Salam Revival (2 – Habis)

Terbayang tidak di jaman teknologi digital sekarang bila tafsir tersebut yang dipakai? Anda tidak bisa membeli beras secara online, apalagi emas dan perak. Anda tidak bisa makan roti karena gandumnya tidak mungkin diperjual-belikan dari tangan ke tangan dari Amerika.

Maka sejak jaman Imam Abu Hanifah, tafsir yang sudah sesuai jamannya itupun sudah dilakukan. Kalau Anda jual beli gandum satu gudang, maka serah terimanya bukan fisik gandumnya dari tangan ke tangan – tetapi serah terima kunci gudangnya sudah cukup. Dengan kunci yang berpindah tangan, berarti kepemilikan berpindah – pun demikian penggunaannya.

Jadi kalau di jaman ini serah terima barang secara tunai dari tangan ke tangan pakai apa?Sama dengan jamannya Imam Abu Hanifah tersebut, serah terima kunci saja sudah mewakili serah terima kepemilikan barang. Kunci di jaman ini bisa password, bisa dokumen elektronis, bisa apa saja yang mewakili kepemilikan barang.

Nah sama dengan proyek listrik tersebut di atas, kita bisa memilih membiayai proyeknya dengan akad istisna’ – atau menjual produknya dengan akad salam. Apakah listrik bisa dianggap sama dengan benda ribawi seperti emas, perak, gandum, kurma dlsb – yaitu benda yang ditimbang atau ditakar sehingga dia layak untuk menjadi project akad salam?

Akad salam umumnya dahulu digunakan untuk produk-produk pertanian, karena produk –produk pertanian inilah yang ditakar atau ditimbang, dia adalah benda ribawi – oleh karenanya tidak boleh menukar kurma yang baik dengan kurma yang kurang baik dengan jumlah yang berbeda. Bila sejenis – harus sama berat dan dari tangan ke tangan.

 

Kita lihat sekarang di sekitar kita, apa yang ditakar atau ditimbang? Banyak sekali, kita membeli bensin juga ditakar. Bagaimana dengan listrik ? listrik juga ditakar, yaitu dengan ‘takaran’ watt – takaran untuk umat jaman ini yang belum ada di masa lalu. Maka listrik-pun bisa diakad salamkan, demikian pula nantinya dengan pulsa telpon, akses data dlsb.

Pendek kata di jaman modern ini banyak sekali benda ribawi – yang ditimbang atau ditakar dengan berbagai takarannya masing-masing. Benda-benda ini bisa menjadi objek salam, tetapi kita juga harus hati-hati memperdagangkannya agar tidak jatuh ke riba tanpa kita sadari.

Saya berlanggangan transportasi daring yang menyediakan dompet atau wallet. Sering ditawari bisa mengisi dompet senilai Rp 100,000,- dengan hanya perlu membayar Rp 95,000,- Ini riba. Tetapi kalau misalnya PLN jualan listrik per 1 MwH yang harga normalnya adalah Rp 1,470,000,- ; ke kita dijual diskount menjadi Rp 1,000,000,- untuk 1 MwH yang sama , Dia riba atau bukan ?, jawabannya adalah bukan. Lantas apa bedanya ?

Lihat yang transportasi daring Rupiah dengan Rupiah, sedangkan yang dijual PLN adalah MwH dengan Rupiah. Pegangannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi berikut ( saya ambilkan yang diriwayatkan Muslim) :

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum) dengan sya’ir(gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka jumlahnya (takaran atau timbangan) harus sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Jika jenis barang berbeda, maka silakan mempertukarkannya sesukamu, namun harus dilakukan dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Muslim)

Maka dengan satu ayat  (QS 2:275) dan satu hadits tersebut , kita sudah bisa merancang produk pembiayaan proyek yang cukup besar – yang bebas riba. Bandingkan hasilnya misalnya dengan pembiayaan konvensional dari kredit bank, pembiayaan salam cenderung lebih murah – karena dananya langsung dari masyarakat atau pengguna, tidak dibebani margin bank yang bahkan lebih besar dari hasil yang diberikan ke pemilik dana yang sesungguhnya yaitu masyarakat.

Kedua dengan pembiayaan jual beli salam, pengembang tidak harus yang bermodal besar, tetapi dia harus pandai berdagang. Ingat Abdurrahman bin Auf menguasai perdagangan tanpa modal ketika dia hijrah ke Madinah.

