Bercita-cita Tinggi seperti Shalahuddin Al-Ayyubi

DI BALIK kesuksesan-kesuksesan besar, ada pribadi-pribadi yang sama besar kapasitasnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Keberhasilan umat Islam (Aslus Sunnah) menaklukkan Mesir dari Daulah Syi’ah Fathimiyah serta mampu membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman Pasukan Salib misalnya, ada sosok yang besar pula kapasitasnya, misalnya: Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi (532-589 H/1138-1193 M).

Walaupun keberhasilan tersebut tidak murni hasil karya Shalahuddin sendiri, namun kalau dilihat dari karakter Shalahuddin yang begitu luhur dan kuat, maka tidak berlebihan jika keberhasilan ini semakin menemukan momentum kesuksesannya berkat tangan dingin Shalahuddin. Salah satu karakter tangguh yang dimiliki Shalahuddin adalah ‘uluwwul-himmah (cita-cita atau semangat tinggi).

Dalam buku “Uluww al-Himmah” (Hal: 316) karya Muhammad Ahmad Ismail Muqaddam, Al-Qadhi bin Syaddad menggambarkan dengan sangat baik cita-cita agung Shalahuddin, “Bagi  Shalahuddin, masalah Al-Aqsha adalah perkara amat besar yang tak kan mampu ditanggung gunung sekalipun.

Kehilangan Al-Aqsha bagi beliau laksana seorang ibu yang kehilangan anak yang berkeliling  sendiri untuk mencari anaknya. Beliau memotivasi umat Islam untuk berjihad (merebut kembali Masjidil Al-Aqsha), seraya berkeliling melibatkan diri secara langsung untuk menemukannya, seraya berujar, ‘Wahai umat Islam!’ pada waktu bersamaan, kedua matanya basah dengan air mata.”

Pada kesempatan lain, ada cerita cukup heroik yang menggambarkan secara jelas bagaimana kapasitas Shalahuddin dalam bercita-cita tinggi. Saat beliau melihat gelombang laut dari tepi pantai, ia menoleh kepada Al-Qadhi bin Syaddad seraya bertanya, “Maukah kamu aku beri tahu apa yang sedang terpikir dalam benakku?”

 

Al-Qadhi belum sempat menjawab, Shalahuddin langsung melanjutkan pernyataanya dengan narasi yang kuat, “Saat Allah nanti mengaunegerahiku kemampuan untuk membebaskan pantai-pantai yang tersisa,” tegasnya, “maka negeri-negeri itu akan aku bagikan (kepada umat Islam), dan aku tinggalkan kemudian aku naik kapal menuju pulau-pulau lainnya, aku ikuti mereka (pasukan Salib) sampai tidak tersisa lagi orang yang kafir kepada Allah atau aku mati.”

Dari diksi-diksi yang dipakai, terasa jelas betapa tingginya cita-cita Shalahuddin: gunung saja tak mampu menanggung beban problem Al-Aqsha, antusiasnya dalam membebaskannya bagai ibu yang kehilandan anaknya, bahkan cita-cita tingginya adalah jangan sampai tersisa orang kafir di muka bumi dan beliau siap kehilangan nyawa untuk memperjuangkannya.

Meski cita-cita untuk tidak membiarkan ada orang kafir tak mungkin direalisasikan –karena memang Allah menjadikan orang berbeda- tapi paling tidak dari sini bisa dirasakan getaran semangat Shalahuddin untuk misi pembebasan ini. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa beliau pada akhirnya sukses merebut kembali Baitul Maqdis (Yerusalem).

Selain atas izin Allah, tentu saja di antara hal yang  membuat Shalahuddin sukses adalah semangat dan cita-citanya yang tinggi. Cita-cita yang malampaui kepentingan pribadi; gelora semangat yang tumbuh karena ingin menggapai rida Allah; untuk menggapainya ia bersedia meregang nyawa.

 

Perjuangannya pun tidak sia-sia, dan akhirnya Baitul Maqdis bisa dibebaskan. Umat Islam di masa ini membutuhkan pemimpin besar seperti Shalahuddin yang memiliki cita-cita besar bagi kepentingan Islam dan umatnya.

