Kewajiban Mencari Rezeki yang Halal

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta Alam, Dzat Yang Maha Tinggi dengan sifat-sifat-Nya yang mulia dan nama-nama-Nya yang berada pada puncak keindahan. Semoga shalawat dan salam-Nya selalu Ia curahkan keharibaan Rasul-Nya Muhammad, keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Mencari rezeki merupakan tuntutan kehidupan yang tak mungkin seseorang menghindar darinya. Seorang muslim tidak melihatnya sekadar sebagai tuntutan kehidupan. Namun ia mengetahui bahwa itu juga merupakan tuntutan agamanya, dalam rangka menaati perintah Allah l untuk memberikan kecukupan dan ma’isyah kepada diri dan keluarganya, atau siapa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Dari sinilah seorang muslim bertolak dalam mencari rezeki. Sehingga ia tidak sembarangan dan tanpa peduli dalam mencari rezeki. Tidak pula bersikap materialistis atau ‘Yang penting kebutuhan tercukupi’, ‘Yang penting perut kenyang’ tanpa peduli halal dan haram. Atau bahkan lebih parah dari itu ia katakan seperti kata sebagian orang, ‘Yang haram saja susah apalagi yang halal’.

Sekali-kali tidak! Itu adalah ucapan orang yang tidak beriman. Bahkan yang halal insya Allah jauh lebih mudah untuk didapatkan daripada yang haram. Dengan demikian sebagai seorang muslim yang taat, ia akan memerhatikan rambu-rambu agamanya sehingga ia akan memilah antara yang halal dan yang haram. Ia tidak akan menyuapi dirinya, istri dan anak-anaknya kecuali dengan suapan yang halal. Terlebih di zaman seperti yang disifati oleh Nabi n:

يَأْتِي عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah z, Shahih At-Targhib no. 1722)

Suapan yang haram tak lain kecuali akan menyebabkan pemakannya terhalangi dari surga. Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq z, dari Nabi n, beliau bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ

“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.” (Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730)

Oleh karenanya, istri para as-salaf ash-shalih (para pendahulu kita yang baik) bila suaminya keluar dari rumahnya, iapun berpesan:

إِيَّاكَ وَكَسْبَ الْحَرَامِ، فَإِنَّا نَصْبِرُ عَلَى الْجُوْعِ وَلاَ نَصْبِرُ عَلىَ النَّارِ

“Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin)

Tentu mencari yang halal merupakan kewajiban atas setiap muslim, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin: “Ketahuilah bahwa mencari yang halal adalah fardhu atas tiap muslim.” Karena demikianlah perintah Allah l dalam ayat-ayat-Nya dan perintah Rasul n dalam hadits-haditsnya. Di antaranya:

ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 168)

As-Sa’di t menafsirkan: “Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada manusia seluruhnya mukmin maupun kafir, bahwa Allah  l memberikan karunia-Nya kepada mereka yaitu dengan Allah l perintahkan mereka agar memakan dari seluruh yang ada di muka bumi berupa biji-bijian, buah-buahan, dan hewan-hewan selama keadaannya halal. Yakni, dibolehkan bagi kalian untuk memakannya, bukan dengan cara merampok, mencuri, atau dengan cara transaksi yang haram, atau cara haram yang lain, atau untuk membantu yang haram.” (Tafsir As-Sa’di)

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Al-Ma’idah: 88)

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-Nahl: 114)

“Hai rasul-rasul, makanlah dari ath-thayyibaat, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mu’minun: 51)

Ath-Thayyibaat artinya adalah yang halal. Allah l perintahkan untuk memakan yang halal sebelum beramal.

