MENCARI ILMU sepanjang hayat, begitulah ciri seorang Muslim sejati. Allah Subhanahu Wata’ala sendiri telah menyampaikan, sesungguhnya ilmu Allah itu luas, memenuhi langit dan bumi.
Bahkan, jika seluruh lautan dijadikan tinta untuk menulis segala sesuatu yang diketahui Allah SWT mulai dari Al-Qur’an sebagai dasarnya, pasti seluruh lautan tidak akan kehabisan ilmu Allah SWT. Ini juga fakta bahwa semakin banyak kita belajar, semakin kita merasakan betapa banyak yang tidak kita ketahui.
قُلْ لَّوۡ كَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّـكَلِمٰتِ رَبِّىۡ لَـنَفِدَ الۡبَحۡرُ قَبۡلَ اَنۡ تَـنۡفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّىۡ وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهٖ مَدَدًا
“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS: Al-Kahfi: 109).
Tidak ada pembelajar yang merasa sudah mengetahui segala sesuatu, bahkan sebaliknya bagi seorang siswa akan selalu dirinya sendiri masih harus banyak belajar dan itulah sebabnya dia mendorongnya untuk terus belajar.
Bahkan dalam dunia akademik pun hal yang sama terjadi sekalipun dia seorang profesor, semakin banyak ia belajar selama itu pula ia merasa masih banyak ilmu yang belum diketahui. Oleh karena itu menuntut ilmu itu wajib, terutama ilmu-ilmu bersifat fardu ‘ain, seperti: ilmu fikih, ilmu akidah, tazkiyatunnafs (tasawuf).
Dahulu kita tidak pernah mendengar bahwa shalat bisa menjadi terapi untuk kesehatan, namun dengan kajian demi kajian kita menemukan bahwa sholat sangat baik untuk kesehatan. Shalat tidak hanya merupakan kewajiban agama atau perintah Allah SWT, tapi secara fisik juga ada manfaat kesehatan.
Untuk mendapatkan berkah ilmu, apapun yang dipelajari harus niat untuk diamalkan dan dengan begitu ilmu menjadi berkah. Ilmu juga memilih dengan siapa ia ingin berteman dan di dada siapa ia ingin duduk. Ada orang yang ilmunya ingin “berteman” maka ia akan melekat pada orang tersebut, namun jika ilmu melihat bahwa orang tersebut tidak berbuat baik dengan ilmunya, maka ilmu tersebut akan meninggalkannya.
Seorang tabi’in bernama Said bin Jubair yang belajar dari para sahabat seperti Abu Hurairah dan Abdullah bin Abbas RA. Rasulullah ﷺ sendiri berdoa kepada Abdullah bin Abbas RA yang berbunyi:
اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل
“Allahumma faqqih hu fid diin, wa alimhuttakwiil.”
“Ya Allah, berilah kefahaman tentang agama (Islam) kepadanya dan kurniakanlah ilmu tentang takwil (tafsiran dan pemahaman alQuran).” (HR Ahmad bin Hanbal, al-Hakim, al-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir, al-Ausath dan Saghir).
Maksudnya: “Ya Allah, ajarkanlah Ibn Abbas ini dalam urusan agama dan ajarkanlah dia takwil (menafsir Al-Quran).”
Doa ini sering dibacakan kepada bayi yang baru lahir, dalam upacara tahnik, atau “membuka mulut”.
Mencari ilmu sepanjang hayat & Terus belajar meski telah memiliki ilmu
Said bin Jubair pernah berkata bahwa kita tidak belajar hanya karena dia tidak tahu, tetapi kita belajar melampaui apa yang kita pikir sudah kita ketahui. Orang yang bertakwa bukanlah orang yang merasa sudah memiliki ilmu, tetapi orang yang bertakwa selama orang tersebut terus belajar. Pada saat dia berhenti belajar, pada saat itu dia bukan lagi orang yang shaleh.
Belajar sepanjang hayat bisa kita lakukan kepada siapa saja. Bahkan kepada orang yang tidak tahu, dengan lingkungan bahkan dengan alam sekitar.
