Hukum Shalat Sendirian di Belakang Shaf yang Sudah Penuh (Bag. 1)

Setelah sebelumnya dijelaskan secara rinci mengenai Posisi Imam dan Makmum dalam Shalat Jama’ah kali ini kita akan membahas secara berseri penjelasan jika seorang makmum shalat sendirian di belakang shaf yang sudah penuh

Penjelasan Ulama Mengenai Permasalahan Ini

Ketika seseorang masuk masjid dan mendapati shaf sudah penuh, dan dia tidak memiliki ruang (tempat) untuk masuk ke shaf yang sudah ada, apakah dia diperbolehkan tetap ikut shalat jamaah dengan membuat shaf sendiri (satu orang) di belakang shaf? Atau dia harus menunggu sampai ada jamaah lain yang datang agar bisa membuat shaf baru bersama dengan orang tersebut? 

Permasalahan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Terdapat tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat Pertama

Seseorang boleh membuat shaf sendirian di belakang jamaah lainnya, dan shalatnya sah. 

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk tiga imam madzhab, yaitu Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah. Di antara dalilnya adalah hadits sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang terlambat shalat jamaah, kemudian disebutkan,

فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ

“Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai di shaf, sambil berjalan menuju shaf.” (HR. Bukhari no. 784 dan Abu Dawud no. 684, lafadz hadits ini milik Abu Dawud)

Al-Baghawi rahimahullah berkata, 

“Dalam hadits ini terdapat masalah fiqh, yaitu siapa saja yang shalat sendirian di belakang shaf dan menjadi makmum, maka shalatnya sah. Hal ini karena Abu Bakrah ruku’ di belakang shaf. Sehingga ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan di belakang shaf. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk bagaimanakah sebaiknya yang hendaknya dikerjakan di masa mendatang, yaitu “Janganlah diulangi lagi.” Ini adalah larangan dalam rangka memberikan bimbingan, bukan larangan yang menunjukkan pengharaman. Jika ini adalah larangan dalam rangka mengharamkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.” (Syarhus Sunnah, 3: 338)

Pendapat ke Dua

Shalat sendirian di belakang shaf jamaah itu tidak sah.

Ini adalah madzhab Imam Ahmad, dan juga salah satu riwayat dari pendapat Imam Malik, juga dipilih oleh sejumlah ulama fiqh dan ulama ahlul hadits. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahumullah. 

Ulama yang memilih pendapat ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 682, At-Tirmidzi no. 230, dan Ibnu Majah no. 1004, dinilai hasan oleh At-Tirmidzi)

Hadits ini juga memiliki penguat dari hadits ‘Ali bin Syaiban, beliau berkata,

خَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَايَعْنَاهُ، وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ صَلَّيْنَا وَرَاءَهُ صَلَاةً أُخْرَى، فَقَضَى الصَّلَاةَ، فَرَأَى رَجُلًا فَرْدًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ، قَالَ: فَوَقَفَ عَلَيْهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ قَالَ: اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ، لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

“Kami berangkat hingga akhirnya sampai di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami membai’at dan shalat di belakangnya. Setelah itu kami mengerjakan shalat yang lain di belakang beliau. Selesai shalat, beliau melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf.” ‘Ali bin Syaiban berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu, beliau berhenti di sisi orang itu, lalu bersabda, “Ulangilah shalatmu, karena tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” (HR. Ibnu Majah no. 1003, shahih)

Para ulama yang mengikuti pendapat ke dua ini kemudian berselisih, apa yang harus dilakukan jika ada satu orang datang dan dia jumpai shaf sudah penuh (tidak ada satu pun celah). Sebagian ulama mengatakan, dia harus menarik satu orang di shaf agar bisa menyusun shaf berdua dengannya. Pendapat ini lemah, sebagaimana akan kami sebutkan alasannya di seri ke dua tulisan ini. 