 

Maka solusi pembiayan project dengan menghidup-hidupkan kembali sunnah jual beli dengan salam tersebut, kini bisa menjadi solusi bangsa ini untuk menghindar dari krisis sepuluh tahunan yang bukan hanya melanda Indonesia, tetapi bisa meluas secara global seperti contoh kasus tersebut di atas.

Well solusi kita ini tentu juga belum sempurna, maka kalau ada yang bisa memperbaiki dipersilahkan menghubungi kami. Namun sebelum bisa disempurnakan, maka kaidah ‘…kalau belum bisa semua, jangan ditinggalkan semua…’ berlaku, artinya kalau solusi ini secara syra’i belum dipandang sempurna – kembalinya bukan ke yang ribawi, tetapi menjadi kewajiban yang melihat keurang sempurnaannya untuk ikut memperbaiki.

Dengan solusi tersebut dunia perlistrikan terbarukan – yang masih ada sekitar 46 project terancam mangkrak, kini bukan hanya ada solusi pembiayaan alternative-nya, tetapi juga solusi yang insyaAllah lebih berkah karena tidak lagi menggunakan sistem ribawi.

Materi yang sama sudah saya sampaikan di acara-acara ESDM, METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia), KADIN, dan insyaAllah juga dijadwalkan untuk disampaikan ke instansi-instansi yang terkait – agar menjadi salah satu solusi dalam mengatasi perbagai masalah permodalan dan ekonomi negeri ini – di tengah menurunnya nilai Rupiah dan menanjaknya tingkat suku bunga perbankan.

Solusi yang sejenis ini bisa juga dikembangkan untuk perbagai sektor perekonomian lainnya yang mengalami kesulitan permodalan, atau kalau toh ada permodalan konvensional dipandang terlalu mahal, terlalu sulit untuk diakses, bercampur riba dlsb. InsyaAlla akad salam yang menopang kemajuan peradaban Islam selama lebih dari 1,000 tahun ini bisa dihidup-hidupkan kembali, sesuai jamannya saat ini.*

Bagi yang ingin tahu lebih lanjut,  bisa bergabung dalam acara Blockchain and Tokenomics Briefing Sabtu 07/07/18 depan, dengan mendaftar melalui : bit.ly/tokenomics

Oleh: Muhaimin Iqbal, Penulis Direktur Gerai Dinar

 

 

HIDAYATULLAH

Salam Revival (1)

MASIH di seputar upaya mengatasi kegalauan sejumlah pihak karena turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kemudian mentrigger kenaikan suku bunga acuan BI, rentetan berikutnya adalah naiknya suku bunga pinjaman perbankan, melemahnya sektor riil karena menurunnya pasokan modal, hilangnya pekerjaan atau setidaknya tidak bertambahnya lapangan pekerjaan, pendek kata masa depan suram bagi para pencari kerja. Tetapi harus kah ini yang terjadi? Adakah jalan lain agar siklus 10 tahunan ini tidak berulang?

De Ja Vu 20 tahun lalu, ketika rupiah jatuh ke titik nadir sempat sesaat sampai Rp 16,000/US$. Krisis besar tahun 1998 tersebut sifatnya regional, bukan hanya Indonesia yang terkena tetapi juga Asia Tenggara pada umumnya. Thailand dan Malaysia-pun kena tetapi yang paling terpuruk memang Indonesia.

Bahkan krismon tahun 1998 tersebut menjadi salah satu penyebab berakhirnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun dengan perkasa berkuasa.

Sepuluh tahun kemudian, krisis itu malah lebih besar skalanya secara global yaitu krisis financial 2008. Pemicunya adalah kegagalan subprime mortgage di Amerika Serikat, namun dampaknya sangat luas. Bukan hanya Amerika Serikat sendiri yang sempat sempoyongan, tetapi juga sejumlah negeri di Eropa. Negeri lain di seluruh dunia bahkan juga kena dampaknya meskipun dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.

Point-nya adalah, sistem keuangan modern yang bertumpu pada produk yang berbasis riba, ternyata memang sangat rentan terhadap krisis. Tidak hanya di negeri berkembang seperti kita, di negara maju sekalipun juga hal ini terjadi. Apakah krisis-krisis ini sifatnya kebetulan?

 

Tidak ada yang kebetulan, krisis-krisis yang melanda sistem keuangan ribawi adalah inherent(terbawa) di dalam sistem itu sendiri. Itulah mengapa Allah melarang riba, bahkan Dia sendiri yang mengabarkan bahwa riba itu dimusnahkan (QS 2:276) dan diperangi (QS 2:279).