Sebagai penutup, ide tentang cita-cita tinggi juga ada dalam hadits nabi:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ ، وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

“Dalam Surga ada seratus tingkatan, Allah menyediakannya untuk para mujahid di jalan Allah, jarak antara keduanya seperti antara langit dan bumi. Karena itu, jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena sungguh dia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai Surga.” (HR. Bukhari)

Di sini, yang dianjurkan Rasulullah bukan sekadar mendapatkan yang baik (masuk Surga), tapi menggapai yang terbaik (masuk Surga yang tertinggi). Dan ini adalah ‘uluwwul-himmah yang dianjurkan beliau.*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLAH

Shalahuddin Al Ayyubi dan Shalawat Setelah Adzan

SHALAHUDDIN AL AYYUBI selama ini banyak dikenal dari sisi perjuangannya dalam melawan Pasukan Salib dan sebagai pembebas Baitul Maqdis, meski sebenarnya ia memiliki peran peran dan jasa besar dalam masalah keilmuan keislaman.

Shalahuddin Al Ayyubi Seorang Faqih

Shalahuddin Al Ayyubi sendiri digolongkan oleh para ulama sebagai seorang ulama dan faqih, hingga Qadhi Tajuddin As Subki memasukkan namanya dalam jajaran ulama yang bermadzhab Asy Syafi’i, yakni Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra. Tajuddin As Subki menyampaikan mengenai Shalahuddin,”Ia adalah seorang faqih, dikatakan bahwa ia hafal Al Qur`an dan At Tanbih tentang fiqih serta Al Hamasah tentang syair. (Thabaqat Asy Syafi’yyah Al Kubra, 7/370)

Imam Adz Dzahabi menyampaikan bahwa Shalahuddin menghafal Al Hamasah, dan dinilai bahwa setiap fuqaha menghafalnya. (Siyar A’lam An Nubala, 21/282)

Tidak hanya memiliki pengetahuan tentang fiqih, Shalahuddin pun banyak memiliki periwayatan hadits. Baha’uddin Syaddad menyampaikan,”Sulthan Shalahuddin sangat antusias dalam memperoleh periwayatan hadits. Ketika ia mendengar hadits dari seseorang yang memiliki riwayat al ali, maka ia akan banyak mengambil periwayatan darinya.” (Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 7/352)

Memiliki Periwayatan Hadits

Qadhi Al Fadhil dalam salah satu risalahnya menyampaikan,”Aku tidak mengetahui adanya seorang pemimpin  yang melakukan rihlah dalam menuntut ilmu, kecuali Ar Rasyid. Sesungguhnya ia melakukan perjalanan bersama kedua puteranya Al Amin dan Al Ma’mun untuk menyimak Al Muwaththa’ dari Imam Malik.” Kemudian ia berkata,”Kemudian Sulthan Shalahuddin bin Ayyub melakukan rihlah ke Iskandariyah untuk menyimak Al Muwaththa’ dari Ibnu Thahir bin ‘Auf  dan aku belum mengetahui orang ke tiga dari keduanya (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 36)

Shalahuddin juga memiliki banyak guru dalam hadits, yang telah dicatat oleh Al Hafidz Murtadha Az Zabidi dalam Tarwih Al Qulub fi Dzikri Al Muluk Bani Ayyub (lihat, Tarwih Al Qulub fi Dzikri Al Muluk Bani Ayyub, hal. 68)

Bermusyawarah dengan Para Ulama

Karena termasuk dari jajaran uhlil ilmu, Shalahudddin Al Ayyubi melakukan interaksi dengan baik dengan para ulama. Al Muwaffaq Abdul Lathif menyampaikan,”Malam pertama aku menghadirinya (Shalahuddin Al Ayyubi), aku mendapai sebuah majelis yang ramai dengan para ulama, mereka berdiskusi dalam berbagai disiplin ilmu, sedangkan ia mendengarkan dan merespon mereka dengan baik.” (Thabaqat Asy Syafi’yyah Al Kubra, 7/370)

Jika demikian, tentu Shalahuddin Al Ayyubi akan bermusyawarah dengan para ulama ketika memutuskan segala persoalan.

Menghapus Adzan Syi’ah

Sebagaimana pemimpin muslim, Shalahuddin Al Ayyubi menyadari bahwa ia juga bertanggung jawab atas kondisi keislaman rakyatnya. Sebab itu, disamping membangun banyak madrasah dan khankah untuk para sufi, Shalahuddin Al Ayyubi pun mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkenaan dengan masalah keagamaan.

