Pernahkah kita penasaran dengan sejarah istilah Ahwal Al-Syakhsiyyah? Istilah yang biasanya dikenal oleh mereka yang belajar hukum Islam ini kerapkali diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai hukum keluarga.Berikut ini sejarah Ahwal al-Syakhsiyyah di pelbagai negara muslim di dunia.
Di Indonesia, hukum keluarga ini menjadi salah satu jurusan di Universitas Islam di Indonesia yang kerap berafiliasi dengan Kementerian Agama Tapi, apa sebenarnya makna istilah Ahwal al-Syakhsiyyah tersebut? Dan bagaimana sejarah istilah sejarah ahwal al-syakhsiyyah sehingga saat ini dipahami sebagai hukum keluarga?
Sejarah Ahwal al-Syakhsiyyah
Istilah Ahwal al-Syakhsiyyah atau Qānūn al-Ahwāl al-Syakhsiyyah seperti dikutip dari Wikipedia, bermakna seperangkat aturan yang mengatur status yang berhubungan dengan relasi perseorangan. Praktiknya, peraturan tersebut mengatur hukum yang berhubungan dengan relasi sipil yaitu:
1) pernikahan serta hukuman yang dihasilkan dari implikasi hukum tersebut seperti mahar, nafkah, nasab, wasiat, dan hukum pernikahan lainnya; 2) perceraian atau talak, dan implikasi hukumnya seperti status nafkah, ‘iddah, hak asuh dan sebagainya; 3) hukum waris, atau yang dalam tradisi fikih disebut sebagai al-Farā’iḍ.
Menurut Dr. Yusrā Sya’ban yang menulis tentang Tahap Terpenting Perkembangan Peraturan Ahwal Syakhsiyyah di Mesir, istilah Ahwal Syakhsiyyah pertama kali muncul dalam perundangan Italia di sekitar abad ke-12 hingga abad ke-13. Ketika itu, terjadi perselisihan rujukan hukum karena ada dualisme hukum di Romawi saat itu, yaitu hukum Romawi yang diterapkan ke seluruh wilayah Romawi, dan hukum yang berlaku di wilayah-wilayah tertentu.
Ahwal Al-Syakhsiyyah sebagai sebuah perundangan/act/code yang baku dengan merujuk kepada rujukan-rujukan hukum Islam baru dilakukan di awal abad ke-20. Pertama kali dilakukan oleh seorang pakar hukum Mesir keturunan Turki, Muhammad Qadrī Basya (l. 1821 M – w. 1866 M).
Ia menulis karya berjudul al-Aḥkām al-Syar’iyyah fī al-Aḥwāl al-Syakhshiyyah, sebuah susunan perundangan hukum keluarga yang disusun dengan model perundangan hingga berjumlah 647 pasal. Seluruh poin hukumnya merujuk kepada al-Qoul ar-Rājih (pendapat yang kuat) dari Mazhab Hanafi.
Jawaban ketika ditanya kenapa mazhab Hanafi adalah, karena Mesir hingga menjelang awal abad ke-20 merupakan bagian dari wilayah satelit Kekhilafahan Utsmaniyah. Dan, wilayah Utsmaniyah biasanya dipimpin oleh orang-orang Turki yang kerap memiliki gelar Basya di akhir namanya.
Mengutip dari Ensiklopedi Hukum Islam, karya susunan Qadri Basya tersebut memuat masalah hukumperkawinan, perceraian, wasiat, kecakapan seseorang melakukan tindakan yang berakibat hukum atau tidak (ahliyyah), waris, dan hibah.
Karya Qadri Basya memang tidak dinyatakan secara resmi berlaku dirujuk pemerintah pada waktu itu, namun bukunya kerap dirujuk oleh para hakim di masa itu dalam memutuskan perkara di pengadilan. Karya Qadri Basya kemudian juga menjadi inspirasi negara-negara lain, semisal Suriah.
Setelah Qadrī Basya, model perundangan hukum keluarga yang menyerap hukum Islam tersebut baru dimunculkan oleh ‘Utsmaniyah di tahun 1917. Hukum keluarga ini diformat untuk diterapkan kepada setiap warga negara sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing, baik muslim, Kristen, maupun yahudi.
