Maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, praktik kebohongan, keculasan dan kecurangan memberikan bukti bahwa rasa malu menipis dan hilang karena kematian hati
SALAH satu penyebab rusaknya tatanan sosial dan moral antara lain karena hilangnya rasa malu. Maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, praktik kebohongan, keculasan dan kecurangan yang “diproduksi” selama ini memberikan bukti bahwa rasa malu dan bersalah itu sudah menipis atau bahkan hilang.
Rasa malu adalah perisai sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Selalu mempertimbangkan baik buruknya sesuatu dan berpikir sebelum bertindak. Perasaan malu senantiasa mendatangkan kebaikan.
Orang yang memiliki rasa malu berarti berusaha untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri (iffah). Memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya.
Sangat penting bagi kita untuk memupuk dan menghiasi diri dengan rasa malu. Berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan tercela, dan berupaya menebar kebaikan. Kesadaran seorang Muslim yang didorong oleh iman, islam dan ihsannya menjadi kekuatan.
Rasulullah ﷺtelah memberikan peringatan kepada kita dalam bentuk sindiran,
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاري
“Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah ﷺbersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (Al-Bukhâri no. 3483, 3484, 6120, Ahmad IV/121, 122, V/273, Abû Dâwud no. 4797, Ibnu Mâjah no. 4183, ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath no. 2332, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ IV/411, VIII/129, al-Baihaqi X/192, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3597, ath-Thayâlisi no. 655, dan Ibnu Hibbân no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. (Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, hlm. 53).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan). Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.”
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.” (Madârijus Sâlikîn II/270. Lihat juga Fathul Bâri X/522).
Malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong kita untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi kita dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
Malu juga mengajak kita agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina. Rasulullah ﷺbersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.” (Shahîh: HR: al-Bukhâri no. 6117 dan Muslim no. 37/60).
Rasulullah ﷺbersabda,
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ” رَوَاهُ البُخَارِي.
“Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺbersabda, Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR: Bukhari, no. 3484, 6120).
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu.”
“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa ( atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.” (Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam, 1:497).
Yang dimaksudkan dengan (النُّبُوَّةِ الأُوْلَى) adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112).
Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat sebelum Islam atau syariat yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺterbagi menjadi tiga:
Ajaran yang dibenarkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini shahih dan diterima. Ajaran yang dibatalkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini bathil dan tertolak.
Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan atau disalahkan oleh syariat Islam, maka sikap kita adalah tawaqquf (berdiam diri, tidak berkomentar apa-apa). Namun, apabila perkataan semacam ini ingin disampaikan kepada manusia dalam rangka sebagai nasihat dan semacamnya maka hal ini tidaklah mengapa, dengan syarat tidak dianggap bahwa perkataan itu multak benar.
Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah ﷺbersabda,
الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no. 161)
Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu (ini maksudnya ancaman). Hal ini sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.” (QS. Fushilat: 40).
Maksud ayat ini bukanlah maksudnya agar kita melakukan sesuka kita termasuk perkara maksiat. Namun, maksud ayat ini adalah ancaman, jika kita tidak memiliki rasa malu, lakukanlah sesukanya, tapi pasti kita akan menanggung akibatnya.
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa berhias dengan rasa malu untuk meraih ridha-Nya. Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawab. */Bagya Agung Prabowo, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)