Gambaran Menawan Bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

DALAM buku “Lathâ`ifu al-Ma’ârif fîmâ limawâsim al-‘Âm min al-Wadzâ`if” (1999: 234), Ibnu Rajab al-Hanbali menukil gambaran menawan dari ulama terkait bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Di antaranya adalah apa yang diutarakan oleh Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi rahimahullah, dan sebagian ulama lainnya.

“Bulan Rajab,” tutur Abu Bakar al-Balkhi rahimahullah, “adalah bulan bertanam. Sedangkan Sya’ban adalah bulan pengairan tanaman. Adapun Ramadhan adalah bulan panen tanaman.” Bila diperhatikan secara saksama, apa yang dianalogikan olehnya begitu menawan.

Penggambaran Rajab dan Sya’ban sebagai bulan atau momentum untuk bertanam dan pengairan adalah di antara upaya persiapan untuk menuju panen raya Ramadhan. Bagi yang menghendaki sukses besar di bulan penuh berkah, mau tidak mau harus menyiapkannya dengan baik, utamanya bulan Rajab dan Sya’ban.

Terlebih, kalau melihat tradisi salaf, persiapan mereka bukan saja sejak bulan Rajab, tapi enam bulan sebelum Ramadhan. Artinya mereka sangat serius dalam menghadapi Ramadhan. Ibarat petani, mereka sudah menyiapkan benih-benih amal dan segenap sarananya untuk dipanen di ‘tanah subur Ramadhan’.

Pada kesempatan lain, Abu Bakar al-Balkhi rahimahullah memberi tamsil lain. “Perumpaan bulan Rajab,” gumam beliau, “laksana angin. Sedangkan Sya’ban bagaikan mendung. Dan Ramadhan seperti hujan.”

Begitu indah gambaran ini. Bulan Rajab diibaratkan seperti angin yang menghembuskan amal-amal kebaikan, yang kemudian kian menggumpal di bulan Sya’ban sehingga menjadi mendung amal kebaikan, yang kemudian akan menjadi hujan berkah, rahmat, dan maghfirah di bulan Ramadhan.

Sebagian ulama juga memberi gambaran menarik mengenai tiga bulan ini, “Tahun laksana pohon. Bulan Rajab adalah masa berdaun; Sya’ban saat bercabang;  sedangkan Ramadhan adalah waktu untuk memetik (buah). Para pemetiknya adalah orang-orang beriman.”

Gambaran pohon ini juga sangat menarik. Bila satu tahun penuh diibaratkan pohon, maka Rajab adalah masa di mana daun pohon amal saleh bertumbuh. Kemudian diikuti dengan bulan Sya’ban yang menggambarkan amal-amal kebaikan semakin intensif dan bercabang. Puncaknya adalah Ramadhan, yaitu: ketika persiapan-persiapan serius di bulan Rajab dan Sya’ban bisa dipetik buahnya di bulan yang penuh berkah, rahmat dan maghfirah.

Apa yang digambarkan ulama terkait bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan tadi, bukan saja menunjukkan bagaimana pentingnya persiapan amal menuju Ramadhan, tapi di sisi lain juga menggambarkan hal lain yang jarang terpikirkan: dengan berbekal iman dan takwa, mereka mampu memilih diksi yang indah dalam menggambarkan romantisme bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Itulah yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Amalan-amalan yang dipersiapkan bukan sekadar masalah kebenaran dan kebaikan yang mesti dijalani sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, namun mereka juga tidak meninggalkan keindahan.

Kebenaran, kebaikan dan keindahan mampu mereka tuangkan dalam bentuk tamsil sastrawi yang harmoni sejak dari persiapan hingga Ramadhan. Persiapan amal yang dilakukan bukan sekadar rutinitas fisik, tapi bagaimana bisa menjalaninya dengan asyik.

Dengan menyiapkan amal di bulan Rajab, Sya’ban hingga Ramadhan, seakan mereka sebagai petani mujur yang siap panen raya;  atau sinergi harmonis antara angin, mendung hingga hujan; atau pohon yang daunnya bersemi, rantingnya bertumbuh hingga menghasilkan buah ranum yang bisa dipetik di bulan Ramadhan.*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULAH

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini! Dengan aplikasi ini, Anda juga bisa ngecek Porsi Haji dan Visa Umrah Anda.

