiyaam
[8] Fat-hul Baari (IV/104).
[9] Shahih Muslim (II/807) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlush Shiyaam
[10] Syarhun Nawawi li Shahiih Muslim (VIII/29).
[11] Ini merupakan bagian akhir dari kutipan hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan dan ditakhrij sebelumnya
[12] Shahih al-Bukhari (II/226) Kitaabush Shaum bab ar-Rayyaan lish Shaaimiin dan Shahih Muslim (II/808) Kitaabush Shiyaami bab Fadhlish Shiyaam
[13] Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi (VI/219).
[14] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya (II/ 228) Kitaabush Shaum bab Man lam Yada’ Qaula az-Zuur wal ‘Amala bihi fish Shaum
[15] Dari Tafsiir al-Manaar (II/138) dan kitab Shuumuu Tashihhuu, karya Syaikh Sa’id al-Ahmari (hal. 16, 18), dan banyak sekali referensi dari buku-buku serta majalah-majalah kedok-teran (medis) yang telah mengupas manfaat puasa bagi kesehatan.
[16] Ath-Thibbun Nabawi, hal 258.
[17] Disadur dari kitab Shuumuu Tashihhuu, Syaikh Sa’id al-Ahmari (hal. 17).
[18] Tafsiir al-Manaar (II/148).
[19] Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (I/523) kitab Shalaatil Musaafiriin.
[20] Lihat hadits-hadits yang menunjukkan perkara ini dalam Shahih al-Bukhari (II/252) kitab Shalaah at-Taraawiih dan Shahih Muslim (I/524) kitab Sha-laatil Musaafiriin
[21] Para ulama berbeda pendapat mengenai makna (شَدَّ الْمِئْزَرَ), ada yang berpendapat maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah dengan meningkatkan (kualitas dan ku-antitas) ibadahnya dari yang biasa beliau lakukan. Pendapat lainnya memaknainya sebagai at-tasymiir (bersegera) dalam ibadah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi adalah menjauhi istri-istrinya dalam rangka menyibuki dirinya dalam beribadah. Lihat Syarhun Nawawi li Shahiih Muslim (VIII/71).
[22] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/255) kitab Fadhlu Lailatil Qadr bab al-A’mal fil ‘Asyril Awaakhir min Ramadhaan dan Muslim dalam Shahihnya (II/832) kitab al-I’tikaaf bab al-Ijtihaad fil ‘Asyril Awaakhir, lafazhnya milik Muslim.
[23] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/228) kitab ash-Shiyaam bab Ajwada maa Kaanan Nabiyyu fii Ramadhaan dan Muslim dalam Shahihnya (IV/1803) kitab al-Fadhaa-il bab Kaanan Nabiyyu Ajwadan Naasi bil Khairi minar Riihil Mursalah, dan lafazhnya milik al-Bukhari
[24] Lihat kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, karya Syaikh Ibnu ‘Ustaimin (hal. 24).
[25] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya (II/255) kitab al-I’tikaaf bab al-I’tikaaf fil ‘Asyril Awaakhir dan Imam Muslim dalam Shahihnya (II/831) kitab al-I’tikaaf bab I’tikaaf al-Asyril Awaakhir min Ramadhaan.
[26] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/200) kitab al-‘Umrah bab ‘Umrah fii Ramadhaan dan Muslim dalam Shahihnya (II/918) kitab al-Hajj bab Fadhlil ‘Umrah fii Ramadhaan
[27] Lihat Syarhun Nawawi li Shahiih Muslim (IX/2) dan Fat-hul Baari (III/604).

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11560-ramadhan-bulan-penuh-berkah-2.html

Sedih Apabila Amalan Tidak Diterima di Bulan Ramadhan

Hendaknya kita tidak terlalu percaya diri sekali merasa amalan kita di bulan Ramadhan diterima oleh Allah. Dalam ibadah harus seimbang antara rasa harap dan takut. Berharap Allah menerima dan merasa takut juga apabila amal tidak diterima.

