Utsman bin Affan, misalnya. Seorang pria sukses, pebisnis kaya, dan juga khalifah ketiga bagi umat Islam. Utsman berprinsip, ia tak mau ketinggalan ketika ada peluang untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat. Ia akan tampil sebagai orang yang paling banyak dan paling besar menebar manfaat bagi orang lain.
Ketika kaum Muslimin hijrah dari Makkah ke Madinah, mereka dilanda kesulitan air. Saat itu, ada sebuah sumur milik seorang Yahudi di Madinah yang airnya diperdagangkan. Utsman peka membaca kesulitan kaum Muslimin soal air ini. Ia melihat, banyak di antara kaum Muhajirin yang tak membawa harta benda ketika berhijrah ke Madinah. Mereka tak sanggup jika membeli air yang sangat mahal dari si Yahudi Madinah.
Akhirnya, Utsman pun membeli setengah sumur tersebut dari si Yahudi. Hitung-hitungannya, sehari sumur itu milik Yahudi dan sehari esoknya milik Utsman bin Affan. Utsman tak segan mengeluarkan uang sebanyak 12 ribu dirham untuk membeli sumur tersebut.
Ketika giliran hak pakai Utsman bin Affan, kaum Muslimin bergegas mengambil air sumur itu untuk keperluan dua hari secara gratis. Dengan demikian, ketika giliran hak pakai si Yahudi, tak ada lagi kaum Muslimin yang membeli air darinya. Ia merasa rugi dan akhirnya menjual saham kepemilikannya yang separuh lagi kepada Utsman seharga 8.000 dirham. Kaum Muslimin pun bisa leluasa memanfaatkan sumur tersebut kapan saja. Sehebat apa pun suatu bisnis, seperti yang dimiliki si Yahudi ini, akan gulung tikar jika berhadapan dengan pebisnis yang menebar manfaat.
Karena persoalan sumur ini saja, elektabilitas dan popularitas Utsman naik di mata kaum Muslimin. Selanjutnya, bisnis apa pun yang dilakoni Utsman disambut baik kaum Muslimin. Kekayaannya di Madinah jauh naik berlipat-lipat karena mendapat simpati dari umat Islam. Utsman tercatat sebagai salah satu sahabat paling kaya ketika itu.
Kesalahan para pebisnis saat ini, mereka mengabaikan rumus yang diberikan Rasulullah SAW. Mereka hanya memikirkan bagaimana meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan perusahaannya. Ia menyepelekan untuk memikirkan apa manfaat yang akan diterima konsumennya.
Dalam mengembangkan bisnis, mereka hanya berpikir how?, what?, dan who? saja. Bagaimana memulai suatu bisnis? Apa jenis bisnis yang cocok? Dan, seprofesional apa orang yang akan menggerakkan bisnisnya?
Mereka lupa untuk berfikir why?. Mengapa calon konsumen harus membeli produk mereka, bukan orang lain?
Apakah konsumen merasakan suatu manfaat ketika membeli atau menggunakan produk tersebut sehingga ia memutuskan untuk membeli? Inilah yang menjadi dasar utama bagi pebisnis andal dalam memulai kariernya. Ia peka membaca keinginan konsumen. Ia ingin konsumennya bisa mendapatkan manfaat yang lebih ketika membeli atau menggunakan produknya ketimbang menggunakan produk lain.
Kebanyakan pebisnis terlalu egois memikirkan, “Bagaimana saya mendapatkan uang lebih banyak?” Mereka tak peduli apakah produk atau jasanya memiliki aspek manfaat bagi konsumennya. Lalu, mengapa konsumennya harus membeli atau menggunakan jasa dari bisnisnya?
Semakin banyak manfaat dari produk tersebut, semakin banyak pula konsumen, yaitu orang yang ingin memetik manfaat darinya. Jika semakin banyak konsumen, pasar, dan jaringan bisnisnya, maka semakin besar pulalah bisnisnya. Semakin besar bisnisnya, tentu semakin sukseslah ia dalam dunia bisnis. Awalnya sederhana, berpikir untuk memberikan manfaat yang lebih kepada orang lain.
Pebisnis Islam tidak berorientasi bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, tapi bagaimana menebar manfaat sebanyak-banyaknya. Hal ini sesuai dengan konsep ekonomi modern, memulai bisnis dengan menakhlukkan pasar terlebih dahulu sebelum menjual produk. Ketika konsumen sudah merasakan manfaat yang besar dari produknya, tentu ia tak akan segan terus membeli, bahkan berlangganan.