 

Rasulullah Melihat Jibril saat di Sidratul Muntaha

SIDRATUL muntaha, Allah sebutkan makhluk istimewa ini dalam Alquran, di surat An-Najm, “Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratil muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 12 18)

Tafsir Umum

Apakah orang musyrikin hendak meragukan dan membantah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melihat Jibril. Padahal dia telah melihat Jibril dalam bentuk aslinya sebanyak 2 kali: (1) ketika Jibril berada di atas ufuk yang tinggi (di bawah langit dunia) dan jibril mendekat untuk menyampaikan wahyu kepadanya. (2) ketika di Sidratil muntaha di atas langit ke tujuh, pada saat beliau menjalani isra miraj. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam melihat Jibril di tempat tersebut, tempat para arwah yang tinggi dan suci, yang tidak bisa didekati setan atau arwah yang buruk.

Di dekat sidratul muntaha terdapat surga yang berisi seluruh puncak kenikmatan, yang menjadi puncak angan-angan. Ini dalil bahwa surga berada di tempat yang sangat tinggi, di atas langit ketujuh. Ketika sidratul muntaha diliputi dengan ketetapan dari Allah. Menjadi sesuatu yang sangat besar dan indah dengan gemerlap warna. Tidak ada yang bisa menggambarkan keindahannya dengan rinci kecuali Allah. Pandangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak tolah toleh dari arah yang menjadi tujuannya, tidak juga melebihi batas yang diizinkan. Ini menunjukkan bagaimana adab beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Beliau melihat berbagai kejadian yang luar biasa. Beliau melihat surga, melihat neraka dan melihat kejadian gaib pada malam isra miraj. (simak Taisir Karim Ar-Rahman, hlm. 818)

 

INILAH MOZAIK

Inilah 10 Hikmah Isra Miraj

Dalam kedahsyatan Isra Miraj, terkandung banyak hikmah yang sangat bermanfaat bagi umat. Berikut ini 10 hikmah Isra Miraj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

1. Tasliyah

Hikmah isra miraj yang pertama adalah tasliyah (hiburan) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bayangkanlah cobaan bertubi-tubi yang menimpa Rasulullah dan umat Islam di Makkah. Lalu pada tahun 10 kenabian, Rasulullah kehilangan dua orang yang paling dicintai; Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib.

Khadijah adalah istri pertama beliau. Wanita pertama yang beriman kepada beliau dan menjadi pendukung dakwah yang setia dengan segala dukungan jiwa dan hartanya. Ketika Rasulullah menghadapi masalah, Khadijah yang menemani dan memotivasi beliau. Ketika Rasulullah butuh dana untuk berdakwah, membebaskan budak dan membantu fakir miskin, saudagar wanita kaya raya itu yang memberikan dukungan finansial. Maka wafatnya Khadijah adalah duka bagi beliau.

Setelah Khadijah wafat, tak berselang lama kemudian, paman beliau Abu Thalib juga wafat. Padahal Abu Thalib, dengan kedudukan beliau sebagai tokoh dan sesepuh di Makkah, selalu melindungi Rasulullah. Jika ada yang hendak menyakiti atau mencelakakan Rasulullah, Abu Thalib tampil pasang badan untuk melindungi keponakannya itu. Wafatnya Abu Thabil menambah duka Rasulullah.

Bersama wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, yang berarti hilangnya dua tokoh penting pelindung dakwah Rasulullah, orang-orang kafir Quraisy semakin massif mengintimidasi Rasulullah. Dakwah di Makkah serasa tak bisa bergerak. Tribulasi meningkat berlipat-lipat. Wajar jika Rasulullah menyebut tahun itu sebagai amul huzn (tahun duka cita).

Pada saat seperti itulah kemudian Allah memperjalankan Rasulullah dengan isra miraj. Sebagai bentuk tasliyah, Rasulullah melihat tanda-tanda kekuasaan Allah baik di bumi maupun di langit. Sekaligus menegaskan bahwa dakwah Islam pasti akan menang.

2. Rasulullah pemimpin para Nabi

Isra’ mi’raj juga menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pemimpin para Nabi dan Rasul. Hal itu terbukti saat berada di Masjid Al Aqsha. Setibanya di sana, beliau shalat dua rakaat mengimami ruh para Nabi. Hal itu terjadi sebelum beliau naik mi’raj ke langit.

Menjadi imam sholat merupakan penanda bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pemimpin dan penghulu para Nabi dan rasul.

3. Islam agama fitrah

Di antara rangkaian peristiwa isra miraj, setelah sholat dua rakaat di Baitul Maqdis, Jibril membawakan dua wadah minuman kepada Rasulullah. Satu wadah berisi susu dan satu wadah berisi khamar.