Perhatikan rasa takut para salafus shalih yang khawatir amal mereka tidak diterima selama bulan Ramadhan.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

كان بعض السلف يظهر عليه الحزن يوم عيد الفطر ، فيقال له : إنه يوم فرح وسرور !
فيقول : صدقتم ؛ ولكني عبد أمرني مولاي أن أعمل له عملا ؛ فلا أدري أيقبله مني أم لا

Sebagian salaf menampakkan kesedihan pada hari idul fitri, kemudian dikatakan pada mereka: ‘Hari ini adalah hari kegembiraan dan kesenangan’!
Mereka menjawab: ‘Kalian benar, akan tetapi aku hanyalah seorang hamba yang diperintahkan oleh Rabb agar beramal. Aku tidak tahu apakah Rabb menerima amalku atau tidak‘”. [Latha-if Al-Ma’arif 1/209]

Perhatikan pula bagaimana rasa harap para salafus shalih yang mereka berdoa sampai selama 6 bulan agar amalan di bulan Ramadhan (yang pahalanya sangat banyak sekali) diterima oleh Allah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْنَ اﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan).”[Latha’if Al-Ma’arif hal. 232]

Hendaknya kita mengikuti dan meneladani nabi Ibrahim dalam hal beramal, menjaga keikhlasan dan berharap agar amal pahala diterima oleh Allah. Nabi Ibrahim:

1. Beliau seorang Nabi
2. Beliau membangun ka’bah rumah Allah
3. Beliau membangun atas perintah Allah

Akan tetapi beliau tetap berdoa memohoon agar amalnya diterima oleh Allah.

Beliau berdoa,

ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠِﻴﻢُ

Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127).

Tentunya kita yang bukan nabi dan tidak mendapatkan wahyu yang merupakan perintah Allah, lebih layak berdoa dan memohon agar amal kita diterima. Oleh karena itu pada waktu subuh/dzikir pagi kita berdoa,

ﺍﻟﻠّﻬﻢَّ ﺇﻧّﻲ ﺃﺳﺄﻟﻚ ﻋﻠﻤﺎً ﻧﺎﻓﻌﺎً، ﻭﺭﺯﻗﺎً ﻃﻴﺒﺎً، ﻭﻋﻤﻼً ﻣُﺘﻘﺒّﻼً

Ya Allah sesungguhnya saya memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima” [HR. Ibnu Majah]

Sebagai penutup, perhatikan ucapan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu berikut,

روي عن علي رضي الله عنه أنه كان ينادي في آخر ليلة من شهر رمضان: يا ليت شعري من هذا المقبول فنهنيه ومن هذا المحروم فنعزيه

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bahwasanya beliau menyeru pada malam terakhir bulan Ramadhan: “Aduhai seandainya aku tahu siapakah yang diterima amalannya pastilah kami akan mengucapkan selamat kepadanya, dan siapa yang diharamkan darinya, kami akan berbela sungkawa padanya.” [Lathaiful Ma’arif: hal, 210]

Demikian semoga bermanfaat.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/40463-sedih-apabila-amalan-tidak-diterima-di-bulan-ramadhan.html

Jangan Salah Menyambut Ramadhan

RAMADHAN adalah bulan pnuh berkah. Ramadhan sangat ditunggu-tunggu oleh orang yang beriman. Sepanjang dua puluh empat jam selama sebulan penuh, Allah limpahkan keberkahan. Maka wajar bila bulan Ramadhan sangat istimewa di kalangan kaum muslimin. Apalagi kaum muslimin di Indonesia.

Berkata Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah, “Bagaimana tidak gembira? Seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga, tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan)?”

Namun ada beberapa hal salah kaprah yang dilakukan oleh kaum muslimin khususnya di Indonesia. Kegembiraan kaum muslimin menyambut bulan Ramadhan seakan ternoda oleh tradisi yang didasari keyakinan pengkhususan waktu dan amalan tertentu yang tidak ditemukan dalil shahihnya.

Sebagian kaum muslimin di Indonesia menyambut Ramadhan dengan saling meminta maaf dan memaafkan. Tradisi ini dilakukan dengan keyakinan bahwa bila tidak melakukan ini, akan celaka. Usut punya usut, ternyata keyakinan sebagian kaum muslimin tersebut berdasar pada hadits palsu. Ada kisah dan perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam yang tidak dapat ditemukan pada kitab hadits ulama manapun.

