Sesungguhnya Salibisme mendukung berdirinya ‘Israel’ dengan merampas Negeri Palestina dan menganggap kembalinya kaum Yahudi ke Palestina sebagai suatu mukjizat
Oleh: M. Yusuf Habibi Harahap
SAAT membaca berita pernyataan Paus Fransiskus yang menyebut serangan ‘Israel’ di Gaza sebagai terorisme pada Jumat, 24 November 2023 yang lalu, saya teringat dengan sebuah tulisan dari seorang dai dan cendikiawan Islam Mesir Syeikh Muhammad Ghazali.
Ingatan itu semakin menguat setelah melihat respons dari kejadian ‘luar biasa’ ini dari beberapa pihak. Memang, faktanya sebagian menunggu respons dari orang-orang di luar Islam perihal penjajahan ‘Israel’ atas bangsa Palestina ini.
Dan ketika respons itu datang dari orang nomor wahid di Vatikan, mereka yang menantikan hal itu cukup menyambut dengan baik. Apalagi, kabarnya sang Paus sudah melakukan pembicaraan dengan yang penuh ketegangan dengan Presiden ‘Israel’ Isaac Herzog pada akhir Oktober.
Tulisan itu menyoal tentang Harian Ar-Rayah yang terbit di Qatar (5 April 1982) yang menulis dengan judul “Maka Tersingkaplah Rahasianya”. Isinya, antara lain:
“Pada akhirnya, Sri Paus berkesempatan memuliakan tanah yang diduduki musuh kita ini dengan suatu pidato. ‘Berbahagialah’ Palestina karena petuah beliau yang sekian lama dinanti. Sepatutnya kami berkata kepadanya, ‘Telah lewat masa tidur’. Berita itu mengundang beliau untuk mengomentarinya dengan, “Banyak orang Arab terjerumus dalam kekeliruan seperti ini, ketika berusaha memohon pertolongan dari majelis-majelis gereja-gereja sedunia. Mereka pulang dengan tangan hampa. Sesungguhnya, Salibisme mendukung berdirinya Negeri ‘Israel’ di Tanah Palestina dan menganggap kembalinya kaum Yahudi ke Palestina sebagai suatu mukjizat Kitab Suci Injil dan tanda kebenarannya. Weizman menyebut hal ini dalam buku catatan hariannya. Ia berkata, “Lord Balfour dan para Menteri Inggris lainnya menganggap bahwa Keputusan proklamasi negara kaum Yahudi sebagai manifestasi kebaktian kepada Allah, dan suatu bentuk ‘iman kristiani’.” (Syeikh Muhammad Ghazali, Merindu Islam Nabi, (Jakarta: Noura Books, 2015), 56-57)
Syeikh Muhammad Ghazali
Syeikh Muhammad Ghazali dilahirkan pada hari Sabtu, 21 September tahun 1917 M di sebuah kampung Nakla al-‘Inab di Provinsi al-Buhairah.
Ayahnya, Ahmad Mursi as-Sifa menamainya dengan dua suka kata “Muhammad Ghazali” sebagai harapan dengan seorang ahli fiqih Syafii atau seperti penulis buku ‘Ihya’ Ulumuddin’ Imam al-Ghazali.
Ayahnya memang seorang yang sangat mengidolakan dengan Abu Hamid al-Ghazali dan banyak terpengaruh dengan kecondongan tasawufnya. Muhammad Ghazali datang dari keluarga yang memegang teguh nilai-nilai agama dan akrab dengan pekerjaan jual-beli.
Keinginan sang ayah untuk melihat sang anak mengikuti jejaknya yang menghafal Al-Qur’an, maka ia memasukkan Ghazali kecil ke Kuttab di desanya untuk mempelajari khat dan juga hisab di samping belajar Al-Quran.
Dari Kuttab di desanya, ia melanjutkan perjalanan menuntut ilmunya ke sekolah agama khusu di Provinsi Buhairah di Alexandria pada tahun 1928. Ia mendapatkan ijazah ibtidaiahnya setelah empat tahun pada tahun 1932, kemudian ijazah kafaah tiga tahun kemudian dan dilanjutkan dengan ijazah SMA pada tahun 1937.
Pada tahun yang sama Al-Ghazali mengikuti pendidikan tinggi di Al-Azhar dan memulai pendidikannya di Fak. Ushuluddin dan belajar pada guru-guru besar di dalamnya, seperti: Syeikh Mahmud Syaltut, Syeikh Abdul Azim Az-Zarqani.
Setelah empat tahun menempuh pendidikannya di sana, ia mendapatkan gelar pendidikan tingginya pada tahun 1941 dalam bidang dakwah dan pengajaran. (Mahmud Abduh, Muhammad al-Ghazali Da’iyah an-Nahdah al-Islamiyah, (Beirut: Markaz Al-Hadarah Li Tanmiyah al-Fikri al-Islamy, 2009), 17-18).
Bisa dikatakan, bahwa Syeikh Muhammad Al-Ghazali adalah seorang dai dengan ujung pena yang cukup tajam. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya karya-karyanya. Dar al-Qalam Beirut, belakangan cukup aktif menerbitkan ulang karya-karya beliau dengan tampilan yang lebih serius dan nyaman untuk dibaca.
Dalam pembacaan Mahmud Abduh, karya Muhammad Al-Ghazali mencapai 56 judul buku. Di antara karya-karyanya adalah: al-Islām wa al awdā’ al-iqtisādiyah, min hunā na’lam, Khuluq al-Muslim, Aqīdah al-Muslim, Fiqh as-Sīrah, Ẓalām min al-Gharb, Jaddid Hayātak, Nazārat fī al-Quran, al-Jānib al-‘Atifi min al-Islām, Qazāif al-Haq, Humūm ad-Dā’iyah, At-Tarīq Min Hunā.
