Usai Bebaskan Yerusalem, Salahudin Menangis

Karen Amstrong dalam bukunya Perang Suci menggambarkan, saat Salahudin dan pasukan Islam membebaskan Palestina, tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh. Tak apa pula perampasan harta benda. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah.

Salahuddin menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Dan ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Alqur’an,” papar Amstrong. Keadilan dan kenegarawanan Salahudin pun membuat umat Nasrani yang tinggal di Yerusalem saat itu berdecak kagum. Seorang tua penganut Kristen pun bertanya kepada Salahudin. ”Kenapa tuan tidak bertindak balas terhadap musuh-musuhmu?”

Salahudin menjawab, ”Islam bukanlah agama pendendam bahkan sangat mencegah dari melakukan perkara di luar perikemanusiaan, Islam menyuruh umatnya menepati janji, memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf dan melupakan kekejaman musuh ketika berkuasa walaupun ketika musuh berkuasa, umat Islam ditindas.”Mendengar jawaban itu, bergetarlah hati orang tua itu. Ia pun kemudian berkata, ”Sungguh indah agama tuan! Maka diakhir hayatku ini, bagaimana untuk aku memeluk agamamu?”

Salahudin pun berkata, ”Ucapkanlah dua kalimah syahadah.” Kemuliaan akhlak Salahudin juga tergambar dalam film Kingdom of Heaven besutan sutradara Ridley Scott, ketika dia mengangkat salib yang jatuh tergeletak di tanah dan menempatkan kembali pada tempatnya.Hingga kini, kemuliaan hati dan keberanian Salahudin masih tetap dikenang umat Islam dan orang-orang Barat. Menurut Dr Jonathan Phillips, pengajar di University of London dan penulis beberapa buku tentang Perang Salib, Salahudin merupakan pahlawan utama bagi umat Islam.

 

 

sumber: Republika Online

Salahudin Bebaskan Yerusalem dari Kebiadaban

Setelah 88 tahun dikuasai serdadu Perang Salib, kota Yerusalem, Palestina akhirnya kembali jatuh kepangkuan umat Islam. Tepat pada 2 Oktober 1187 atau setelah tiga bulan berjibaku dalam pertempuran Hattin, pasukan tentara Islam yang dipimpin Salahudin Al-Ayubi berhasil menaklukan dan membebaskan kota suci itu dari kedzaliman dan kebiadaban.

Penaklukan Yerusalem yang dilakukan pasukan Islam di bawah komando Salahudin sungguh amat berbeda, ketika tentara Perang Salib menduduki Yerusalem pada 1099. Salahudin menetapi janjinya. Jenderal dan panglima perang tentara Islam itu menaklukan Yerusalem menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi. Tak ada balas dendam dan pembantaian, penaklukan berlangsung ‘mulus’ seperti yang diajarkan Alquran.

Padahal, ketika 40 ribu tentara Perang Salib yang dipimpin Peter The Hermit menyerbu tanah suci Palestina, mereka datang dengan dirasuki fanatisme agama yang membabi buta. Guna membangkitkan rasa fanatisme itu, menurut Hallam penulis Barat, `setiap cara dan jalan ditempuh’. Tak peduli biadab atau tidak, semua ditebas remuk redam.

Yerusalem banjir darah dan bangkai manusia.Suasana penuh dendam dan amarah, terjadi pula ketika pasukan Perang Salib tiba di Malleville. Kota itu pun dibumihanguskan. Tak kurang dari tujuh ribu penduduk tak berdosa di kota itu dibantai. Fanatisme buta itupun kemudian mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus. Serangan dahsyat itu akhirnya membuat Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem jatuh ke tangan tentara Salib.

Kemenangan tentara Salib itu dikotori dengan pembantaian terhadap kaum Muslimin yang sama sekali tak bersalah. Kekejaman tentara Salib itu digambarkan melebihi Jengis Khan dan Hulagu Khan ketika melibas kekhalifahan Abassiyah dan meruntuhkan Baghdad.’

“Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak, dan kelemahan kaum perempuan tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman,” ungkap ahli sejarah Inggris, Jhon Stuart Mill mengakui adanya pembataian massal penduduk Muslim ketika Kota Antioch jatuh ke tengan tentara Salib.

Tak hanya itu, mereka pun menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. ”Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,””kata Stuart Mill.

Ketika Raja Richard I dari Inggris merampas Kastil Acre, umat Islam juga dibantai. Begitu sadisnya, mayat-mayat mereka dan kepala-kepala terpenggal ditumpuk di bawah panggung. Pada tahun 1194, Richard Si Hati Singa – pahlawan dalam sejarah Inggris — juga memerintahkan untuk menghukum mati 3.000 umat Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak, secara tak berkeadilan di Kastil Acre.

 

 

sumber: Republika Online