Hadits tersebut populer di Indonesia menjelang Ramadhan. Ini adalah hoax yang serius. Karena berdusta atas nama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Maka menyandarkan amalan pada hadits palsu adalah sebuah kesalahan. Tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat, dan kemudian membuat syariat baru dengan berdusta atas nama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Tradisi lain pada sebagian kaum muslimin Indonesia adalah mewajibkan diri mandi wajib dalam rangka menyambut Ramadhan. Tidak diketahui dari mana asal usul tradisi ini. Bila ditelusuri dalil yang ada, mandi wajib hanya terjadi pada lima perkara, yakni karena keluar air mani disertai syahwat, persetubuhan walau tidak keluar mani, terhentinya darah haid dan nifas, masuknya seorang kafir ke dalam Islam, dan karena kematian.

Meyakini mengharuskan mandi wajib oleh sebab masuknya bulan Ramadhan dan untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan, adalah keyakinan yang tidak berdasar syariat. Maka mengamalkan amalan berdasar keyakinan ini pun adalah kesalahan.

Allahu Alam.

 

 

Berhubungan Intim Di Siang Ramadhan

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, celaka aku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu keranjang kurma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasûlullâh? Demi Allâh, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”

TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab ash-Shiyâm Bab Idza Jâma’a Fi Nahari Ramadhan Wa Lam Yakun Lahu Syaiun Fatashaddaqa ‘Alaihi Falyukaffir no. 1936, Imam Muslim dalam Shahihnya no. 1111, Abu Dawud dalam Sunannya no. 2390, an-Nasâ’i 3/311, at-Tirmidzi no. 724, Ibnu Mâjah dalam Sunannya no. 1672 dan Ahmad dalam al-Musnad 11/533. Seluruhnya meriwayatkan dari jalan as-Zuhri dari Humaid bin Abdurrahmân dari Abu Hurairah .

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari as-Zuhri lebih dari empat puluh perawi. [1]

PENJELASAN KOSAKATA HADITS.
(هَلَكْتُ) : Terjerumus dalam dosa yang membinasakanku.

(بِعَرَقٍ) : Keranjang berisi 15 sha’ kurma.

(أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى) : Apakah aku bersedekah dengannya kepada orang yang lebih fakir dari kami?

(مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا) : Seluruh kota Madinah dari al-Harrah Syarqiyah disebelah timur Baqi’ dinamakan Harrah Wâqim dan sebelah barat bukit as-Sil’i dinamakan Harrah al-Wabarah.

PENGERTIAN HADITS. 
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu mengkisahkan bahwa mereka pernah duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kebiasaan mereka untuk belajar dan kumpul-kumpul dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika mereka sedang demikian, sekonyong-konyong datang seorang yang menyatakan bahwa ia celaka dengan sebab melakukan dosa dan ingin mencari solusinya, seraya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh celakalah aku! Seketika itu Nabi bertanya tentang sebabnya. Lalu orang tersebut menjelaskan bahwa ia berhubungan intim dengan istrinya di siang Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memarahinya karena ia datang untuk bertaubat dan minta solusi atas kejadian tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan solusinya dengan bertanya, apakah kamu memiliki budak untuk dibebaskan sebagai kafârahnya? Dia menjawab dengan menyatakan tidak ada. Lalu bertanya lagi, apakah mampu berpuasa dua bulan berturut-turut tidak boleh terpisah? Dia menjawab tidak sanggup. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pindah ke pilihan ketiga terakhir dengan menanyakan, apakah memiliki makanan untuk enam puluh orang miskin? Dia pun menyatakan tidak mampu.

Kemudian ia duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga datang seorang dari kaum Anshâr membawa sekeranjang berisi 15 sha’ korma  yang setara dengan 60 Mud. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang bertanya tadi, Ambillah ini dan bersedekahlah!

