Sejarah Penamaan Bulan Ramadan

SEJAK dahulu, sebelum datangnya Islam, bangsa arab telah menggunakan tahun qomariyah. Hanya saja tidak semua masyarakat jahiliyah di seluruh penjuru jazirah arab sepakat dalam menentukan kalender tertentu.

Sehingga penanggalan mereka berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka mengenal kalender qamariyah, dan mereka gunakan konsep ini untuk membuat penanggalan bagi suku mereka masing-masing.

Kalender qamariyah yang mereka kenal sejak zaman dahulu sama dengan kalender qamariyah yang berlaku saat ini. Dalam satu tahun ada dua belas bulan, dan awal bulan ditentukan berdasarkan terbitnya hilal (bulan sabit pertama). Mereka menetapkan bulan Muharram sebagai awal tahun. Mereka juga menetapkan empat bulan haram (bulan suci). Mereka menghormati bulan-bulan haram ini. Mereka jadikan empat bulan haram sebaga masa dilarangnya berperang antar-suku dan golongan.

Kemudian, sebagian informasi menyebutkan, ada lima bulan Rabiul awal akhir, Jumadil awal akhir, dan Ramadan yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut.

Rabiul awal dan akhir diambil dari kata rabi [arab: ] yang artinya semi. Karena ketika penamaan bulan Rabi bertepatan dengan musim semi.

Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata: jamad [arab: ], yang artinya beku. Karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, dimana air membeku.

Sedangkan Ramadan diambil dari kata Ramdha [arab: ], yang artinya sangat panas. Karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.

Asal Penamaan Ramadan

An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, menyebutkan beberapa pendapat ahli bahasa, terkait asal penamaan ramadan,

Pertama, diambil dari kata ar-Ramd [arab: ] yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Sehingga bulan ini dinamakan ramadan, karena kewajiban puasa di bulan ini bertepatan dengan musim panas yang sangat terik. Pendapat ini disampaikan oleh al-Ashmai ulama ahli bahasa dan syair arab (w. 216 H), dari Abu Amr.

Kedua, diambil dari kata ar-Ramidh [arab: ], yang artinya awan atau hujan yang turun di akhir musim panas, memasuki musim gugur. Hujan ini disebut ar-Ramidh karena melunturkan pengaruh panasnya matahari. Sehingga bulan ini disebut Ramadan, karena membersihkan badan dari berbagai dosa. Ini merupakan pendapat al-Kholil bin Ahmad al-Farahidi ulama tabiin ahli bahasa, peletak ilmu arudh (w. 170 H).

Ketiga, nama ini diambil dari pernyataan orang arab, [] yang artinya mengasah tombak dengan dua batu sehingga menjadi tajam. Bulan ini dinamakan ramadan, karena masyarakat arab di masa silam mengasah senjata mereka di bulan ini, sebagai persiapan perang di bulan syawal, sebelum masuknya bulan haram. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Azhari ulama ahli bahasa, penulis Tahdzib al-Lughah (w. 370 H).

Kemudian an-Nawawi menyebutkan keterangan al-Wahidi,

“Al-Wahidi mengatakan, berdasarkan keterangan al-Azhari, berarti ramadan adalah nama yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Sementara berdasarkan dua pertama, berarti nama ramadan adalah nama islami. (Tahdzib al-Asma wa al-Lughat, 3/126).

Demikian,Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits/konsultasisyariah]

INILAH MOZAIK

Puasa Ramadan Sejak Nabi Adam Hingga Akhir Zaman

ALLAH Taala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah [2]: 183).

Demikian pula beberapa ayat setelahnya, Allah Taala menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Dia telah mewajibkan puasa atas umat ini sebagaimana yang telah Allah Taala wajibkan atas umat-umat sebelumnya. Lafadz () dalam ayat di atas bermakna () [diwajibkan]. Puasa diwajibkan atas umat ini dan juga umat-umat sebelumnya.

Sebagian ulama berkata tentang tafsir ayat di atas, “Ibadah puasa diwajibkan bagi para Nabi dan bagi umat mereka, sejak Adam hingga akhir zaman.” Allah menyebutkan yang demikian itu karena sesuatu yang berat untuk dikerjakan, akan terasa mudah dan lebih menenangkan jiwa manusia jika dikerjakan oleh banyak orang. Oleh karena itu, puasa diwajibkan atas seluruh umat manusia, meskipun berbeda tata cara dan waktu pelaksanaannya.

