Hari Valentine atau Valentine’s Day dirayakan setiap tanggal 14 Februari. Sejumlah orang memaknainya sebagai perayaan kasih sayang, lainnya menuding sebagai ‘peringatan yang sengaja diadakan’ untuk mendongkrak penjualan kartu, cokelat, bunga, dan barang-barang lain yang dianggap mewakili ungkapan cinta.
Apapun pendapat seseorang tentang Valentine, ada sejarah yang melatarbelakalangi hari itu.
Dari asal usul namanya, Gereja Katolik mengakui ada 3 santo atau orang suci bernama Valentine atau Valentinus. “Dan ketiganya adalah martir,” demikian Liputan6.com kutip dari situs Guardian, Jumat 13 Februari 2015. Ketiga pria dari masa 200-an Masehi tersebut tewas secara mengenaskan.
Salah satu kisah menyebut, alkisah Kaisar Romawi Claudius II melarang para tentara muda menikah, agar mereka tak ‘melempem’ di medan tempur.
Namun,”Uskup Valentine melanggar perintah itu dan menikahkan salah satu pasangan secara diam-diam. Ia dieksekusi mati saat sang penguasa mengetahui pernikahan rahasia itu.”
Saat ia dipenjara, legenda menyebut bahwa pria asal Genoa itu lantas jatuh cinta dengan putri orang yang memenjarakannya. Sebelum dieksekusi secara sadis, ia membuat surat cinta pada sang kekasih. Yang ditutup dengan kata, ‘Dari Valentine-mu’.
Valentine yang lain adalah seorang pemuka agama di Kekaisaran Romawi yang membantu orang-orang Kristen yang dianiaya pada masa pemerintahan Claudius II. Saat dipenjara, ia mengembalikan penglihatan seorang gadis yang buta — yang kemudian jatuh cinta padanya. Valentine yang itu dieksekusi penggal pada 14 Februari.
Yang ketiga adalah uskup yang saleh dari Terni, yang juga disiksa dan diekselusi selama pemerintahan Claudius II, juga tanggal 14 Februari — di tahun yang berbeda.
Lepas dari legenda, keterkaitan Santo Valentine dan cinta baru muncul lama kemudian. Dalam puisi Geoffrey Chaucer, penyair Inggris dan penulis buku terkenal, ‘The Canterbury Tales’. Demikian menurut Andy Kelly, seorang ahli bahasa Inggris dari University of California, Los Angeles, yang menulis buku ‘Chaucer dan Cult of St Valentine’.
Chaucer, menulis sebuah puisi berjudul Parliament of Fowls (1382), untuk merayakan pertunangan Raja Richard II.
Dalam puisi itu, Hari Valentine dirayakan pada 3 Mei, bukan 14 Februari . “Itu adalah hari di mana semua burung memilih pasangannya dalam setahun,” kata Kelly. “Tak lama setelahnya, dalam satu generasi, orang-orang mengambil ide untuk merayakan Valentine sebagai hari kasih sayang.”
Valentine yang menjadi referensi Chaucer mungkin adalah Santo Valentine dari Genoa yang meninggal pada 3 Mei. Tetapi orang-orang pada saat itu tidak begitu akrab dengan sosok itu.
Mereka lebih akrab dengan kisah Valentine dari Roma dan Terni yang dieksekusi pada 14 Februari — yang lantas dikaitkan dengan cinta.
Kisah Hari Valentine juga bisa ditelusuri dari era Romawi Kuno, terkait kepercayaan paganisme. Tiap tanggal 13-15 Februari, warga Romawi kuno merayakan Lupercalia. Upacara dimulai dengan pengorbanan dua ekor kambing jantan dan seekor anjing.
Kemudian, pria setengah telanjang berlarian di jalanan, mencambuk para gadis muda dengan tali yang terbuat dari kulit kambing yang baru dikorbankan. Walaupun mungkin terdengar seperti semacam ritual sesat sadomasokis, itu dilakukan orang-orang Romawi lakukan sampai tahun 496 Masehi. Sebagai ritus pemurnian dan kesuburan.
“Upacara diyakini bisa membuat perempuan lebih subur,” kata Noel Lenski, sejawaran dari University of Colorado, Boulder, seperti dimuat USA Today.