Akan tetapi karena kefakiran yang menimpa orang tersebut dan pengetahuannya tentang kedermawanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senangnya Beliau memberi kemudahan kepada umatnya, maka ia berkata, Apakah aku akan memberinya kepada orang yang lebih fakir dariku? dan bersumpah tidak ada di seluruh kota Madinah keluarga yang lebih fakir dari keluarganya! Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa karena takjub dengan keadaan orang yang datang dalam keadaan takut dan minta solusi, ketika mendapatkannya, dia berbalik ingin mendapatkan sesuatu. Lalu Beliau memberikan izin kepadanya untuk memberikannya kepada keluarganya, karena menutupi kebutuhan lebih didahulukan dari kafârah. [2]

BEBERAPA FAEDAH DARI HADITS DIATAS.

  • Besarnya dosa orang yang berhubungan intim dalam keadaan puasa di siang hari Ramadhan, karena disebut membinasakan dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakuinya dan orang tersebut sudah mengetahui besarnya dosa perbuatannya, namun tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukannya. [3]
  • Wajib bagi yang berhubungan intim di siang bulan Ramadhan untuk membayar kafârah seperti yang disebutkan dalam hadits: (1) membebaskan satu orang budak, (2) jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.[4]

Inilah pendapat mayoritas ulama. Sedangkan pendapat yang disandarkan kepada asy-Sya’bi t , an-Nakha’i rahimahullah dan Sa’id bin Jubair rahimahullah tentang kewajiban mengqadha saja bagi orang yang berhubungan intim ini tanpa kafârat, maka tampaknya karena hadits ini belum sampai kepada mereka, seperti dijelaskan Imam al-Baghâwi dalam Syarhus Sunnah 6/284.

  • Hukuman hanya bagi yang melakukan hubungan intim di siang hari Ramadhan, bukan di bulan lainnya. Bentuk kafârah ini untuk menebus kesalahan di bulan Ramadhan sebab mulianya bulan tersebut. Kafârah ini hanya berlaku bagi puasa di bulan Ramadhan, namun tidak berlaku pada puasa qodho’ dan puasa sunnah lainnya, karena Nash menerangkan tentang hubungan intim di siang Ramadhan dan selain Ramadhan tidak bisa disamakan dengannya. [5]
  • Kafârah tidak gugur dengan ketidakmampuan pelaku, apabila ia mampu melakukannya di waktu kewajiban kafârah tersebut walaupun dari harta orang lain yang diserahkan kepadanya, sebab dalam Hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kurma dan memerintahkannya untuk bersedekah dengannya sebagai kafârat, padahal waktu itu orang tersebut tidak mampu sebagaimana diceritakan. Ketika ia bersumpah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada keluarga yang lebih fakir darinya di kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya untuk memberikannya kepada keluarganya dan tidak menyatakan bahwa kafârah tetap menjadi tanggungannya.[6] Inilah salah satu pendapat mayoritas ulama. Sehingga diperbolehkan untuk makan dari makanan kafârah yang diwajibkan atasnya dan bersedekah kepada keluarganya apabila ia tidak mampu. Ada juga yang berpendapat bahwa yang diambil orang tersebut bukanlah kafârat, tetapi sedekah. Kafârat tidak gugur dengan ketid Kafârat tetap menjadi hutang baginya dengan alasan qiyâs kepada Kafârat dan hutang lainnya. Pendapat ini menyatakan bahwa dalam hadits tidak ada yang menunjukkan gugurnya kafârat tersebut, bahkan tampak dari teks nashnya tidak gugur, karena ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakannya tentang tingkatan terendah kafârat tersebut, dia menjawab tidak ada. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam dan tidak menyatakan gugurnya tanggung jawab kafârat tersebut.

Ada juga yang berpendapat bahwa kafârat gugur dengan ketidakmampuan. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Ahmad bin Hambal rahimahullah dan salah satu dari pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada orang tersebut untuk memberi kurma kepada keluarganya. Seandainya itu adalah kafârat darinya maka tentunya tidak boleh dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepadanya kalau kafârahnya masih dalam tanggungannya.[7]

Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, ‘Hadits ini menunjukan tetap wajib kafârat dengan dalil pernyataan penanya yang tidak mampu untuk bebaskan budak, puasa dan memberi makan dan adanya sekeranjang kurma dan pemberian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya untuk dikeluarkan sebagai kafârat. Seandainya tidak wajib tentulah tidak memerintahkan untuk mengeluarkannya dan seandainya gugur dengan tidak mampu, maka tidak ada kewajiban atas nya sama sekali. Sehingga hal ini menunjukkan tetap adanya kewajiban kafarat dalam tanggung jawabnya. Sedangkan izin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya untuk memberi makan keluarganya karena terdesak dan menghilangkan kebutuhan tersebut wajib secara langsung. Kafârat tidak wajib langsung tapi masih bisa ditunda sebagaimana ditetapkan Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslimdan khusunya dalam keadaan seperti ini. [8]

  • Kasus yang terjadi dalam hadits amatlah menakjubkan karena ia mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadan takut, namun ia balik pulang dalam keadaan senang karena membawa kurma.
  • Menutupi kebutuhan lebih didahulukan dari kafârah.
  • kemudahan syariat Islam yang memperhatikan keadaan mukallaf dan tidak memaksakan orang yang tidak mampu melakukan yang tidak dimampuinya.
  • Tertawa pada tempatnya itu terpuji dan menunjukkan akal yang baik dan akhlak yang lemah lembut. Sebaliknya tertawa dalam keadaan yang tidak pada tempatnya, justru menunjukkan akalnya kurang.
  • Jika seseorang tidak mampu menunaikan kafârah lantas orang lain yang menunaikannya, maka itu dianggap sah. Dan kafârahnya bisa diberikan kepada yang tadi punya kewajiban kafârah. Namun hadits ini bukan menjadi dalil bahwa orang yang tidak mampu menjadi gugur kewajibannya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayarkan kafârahnya. Kafârah itu seperti halnya utang, bisa gugur jika pemberi utang menggugurkannya.
  • Jika seseorang berbuat dosa, maka hendaklah ia segera bertaubat kepada Allâh, termasuk pula dalam menunaikan kafârah.
  • Sekedar memberi makan walau tidak dibatasi kadarnya dibolehkan. Kalau sudah mengenyangkan 60 orang seperti kasus di atas, maka sudah cukup
  • Hendaknya orang yang terjerumus dalam perkara terlarang dan belum tahu hukum syariatnya untuk bertanya kepada Ulama dan takut dengan akibat buruk yang ditimbulkannya.
  • Mayoritas ulama berdalil dengan pernyataan orang tesebut (هَلَكْتُ) untuk menyatakan bahwa dia sengaja dan mengerti larangan perbuatan tersebut, sehingga orang yang lupa atau tidak tahu tidak masuk dalam hadits ini. Oleh karena itu orang yang berhubungan intim karena lupa atau tidak tahu hukumnya, tidak diwajibkan mengqadha dan tidak juga kafâ Imam al-Bukhâri rahimahullah menyatakan dalam Shahihnya: al-Hasan rahimahullah dan Mujâhid rahimahullah berkata; ”Siapa yang berhubungan intim karena lupa maka tidak dikenai apa-apa.” [9]
  • Para ulama berbeda pendapat pada hukum sang istri, apakah diwajiban kafârah? ada dua pendapat mereka. Yang pertama menyatakan sang istri tidak dikenakan kafârah. Inilah pendapat yang paling shahih menurut ulama Syafi’iyah dan mazhab Dawud dan ulama Zhahiriyah serta riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini dirajihkan Imam an-Nawawi rahimahullah dan Ibnu Qudâmah rahimahullah pun cenderung kepada pendapat ini, karena tidak ada dalam hadits yang menunjukkan sang istri dikenakan kafârat juga.[10] Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa sang istri dikenakan kafarat apabila melakukannya dengan sukarela tidak dipaksa. Inilah pendapat Imam Mâlik, Imam Ahmad dalam sebuah riwayatnya dan pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah.[11] Alasannya karena sang wanita membatalkan puasanya dengan hubungan intim sehingga wajib dikenakan kafarat sebagaimana sang suaminya dan penjelasan hukum kepada sang suami adalah penjelasan juga untuk hukumnya, karena sama-sama melanggar pembatal puasa dan melanggar kesucian puasa. Inilah pendapat yang dirajihkan penulis kitab Minhatul ‘Alam (5/68) dengan alasan kuatnya dasar pendapat ini dan karena orang yang dipaksa tidak ada kafârahnya. Adapun dia tidak disebutkan dalam hadits karena tidak datang bertanya, padahal keadaannya ada kemungkinan dipaksa atau sukarela. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam tidak memberikan hukum khusus.
  • Diwajibkan mengqadha puasa yang terjadi pada hari itu hubungan intim. Inilah pendapat mayoritas ulama. alasannya adalah karena dia merusak satu hari dari Ramadhan sehingga diwajibkan mengqadha nya sebagaimana merusaknya dengan makan dan minum. Sedangkan kafârahnya adalah hukuman atas dosa yang dilakukannya. [12]Sedangkan Ibnu Hazm rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya memandang tidak ada qadha baginya dan cukup dengan kafârah saja.[13] Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada satu diantara pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah [14]. Alasannya adalah karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang tersebut untuk mengqadha’. Juga karena dia melakukannya dengan sengaja sehingga tidak mengqadhanya. Hal ini merupakan pendapat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyatakan, Semua orang yang sengaja meninggalkan shalat atau puasa tanpa uzur maka tidak mengqadhanya. [15]