Sebagian ulama mengatakan, dia harus berdiri di samping imam. Tidak terdapat dalil dalam masalah ini. Namun, terdapat riwayat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berdiri di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit. Akan tetapi, peristiwa ini adalah kasus yang bersifat kasuistik. Selain itu, kita bayangkan jika shafnya itu banyak. Dia harus menyibak shaf-shaf tersebut agar bisa sampai ke tempat imam. Tentu ini akan mengganggu jamaah shalat dan juga mengganggu imam. Lalu, bagaimana lagi jika ada orang ke dua, disusul orang ke tiga yang datang terlambat, tentu makin banyak jamaah yang shalat di samping imam. Oleh karena itu, masalah ini mengisyaratkan lemahnya pendapat yang ke dua ini. 

Pendapat ke Tiga

Pendapat yang memberikan perincian dalam masalah ini.

Yaitu, apabila dia masih mendapatkan sedikit celah untuk masuk ke shaf di depannya, dan dia tidak melakukannya dan memilih membuat shaf sendirian di belakang, maka shalatnya tidak sah. Namun, jika dia sudah berusaha mencari dan shaf betul-betul sudah penuh, maka boleh menjadi makmum sendirian di belakang shaf

Inilah yang menjadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Qudamah, dan juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahumullah. 

Pendapat yang Paling Kuat dan Alasannya

Pendapat ke tiga inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, dengan didukung beberapa alasan (argumentasi) berikut ini:

Pertama, para ulama sepakat bahwa rukun dan wajib shalat itu gugur ketika tidak mampu dikerjakan. Sebagaimana perkara yang haram juga gugur ketika terdapat situasi darurat. Ini adalah salah satu kaidah penting dalam syariat. Misalnya, berdiri adalah rukun shalat. Namun, ketika seseorang tidak mampu berdiri, dia boleh shalat sambil duduk atau berbaring. Menyusun shaf bukanlah termasuk rukun dan wajib shalat. Kita tidak ragu lagi bahwa kalau memang tidak bisa bergabung dengan shaf yang sudah ada (karena sudah penuh), maka ini adalah situasi ‘udzur yang bisa dimaklumi. 

Ke dua, bahwa dalil-dalil umum dari syariat juga menguatkan hal ini. Misalnya, firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala semampu kalian.” (QS. At-Taghaabun [64]: 16)

Juga firman Allah Ta’ala, 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Ke tiga, pendapat ini adalah pendapat yang menggabungkan semua dalil yang ada dalam masalah ini. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ali bin Syaiban,

لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ

“ … karena tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.”

Dimaknai jika orang tersebut ceroboh dalam melaksanakan kewajiban (alias sebetulnya masih ada celah untuk dimasuki, namun dia memilih di belakang shaf sendirian). Adapun jika memang shaf itu sudah sangat rapat dan penuh, dia tidak lagi mendapatkan celah meskipun sedikit, tidak termasuk dalam larangan hadits ini. 

(Bersambung)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52892-shalat-sendirian-di-belakang-shaf-1.html

Shalat yang Paling Berat Bagi Orang Munafik

Salah satu ibadah yang paling utama di sisi Allah adalah shalat fardhu berjamaah di masjid. Bahkan, Rasulullah menegaskan, shalat fardhu berjamaah di masjid itu menjadi pembeda antara orang mukmin dan orang munafik.

“Shalat fardhu berjamaah yang paling berat dilaksanakan oleh orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh,” kata Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustaz Muhammad Arifin Ilham dalam pesan instan yang diterima Republika.co.id, Selasa (18/7).

Padahal shalat Isya dan Shubuh berjamaah itu hikmanya luar biasa. Arifin mengutip hadits Rasulullah SAW,  “Barangsiapa yang shalat Isya`berjamaah,  maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR Muslim nomor 656).

Dalam haditsnya yang lain, Rasululah juga menegaskan, “Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR Bukhari nomor 657 dan Muslim nomor  651).

Arifin mengajak kaum Muslimin untuk selalu mohon doa kepada Allah, agar menjadi hamba-hamba Allah yang mencintai shalat fardhu berjamaah. “Allhumma ya Allah,  tanamkan di hati kami keindahan iman dan kesenangan shalat berjamaah di Rumah-Mu di mulai waktu Shubuh,” tutur Ustaz Arifin Ilham.