Puncak Lupercalia pada 15 Februari, di kaki Bukit Palatine, di samping gua — yang diyakini menjadi tempat serigala betina menyusui Romulus and Remus — pendiri kota Roma dalam mitologi Romawi.
Pada tahun 496, Paus Gelasius I melarang Lupercalia dan menyatakan 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine.
Komersialisasi Perayaan Cinta?
Valentine identik dengan bunga, coklat, kartu, bahkan Cupid — dewa cinta Romawi yang digambarkan sebagai anak kecil bersayap yang nakal dan montok. Bagaimana asal usulnya?
Kartu Valentine tertua dibuat oleh seorang bangsawan, Duke Charles of Orleans. Dipenjara di Tower of London atau Menara London setelah ditangkap Inggris pada 1415, Charles menulis sebuah surat cinta berima untuk istrinya, Bonne d’Armagnac — yang kini disimpan di British Library, London.
Puisi itu terdiri dari 2 baris, dalam Bahasa Prancis. Malangnya, sang istri meninggal sebelum Charles kembali ke Prancis pada tahun 1440.
Namun, ahli Bahasa Inggris dari SUNY-Buffalo State, Ann C. Colley mengatakan, pemberian kartu Valentine baru populer di Inggris pada pertengahan Abad ke-19.
Ada dua pendukung saat itu: layanan pos pertama Inggris, Penny Post didirikan — membuat mengirimkan surat makin murah dan tersedia bagi setiap orang.
Faktor kedua, untuk kali pertamanya, kartu Valentine diproduksi massal. Mesin pencetak kala itu mampu mengaplikasikan sejumlah metode pencetakan, seperti cetak timbul, desain renda, atau kartu 3 dimensi. Demikian ujar dosen sejarah Amerika dan budaya populer di George Mason University.
Meski budaya memberikan kartu Valentine berawal dari Inggris, pengaruhnya menyebar hingga Amerika Serikat pada tahun 1840-an.
Uniknya, di Inggris, kartu tak hanya diberikan pada orang yang ditaksir, tapi juga pada mereka yang tak disukai.
Cokelat Valentine
Cokelat telah lama dianggap sebagai afrodisiak, pembangkit gairah. Dimulai oada Abad ke-17, saat biji cokelat kali pertama dibawa ke Eropa dari Meksiko dan Amerika Tengah, bangsa Eropa mengaitkannya dengan kisah tentang Montezuma dan istri-istrinya.
Abad ke-19 adalah masa di mana permen dan kudapan manis lebih terjangkau untuk kelas menengah, seiring produksi massal cokelat.
Pada tahun 1868, Richard Cadbury mengeluarkan cokelat Hari Valentine pertama. “Ada gagasan afrodisiak yang membuat cokelat sesuai untuk Hari Valentine,” kata Alexandra Leaf, ahli kuliner sekaligus pendiri Chocolate Tours of New York City.
Cupid
Pada Abad ke-5, Eros (inspirasi untuk kata ‘erotis’), versi Yunani dari Cupid, digambarkan sebagai sosok pemuda tinggi, atletis, heroik, dan memiliki sayap. Demikian ujar Angeline Chiu, profesor dari University of Vermont kepada USA Today.
Lho, mengapa kini bentuknya mirip bayi?
Menurut Chiu, transformasi Cupid, dari pemuda gagah jadi bayi lucu berasal dari seni era Renaissance.
“Maestro Raphael dan para seniman lain melukis bayi kecil montok di mana-mana,” kata Chiu. “Mereka tak bermaksud melukis Cupid. Mungkin untuk menggambarkan cinta secara umum,” tambah dia.
Namun, imej Cupid sebagai bayi lucu bertahan hingga saat ini.
Mawar Merah
Pada abad ke-18, Charles II dari Swedia memperkenalkan ide bahwa bunga melambangkan emosi atau pesan tersirat. Demikian menurut ProFlowers.com.
“Saat ini, mawar merah berasosiasi dengan gairah cinta, mawar merah muda untuk persahabatan, putih untuk kemurnian, dan merah-putih adalah persatuan,” kata Jennifer Sparks, juru bicara Society of American Florists.
Namun, ia menyarankan, pemberi bunga tak usah pusing memikirkan soal makna. Fokuslah pada bunga yang disukai oleh penerima. (Ein/Riz)