Ibnu Mulaqqin rahimahullah berkata: Mayoritas ulama mewajibkan Qadha atas orang yang merusak puasa dengan hubungan intim dan ini yang rajih menurut kami, karena puasa yang dituntut darinya belum ia laksanakan dan dia tetap menjadi kewajibannya, seperti shalat dan selainnya apabila tidak dilaksankan dengan syarat-syaratnya. [16]

  • Tidak dihukum (Ta’zir) kepada orang tersebut dengan adanya kafarat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukumnya walaupun mengakui kemaksiatannya. Pengakuan tersebut menunjukkan dia telah berbuat dalam keadaan mengetahui hal itu adalah kemaksiatan, namun dia datang meminta fatwa dengan mengakuinya terkena hal yang membinasakannya. Hal ini menunjukkan ilmu, penyesalan dan taubat darinya. Jelas ta’zir (hukuman) adalah untuk memperbaiki dan tidak perlu perbaikan bal sudah baik. Juga kalau kita hukum semua orang yang datang bertanya tentang kemungkaran yang ia lakukan, tentulah akan membuat orang tidak mau bertanya  ketika mereka terjerumus dalam penyimpangan dan kemaksiatan. Hal ini adalah sebuah kerusakan yang besar yang wajib ditolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang hakim, imam, mufti dan penetap syariat saja tidak menghukum orang tersebut dengan perkataan ataupun perbuatan[17].
  • Dibolehkan menyatakan dirinya sangat fakir apabila jujur dan tidak ada maksud tidak ridha dengan takdir Allâh Azza wa Jalla , karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pengakuan orang tersebut dan tidak mengingkari pernyataannya.
  • Diperbolehkan bersumpah untuk perkara yang hampir dipastikan benarnya, karena orang tersebut bersumpah dihadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada dikota Madinah keluarga yang lebih fakir dari keluarganya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya. Padahal masalah ini tidak bisa umumnya dipastikan.

Wallâhu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tahdzîb Mukhtashar Sunan; 3/273
[2] Tambîhul Afhâm Syarhu Umdatul Ahkâm; Ibnu Utsaimîn; 3/426.
[3] Lihat Tambîhul Afhâm; 3/426 dan Minhâtul ‘Alaam Syarh Bulguhlmarâm; 5/65.
[4] Tambîhul Afhâm; 3/426.
[5] Lihat Ghâyatul Muqtashidîn Syarhu minhâj as-Saalikin; 2/115.
[6] Lihat Tambîhul Afhâm; 3/427.
[7] Lihat Minhatul ‘alâm; 5/66.
[8] Al-I’lâm bi Fawâd Umdah al-Ahkâm; 5/218.
[9] Lihat Fathul Bâri; 4/155-156.
[10] Lihat al-Umm; 3/251, al-Muhalla; 6/192, al-Mughni; 4/375 dan al-majmû; 6/339.
[11] Lihat al-Istidzkâr 10/108, Bidâyatul Mujtahid; 2/183 dan al-Mughni; 4/375.
[12] Lihat at-Tamhîd; 7/157 dan al-Istidzkâr 10/98.
[13] AlMuhalla; 6/264.
[14] Al-Mughni; 4/372.
[15] Minhâj as-Sunnah; 5/223-224.
[16] Al-I’lâm Bi Fawâ`id Umdatul Ahkâm, 5/242.
[17] Al-I’lâm bi Fawâ`id Umdatul Ahkâm ;Ibnul Mulaqqin; 5/215.