Hukum ini dinamai dengan Qānun Huqūq al-‘Āilah (Undang-Undang Hukum Keluarga). Setelah Perundangan yang dikeluarkan Utsmaniyah ini dirilis, hukum ini pun diadopsi di berbagai wilayah (sebelum memerdekan diri masing-masing) kawasan Arab-Timur Tengah yang berada di bawah kekuasaan ‘Utsmaniyah/Turki Utsmani.
Bedanya dengan yang disusun oleh Qadri Basya adalah, rujukan standar hukumnya tidak hanya merujuk kepada pendapat terkuat dalam mazhab Hanafi yang menjadi mazhab negara di Turki Utsmani, tapi merujuk kepada 3 mazhab lainnya yang dikenal di muslim Sunni, yaitu Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Selain itu, beberapa poin hukum juga disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat (Ensiklopedi Hukum Islam, j. 1 h. 57).
Praktik penerapan Undang-Undang Ahwal Al-Syakhsiyyah memang berbeda-beda di setiap negara. Penerapannya sangat berhubungan dengan tarik ulur antar rujukan dari tradisi fikih/hukum Islam dengan perundangan modern yang erat dengan tradisi hukum Eropa. Selain itu, ruang lingkup Ahwal al-Syakhsiyyah juga berbeda-beda di setiap negara-negara Arab.
Misalnya, awalnya di Mesir Ahwal al-Syakhsiyyah tidak memasukkan persoalan wakaf. Namun sejak tahun 1934, persoalan wakaf masuk kedalamnya. Selanjutnya, berikut sejumlah penjelasan mengenai ragam Undang-Undang Ahwal Al-Syakhsiyyah di berbagai negara Timur Tengah, seperti dikutip dari ‘Ala Ridwan dalam tulisannya di youm7.com ( ) .
Di Mesir, UU Ahwal al-Syakhsiyyah diresmikan negara sejak tahun 1920. Lalu undang-undang yang berbeda terkait tema yang sama juga muncul di tahun 1929 dan 1946. Misalnya, Undang-Undang Waris, Undang-Undang Pengelolaan Harta, dan Undang-Undang Wakaf No. 48 Tahun 1946. Di tahun 1952 muncul undang-undang No. 180 Tahun 1952 tentang penghapusan Wakaf Ahli (Wakaf yang manfaatnya ditujukan khusus untuk keluarga dan kerabat).
UU Ahwal Al-Syakhsiyyah juga mengalami revisi lewat UU No. 100 Tahun 1985 dan UU No. 1 Tahun 2000. Hingga saat ini, muncul aneka rancangan perubahan perundangan Ahwal al-Syakhsiyyah.
Yang terbaru, di Mesir sedang diajukan UU Perubahan Ahwal Al-Syakhsiyyah yang memasukkan sejumlah aturan sebelum pernikahan, semisal calon kepala keluarga harus menyetorkan sejumlah dana jaminan asuransi keluarga ke Bank Pemerintah dimana itu dapat digunakan ketika ada pasangan yang bercerai dan perempuan tidak memiliki pihak yang menafkahi.
RUU ini menerima pro-kontra di publik Mesir, karena dianggap menambah beban calon pasangan yang akan menikah sementara beban mas kawin di Mesir cukup tinggi dan ada potensi besar harga emas meningkat di tahun ini.
Di Irak, UU Ahwal al-Syakhsiyyah muncul pertama kali di tahun 1959. UU ini mengalami revisi lewat UU No. 11 Tahun 1963 yang mengelaborasi seluruh mazhab-mazhab fikih yang terdapat di Irak. Di tahun 2013, Dewan Kementerian Irak merilis UU Ahwal al-Syakhsiyyah baru yang seluruhnya merujuk hanya kepada Mazhab Ja’fari (karena pasca invasi AS ke Irak, Irak kini dikuasai oleh kelompok politik dengan aliran Syi’ah). Perubahan tersebut hingga kini masih memicu perdebatan publik karena dianggap partisan, dan tidak memperhatikan keragaman pandangan keagamaan masyarakat Irak.