Tanpa ragu, Rasulullah memilih susu. Lantas Malaikat Jibril pun berkata kepada Rasulullah, “Sungguh engkau telah memilih fitrah (kesucian).” Peristiwa ini menguatkan bahwa Islam adalah agama fitrah dan kesucian.

4. Kedudukan Masjid Al Aqsha

Di antara hikmah isra miraj adalah menunjukkan kedudukan penting dan mulia Masjid Al Aqsha. Masjid Al Aqsha memiliki kaitan erat dengan Masjidil Haram. Rasulullah berangkat isra’ dari Masjidil Haram menuju Masjid Al Aqsha. Di sini beliau mengimami para Nabi lalu bertolak menuju langit.

Masjid Al Aqsha merupakan tempat isra’ Rasulullah dan kiblat pertama umat Islam. Karenanya umat Islam harus mencintai Masjid Al Aqsha dan mempertahankannya dari segala upaya penjajah Yahudi yang hendak mencaplok dan merobohkannya.

5. Urgensi shalat

Isra’ mi’raj juga menunjukkan kedudukan shalat yang agung. Jika perintah lain cukup dengan wahyu melalui Malaikat Jibril, perintah shalat langsung diturunkan Allah kepada Rasulullah tanpa perantara Jibril. Shalat ini pula yang menjadi inti tasliyah (hiburan) bagi hambaNya.

Mengenang isra miraj, kita harus mengingat intinya ini: shalat. Jika isra miraj adalah tasliyah, maka shalat adalah inti tasliyah ini. Beruntunglah orang yang bisa menikmati shalat dan bisa khusyu’ saat shalat. Sebab ia telah menemukan tasliyah hakiki. Rasulullah dan para sahabat telah mencapai level ini.

6. Memurnikan barisan dakwah

Di antara hikmah isra miraj adalah memurnikan barisan dakwah. Sebentar lagi, Rasulullah hendak mencapai fase baru yakni hijrah dan mendirikan negara Islam di Madinah. Maka Allah memurnikan barisan dakwah dengan isra miraj.

Orang-orang yang tidak kuat aqidahnya dan mudah goyang keyakinannya, mereka murtad setelah diberitahu tentang isra miraj. Adapun yang imannya kuat, mereka justru semakin kuat imannya.

Iman yang kuat dan tak pernah goyah inilah kunci soliditas barisan mujahid dakwah. Di Madinah nanti akan terjadi banyak peperangan. Tanpa soliditas, pasukan Islam bisa tercerai berai. Dengan soliditas yang dibangun di atas iman yang kuat dan aqidah yang kokoh, pasukan Islam tegar menghadapi segala jenis peperangan, konspirasi dan segala macam kesulitan.

7. Keberanian Rasulullah

Isra miraj juga menunjukkan keberanian Rasulullah yang sangat tinggi dalam berdakwah. Beliau terang-terangan menyampaikan isra miraj kepada orang-orang Makkah. Meskipun kafir Quraisy tidak akan percaya bahkan mencemooh dan mengolok-olok, Rasulullah tetap menyampaikan.

Ketika mereka minta bukti empiris, Rasulullah pun memberikan bukti itu dengan pertolongan Allah. Ketika mereka minta diterangkan bagaimana Baitul Maqdis bahkan pintu-pintunya, Malaikat Jibril datang membawakan gambaran Baitul Maqdis di atas sayapnya. Rasulullah pun menjelaskan pintu-pintu Baitul Maqdis, membuat tercengang orang-orang kafir Quraisy yang sebagian pernah ke sana dan mengamatinya.

Merasa Rasulullah tahu persis Masjidil Aqsha, mereka minta diceritakan tentang rombongan unta kafilah dagang mereka. Logikanya, jika Rasulullah menempuh perjalanan Masjidil Haram – Baitul Maqdis, Rasulullah juga melewati rombongan unta mereka.

Lalu Rasulullah menceritakan kondisi tiga rombongan unta mereka. Mendengar apa yang disampaikan Rasulullah benar-benar sesuai fakta, mereka terheran-heran namun justru mendustakan. “Engkau adalah tukang sihir,” kata Walid bin Mughirah diikuti orang-orang kafir Quraiys lainnya.