Di samping perintah untuk mencari yang halal, Allah l dan Nabi-Nya n melarang dan memperingatkan kita dari penghasilan yang haram. Allah l berfirman:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ: {ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ } وَقَالَ: {ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلىَ السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ؛ وَمَطَعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَام، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan sungguh Allah l perintahkan mukminin dengan apa yang Allah l perintahkan kepada para Rasul, maka Allah l berfirman: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ dan berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’ Lalu Nabi n menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya kusut masai, tubuhnya berdebu, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berucap: ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, disuapi gizi yang haram, bagaimana mungkin doanya terkabul?” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

Dari Abdullah bin Amr c, bahwa Rasulullah n bersabda:

أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيْثٍ، وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طَعْمَةٍ

“Empat perkara bila keempatnya ada padamu maka tidak mengapa apa yang terlewatkanmu dari perkara duniawi: menjaga amanah, ucapan yang jujur, akhlak yang baik, dan menjaga (kehalalan) makanan.” (Shahih, HR. Ahmad dan Ath-Thabarani dan sanad keduanya hasan, Shahih At-Targhib no. 1718)

Ath-Thabarani t juga meriwayatkan dari Abu Thufail dengan lafadz:

مَنْ كَسَبَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ فَأَعْتَقَ مِنْهُ وَوَصَلَ مِنْهُ رَحِمَهُ كَانَ ذَلِكَ إِصْرًا عَلَيْهِ

“Barangsiapa mendapatkan harta yang haram lalu ia membebaskan budak darinya dan menyambung silaturrahmi dengannya maka itu tetap menjadi beban atasnya.” (Hasan lighairihi. Shahih Targhib, 2/148 no. 1720)

Dari Al-Qasim bin Mukhaimirah z ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنِ اكْتَسَبَ مَالًا مِنْ مَأْثَمٍ فَوَصَلَ بِهِ رَحِمَهُ أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ أَوْ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ، جَمَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ جَمِيعًا فَقُذِفَ بِهِ فِي جَهَنَّمَ

“Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu dengannya ia menyambung silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya maka ia akan dilemparkan dengan sebab itu ke neraka jahannam.” (Hasan lighairihi, HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat Shahih At-Targhib, 2/148 no. 1721)

Abdullah bin Mas’ud z juga pernah menyampaikan pesan Rasulullah n:

اسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. قال: قلنا: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنَّا لَنَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلهِ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ، وَلَكِنَّ الْاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Kami (para sahabat) berkata: “Wahai Nabiyullah, kami punya rasa malu kepada Allah, alhamdulillah.” Beliau berkata: “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah kamu jaga kepala dan apa yang diliputinya (yakni lisan, mata, telinga), kamu jaga (isi) perutmu (yakni dari yang haram) dan jaga yang bersambung dengannya, kamu ingat kematian dan kehancuran. Barangsiapa yang menghendaki akhirat tentu dia tinggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan itu semua, berarti dia telah malu dari Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hasan lighairihi, HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Targhib: 2/149 no. 1724)

Keutamaan Memakan dari Hasil Tangan Sendiri

Allah l telah memberikan kepada kita karunia-Nya, berupa kesempatan, sarana dan prasarana untuk mencukupi kebutuhan kita. Allah l menjadikan waktu siang agar kita gunakan untuk mencari penghidupan. Allah l berfirman:

“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba’: 11)

Allah l pun menjadikan di muka bumi ini ma’ayisy, sarana-sarana penghasilan yang beraneka ragam yang dengannya seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, walaupun sedikit dari mereka yang menyadari dan mensyukurinya.

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raf: 10)

Untuk itulah Allah l mempersilakan kita untuk berkarya dan berwirausaha dalam mencari karunia Allah l.

”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198)

Karena demikian terbukanya peluang untuk kita, maka Nabi n pun menganjurkan kepada kita:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ

”Bersemangatlah untuk sesuatu yang bermanfaat buatmu.” (Shahih, HR. Muslim)

Yakni bermanfaat baik dalam urusan akhirat maupun dunia.

Sehingga seseorang hendaknya bersemangat untuk mencari kecukupannya dengan tangan sendiri. Itulah sebaik-baik penghasilan yang ia makan. Jangan menjadi beban bagi orang lain dengan selalu bergantung kepadanya. Demikianlah yang dilakukan para pendahulu kita termasuk para sahabat bahkan para Nabi.

Al-Munawi t dalam bukunya Faidhul Qadir mengatakan: “Mencari penghasilan dengan bekerja adalah sunnah para Nabi. Dari Miqdam bin Ma’dikarib z dari Nabi n, beliau bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih bagus dari memakan dari hasil kerja tangannya sendiri dan Nabiyyullah Dawud dahulu memakan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Nabi Muhammad n menyebut Nabi Dawud q secara khusus bukan Nabi yang lain, karena Nabi Dawud q adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan Ibnu Hajar t (Fathul Bari, 4/306).