Di negara-negara Syam (Suriah, Libanon, dan Yordania) juga terdapat UU Ahwal al-Syakhsiyyah. Yordania merilis UU Huquq al-‘Āilah sendiri di tahun 1951 yang menggantikan UU versi Turki Utsmani. Menurut ‘Ala Ridwan, isinya sama persis dengan UU yang dikeluarkan Suriah. Kemudian, UU Ahwal al-Syakhsiyyah dirilis di UU No. 61 tahun 1976. UU ini kemudian direvisi dengan UU No. 36 tahun 2010. Di Suriah, UU Ahwal al-Syakhsiyyah pertama kali muncul lewat UU No. 59 taun 1953.
UU ini lalu dirubah di tahun 1975, dan 2004. Di Lebanon, UU Hak Keluarga versi Turki Utsmani masih diterapkan khususnya untuk muslim Sunni. Yang menarik, Lebanon menyerahkan UU Hukum Keluarga kepada Peradilan yang disesuaikan dengan aliran keagamaan yang ada. Kini, ada lebih dari 10 peradilan untuk melayani persoalan Ahwal al-Syakhsiyyah dengan keyakinan keagamaan yang berbeda-beda baik intra-Islam maupun Kristen.
Di Arab Saudi, UU Ahwal al-Syakhsiyyah tidak diterapkan khusus awalnya. Ulama setempat menolak melakukan taqnīn. Persoalan keluarga diselesaikan di peradilan dnegan merujuk kepada karya-karya fikih Mazhab Hanbali seperti Kassyaf al-Qinā’ dan Ghāyatu al-Muntahā. Namun baru di tahun 2022 ini, tepatnya bulan Maret 2022, dikeluarkan Aturan Ahwal al-Syakhsiyyah di Arab Saudi. Isi perundangannya dapat dilihat disini .
Di Kuwait, UU Ahwal al-Syakhsiyyah baru dikeluarkan di tahun 1983 yang memuat 157 pasal dengan merujuk kepada aneka mazhab Fikih yang berbeda dan tidak membatasi kepada mazhab tertentu. UU ini baru mengalami revisi kembali lewat UU No. 66 tahun 2007.
Di negara-negara teluk lain, seperti Oman, Qatar dan Uni Emirat Arab, UU Ahwal al-Syakhsiyyah barru keluar di tahun 80-90an. Di Oman, UU Ahwal Al-Syakhsiyyah merujuk kepada pendapat-pendapat yang kuat dalam Mazhab Ibadhiyyah. Di Qatar UU Ahwal al-Syakhsiyyah merujuk kepada Mazhab Hanbali. Di UEA UU Ahwal al-Syakhsiyyah pertama kali dirilis di tahun 1979 yang memuat 455 pasal dan baru direvisi lewat UU No. 28 Tahun 2005.
Di negara-negara Arab yang terletak di bagian utara benua Afrika (minus Mesir) yang sering disebut sebagai al-Maghrib al-‘Arabī seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia, dinamika UU Ahwal al-Syakhsiyyah disana masih terjadi hingga saat ini khususnya terkait kesesuaian UU dengan fikih serta pertentangannya dengan hukum yang bersumber dari tradisi barat. Ketiga negara bisa dikatakan mayoritas masyarakatnya bermazhab Maliki.
Di Tunisia misalnya, dirilis UU bernama Majallatu al-Ahwal al-Syakhsiyyah yang disusun oleh ulama dan ahli hukum di sekitar tahun 50-an. UU tersebut bernama UU No. 13 Tahun 1956. UU Keluarga di Tunisia termasuk yang paling disoroti karena meskipun disusun ulama, namun ada poin-poinnya yang terlihat bertentangan sekali dengan rujukan fikih. Misal, adanya kebolehan adopsi, hingga konsekuensi hukum pidana bagi mereka yang melakukan poligami, atau menutupi pernikahan pertamanya dengan menikah lagi.
Demikian penjelasan terkait sejarah ahwal al-syakhsiyyah di dunia Islam global. Semoga bermanfaat.