Said bin Jubair berkata, “Dahulu, puasa yang diwajibkan atas umat sebelum kami adalah dari waktu atamah (waktu salat Isya) sampai malam berikutnya, sebagaimana dalam awal-awal Islam.”

Al-Hasan berkata, “Puasa Ramadan dulu diwajibkan atas orang-orang Yahudi. Akan tetapi, mereka meninggalkannya dan berpuasa pada satu hari dalam setahun dan menyangka bahwa hari itu adalah hari ditenggelamkannya Firaun. Padahal mereka berdusta dalam hal tersebut, karena hari (ditenggelamkannya Firaun) tersebut adalah hari Asyura (tanggal 9 Dzulhijjah) (sehingga puasa yang mereka lakukan tidak dapat menggantikan kewajiban puasa yang Allah wajibkan bagi mereka, pen.).

Puasa juga diwajibkan atas umat Nasrani, dan hal ini berlangsung lama. Sampai suatu ketika, Ramadan ketika itu bertepatan dengan cuaca yang sangat terik. Puasa ketika itu menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan saat bepergian atau pun saat mencari nafkah. Akhirnya, para ulama Nasrani bersepakat untuk mempatenkan bulan puasa antara musim dingin dan musim panas.

Pilihan jatuh pada musim semi. Akhirnya, puasa di bulan Ramadan dipindah ke musim semi sehingga waktunya paten dan tidak berpindah-pindah musim. Saat mereka menggeser bulan pelaksanaan puasa wajibnya, mereka mengatakan, Tambahkan puasa selama sepuluh hari sebagai kaffarah atau penebus dosa karena telah menggeser bulan puasa.”

Dan firman Allah Taala (yang artinya), “agar kamu bertakwa”, maksudnya adalah dengan sebab berpuasa. Puasa menyebabkan ketakwaan karena menundukkan hawa nafsu dan syahwat.

Pada awal-awal Islam, umat Islam boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, berdasarkan firman Allah Taala,

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 184).

Adanya pilihan tersebut (antara berpuasa atau membayar fidyah) kemudian dihapus dengan mewajibkan puasa itu sendiri dengan adanya firman Allah Taala,

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Hikmahnya adalah adanya tahapan-tahapan dalam perintah syariat dan kelemah-lembutan terhadap umat manusia. Ketika mereka belum terbiasa berpuasa, jika langsung diwajibkan berpuasa dari awal, maka hal itu akan memberatkan mereka. Oleh karena itu, mereka boleh memilih terlebih dahulu antara berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah menguat, jiwa-jiwa mereka sudah siap, dan sudah terbiasa berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa (tidak ada pilihan yang lain). Demikianlah syariat Islam lainnya yang berat semacam itu, akan disyariatkan secara bertahap (tadarruj).

Akan tetapi yang benar bahwa ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa, karena tua renta atau sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka ayat tersebut masih berlaku (tidak dihapus) untuk mereka. Mereka boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Dan mereka tidak wajib meng-qodho (membayar utang) puasa.

Adapun selain mereka, maka wajib berpuasa. Barangsiapa yang tidak berpuasa karena sakit atau bepergian (safar), maka wajib bagi mereka untuk meng-qodho puasa karena firman Allah Taala,

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Puasa Ramadan diwajibkan pada tahun kedua hijriah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa selama sembilan kali Ramadan. Sehingga jadilah puasa Ramadan sebagai kewajiban dan salah satu rukun Islam. Barangsiapa yang mengingkari wajibnya puasa Ramadan, maka dia telah kafir. Barangsiapa yang tidak berpuasa tanpa udzur, dan dia mengakui kewajiban puasa, maka dia telah melakukan dosa yang sangat besar dan wajib mendapatkan hukuman. Wajib pula baginya untuk bertaubat dan mengqodho hari yang ditinggalkan. [1][M. Saifudin Hakim/muslimorid]

INILAH MOZAIK

Catatan kaki:

[1] Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 128-130.