Demikian pula halnya Nabi Zakariyya q. Beliau adalah seorang tukang kayu. Nabi n menyebutkan:

كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا

“Zakariyya adalah seorang tukang kayu.” (Shahih, HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)

Hadits ini menunjukkan keutamaan beliau, sebagaimana ungkap Al-Imam An-Nawawi t. Karena beliau dengan itu makan dari hasil kerjanya sendiri. Keadaannya sebagai nabi tidak menghalanginya untuk berprofesi sebagai tukang kayu. Bahkan dengan itu, beliau memberi contoh kepada umat. Nabi n juga bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حِزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ

”Salah seorang di antara kalian mencari/mengambil seikat kayu bakar di atas punggungnya lebih baik atasnya daripada meminta-minta seseorang lalu orang itu memberinya atau (mungkin) tidak memberinya.” (Shahih, HR. Al-Imam Malik, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah z)

Dalam hadits lain:

”Lalu ia menjual kayu bakar itu sehingga dengannya Allah l lindungi wajahnya (yakni dari kehinaan), maka lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Mereka mungkin memberi atau tidak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Dari Sa’id bin ’Umair, dari pamannya ia berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ n: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ

Rasulullah n ditanya: ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab: ”Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima di sisi Allah).” (Shahih Lighairihi, HR. Al Hakim. Shahih At-Targhib: 2/141 no. 1688)

Nabi n juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan Allah l. Dalam hadits dari Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata:

مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ n رَجُلٌ فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ

Seseorang telah melewati Nabi n maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya, sehingga mereka mengatakan: “Wahai Rasulullah, seandainya ia lakukan itu di jalan Allah l.” Maka Rasulullah n bersabda: “Bila ia keluar (rumah) demi mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil maka ia berada di jalan Allah. Bila ia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut maka ia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya sendiri agar terjaga kehormatannya maka ia berada di jalan Allah. Namun bila dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga diri, maka ia berada di jalan setan.” (Shahih lighairihi, HR. At-Thabarani. Shahih At-Targhib, 2/141 no. 1692)

Al-Imam Ahmad t ditanya: “Apa pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau di masjidnya, dan berkata: ‘Saya tidak akan bekerja apapun sampai rezekiku nanti datang’.” Beliau menjawab: “Orang ini tidak tahu ilmu. Tidakkah dia mendengar sabda Nabi: ‘Allah jadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku’ dan beliau bersabda ketika menyebutkan burung: ‘Pergi waktu pagi dengan perut kosong dan pulang waktu sore dengan perut kenyang’. Dahulu para sahabat Nabi berdagang baik di darat maupun di laut. Mereka juga bertani di kebun korma mereka. Mereka adalah teladan.”

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Asy Syariah

Carilah Rezeki yang Halal, Jauhi yang Haram (Bagian 3)

Sumaith Bin Ajlan mengatakan, “Wahai anak Adam, perutmu cuma satu jengkal, apakah kamu mau masuk neraka karena perut?”

Ibrahim bin Adham menuturkan, “Tidak akan memahami orang yang seharusnya dapat memahami, kecuali orang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya.”

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

أَجْمِلُوْا فِيْ طَلَبِ الدُّنْيَا فَإِنَّ كُلاًّ مُيَسَّرٌ لَهُ مَا كُتِبَ لَهُ مِنْهَا

“Baguskanlah dalam mencari dunia, karena setiap orang dimudahkan sesuai dengan apa yang telah dituliskan untuknya.” (HR. Al-Baihaqi).

Aisyah Radhiyallahu Anha pernah mengatakan,

“Kurangilah perbuatan dosa, sesungguhnya kamu tidak akan bertemu Allah dengan sesuatu yang lebih utama dari pada sedikit dosa.”

Wahai para hamba Allah, berhati-hatilah dan jangan tertipu!

Sesungguhnya tangan bisa dipotong gara-gara mencuri uang tiga dirham, orang merdeka dicambuk gara-gara minum setetes khamar, seorang wanita masuk neraka gara-gara seekor kucing dan mantel bisa berubah menjadi api yang membakar orang yang mengkhianatinya meskipun ia mati syahid.