8. Keimanan yang paling sempurna

Keimanan umat yang paling sempurna adalah imannya Abu Bakar. Ketika orang-orang kafir Quraisy mengabarkan bahwa Muhammad mengatakan telah isra miraj, beliau langsung mempercayainya. “Jika yang mengatakan Rasulullah, aku percaya,” demikian logika keimanan Abu Bakar sehingga beliau mendapat gelar Ash Shiddiq.

Demikianlah logika keimanan dan konsekuensi syahadat risalah. Ketika kita sudah beriman bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka kita akan membenarkan seluruh yang beliau bawa. Meskipun kadang akal kita tidak mampu menggapainya, seperti keajaiban peristiwa isra miraj ini.

9. Balasan perbuatan baik dan buruk

Dalam isra’ mi’raj, Rasulullah juga diperlihatkan surga dan neraka. Beliau diperlihatkan nikmat surga dan para penduduknya. Beliau juga diperlihatkan kesengsaraan penghuni neraka dengan siksa sesuai keburukan mereka di dunia.

Beliau diperlihatkan bagaimana siksa untuk orang yang suka ghibah, orang yang berzina, orang yang makan harta anak yatim, dan lain-lain. Semua ini lantas beliau sampaikan kepada umat untuk mencegah penyakit masyarakat yang terjadi kala itu. Ini hikmah isra miraj kesembilan.

10. Memperhatikan Masjid Al Aqsha

Setelah Rasulullah menyampaikan peristiwa isra’ mi’raj, para sahabat menjadi perhatian terhadap Masjid Al Aqsha yang saat itu berada dalam kekuasaan Romawi. Mereka memiliki azam untuk membebaskan masjid itu. Kelak di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Masjid Al Aqsha bisa dibebaskan hingga berada di pangkuan Islam.

Pembahasan lengkap mulai definisi hingga kronologis peristiwa bisa dibaca di artikel Isra Miraj

Demikian 10 hikmah isra mi’raj. Semoga bermanfaat bagi kita untuk memetik hikmah-hikmah itu dan menjadikan hidup kita lebih baik dari waktu ke waktu.

 

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

3 Peristiwa Besar di Yerusalem

Sampai abad ketujuh, setidaknya ada tiga peristiwa besar yang berlangsung di Yerusalem. Pertama, serbuan tentara Persia (Sasanid) pada 614 yang berakibat pembantaian atas 60 ribu orang Kristen di Yerusalem. Lebih dari 30 ribu orang Kristen lainnya dibawa ke Persia untuk menjadi budak. Bangunan peribadatan Kristen di Yerusalem pun ikut diluluhlantakkan.

Kedua, Kaisar Romawi Timur Heraclius kembali menguasai Yerusalem pada 629. Kali ini orang-orang Yahudi menjadi sasaran untuk dibunuh. Sementara itu, Heraclius juga memulihkan kembali hegemoni Dunia Kristen atas Yerusalem sepeninggalan kekuatan Persia di sana. Saat dua peristiwa besar itu berlangsung, Islam mulai mengukuhkan pengaruhnya di Semenanjung Arab, khususnya setelah Penaklukan Makkah terjadi pada 630.

Ketiga, pembebasan Yerusalem oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada masa khalifah kedua itu, baik kekaisaran Persia maupun Romawi Timur sedang mengalami degradasi.

Sementara, umat Islam sedang bersemangat menyebarkan ajaran Rasulullah SAW ke luar Arab, antara lain, dengan jalan penaklukan. Pada 20 Agustus 636, tentara Muslim menang melawan pasukan Romawi Timur di Perang Yarmuk. Pada Juli 637, kaum Muslim berhasil mengepung Yerusalem.

Seperti digambarkan Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City Three Faiths, Khalifah Umar mendengar kabar tentang sikap keras pemuka Kristen Yerusalem, Sophronius. Dia menginginkan agar kunci gerbang Yerusalem diserahkan kepada Umar langsung, alih-alih pemimpin militer lapangan. Maka, datanglah Khalifah Umar ke sana, sedangkan Sophronius dan bawahannya telah menyiapkan gelaran upacara yang terkesan mewah demi menghormati Umar.

Begitu melihat kedatangan Umar, Sophronius dan kaum Kristen setempat terheran-heran. Pasalnya, sang khalifah tampil dengan busana yang biasa dikenakannya di Madinah: baju dengan bahan kain kasar, selayaknya rakyat miskin. Bagi Karen, agaknya para pemuka Kristen Yerusalem merasa tersentuh, betapa pemimpin Muslim itu lebih menghayati ajaran Yesus tentang empati kepada kaum papa ketimbang mereka.