Dalam kaca mata muridnya, Abdullah al-Uqail, gaya bahasa yang digunakan oleh beliau dalam memaparkan Islam kepada masyarakat yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadis adalah merupakan gaya bahasa yang bercorak khas dan Istimewa serta termasuk gaya bahasa yang paling berhasil untuk menyiarkan dakwah. (Lihat: pengantar buku Qadzāiful Haq, Kairo: Dar Zatus Salasil, 1980).
Palestina adalah Persoalan Agama
Menyoal persoalan Palestina ini, Syeikh Muhammad Ghazali selalu menekankan unsur agama sebagai yang utama. Menurut beliau, masalah Palestina – secara khusus – mustahil bisa dilepaskan dari aspek keagamaan.
Pendapat yang menyatakan bahwa keharusan mengusir kaum Kolonialis Yahudi dari negeri kita, seperti keharusan mengusir kaum Kolonialis kulit putih dari Afrika Selatan, dan bahwa kedua sistem pemerintahan sama-sama bertumpu atas kecenderungan rasialis adalah pendapat yang sama sekali tidak berharga. Hanya dimaksudkan sebagai penutup kenyataan yang pahit.
Salibis dan Lemahnya Arab
Nampaknya, dalam banyak tulisannya, beliau sangat menekankan unsur ‘kaum salibis’ dalam keberlangsungan Yahudi dan Zionisme di Palestina. Menurut beliau, yang menambah kekalahan Arab adalah kebencian kaum Salibis yang belum tumpul satu cabangnya sehari pun.
Mereka membantu kejahatan para musuh dan menyokongnya saat lemah dan membenarkan anak panahnya jika melesat. Andai hanya Yahudi semata yang ada di medan tempur, maka segelintir orang Arab dengan keadaan jiwa dan materi yang amburadul akan sanggup untuk menghancurkan para kumpulan monyet itu. Tapi Arab menghadapi beban yang berlipat ganda, tentu atas ketentuan-Nya. (Syeikh Muhammad Ghazali, Al-Yahūd al-Mu’tadūn wa Daulatuhum Israīl, Damaskus: Dar al-Qalam, 2019), 108)
Dan penyerbuan kaum Yahudi, yang didukung dan diperkuat kekuatan-kekuatan kaum “Salibis” internasional, memiliki tujuan yang jelas: memusnahkan umat dan menghapuskan agama (Islam), serta menghabisi orang-orang Arab yang telah memeluk Islam sepanjang empat belas abad, yang sekarang ini masih ingin memiliki ‘kulitnya’ dan meninggalkan ‘isinya’.
Orang-orang yang menjauhkan Islam dari perjuangan Palestina ikut bersekutu dalam pencapaian tujuan ini. Sebab, tanpa dorongan Islam, Palestina niscaya akan sirna. Begitu pula orang-orang Arab setelah itu, pasti musnah. Maka, setelah hilangnya bangsa Arab, kaum Muslimin akan surut. Inilah khitah dan strategi mereka. (Syeikh Muhammad Ghazali, Merindu Islam Nabi, Jakarta: Noura Books, 2015), 57-59).
Kembali Ke Palestina
Pertanyaannya, apakah Yahudi memiliki hak sejarah akan pendudukan mereka di tanah Palestina? Dengan tegas beliau menjawab, bahwa hak mereka akan hal itu sudah dicabut sejak pembangkangan yang mereka lakukan terhadap Allah dan apa yang menjadi ajaran para Nabi-Nabi mereka. Dan hujjah ini berasal dari keimanan kepada nas-nas Al-Quran yang membicarakan hal ini.
Dan apakah mereka akan kembali ke Palestina? Beliau menjawab, “Pasti, Yahudi akan kembali ke Palestina. Tapi untuk segera lenyap, bukan untuk hidup. Untuk penghabisan risalah mereka di dunia ini, bukan untuk semakin eksis.” (Syeikh Muhammad Ghazali, Al-Yahūd al-Mu’tadūn wa Daulatuhum Israīl, Damaskus: Dar al-Qalam, 2019), 108).
Beliau berdalil dengan apa yang menjadi kabar dan nubuwat Rasulullah ﷺ dalam hadisnya dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhuma berkata, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda; “Kelak orang-orang Yahudi akan memerangi kalian, dan kalian pun dapat mengalahkan mereka, sampai-sampai bebatuan akan berkata; “Wahai orang Muslim, ini ada orang Yahudi di belakangku, bunuhlah dia.” (HR: Bukhari).
Dengan menulis buku khusus tentang Yahudi dan negara ‘Israel’ , kita menemukan keseriusan beliau untuk tetap menyuarakan persoalan Palestina dalam dakwah dan perjuangannya.
Dan dalam banyak karyanya yang lain, kita juga menemukan hal yang sama. Dan juga harapan bahwa suara beliau tentang masalah Palestina akan terus dibaca oleh generasi hari ini, dengan maksud menemukan hakikat kebenaran yang menjadi pokok permasalahan.
Dan tentunya juga para juru-juru dakwah yang tidak boleh sepi untuk selalu menyertakan kata “Palestina” dalam teks-teks khotbahnya atau dalam kalimat-kalimat ceramah dan tulisannya. Rahimahullah rahmatan wasi’an. Amin!
Guru Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan