SEORANG pria gemuk bermata sipit tiba-tiba merunduk. Ia bergerak cepat mengambil sesuatu. Sesaat setelah tergenggam erat di tangan kirinya, benda kotak itu malah dibuangnya ke tempat berbeda. Sementara di jidat kanannya tampak bekas luka sobek. Pria tersebut adalah Steven Indra Wibowo, Ketua Mualaf Center Indonesia (MCI). Benda yang dipungut mendadak lalu dibuangnya ke tempat sampah itu hanyalah kemasan rokok sisa orang lain.
Pagi itu, ia baru saja menggelar kegiatan jalan santai sambil memungut sampah pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Kegiatan bersih-bersih perdana itu diikuti puluhan pengurus MCI bersama GEMA Jabodetabek, GEMMA, Group Pengusaha Muslim, dan Muslim Bersatu Mualaf Bersatu. Mereka menyisir sampah dari Dukuh Atas sampai Bundaran Hotel Indonesia.
Sebenarnya, tujuan utama kegiatan ini untuk menyikapi gerakan “Pemurtadan” yang pernah terjadi di arena CFD sebelumnya. Menurut Steven, “Pemurtadan” harus dilawan dengan dakwah lewat perbuatan nyata. Menjaga kebersihan berarti mendakwahkan Islam kepada masyarakat luas.
“Kebersihan, kan, sifatnya universal. Islam itu cinta kebersihan,” ujar mualaf keturunan Tionghoa ini saat berbagi cerita dengan hidayatullah.com usai kegiatannya di CFD. Ahad (16/11/2014) itu, sambil menikmati sarapan bubur ayamnya, pria yang mengenakan kaos oblong bertuliskan mualaf.com ini menceritakan lika-liku perjalanan hidupnya.
Dipukul Ayah
Sebelum beragama Islam, Steven adalah seorang Frather atau setingkat Pastur di kalangan gereja Katolik di Paroki Jakarta Utara. Ia mengaku telah membawa 126 orang Muslim berpindah agama ke Katolik.
“Tugas saya ketika itu memberikan konseling, memimpin misa, dan mengajar filsafat,” ujar pria kelahiran 1981 ini.
Hidayah Allah Subhanahu Wata’ala menghampiri Steven pada tahun 2000. Dua kalimat syahadat diikrarkannya di sebuah pesantren di Serang, Banten. Ia memutuskan masuk Islam setelah sekian lama mempelajari agama Tauhid ini.
“Saya selalu memiliki rasa ingin tahu tentang apa itu Islam, apa yang dilakukan oleh orang Islam, dan mengapa Islam bisa cepat berkembang di dunia ini,” akunya.
Kepindahan Steven ke Islam membuat ayahnya, seorang petinggi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), marah besar. Sang ayah pun memukulnya, sampai jidat Steven terbentur kaca. Hingga kini masih ada bekas luka sobek di jidatnya.
“(Lalu) ayah mengusir saya. Bahkan, saya pun harus menandatangani pelepasan hak waris orangtua saya di hadapan notaris,” tuturnya.
Setelah mantap berislam, ia pun berkeinginan kuat “membalas” pemurtadan orang Islam yang pernah ia lakukan. Pada tahun 2003, bersama dua orang kawannya, ia mendirikan MCI sebagai lembaga tempat berkumpul dan membina mualaf.
Pada awalnya, MCI bergerak di dunia maya. Akhirnya kini semakin rutin bertemu dalam berbagai kegiatan, seperti pengajian dan bersih-bersih sampah di CFD. Selain membantu orang yang mau masuk Islam, MCI juga berupaya mendampingi mualaf mempelajari Islam.
Merebut Jenazah
Steven bercerita, pada tahun 2012 ada seorang mualaf yang meninggal dunia akibat serangan jantung. Dari supir almarhum tersebut, Steven mendapat kabar kalau jenazah akan dibakar (kremasi) di Cilincing, Jakarta Utara. Mualaf tersebut memang tidak memberitahukan keluarganya jika sudah masuk Islam.
“Akhirnya saya kejar menggunakan motor ke lokasi kremasi sambil membawa dokumen keislaman si jenazah yang pernah ia tandatangi di atas materai. Sampai di lokasi saya bilang kepada keluarganya, ‘Jenazah ini saat hidup sudah masuk Islam, ini dokumennya. Dan, secara Islam, jenazah ini harus dikuburkan secara Islam. Maka, saya akan menarik jenazah ini.’ Sambil dibantu supir tadi, saya bawa jenazah itu dan diurus secara Islam,” tutur suami dari Dina Fitriani ini.
Saat mengambil jenazah itu, ia sampai harus membongkar peti mayatnya. Dengan sebuah pisau kecil, ia bersusah payah membuka perekat peti tersebut. Sementara keluarga jenazah keturunan Tionghoa tersebut hanya menangis. Steven mengancam mereka secara hukum kalau tidak mengurus sang mayit secara Islam.
Namun demikian, sebelumnya ia pernah dilaporkan ke Polisi karena melakukan hal serupa. Putra pasangan Go Tiong Eng dan Siaw Lie Lan ini dituduh melakukan pencurian jenazah.
“Saya tunjukkan dokumen si mayit yang semasa hidup telah ikrar syahadat. Si keluarga tak terima, ada Polisi yang menengahi. Syukurnya bisa diselesaikan dengan damai. Saya bilang kepada keluarganya, ‘Saudara kalian sudah tenang selama-lamanya dalam keyakinan Islam. Saya rasa kalian juga lebih tenang kalau melihat saudara kalian bisa istirahat dengan tenang’,” ujarnya.
Menurut Steven, hal itu ia lakukan salah satunya karena masih begitu minim dukungan lembaga-lembaga Islam terhadap mualaf. Kalau pun ada sebatas komitmen. Sementara MCI, menurutnya, hingga kini belum berjalan efektif.
“Masih banyak mualaf di luar sana yang belum terbina. Dukungan umat Islam masih belum optimal. Umat Islam banyak berkutat pada persoalan Timur Tengah, politik, dan isu lokal. Sementara, selagi di bumi Allah Subhanahu Wata’ala ini masih banyak orang memeluk Islam, maka pekerjaan membina mualaf ini akan terus ada,” ujarnya.
“Saya sendiri masih butuh banyak teman untuk mendampingi mualaf ini. Jika ingin menjadi sahabat mualaf, silakan lihat di mualafcenter.com. Hanya dengan mengirimkan email ke sahabat@mualafcenter.com tentang profil atau jatidiri, serta kota tempat tinggal Anda. Selanjutnya saya akan melakukan wawancara singkat. Ini untuk mengantisipasi masuknya Syiah, Ahmadiyah, dan aliran sesat lainnya,” lanjut ayah dari putri semata wayangnya, Ana Humaira Wibowo ini.
Saat sedang mengobrol dengan hidayatullah.com pagi itu, tiba-tiba Steven merunduk, wawancara terhenti sejenak. Kali ini ia memungut satu botol bekas air minum di dekatnya. Botol itu lalu dimasukkannya ke tempat sampah yang disodorkan pedagang bubur ayam yang sedang bersih-bersih. Ia pun melanjutkan wawancara. Katanya, seorang mualaf ibarat sebuah botol berisi teh atau kopi. Apa maksudnya?
[Kisah seru dan lengkap Steven insya Allah akan dimuat pada rubrik Figur majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2014 mendatang.*