Umar juga menunjukkan pentingnya gagasan welas asih lebih dari siapa pun penakluk Yerusalem sebelumnya, mungkin selain Nabi Daud. Dia (Umar bin Khaththab)menerapkan penaklukan yang paling damai dan paling tanpa pertumpahan darah sepanjang sejarah panjang kota itu (Yerusalem)yang penuh kesedihan dan tragedi, tulis Karen Armstrong lagi.

Khalifah Umar juga menolak berdoa (shalat) di dalam gereja. Alasannya disampaikan kepada Sophronius. Umar tidak ingin gereja itu kemudian diubah oleh tentara Muslim menjadi masjid hanya karena pemimpinnya pernah berdoa di sana.

Umar juga peka terhadap kaum Yahudi.

Sejarah mencatat, selama kuatnya dominasi Romawi Timur di Yerusalem, kaum Kristen setempat menjadikan sisa bangunan Kuil Kedua yang dihancurkan Persia sebagai tempat sampah. Ini tentunya menyakiti perasaan kaum Yahudi.

Begitu melihat penampakan bangunan itu, Khalifah Umar untuk sesaat terkejut.

Namun, seperti dituturkan sejarawan Mujirudin, Umar kemudian mengambil beberapa batu yang menimbun bekas Kuil Kedua itu. Tindakan Umar ini segera diikuti seluruh pasukan Muslim.

Beberapa saat kemudian, situs tersebut tampak lebih bersih dari semula. Umar, sebagaimana seluruh kaum Muslim pada saat itu, memahami benar signifikansi Yerusalem bagi tiga umat yang mengakui kenabian Ibrahim AS. Hanya saja, berbeda daripada penguasa Kristen maupun Yahudi yang saling mendiskreditkan satu sama lain, Khalifah Umar berupaya menjadikan Yerusalem sebagai rumah yang terbuka untuk kaum Muslim, kaum Kristen, dan kaum Yahudi.

Khalifah Umar selanjutnya memanggil Kaab bin Ahbar, seorang Muslim yang dahulunya beragama Yahudi untuk dimintai pendapatnya. Sahabat Nabi SAW bergelar al-Faruq ini ingin memastikan lokasi situs- situs di Yerusalem yang bersejarah dalam perspektif Yahudi

 

REPUBLIKA

Shalahuddin Al Ayyubi dan Penyebaran Akidah Al Asy’ariyah

SHALAHUDDIN AL AYYUBI disamping masyhur sebagai seorang mujahid besar pembebas Al Quds, Shalahuddin Al Ayyubi juga memiliki andil dalam hidupnya gerakan keilmuan di berbagai cabangnya di waktu itu, termasuk ilmu aqidah.

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki perhatian besar terhadap masalah aqidah, dimana Qadhi Ibnu Syaddad menyampaikan,”Ia memiliki akidah yang lurus, banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Akidahnya diperoleh dalil- dalil, dengan perantara melalui pembahasan bersama para ahlul ilmi dan para ulama besar.” (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Shalahuddin Al Ayyubi sendiri dalam akidah menganut akidah Al Asy’ari, dimana Ash Shafdi berkata,”Ia (Shalahuddin Al Ayyubi) bermadzhab Asy Syafi’i. Al Asy’ari dalam aqidah, dan  mentalqinkan akidah Al Asy’ari kepada anak-anaknya dan melazimkan mereka belajar di atas akidah tersebut.” (Al Wafi bi Al Wafayat, 29/48)

Para ulama pun mengetahui bahwa Shalahuddin sebagai penguasa amat memperhatikan masalah akidah, hingga mereka pun memberikan dukungan akan hal itu. Quthbuddin An Naisaburi, seorang ulama faqih madzhab Asy Syafi’i telah menyusun kitab aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi, dan karena antusiasnya, Shalahuddin Al Ayyubi pun hafal dengan baik kitab tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Dalam hal ini Ibnu Syaddad berkata,”Aku menyaksikan Shalahuddin mengajarkannya kepada anak-anaknya, sedangkan mereka menyampaikan dengan hafalan kepadanya.”( An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Bukan hanya Quthbuddin An Naisaburi, seorang faqih yang menjadi rujukan di Mesir, Muhammad Hibatullah bin Makki Al Hamawi telah menyusun nadzam aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi yang bernama Hadaiq Al Fushul wa Jawahir Al Ushul. (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 7/23)

Termasuk dalam rangka membentengi akidah Shalahuddin amat menjaga akidah para penuntut ilmu, dimana ia mensyaratkan gurunya berakidah Al Asya’riyah. Al Allamah Abdul Qadir Badran berkata,”Shalahuddin mengajak masyarakat kepada akidah Syeikh Abu Hasan Ali bin Isma`il Al Asy’ari, dan mansyaratkan siapa yang mengelola wakaf di Mesir harus berakidah Al Asy’ari, termasuk madrasah As Shalahiyah, Al Qamhiyah dan khaniqah Sa’id As Su’ada di Kairo. Dan keadaan itu terus berlangsung di Mesir, Hijaz dan Yaman”. (Manadimah Al Athlal wa Masamirah Al Khayal, hal. 75)

Menghapus Akidah Syi’ah dengan Al Asy`ari

Dengan menyebarnya akidah Al Asy’ariyah, Shalahuddin Al Ayyubi berhasil mengikis habis akidah Syi’ah yang pernah berkuasa di Mesir dan Syam sebelumnya pada waktu itu. Al Jabrati berkata,”Dan An Nashir Yusuf menampakkan syariat Nabi Muhammad dan membersihakn wilayah Mesir dari bid’ah-bid’ah, ajaran Syi’ah, serta aqidah yang rusak dan menonjolkan akidah Ahlu As Sunnah wa Al Jama’ah, yaitu aqidah Al Asy’ariyah dan  Al Maturidiyah. (Al Aja`ib Al Atsar li Al Jabarti, 1/10)

Gerakan Panjang Kuatkan Aqidah

Bahkan Shalahuddin Al Ayyubi berupaya keras dalam menguatkan akidah umat pada waktu itu dengan beberapa kebijakannya, dalam hal ini Al Hafidz As Suyuthi, menyatakan,”Ketika Shalahuddin bin Ayyub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini”. (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal. 15)

Di masa Imam As Suyuthi, tradisi melantunkan akidah Al Asy’ariyah masih berlaku, padahal ulama besar ini wafat tahun 911 H. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh madzhab Al Asy’ari sangat kuat dipegang di wilayah yang pernah dikuasai oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada waktu itu.

Daulah Al Ayyubiyah dan Aqidah Al Asy’ari

Bukan hanya Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki perhatian besar terhadap masalah akidah, penguasa-pengausa Daulah Al Ayyubiyah setelahnya pun memiliki sikap yang sama. Malik Al Adil yang merupakan saudara Shalauddin yang menjadi penguasa setelahnya pun memiliki perhatian terhadap akidah, hal ini terlihat bagaimana hubungan dekatnya dengan Imam Fakhruddin Ar Razi yang merupakan ulama penganut Al Asy’ariyah, hingga Imam Fakhuruddin Ar Razi mencatat dalam muqadimah kitabnya Ta’sis At Taqdis, bahwasannya ia membuat kitab itu untuk hadiah bagi Malik Adil Al Ayyubi, yang ia sebut sebagai seorang pemimpin mujahid. (lihat, muqaddiman Asas At Taqdis, hal. 10 dan 11)

Demikian juga yang terlihat pada penguasa Damaskus Malik Al Asyraf, yang tidak lain merupakan putera dari Malik Al Adil, dimana ia mensyaratkan siapa yang mengajar di Dar Al Hadits Al Asyrafiyah haruslah bermadzhab Al Asy’ari. Sebagaimana disebutkan oleh Taj As Subki bahwasannya Al Hafidz Al Mizzi, yang merupakan mertua dari Al Hafidz Ibnu Katsir tidak menduduki kursi Dar Al Hadits kecuali telah menulis pernyataan bahwa akidahnya Al Asy’ari. (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 10/200)

Pengajar Dar Al Hadits Al Asyrafiyah sendiri  adalah para ulama besar yang juga menghasilkan para ulama besar di bidang hadits. Diantara para ulama yang mengajar di sekolah ini adalah, Al Hafidz Ibnu Shalah, Al Hafidz Abu Syamah, Imam An Nawawi, Al Hafidz Al Mizzi, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki, Al Hafidz Ibnu Katsir dan lainnya. (Lihat, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, 1/15-36)

Dengan kondisi demikian, maka posisi madzhab Al Asy’ari amatlah kuat di wilayah-wilayah Al Ayyubiyyah. Dengan demikian, terlihatlah peran Shalahuddin Al Ayyubi beserta para penguasa setelahnya di dinasti Al Ayyubiyah  dalam penyebaran akidah Al Asyariyah di dunia Islam. Namun tentu saja Shalahuddin Al Ayyubi tidak melakukan sendiri, namun hal itu merupakan gerakan kolektif bersama para ulama di waktu itu.