 

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/11558-berhubungan-intim-di-siang-ramadhan.html

Sangat Rugi Jika Tidak Diampuni di Bulan Ramadhan

Saudaraku
Pernahkah mendengar hadits mengenai celaka sampai 3x celaka, yaitu bagi orang yang mendapati orang tuanya sudah tua, lalu tidak bisa masuk surga karena tidak  berbakti pada orang tua

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ، ﺛُﻢَّ ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ، ﺛُﻢَّ ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺃَﺑَﻮَﻳْﻪِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻜِﺒَﺮِ، ﺃَﺣَﺪُ ﻫُﻤَﺎ ﺃَﻭﻛِﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ، ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺪْﺧُﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim]

Mengapa bisa celaka? Karena memang benar-benar (maaf) “keterlaluan”, karena berbakti kepada orang tua yang sudah usia tua dan usia lanjut adalah CUKUP MUDAH dan pahalanya sangat besar

Orang tua apalagi sudah renta tidak minta hal-hal yang macam-macam pada anaknya.

Mereka berdua tidak minta harta banyak, karena sudah sulit mau menikmati harta seperti makan enak lantaran ingin jaga kesehatan

Mereka berdua tidak minta jalan-jalan yang mahal karena kaki sudah lemah diajak berjalan

Mereka berdua tidak minta jabatan karena sudah lelah mengurus dan berurusan dengan manusia

Mereka hanya minta kabar dari-mu, sering menelpon jika jauh, engkau sesekali membawa anak-anakmu pulang kampung agar mereka berdua bermain-main dengan cucunya

Bahkan sekedar mendengar kabar dari engkau bahwa engkau berhasil dunia-akhirat, mereka sangat berbahagia.

Karenanya pintu surga yang paling mudah dimasuki adalah pintu yang paling tengah yaitu berbakti kepada orang tua.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya.” [HR. Ahmad, Hasan).

Jika ada di depan kita beberapa pintu, tentu yang mudah dan nyaman bagi kita, memasuki pintu yang tengah daripada masuk pintu yang di pinggir.

Al-Baidhawi menjelaskan,

إﻥ ﻟﻠﺠﻨﺔ ﺃﺑﻮﺍﺑﺎ ﻭﺃﺣﺴﻨﻬﺎ ﺩﺧﻮﻻ ﺃﻭﺳﻄﻬﺎ

“Sesungguhnya di surga banyaj pintu, yang paling baik (nyaman) untuk memasukinya adalah pintu paling tengah (berbakti kepada orang tua).” [Tuhfatul Ahwadzi  6/21]

Demikian juga di bulan Ramadhan,
Jika ada yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka ini “keterlaluan” juga dan termasuk yang celaka, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ – أَوْ بَعُدَ – دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” [HR. Ahmad, dishahihkan al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani]

Di bulan Ramadhan sangat banyak sebab-sebab diampuni seperti puasa, shalat malam, zakat fithri sebagai penyuci orang puasa dan lain-lainnya.
Silahkan baca tulisan kami: 
https://muslim.or.id/39880-asal-penamaan-bulan-ramadhan.html

Pantas apabila ada ulama salaf yang berkata,

من لم يغفرْ لَه في رمضان فلن يغفر له فيما سواه؛

“Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan, maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya.” [Latha-if  Al-Ma’arif, hal. 297]

Semoga kita termasuk orang yang diampuni di bulan Ramadhan

@ Masjid MPD, Yogyakarta Tercinta

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Bagaimana Menyambut Hadirnya Bulan Ramadhan?