Hendaklah kita senantiasa bersyukur atas semua rahmat dan karunia yang telah Allah berikan kepada kita. Jangan pernah silau oleh kekayaan dunia, karena semua itu akan sirna dan tidak akan dibawa mati.

Jangan pernah berharap untuk banyak harta, karena tidak semua orang yang mempunyai banyak harta akan taat kepada Allah dengan hartanya.

Berdoalah kepada Allah agar dikaruniakan harta yang dapat menunjang ketaatan kita kepada-Nya dan menegakkan agama-Nya.

Ya Allah, berilah kami pertolongan untuk melakukan yang halal, makan sesuatu yang halal dan minum sesuatu yang halal, wahai Yang Maha Penyasih lagi Maha Penyayang.

Ya Allah cukuplah yang halal bagi kami sehingga terjauh dari hal-hal yang diharamkan. Ya Allah, jadikanlah kami merasa cukup dengan karunia-Mu sehingga kami menjauhi segala sesuatu selain Engkau.

Ya Allah, berilah kami rezeki yang halal, yang baik dan diberkahi. Sungguh, hanya Engkaulah Yang Maha Memberi Rezeki dan Maha Luas karunia-Mu. Aamiiin Allahumma Aamiin ya Mujibassailiin.

Semoga bermanfaat bagi kita semua.

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Carilah Rezeki yang Halal, Jauhi yang Haram (Bagian 2)

Merupakan hal yang lumrah pula di tengah-tengah masyarakat, kebiasaan suka menunda dalam memberikan hak orang lain.

Sebagian orang yang tidak paham berpendapat, menunda hak orang lain dan memakan harta orang lain, merupakan hal yang cerdik dan cerdas, padahal hal itu akan menghapus keberkahan dan kebaikan harta yang dimilikinya.

Allah Ta’ala telah mengancam orang yang mempekerjakan seorang buruh akan tetapi tidak memberikan haknya, melalui lisan Nabi-Nya, yang mana Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

قَالَ اللهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuhku.

Seorang yang berjanji setia kepadaku lalu dia ingkar (berkhianat); seorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan uang harga penjualannya; seorang yang memperkerjakan seorang buruh, tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya orang tersebut tidak memberinya upah.” (HR. Al-Bukhari).

Banyak manusia yang suka mengurangi hak orang lain, dengan tidak memberikannya secara penuh kepada mereka. Allah Ta’ala telah memperingatkan sifat buruk ini melalui firman-Nya,

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang).” (QS. Al-Muthaffifin: 1).

Berhati-hatilah wahai saudaraku, jangan sampai kebakhilan menggiringmu ke neraka jahanam.

Ketahuilah, bahwa dunia tempat beramal bukan tempat hisab (semua amal diperhitungkan), sementara akhirat tempat hisab bukan tempat beramal.

Oleh karena itu, bersiap-siaplah dan berhati-hatilah, jangan sampai Allah menimpakan adzab kepadamu ketika kamu lalai.

Jauhilah segala macam bentuk yang haram, agar kamu menjadi orang yang doanya mustajab (dikabulkan), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Sa’ad,

يَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ

“Wahai Sa’d, perbaikilah makananmu maka kamu akan menjadi orang yang doanya mustajab.”(HR. Ath-Thabrani).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menceritakan kisah,

الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa,

”Wahai Rabbku, wahai Rabbku” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan doanya.” (HR. Muslim).

 

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Carilah Rezeki yang Halal, Jauhi yang Haram

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menanggung rezeki semua hamba-hamba-Nya juga ajal mereka, dan semua yang berhubungan dengannya di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman-Nya Ta’ala,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS. Hud: 6)

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk memakmurkan dunia dengan melakukan usaha yang halal, seperti berdagang, bercocok tanam, berburu dan lain sebagainya, dan memperingatkan mereka untuk tidak mengkonsumsi segala macam yang haram.

Adalah hal yang lumrah di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang perbuatan memberi dan mengambil suap, dan mereka menamakannya dengan nama-nama lain untuk mengelabui dan memperhalus bahasa.