 

HIDAYATULLAH

7 Peristiwa Besar Umat Islam yang Terjadi Pada 10 Muharram

Bulan Muharram atau dalam istilah penanggalan jawa disebut bulan suro merupakan bulan yang sering dilekatkan dengan cerita mistis.

Bahkan, sampai saat ini ada beberapa pihak yang tidak berani menyelenggarakan acara atau hajatan di bulan muharram atau suro karena kemistisan di bulan pertama tahun hijriyah ini.

Namun, tentunya tidak semua orang percaya dengan hal tersebut. Apalagi, zaman semakin berkembang, dan cerita-cerita mitos semakin ditinggalkan oleh beberapa orang.

Dibalik semua itu, bulan Muharram atau bulan suro sebenarnya memiliki sejarah yang besar bagi perjalanan Islam di dunia, tepatnya pada 10 muharram, yang pada tahun ini jatuh pada tanggal 29 September 2017.

Pada tanggal 10 muharram tersebut, ada tujuh peristiwa besar yang harus diketahui oleh umat muslim di seluruh dunia.

Dikutip dari laman ‘nu online’, berikut ini 7 peritiwa besar umat Islam yang terjadi pada tanggal 10 muharram.

 

1. Nabi Adam bertobat kepada Allah

Nabi Adam, disebutkan bertobat dan meminta ampunan Tuhan pasca dikeluarkan dari surga. Pada tanggal 10 muharram inilah, tobat Nabi Adam diterima Allah dan diampuni segala dosanya. Saat itu, dikisahkan nabi Adam menangis tanpa henti karena menyesal perbuatannya memakan buah quldi.

 

2. Berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi

Tanggal 10 muharram juga merupakan tanggal di mana kapal Nabi Nuh berlabuh. Setelah berlayar lama dari banjir air bah yang diturunkan Tuhan, akhirnya kapal Nabi Nuh berlabuh di bukit Zuhdi. Banjir tersebut diturunkan Tuhan untuk memusnahkan kaum Nabi Nuh yang durhaka.

3. Selamatnya Nabi Ibrahim dari siksa api Namrud

Tanggal 10 muharram juga merupakan hari dimana Nabi Ibrahim selamat dari siksa api raja Namrud. Nabi Ibrahim dihukum oleh Namrud karena merusak berhala yang disembah oleh Namrud dan rakyatnya. Kala itu, Nabi Ibrahim memenggal tiap kepala berhala yang ada di kuil dengan kapak dan kemudian menggantungkan kapak tersebut di leher berhala yang terbesar di kuil.

Kejadian ini diketahui Namrud, yang kemudian memerintahkan prajuritnya untuk menangkap dan menghukum Nabi Ibrahim dengan cara dibakar api. Namun saat itu Tuhan menyelamatkan Nabi Ibrahim dan memberikan mukjizat tidak bisa dibakar oleh api.

 

4. Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara Mesir

Pada tanggal 10 muharram ini pula kisah Nabi Yusuf yang terkenal dengan ketampanannya dimulai. Dikisahkan, Nabi Yusuf pernah dipenjara karena difitnah ingin melakukan tindakan tercela pada Zulaikha. Padahal kejadian yang sebenarnya adalah Zulaikha yang menggoda nabi Yusuf. Namun, setelah melalui pembuktian yang panjang, akhirnya nabi Yusuf dibebaskan dan terbukti tidak bersalah.

5. Nabi Yunus keluar dari perut ikan hiu

Dikisahkan, pada suatu masa, Nabi Yunus pernah menyerah untuk menasihati kaumnya yang ingkar. Nabi Yunus kemudian berkelana dan meninggalkan kaumnya. Suatu ketika saat Nabi Yunus naik sebuah kapal, terjadilah sebuah badai yang besar.

Para awak kapal kemudian memutuskan untuk mengurangi beban berat agar kapal tidak tenggelam. Mereka lalu melakukan undian untuk memutuskan siapa penumpang kapal yang akan dibuang di tengah lautan.

Dari tiga kali undian dilakukan, nama Nabi Yunus lah yang selalu keluar. Awak kapal sebetulnya keberatan dengan hasil undian tersebut. Namun, Nabi Yunus yang tahu bahwa ini adalah kehendah Tuhan rela menerjunkan diri ke lautan yang ganas.