PERMATA diletakkan dan disimpan dalam wadah yang bersih dan indah. Anugerah terindah dipersembahkan pada mereka yang mempersiapkan diri untuk layak mendapatkannya. Kemuliaan dan keindahan Ramadhan hanya bisa diperoleh oleh mereka yang membersihkan hatinya, membersihkan badannya dan membersihkan amalnya.

Ibnu Mas’ud, sahabat Rasulullah, pernah ditanya: “Bagaimanakah cara kalian semua menyambut Ramadhan?” Beliau menjawab: “Tak seorangpun dari kami itu tiba pada bulan Ramadhan kecuali hatinya telah bersih dari kedengkian.” Ini bermakna bahwa mereka menyambut Ramadhan dengan kebersihan diri. Begitu luar biasanya mereka. Hapuslah dengki dan dendam, buanglah permusuhan.

Proyek pembersihan hati ini dilengkapi pula dengan tawbat dan istighfar. Ketahuilah bahwa dosa merupakan penghalang utama hadirnya kebahagiaan. Ketahuilah bahwa belenggu masalah semakin menguat dan tak pernah lepas dari kehidupan kita adalah karena dosa dan kesalahan kita yang belum terampuni. Ingin bahagia? Bertaubatlah. Baca QS An-Nur ayat 31.

Demikian poin pertama dari empat poin cara menyambut bulan Ramadlan yang dicontohkan orang-orang shalih pada jaman dahulu. Marhaban Yaa Ramadhan. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Apa yang Dilakukan Menjelang Bulan Ramadhan?

BULAN Ramadhan adalah bulan yang istimewa untuk kaum mukminin. Pada bulan Ramadhan orang-orang yang beriman terdorong untuk melakukan berbagai amal ibadah yang Allah syariatkan.

Sepanjang pagi hingga sore mereka menahan diri dari lapar dan dahaga serta hal yang membatalkan puasa. Pada malam harinya, mereka hidupkan malam dengan rangkaian shalat taraweh dan membaca kitab suci Al Quran. Penghujung malam mereka bangun untuk melakukan makan sahur.

Lalu apa yang dilakukan menjelang Ramadhan yang kian dekat ini? Yang pertama adalah menyelesaikan utang puasa Ramadhan tahun lalu. Apabila masih ada, segera selesaikan jangan tunggu hari semakin dekat ke bulan Ramadhan.

Berikutnya, mencari ilmu tentang Ramadhan. Khususnya seputar puasa Ramadhan. Agar ibadah puasa kita sesuai sunnah Nabi. Juga ilmu tentang keutamaan ibadah lain pada bulan Ramadhan agar kita nanti lebih terpacu dalam mengamalkannya.

Persiapan lainnya adalah mempersiapkan diri dari sekarangan dengan berlatih memperbanyak amal shaleh. Amalan yang dapat kita lakukan dari sekarang misalnya dengan memperbanyak puasa sunnah di bulan Syaban ini. Di samping kita mendapat pahala, kita juga membuat iklim pada tubuh agar terbiasa menahan lapar dan dahaga.

Selain menyeringkan puasa sunnah di bulan Syaban, kita juga harus lebih menyeringkan membaca kitab suci Al Quran. Hal ini karena bulan Ramadhan adalah Syahrul Quran, bulan Al Quran. Maka jauh menyeringkan membaca Al Quran pada bulan Ramadhan adalah target habit yang harus kita wujudkan.

Hal lain yang harus kita ajari diri kita mulai sekarang adalah bersedekah. Nabi shalallahu alaihi wasallam adalah orang yang dermawan, dan sifat dermawan beliau lebih terlihat ketika bulan Ramadhan. Apabila kita melatih diri kita sering berderma dari sekarang, InsyaAllah pada bulan Ramadhan yang sebentar lagi tiba, kita akan menjadi lebih pemurah lagi.

Terakhir yang kita lakukan adalah berdoa. Memohon pada Allah agar Allah pertemukan kita dengan Ramadhan. Dan memohon kepada Allah kekuatan fisik dan keimanan agar kita bisa melalui Ramadhan dengan sukses dunia dan akhirat.

Allahu Alam.

 

INILAH MOZAIK