 

REPUBLIKA

Fatwa Ulama: Shalat Di Semua Masjid Di Mekkah Pahalanya Sama Seperti Di Masjidil Haram?

Soal:

Apakah pahala shalat di masjid mana saja di kota Mekkah sama seperti shalat di Masjidil Haram?

Jawab:

Permasalahan ini adalah hal yang diperselisihkan oleh para ulama. Menurut pendapat yang paling kuat, shalat di masjid-masjid di kota Mekkah pahalanya tidak sama seperti shalat di masjidil Haram. Alasannya, karena pelipat-gandaan pahala hanya berlaku jika shalat di Masjidil haram saja, yaitu di Ka’bah. Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Maimunahradhiyallahu ánha, bahwa Nabi shallallahu álaihi wa sallam bersabda,

صلاة في مسجدي أفضل من ألف صلاة فيما سواه من المساجد إلا مسجد مكة

Shalat di masjidku lebih utama 1000 kali daripada shalat di masjid yang lain kecuali di Masjid kota Mekkah” (HR. Muslim)

Adapun masjid lain yang masuk di dalamnya tanah haram, tidak diragukan lagi memang lebih utama dibandingkan masjid yang berada di luar tanah haram. Oleh karena itu, ketika Nabishallallahu álaihi wa sallam melakukan perjanjian Hudaibiyah, sebagian berada di tanah halal dan sebagian berada di tanah haram, Nabi shalat di tanah haram.

Masjidil Haram jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah masjid itu sendiri. Sebagaimana Allah Tabaraka wa Taála berfirman,

ياأيها اْلَّذينَ أَمنُوا إِنَّما اْلُمشْرِكُون نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُوا اْلَمسجِد اْلْحَرام بَعد عَامِهِمْ هَذا

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini” (QS. At-Taubah: 28).

Jika yang dimaksud Masjidil Haram di sini adalah area yang masuk ke dalam jarak sekian mil, maka tidak boleh bagi orang musyrik untuk mendekati area tersebut, karena wajib bagi orang musyrik untuk menjauh darinya. Padahal telah diketahui bersama bahwa mereka biasa mendekati batas area tersebut, namun memang tidak memasukinya. Jika demikian, maka yang dilarang adalah memasuki Masjidil Haram saja, padahal ayatnya menyebutkan : “janganlah mereka mendekati Masjidil Haram“. Sehingga (jika berpendapat dengan pendapat ini), larangan untuk mendekati bukanlah larangan untuk memasuki Masjidil Haram.

Maka hal ini menunjukkan bahwa Masjidil Haram yang Nabi sebutkan keutamaan shalat di dalamnya, maksudnya adalah Masjidil Haram itu sendiri. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabishallallahu álaihi wa sallam

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام ومسجدي هذا والمسجد الأقصى

Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Suatu hal yang telah diketahui, jika seseorang ingin melakukan perjalanan jauh (untuk ibadah) ke Masjid Syaáb misalnya, atau Masjid Jamizah, atau selainnya, maka kita katakan hal ini tidak diperbolehkan. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu álaihi wa sallam yang melarang melakukan perjalanan kecuali di 3 masjid saja.

Seandainya kita bolehkan orang untuk melakukan perjalanan jauh (untuk ibadah) ke setiap masjid yang ada di area Mekkah, maka mereka akan melakukan perjalanan jauh ke 10 masjid, atau 100 masjid di sana.

 

Namun jika Masjidil Haram penuh dengan orang yang shalat sampai sangat padat sekali, sehingga sebagian jamaah shalat di sekitar pertokoan, maka mudah-mudahan yang shalat di pertokoan ini mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang shalat di dalam Masjidil Haram. Karena itulah yang bisa mereka upayakan secara maksimal, dan mereka telah berupaya untuk ikut bersama jama’ah yang ada di dalam Masjidil Haram dalam menunaikan ibadah ini.

***

Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=5062

Penerjemah: Wiwit Hardi P.

Artikel Muslim.or.id