Tuhan yang mendengar doa nabi Yunus kemudian mendatangkan ikan paus untuk menelan sang nabi. Setelah berada selama 40 hari di perut ikan paus, nabi Yunus akhirnya keluar dengan selamat. Nabi Yunus keluar dari perut ikan paus bertepatan dengan tanggal 10 muharram.

 

6. Nabi Ayyub disembuhkan Allah dari penyakitnya

Pada suatu ketika nabi Ayyub diberi cobaan Tuhan dengan penyakit kulit yang menjijikkan. Karena penyakit tersebut, semua yang dimiliki nabi Ayyub pergi meninggalkan beliau. Termasuk kaumnya yang sebelumnya selalu dibantu oleh kedermawanan Nabi Ayyub. Namun karena keihklasannya, pada tanggal 10 muharram, Tuhan mengangkat dan menyembuhkan penyakit Nabi Ayyub.

7. Nabi Musa dan umatnya selamat dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah

Nabi Musa adalah pemimpin revolusioner bani Israil yang diperbudak oleh Firaun. Nabi Musa berhasil mengajak kaumnya untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari tanah yang dijanjikan Tuhan.

Namun celakanya, Firaun dan prajuritnya melakukan pengejaran terhadap Nabi Musa dan kaumnya. Hingga suatu ketika mereka terjebak di laut merah.

Atas kuasa Tuhan, laut merah tersebut terbelah sehingga Nabi Musa dan kaumnya dapat melintas. Setelah Nabi Musa dan kaumnya melintas, laut itu kemudian kembali seperti semula dan menenggelamnkan Firaun (TribunWow.com/Fachri Sakti Nugroho)

 

TRIBUN NEWS

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Bulan Muharram

Muharram adalah bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah. Dalam Bahasa Arab muharram berasal dari akar kata harramayang artinya mengharamkan. Sedangkan makna muharram adalah: ‘yang diharamkan’. Orang Arab menamakan bulan ini dengan Muharram (yang diharamkan) karena di bulan ini mereka melarang terjadinya peperangan.

Jauhari berkata, “Dalam penanggalan Arab terdapat empat bulan hurum yang orang Arab tidak memperkenankan perang di dalamnya kecuali dua kampung (yang membolehkan) yaitu Jats’am dan Thayyi’, sebagaimana ditulis Ibnul Mandzūr dalam kitab Lisānul ‘Arab.

Asyhurul hurum atau bulan-bulan yang terlarang ada empat; tiga diantaranya berurutan dan satu tidak. Yang berurutan adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram. Yang terpisah adalah bulan Rajab.

Sebagaimana firman Allah ta’ala;

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّہُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَہۡرً۬ا فِى ڪِتَـٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡہَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٌ۬‌ۚ   (٣٦

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” [QS At Taubah:9 (36)]

Dahulu masyarakat Arab juga menamakan bulan-bulan haram dengan munshilul asinnah(Pencabut mata tombak atau panah). Karena ketika datang bulan tersebut mereka melepaskan mata-mata panah dan kepala-kepala tombak agar menghindari perang dan menghilangkan sebab-sebab fitnah (kekacauan) karenanya.

Keutamaan Bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, “Puasa paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim, begitu juga Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai)

Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata bahwa Rasulullah berkata, “Barang siapa berpuasa sehari pada bulan Muharram, baginya setiap hari setara tiga puluh hari.” (HR Thabrani)

Hadist tersebut menjadi dalil atas kesunnahan puasa Muharram. Sekaligus memberikan kesimpulan bahwa Puasa Muharram adalah puasa paling utama setelah Ramadhan. Namun, seakan ada kontradiksi, dalam hadist yang lain dikatakan bahwa Puasa Sya’ban adalah puasa paling utama setelah Ramadhan.

Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Imam as-Shon’ani dalam Kitab Subūlussalāmmenjelaskan bahwa kedua hadist tersebut benar dan tidak kontradiktif. Karena hanya berbeda sudut pandang saja. Beliau berpendapat hadist yang menunjukkan keutamaan puasa bulan Muharram adalah jika dilihat dari sisi bulan-bulan yang diharamkan. Sedangkan keutamaan puasa bulan Sya’ban adalah keutamaan yang mutlak. Wallahu a’lam.*/Auliya El Haq

 

HIDAYATULlAH