Pada prinsipnya, yang haram akan tetap haram meskipun digunakan bermacam-macam nama. Firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

”Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 188).

Terkait suap ini pernah diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ

“Allah melaknat orang yang meyuap dan menerima suap dalam hukum.” (HR. Imam Ahmad)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu Anhuma ia berkata, ”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Laknat Allah atas orang yang menyuap dan menerima suap.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani).

Hati-hatilah wahai saudaraku, jangan sampai barang haram masuk ke perutmu, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih utama baginya. (HR. Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Al-Albani).

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Agar Rezeki Suami Mengalir Deras

Pekerjaan seorang istri tak hanya mengurus rumah dan anak saja, tapi juga mengatur keuangan keluarga. Berapapun nafkah yang diberikan suami, istri harus dapat mengatur dan menggunakannya secara bijak.

Semua istri tentu menginginkan ekonomi keluarganya selalu cukup dan tidak pernah merasa kekurangan sedikitpun. Untuk itu, suami harus bekerja keras untuk bisa memenuhi semua kebutuhan rumah tangganya agar selalu dalam keadaan cukup.

Sebagai seorang istri, ada hal-hal yang bisa dilakukan untuk menambah barokah rezeki keluarga yang diperoleh dari usaha suami. Apa saja itu?

Berikut amalan-amalan yang dapat dilakukan istri untuk menambah barokah rezeki yang didapatkan suami agar rezeki keluarga berlimpah dikutip dari The Vocket :

1. Berikan sebagian nafkah dari suami untuk orangtua dan mertua

Sekecil apapun atau sedikit apapun, sisihkan sebagian nafkah dari suami untuk orangtua dan mertua. Walaupun hanya dengan membelikan beras atau keperluan pokok yang lain, sadari bahwa faktor ini sanggup menambah keberkahan rezeki yang diperoleh.

Tutup telinga rapat-rapat dan jangan hiraukan bila menerima cibiran atau dibanding-bandingkan dengan jumlah yang didapat dari menantu lain yang lebih besar, jangan sampai menjadikan hal itu merusak niat baik yang kita punya.

Hindari pula berpikiran seperti ini, “Jangankan untuk orangtua, buat keluarga sendiri saja tetap kurang” atau “Orangtua dan mertua bukankah telah mapan?”

Kemungkinan ada yang berpikir begitu, tetapi percayalah seandainya menafkahkan sebagian rezeki buat keluarga dekat, tak cuma akan menambah barokah bagi kita tetapi dapat mempererat silaturahmi.

2. Senantiasa mengingatkan suami untuk memberikan nafkah keluarga dengan rezeki halal

Kewajiban istri yang lain adalah selalu mendoakan dan mengatkan suami untuk selalu menafkahi istri dan anaknya dengan rezeki yang halal.Elemen ini demikian mutlak mengingat sejumlah istri yang merongrong suami dengan banyak tuntutan dan membuat suami menempuh jalan tidak baik dalam mencari nafkah.

3. Mengubah gaya hidup boros

Masak sendiri di rumah akan lebih menghemat biaya daripada makan diluar atau membeli makanan dari luar. Untuk itu istri perlu belajar memakasak untuk mengubah gaya hidup yang boros.Melakukan perawatan tubuh di salon akan menambah pengeluaran. Jika hal ini bisa dilakukan di rumah, sehingga bisa menghemat pengeluaran, mengapa tidak?

Bawakan bekal untuk suami supaya tidak perlu makan siang di luar kantor, juga untuk anak supaya tidak jajan sembarangan.Jalan-jalan ke mal tiap minggu dapat ditukar dengan ke lokasi lain yang lebih hemat dan tidak mengeluarkan banyak biaya, seperti ke taman, alun-alun kota dan tempat wisata gratis lainnya.

Mudah-mudahan ikhtiar berhemat dan mengubah gaya hidup ini mampu menambah keberkahan rezeki keluarga.

4. Jalankan ibadah bersama

Ibadah dan ketakwaan yang kita laksanakan sangat erat hubungannya dengan keberkahan rezeki keluarga.Selain melakukan shalat berjamaah setiap harinya, coba rencanakan sekian banyak ibadah yang mampu dilakukan bersama dengan keluarga.