Saat menjelang jatuhnya Al Fathimiyah di Mesir Shalahuddin Al Ayyubi segera melakukan kebijakan-kebijakan baru yang berkanaan dengan syiar Islam, terutama adzan.

Awal mula yang dilakukan adalah menghapus adzan Syi’ah, hayya ‘ala khairil  amal, yang sebelumnya berlaku di Mesir di masa Fathimiyah. Hal itu terjadi pada tahun 565 H atau 566 H. (Al Bidayah wa An Nihayah, 12/327)

Langkah penghapusan adzan tersebut dilakukan di saat khalifah Al Fathimiyah Al Adhid dalam keadaan sakit, sedangkn ia wafat pada tahun 567 H. (Ar Raudhatain, 1/206)

Pembacaan Shalawat Sebelum dan Sesudah Adzan

Para fuqaha menyebutkan bahwa Shalahuddin Al Ayyubi memerintahkan para muadzin untuk mengumandangkan shalawat setelah adzan shalat lima waktu, kecuali di waktu shubuh dan shalat Jum`at dilakukan sebelum adzan. Dan untuk waktu maghrib shalawat tidak dikumandangkan dikarenakan sempitnya waktu. Sedangkan untuk hari Juma’at shalawat dikumandangkan saat khatib naik ke atas mimbar. Apa yang diputuskan Shalahuddin Al Ayyubi dalam masalah ini disebabkan karena di masa Fathimiyah, para muadzin diharuskan untuk menyampaikan salam kepada para khalifah mereka. Kemudian Shalahuddin pun menggantinya dengan shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Ibnu Hajar Al Haitami dari madzhab Asy Syafi’i menyebutkan bahwa apa yang diputuskan Shalahuddin Al Ayyubi itu memiliki asal sunnah namun caranya bid’ah. Dan di Ibnu Hajar sendiri memuji akan hal itu, hingga bisa disimpulkan bahwa hal itu adalah bid’ah hasanah, yakni bid’ah yang memiliki dalil asal (lihat, Al Fatwa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/131).

Sedangkan Asy Syaubari dari ulama Asy Syafi’iyyah menyatakan bahwa hal itu sunnah dalam (Hasyiyah Al Jumal, 2/111).

Adapun dari kalangan Al Hanafi perkara ini disebut juga sebagai bid’ah hasanah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abidin (lihat, Al Hasyiyah, 1/390, demikian juga disebutkan dalam Radd Al Mukhtar, 3/203).

Sedangkan di kalangan Al Malikiyah, Ash Shawi menyatakan bahwa hal itu bid’ah hasanah (lihat, Hasyiyah ‘ala Syarh Ash Shaghir, 1/423).

Selain mereka Ad Dusuki dari kalangan Al Milikiyah menyatakan bahwa perkara itu bid’ah hasanah, demikian juga Al Haththab Ar Ru’aini (lihat, Hasyiyah Ad Dusuki, 1/193 serta Mawahib Al Jalil, 2/81).

Penyebutkan Khalifah Empat dalam Khutbah Jumat

Shalahuddin Al Ayyubi juga memerintahkan penyebutan Khalifah Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Al Khaththab, Ustsman bin Affan dalam khutbah Jum’at.

Badruddin Al Aini, seorang muhaddits bermadzhab Al Hanafi menyebutkan bahwa keputusan itu dijalankan bersamaan dengan penghapusan adzan Syi’ah pada tahun 565 H (lihat, Iqdul  Juman fi Tarikh Ahluz Zaman, 1/39).

Masih Lestari di Nusantara

Dari apa yang diputuskan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di atas, masih ada perkara-perkara dipraktikkan oleh umat Islam di Nusantara, karena perkara-perkara tersebut juga dibahas di dalam kitab-kitab fiqih madzhab yang diajarkan di wilayah Nusantara, terutama madzhab Asy Syafi’i. Hal ini menunjukan bahwasannya gerakan keilmuan Shalahuddin Al Ayyubi memiliki peran yang cukup besar, hingga pengaruhnya sampai ke seluruh dunia Islam, termasuk Nusantara.

 

HIDAYATULLAH

Shalahuddin Al Ayyubi dan Penyebaran Akidah Al Asy’ariyah

SHALAHUDDIN AL AYYUBI disamping masyhur sebagai seorang mujahid besar pembebas Al Quds, Shalahuddin Al Ayyubi juga memiliki andil dalam hidupnya gerakan keilmuan di berbagai cabangnya di waktu itu, termasuk ilmu aqidah.

