Sejarah Diwajibkan Puasa Ramadhan

Sejarah puasa Ramadhan erat kaitannya dengan perjalanan Nabi Muhammad SAW dan perkembangan Islam. Sebelum datangnya syariat puasa Ramadhan, dulu puasa dilaksanakan 3 hari di setiap bulannya. Lantas kemudian syariat ini dihapus dengan turunnya ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan.

وَقَدْ كَانَ هَذَا فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ يَصُومُونَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِصَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ، كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ. وَقَدْ رُوي أَنَّ الصِّيَامَ كَانَ أَوَّلًا كَمَا كَانَ عَلَيْهِ الْأُمَمُ قَبْلَنَا، مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ -عَنْ مُعَاذٍ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَعَطَاءٍ، وَقَتَادَةَ، وَالضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِمٍ

Artinya: “Hal ini terjadi pada awal Islam, mereka berpuasa tiga hari setiap bulannya, kemudian hal ini dibatalkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan, seperti yang akan disebutkan di bawah ini. Diriwayatkan bahwa puasa adalah yang utama, seperti yang dilakukan bangsa-bangsa sebelum kita, selama tiga hari setiap bulannya hal ini sebagaimana yang disampaikan sahabat Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ata’, dan Qatadah, dan Al Dahhak bin Muzahim.”(Tafsir Ibnu Katsir juz 1 halaman 197)

Di kemudian hari turunlah ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan yakni surah Al Baqarah ayat 183-184;

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ‏  اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ​ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ‏

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. 

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Namun hukum puasa ketika ayat diatas turun masih bersifat mukhayyar pilihan saja. Artinya, bagi yang mampu berpuasa dipersilahkan. Bagi yang mungkin malas atau belum terbiasa, boleh juga tidak puasa, tetapi diganti dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Sekalipun Al-Qur’an menegaskan puasa lebih baik daripada membayar fidyah. 

ثُمَّ بَيَّنَ حُكْمَ الصِّيَامِ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ الْأَمْرُ فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} أَيِ: الْمَرِيضُ وَالْمُسَافِرُ لَا يَصُومَانِ فِي حَالِ الْمَرَضِ وَالسَّفَرِ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةِ عَلَيْهِمَا، بَلْ يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ بِعِدَّةِ ذَلِكَ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ. وَأَمَّا الصَّحِيحُ الْمُقِيمُ الذِي يُطيق الصِّيَامَ، فَقَدْ كَانَ مخيَّرًا بَيْنَ الصِّيَامِ وَبَيْنَ الْإِطْعَامِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ، وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، فَإِنْ أَطْعَمَ أَكْثَرَ مِنْ مِسْكِينٍ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، فَهُوَ خَيْرٌ، وَإِنْ صَامَ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْإِطْعَامِ

Artinya:”Kemudian menjelaskan hukum puasa atas perintah di permulaan islam, kemudian allah berfirman:” Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” 

Artinya orang sakit dan musafir tidak berpuasa pada saat sakit dan bepergian. Karena kesukaran yang mereka alami, maka mereka berbuka dan mengqadha puasa pada hari-hari lainnya. 

Adapun bagi orang yang sehat dan mampu berpuasa, maka ia mempunyai pilihan antara berpuasa dan memberi makan, jika ia menghendaki, ia boleh berpuasa, dan jika ia menghendaki, ia boleh berbuka, dan ia boleh makan setiap hari. Jika dia memberi makan lebih dari satu orang miskin setiap hari, itu lebih baik. Dan jikalau berpuasa itu lebih utama daripada memberi makanan.”( Tafsir Ibnu Katsir juz 1 halaman 197).

Sejarah Awal Diwajibkan Puasa Ramadhan 

Tata cara berpuasa pasca ayat diatas turun pun berbeda dengan sekarang yang kita kenal. Puasa yang kita kenal saat ini adalah berpuasa mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Di awal islam berbeda, mereka berpuasa dihitung mulai dari saat mereka tidur malam atau sesaat setelah melaksanakan shalat Isya’.

Semisal contoh seseorang tidur di malam hari pukul 21.00 WIB. Maka seketika itu pula ia sudah dihitung berpuasa dan tidak boleh melakukan hal hal yang membatalkan puasa. Atau contoh lain seseorang melaksanakan melaksanakan shalat isya’ pada jam 19.00 WIB, maka setelah shalat isya’ dia sudah harus berpuasa lagi.

Sebagaimana penjelasan Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 halaman 197 berikut:

وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}

Artinya: “Dan Mereka di awal permulaan kewajiban puasa biasa makan, minum, dan menggauli wanita selama mereka belum tidur. Dan ketika mereka telah tidur, maka mereka dilarang melakukan hal yang membatalkan puasa. Kemudian seorang laki-laki dari kaum Anshar bernama Sirmah, biasa bekerja. Dia berpuasa sampai sore, lalu dia datang ke keluarganya dan shalat magrib, kemudian dia tidur dan tidak makan atau minum, sampai pagi harinya dia berpuasa, dan Rasulullah melihatnya. 

Sementara sirmah mengerahkan dirinya dengan sekuat tenaga, maka Rasulullah bersabda:”Ada apa gerangan dengan dirimu aku melihatmu sedang kepayahan? Samir pun lantas menjawab:” Ya Rasulullah, kemarin aku bekerja, dan ketika aku datang, aku berbaring lalu tidur, dan aku berpuasa ketika bangun tidur.” 

Hal itu juga terjadi pada sahabat Umar. Ia menyetubuhi beberapa wanita setelah ia tidur, maka ia mendatangi Rasulullah SAW, dan hal itu disebutkan kepadanya, maka Allah Swt menurunkan wahyu: “halal bagimu.” Pada malam hari berpuasa, bersetubuhlah dengan istrimu” sampai firman Allah Swt : “Maka selesaikanlah puasa sampai malam”.

Demikianlah proses sejarah pensyariatan puasa Ramadhan. Dari syariat yang memberatkan setelah terjadi negosiasi menjadi ringan. Inilah salah satu karakteristik hukum Islam, pelegeslasiannya bersifat evolutif, dan jika kebijakannya memberatkan umatnya, maka islam siap mengubahnya, tentu senyampang dalam batas kebijaksanaan Allah Swt.

BINCANG SYARIAH