Mulai dari puasa sunnah Senin dan Kamis, salat tengah malam, membaca Al Quran dan lainnya.

5. Hindari pertengkaran dalam rumah tangga

Pertengkaran hanya akan menyulut kebencian dan menghilangkan keberkahan rumah tangga.Istri harus bisa menjadi air pendingin apabila suami dalam keadaan stres, bukan malah menyulut pertengkaran yang lebih besar.

Mudah-mudahan informasi ini dapat berguna dan bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar membuat pendapatan suami lebih berkah, melimpah dan mengalir deras.[ ]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2266474/agar-rezeki-suami-mengalir-deras#sthash.yXzW5zrC.dpuf

Syarat yang Harus Dipenuhi untuk Menjemput Rezeki

Sejatinya, Allah SWT telah menjamin rezeki makhluknya. “Dan, tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang akan memberi rezekinya.” (QS Hud [11]: 6).

Sumber rezeki sangatlah luas dan dalam. Seluas bentangan bumi dan kedalaman samudra. Sungguh, di setiap jengkal hamparan bumi dan laut terdapat rezeki yang bisa dikais. Permasalahannya, kerap kali manusia lebih berorientasi menunggu rezeki daripada menjemputnya. Lebih mementingkan selera pribadi dalam memilih sumber rezeki ketimbang merebut kesempatan di depan mata. Lebih mengutamakan cara yang cepat daripada berletih-letih dalam menggapainya.

Karena itu, Islam menekankan setiap Muslim agar menjemput rezeki dengan menggunakan semua potensi dan kekuatan yang dimilikinya. Yang pasti, dua kebaikan perlu diperhatikan. Pertama, rezeki yang didapatkan adalah yang baik. “Hai, orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 127).

Terkait ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi menyatakan betapa pentingnya seorang Muslim mengonsumsi makanan yang halal, bersih, dan lurus. Halal maksudnya adalah tidak mengandung kedurhakaan terhadap Allah SWT. Bersih bermakna tidak mengandung perkara yang melupakan Allah. Sedangkan, lurus berarti rezeki tersebut mampu menahan nafsu dan memelihara akal.

Kedua, untuk mendapatkan rezeki yang baik, hendaknya proses yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang baik pula. Islam melarang segala bentuk upaya mendapatkan rezeki dengan cara-cara yang zalim (Al-Baqarah [2]: 279), riba (Al-Baqarah [2]: 278-279), judi (Al-Maidah [5]: 90), penipuan (gharar), suap (risywah), dan maksiat.

Mengapa Islam menekankan pentingnya rezeki yang halal? Karena, setiap asupan yang masuk ke dalam tubuh manusia akan memengaruhinya, baik secara fisik, emosional, psikologis, maupun spiritual.

Rezeki yang halal menghadirkan ketenangan jiwa. Hidup akan lebih terarah dan menjadikan pintu-pintu keberkahan terbuka semakin lebar. Selain itu, rezeki yang halal merupakan syarat diterimanya setiap doa oleh Allah SWT. Rezeki yang halal akan menciptakan tatanan mayarakat dan bangsa yang kuat.

Saat ini, sebagai bangsa dengan penduduk Muslimterbesar di dunia, sepatutnya kita tidak memfasilitasi setiap anak negeri mengais rezeki dengan cara-cara yang dilarang Allah SWT. Mengikuti arus global, kapitalisme, dan melupakan cara-cara nenek moyang dahulu melakukan aktivitas ekonomi. Yakni, sistem bagi hasil, maro, atau paron ditinggalkan. Manipulatif, spekulatif, dan ribawi dipraktikkan. Karena itu, kini, kita selalu berada dalam sistem ekonomi yang sangat rentan dan goyah. Krisis demi krisis selalu siap menerjang sepanjang waktu. Petaka demi petaka berlangsung di depan mata.

Kini, saatnya kita kembali kepada sistem yang berkeadilan dalam mencari rezeki dan berupaya meneguhkan kembali jati diri bangsa. Semua itu bermuara pada pentingnya rezeki yang halal. Wallahu  a’lam.

 

Oleh A Riawan Amin

sumber: Republika Online

Cara Mencari Rezeki Pun Harus Halal

Oleh: Erdy Nasrul

Harta yang haram tidak membawa keberkahan.