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki perhatian besar terhadap masalah aqidah, dimana Qadhi Ibnu Syaddad menyampaikan,”Ia memiliki akidah yang lurus, banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Akidahnya diperoleh dalil- dalil, dengan perantara melalui pembahasan bersama para ahlul ilmi dan para ulama besar.” (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Shalahuddin Al Ayyubi sendiri dalam akidah menganut akidah Al Asy’ari, dimana Ash Shafdi berkata,”Ia (Shalahuddin Al Ayyubi) bermadzhab Asy Syafi’i. Al Asy’ari dalam aqidah, dan  mentalqinkan akidah Al Asy’ari kepada anak-anaknya dan melazimkan mereka belajar di atas akidah tersebut.” (Al Wafi bi Al Wafayat, 29/48)

Para ulama pun mengetahui bahwa Shalahuddin sebagai penguasa amat memperhatikan masalah akidah, hingga mereka pun memberikan dukungan akan hal itu. Quthbuddin An Naisaburi, seorang ulama faqih madzhab Asy Syafi’i telah menyusun kitab aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi, dan karena antusiasnya, Shalahuddin Al Ayyubi pun hafal dengan baik kitab tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Dalam hal ini Ibnu Syaddad berkata,”Aku menyaksikan Shalahuddin mengajarkannya kepada anak-anaknya, sedangkan mereka menyampaikan dengan hafalan kepadanya.”( An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Bukan hanya Quthbuddin An Naisaburi, seorang faqih yang menjadi rujukan di Mesir, Muhammad Hibatullah bin Makki Al Hamawi telah menyusun nadzam aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi yang bernama Hadaiq Al Fushul wa Jawahir Al Ushul. (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 7/23)

Termasuk dalam rangka membentengi akidah Shalahuddin amat menjaga akidah para penuntut ilmu, dimana ia mensyaratkan gurunya berakidah Al Asya’riyah. Al Allamah Abdul Qadir Badran berkata,”Shalahuddin mengajak masyarakat kepada akidah Syeikh Abu Hasan Ali bin Isma`il Al Asy’ari, dan mansyaratkan siapa yang mengelola wakaf di Mesir harus berakidah Al Asy’ari, termasuk madrasah As Shalahiyah, Al Qamhiyah dan khaniqah Sa’id As Su’ada di Kairo. Dan keadaan itu terus berlangsung di Mesir, Hijaz dan Yaman”. (Manadimah Al Athlal wa Masamirah Al Khayal, hal. 75)

Menghapus Akidah Syi’ah dengan Al Asy`ari

Dengan menyebarnya akidah Al Asy’ariyah, Shalahuddin Al Ayyubi berhasil mengikis habis akidah Syi’ah yang pernah berkuasa di Mesir dan Syam sebelumnya pada waktu itu. Al Jabrati berkata,”Dan An Nashir Yusuf menampakkan syariat Nabi Muhammad dan membersihakn wilayah Mesir dari bid’ah-bid’ah, ajaran Syi’ah, serta aqidah yang rusak dan menonjolkan akidah Ahlu As Sunnah wa Al Jama’ah, yaitu aqidah Al Asy’ariyah dan  Al Maturidiyah. (Al Aja`ib Al Atsar li Al Jabarti, 1/10)

Gerakan Panjang Kuatkan Aqidah

Bahkan Shalahuddin Al Ayyubi berupaya keras dalam menguatkan akidah umat pada waktu itu dengan beberapa kebijakannya, dalam hal ini Al Hafidz As Suyuthi, menyatakan,”Ketika Shalahuddin bin Ayyub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini”. (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal. 15)

Di masa Imam As Suyuthi, tradisi melantunkan akidah Al Asy’ariyah masih berlaku, padahal ulama besar ini wafat tahun 911 H. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh madzhab Al Asy’ari sangat kuat dipegang di wilayah yang pernah dikuasai oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada waktu itu.