Tinggal masalahnya adalah bagaimana menggantikan sistem ribawi yang sudah terlanjur begitu besar, sehingga tidak ada yang luput dari sistem ini – yang tidak terkena langsung-pun terkena debunya ? Mungkinkah karena upaya kita yang kurang keras saja dalam mencarinya ? Allah melarang satu jalan, tetapi Dia pula memberi dua jalan yang diberkahinya dan disuburkan yaitu perdangan atau jual-beli dan sedekah.

Maka dalam kesempatan ini, saya beri contoh langsung dari suatu kasus yang kami terlibat dalam menanganinya, terlibat dalam upaya menggantikan pembiayaan ribawi untuk suatu proyek besar dengan pembiayaan berbasis jual beli. Pemikiran kami sederhana, kalau untuk proyek besar saja bisa, berarti untuk proyek-proyek yang lebih kecil mestinya lebih mudah untuk dikeluarkan dari sistem ribawi.

Contoh kasus yang saya ambil adalah proyek pembangkit listrik mini hydro dengan kapasitas terpasang 4.2 MW yang memerlukan modal Rp 80 Milyar untuk pembangunannya. Bagaimana membiayai proyek semacam ini secara konvensional? umumnya para pengembang menggunakan dana perbankan.

Untuk saat ini pembiayaan perbankan rata-rata hanya akan membiayai 70% dari biaya pembangunan proyek seperri ini, dan suku bunga yang diterapkan adalah sekitar 12 % – ini sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya beberapa hari lalu. Kesepakatan pembiayaan baru setelah kenaikan suku bunga acuan tersebut bisa saja berubah  naik.

Dengan tingkat suku bunga tersebut, pengembang perlu membayar sekitar Rp 14 Milyar per tahun untuk 8 tahun setelah 2 tahun masa konstruksi. Pengembang yang tidak bener-bener perkasa juga akan kesulitan untuk punya power plan berikutnya karena setiap proyek seukuran ini dia harus menyediakan modal sendiri sebesar 30%-nya atau Rp24 Milyar setiap proyek.

Dalam proses ini, saya juga mengenal ada sejumlah konglomerat perlistrikan yang telah memiliki power plan ratusan megawatt, sulit untuk berkembang lagi karena tidak lagi punya equity  yang cukup untuk menyediakan 30% dari setiap proyek berikutnya. Walhasil power plan hanya akan didominasi oleh para pemain yang bener-bener kaya, yang uangnya seperti sumur tanpa dasar!  Maka jangan kaget kalau power plan – power plan berikutnya diambil oleh kapitalis negara – yaitu seperti negeri China.

 

Bagaimana kalau proyek tersebut kita gantikan dengan sistem perdagangan atau jual beli?, Mungkinkah? Pasti mungkin karena yang haram (riba) bisa, masak yang halal (jual-beli) tidak bisa ? Padahal Allah jelas-jelas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS 2:275). Ayatnya jelas, tafsirnya juga jelas, yang menjadi challenge adalah bagaimana membumikan ayat ini untuk proyek riil tersebut di atas.

Maka inilah yang kami lakukan. Pertama adalah jenis perdagangan seperti apa yang bisa menggantikan pembiayaan proyek dengan skala yang cukup besar tersebut di atas?

Kami pilih jual beli secara salam, karena jual beli salam inilah yang telah menopang kemajuan dunia Islam selama lebih dari seribu tahun lamanya. Jadi jual beli salam bukanlah teori semata, salaml adalah best practice yang sudah sangat lama, tidak terganggu oleh krisis per sepuluh tahunan tersebut di atas.

Mengapa salam? Mengapa bukan istishna’ karena yang dibiayai kan project pembangkit listrik? Inilah diperlukan ulama  yang juga pedagang seperti jamannya Imam Abu Hanifah, yang sangat memahami ilmu fiqih tetapi juga sangat mengetahui seluk beluk dunia perdagangan.

Sebab hingga kini masih banyak para pelaku ekonomi  yang memahami jual beli tunai dari tangan ke tangan itu harus bener-bener barangnya diserah terimakan dari tangan ke tangan secara fisik dan harfiah. (BERSAMBUNG)

Oleh: Muhaimin Iqbal

 

HIDAYATULAH.com