Konsumsi haram ternyata tidak terbatas pada hilir, tetapi juga menyangkut hulu. Bila proses pencarian harta tersebut menggunakan cara-cara yang haram, apa pun yang dikonsumsi ataupun dipakai dalam kesehariannya bisa dinyatakan haram.

Sebab, menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Ali Mustofa Yaqub, haram itu bukan hanya bersifat internal (lidzhatihi) lantaran mengandung unsur keburukan (khabits), atau terdapat zat berbahaya (dharar), baik membahayakan akidah, kesehatan jasad, jiwa, dan lainnya.

Apabila mengandung najis maka sesuatu bisa menjadi haram. Ada juga haram eksternal atau (lighairihi). Ini berkaitan dengan cara memperolehnya.

Pakar hadis ini menguraikan sejumlah kriteria proses perolehan rezeki yang bisa berakibat fatal, yakni keharaman harta yang diperoleh.

Antara lain, riba, judi, suap, merugikan atau menzalimi orang lain, penipuan (gharar), tidak terdapat unsur maksiat, dan bukan perkara haram. “Jika cara perolehannya tidak mengandung salah satu dari tujuh unsur tadi maka itu halal,” ujarnya.

Pengasuh Pesantren Daarussunah Ciputat, Tangerang Selatan, ini menjelaskan menjaga diri dari yang haram merupakan keharusan.

Ada tiga hikmah yang diperoleh berkaitan dengan larangan mengonsumsi yang haram. Mengonsumsi yang haram mengakibatkan ibadah tertolak.

Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Seorang musafir yang dengan kondisi memprihatinkan berdoa, tetapi doanya tidak terkabul.

Lantaran, kata Rasulullah SAW, pakaian yang dikenakan berdoa hasil dari perbuatan haram. “Jika doa yang inti ibadah saja tidak diterima apalagi lainnya,” kata Ali.

Selain itu, sanksi mengonsumsi perkara haram adalah api neraka. Hal ini seperti ditegaskan hadis riwayat Turmudzi. Rasul menyatakan, setiap kerak daging ditumbuhkan dari makanan haram maka tempatnya pasti neraka.

Analisisnya, daging yang seperti itu bahan bakunya haram.  “Diajak ibadah berat, tetapi bermaksiat gampang,” ujarnya.

Ketua Forum Pemuda Lintas Agama KH Abdul Rojak menyatakan mencari rezeki halal berarti mencari sesuatu yang bermanfaat dan tidak menyalahi aturan saat mendapatkannya.

Sejumlah ayat Alquran dan hadis menyerukan keharusan mencari rezeki yang halal. Seperti, surah al-Baqarah ayat 168. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.”

Sedangkan, hadis Rasul riwayat Muslim dari Ibnu Miqdam menyatakan, tidak ada yang lebih utama dari apa yang dimakan, kecuali bersumber dari hasil kerja kerasnya sendiri.

Menurut Sekretaris Umum MUI Tangsel ini, rezeki yang halal tentu membawa ketenangan bagi yang memanfaatkannya.

Penggunaan rezeki yang halal itu memunculkan rasa tenang, tidak takut, atau waswas. “Ini yang penting,” ujar Wakil Ketua Yayasan ar-Rahmaniyah ini.

Rezeki yang halal tentu akan membawa keberkahan. Berkah itu semakin bertambahnya rezeki. Rojak menyatakan, manfaat rezeki bukan terletak pada besar kecilnya, melainkan kehalalan dan keberkahan.

Rezeki yang tidak halal tidak akan membawa berkah. Harta hasil korupsi misalkan, pasti akan habis ketika diusut aparat penegak hukum.

Rojak menyatakan jika telanjur mengonsumsi yang haram maka harus dilihat keharamannya. Jika yang haram itu memang dari zatnya maka harus dimuntahkan ketika disadari makanan itu haram. Jika telanjur dikonsumsi, harus bertobat.

Jika barang yang dimanfaatkan adalah haram karena cara memperolehnya maka harus mendatangi pemiliknya. Kemudian, meminta maaf kepada pemiliknya. Setelah itu, bertobat. Ini penting karena yang haram ini besar dampaknya.

 

sumber: Republika Online