Daulah Al Ayyubiyah dan Aqidah Al Asy’ari

Bukan hanya Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki perhatian besar terhadap masalah akidah, penguasa-pengausa Daulah Al Ayyubiyah setelahnya pun memiliki sikap yang sama. Malik Al Adil yang merupakan saudara Shalauddin yang menjadi penguasa setelahnya pun memiliki perhatian terhadap akidah, hal ini terlihat bagaimana hubungan dekatnya dengan Imam Fakhruddin Ar Razi yang merupakan ulama penganut Al Asy’ariyah, hingga Imam Fakhuruddin Ar Razi mencatat dalam muqadimah kitabnya Ta’sis At Taqdis, bahwasannya ia membuat kitab itu untuk hadiah bagi Malik Adil Al Ayyubi, yang ia sebut sebagai seorang pemimpin mujahid. (lihat, muqaddiman Asas At Taqdis, hal. 10 dan 11)

Demikian juga yang terlihat pada penguasa Damaskus Malik Al Asyraf, yang tidak lain merupakan putera dari Malik Al Adil, dimana ia mensyaratkan siapa yang mengajar di Dar Al Hadits Al Asyrafiyah haruslah bermadzhab Al Asy’ari. Sebagaimana disebutkan oleh Taj As Subki bahwasannya Al Hafidz Al Mizzi, yang merupakan mertua dari Al Hafidz Ibnu Katsir tidak menduduki kursi Dar Al Hadits kecuali telah menulis pernyataan bahwa akidahnya Al Asy’ari. (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 10/200)

Pengajar Dar Al Hadits Al Asyrafiyah sendiri  adalah para ulama besar yang juga menghasilkan para ulama besar di bidang hadits. Diantara para ulama yang mengajar di sekolah ini adalah, Al Hafidz Ibnu Shalah, Al Hafidz Abu Syamah, Imam An Nawawi, Al Hafidz Al Mizzi, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki, Al Hafidz Ibnu Katsir dan lainnya. (Lihat, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, 1/15-36)

Dengan kondisi demikian, maka posisi madzhab Al Asy’ari amatlah kuat di wilayah-wilayah Al Ayyubiyyah. Dengan demikian, terlihatlah peran Shalahuddin Al Ayyubi beserta para penguasa setelahnya di dinasti Al Ayyubiyah  dalam penyebaran akidah Al Asyariyah di dunia Islam. Namun tentu saja Shalahuddin Al Ayyubi tidak melakukan sendiri, namun hal itu merupakan gerakan kolektif bersama para ulama di waktu itu.

 

HIDAYATULLAH

Kisah Shalahuddin Al-Ayyubi yang Melegenda

Kisah sang Sultan telah menjadi cerita rakyat, melegenda, dan meng inspirasi. Kehebatannya dalam berdiplomasi salah satunya terlihat dalam pertemuan militernya dengan Raja Richard “The Lion Heart” pada Perang Salib ketiga.

Bagaimanapun, selain kemahiran diplomasi dan prestasi militernya, sosok Shalahuddin terus diingat atas kemampuannya menyatukan banyak dunia Muslim serta kemuliaan hati dan peri lakunya, baik di dalam maupun di luar peperangan. Karen Amstrong dalam bukunya Perang Suci menggambarkan, saat Shalahuddin dan pasukan Islam membebaskan Palestina, tak ada seorang Kristen pun yang dibunuh. Tak ada pula perampasan harta benda.

“Jumlah tebusan pun sangat rendah. Shalahuddin menangis ter sedu-sedu melihat banyak keluarga terpecahbelah akibat perang. Ia pun membebaskan banyak tawanan, sesuai imbauan Alquran,” kata Amstrong.

Kekaguman terhadap Shalahuddin tak hanya datang dari kalangan Muslim. Keadilan dan kenegara wanannya juga membuat umat Nasrani yang kala itu tinggal di Yerusalem berdecak kagum. Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang tua beragama Kristen bertanya pada Shalahuddin. “Mengapa Tuan tidak membalas musuh-musuh Tuan?”

Shalahuddin menjawab, “Islam bukanlah agama pendendam dan bahkan sangat mencegah seseorang melakukan perkara yang tidak berperikemanusiaan. Islam menyuruh umatnya menepati janji, memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf, dan melupakan kekejaman musuh meski sebelumnya mereka menindas kita.”

Mendengar jawaban itu, bergetarlah hati orang tua itu dan ber kata, “Sungguh indah agama Tuan! Maka pada akhir hayatku ini, bagaimana agar aku memeluk agamamu?” Shalahuddin menjawab, “Ucapkanlah dua kalimat syahadat.” Atas semua kemuliaan itu, pengajar University of London dan penulis beberapa buku tentang Perang Salib, Jonathan Phillips, menyebut Shalahuddin sebagai pahlawan utama bagi umat Islam.

 

REPUBLIKA