Imam Syafii pernah menyebutkan bahwa jatuhnya seseorang itu ketia dia merasa hebat, maka jika seseorang merasa alim dan berilmu, maka tunggulah saat kejatuhannya.
Imam Ahmad pernah berkata bahwa kebaikan ilmu tiada tandingnya jika ilmu yang dicari dimaksudkan untuk menghilangkan kebodohan, terutama kebodohan diri terlebih dahulu. Inilah kemaslahatan terbesar bagi orang yang mencari ilmu, yaitu mengoreksi kebodohannya diri sendiri.
Rasulullah ﷺ mengatakan;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكَ (رواه بيهقى)
“Nabi ﷺ bersabda,”Jadilah engkau (1) orang berilmu, atau (2) orang yang menuntut ilmu, atau (3) orang yang mau mendengarkan ilmu, atau (4) orang yang menyukai ilmu. Dan (5) janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka.” (HR:Baihaqi).
Mencari ilmu sepanjang hayat & tetap mencari ilmu meski usia tidak muda
Sebab Baginda Nabi ﷺ mengajarkan umatnya untuk tetap mencari ilmu sepanjang hayat. Itulah sebabnya Baginda Rasulullah ﷺ menjelaskan dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr bahwa mencari ilmu pengetahuan itu merupakan kewajiban ke atas setiap Muslim.
Kewajiban mencari ilmu itu seharusnya difahami sebagai suatu proses mencari ilmu sepanjang hayat dan tidak terbatas pada waktu atau umur tertentu. Beberapa ulama besar bahkan baru belajar di usia yang sudah berumur.
Ibn Hazm, mulai belajar fikih di usia menginjak 26 tahun. Beliau belajar ilmu fikih kepada Abu Abdillah bin Dahun. Gurunya itu pertama kali mengenalkan kitab Imam Malik, al-Muwatho’. (Sair A’lam an-Nubala).
Imam Al-Qoffal mendalami ilmu fiki pada usia 30 tahun. Tokoh Mazhab Syafi’iyah ini akhirnya dijuluki . Al-Qoffal artinya pembuat kunci. Hal ini karena beliau sejak muda ahli membuat kunci. (Sair A’lam an-Nubala).
Zakariya Al-Anshari, seorang ahli fikih yang karyanya menjadi rujukan banyak ulama ternyata baru belajar fikih saat menginjak usia 26 tahun. Imam Kisai, seorang ulama besar ahli nahwu dan qiro’ah baru belajar di usia 40 tahun bahkan mampu menghapal lima permasalahan tiap hari.
Imam Abu Fattah al-Muni’i. Kisah dan riwayat ulama yang satu ini begitu menginspirasi, selain sebagai ulama yang sangat luas pengetahuannya, ia juga memiliki riwayat belajar di usianya yang sudah mendekati senja.
Imam Izzuddin bin Abdissalam yang dijuluki sulthanul ulama’ (rajanya ulama) belajar ilmu fikih di usia sudah dewasa. Karena kesulitan ekonomi, Izzudin memilih menimba ilmu daripada bekerja.
Beliau akhirnya tinggal di tempat pengajian dan ditugasi menata serta mempersiapkan majelis ilmu. Dengan kebiasaan itulah, beliau akhirnya terbiasa mengikuti pengajian dan belajar secara sungguh-sungguh. (At-Thabaqat as-Syafi’iyyah).
Imam Hammad bin Sulaiman, salah satu sosok berpengaruh di balik kealiman Imam Abu Hanifah an-Nukman, yang kemudian menjadi pelopor keberadaan Mazhab Hanafiyah ini juga dikenal sebagai tabi’in, orang-orang yang masih menjumpai sebagian dari para sahabat nabi.
Meski berlatarbelakang seorang budak, beliau akhirnya dikenal sebagai salah satu pembesar para ulama (kibaru al-ulama) di kota Naisabur. Imam Hammad bin Sulaiman adalah salah satu ulama yang masuk dalam daftar telat belajar dan akhirnya berhasil menguasai cabang-cabang ilmu.
Syeikh Taqiyuddin al-Ghazzi, mengatakan: “Imam Hammad bertemu dengan kumpulan manusia, kemudian ia belajar fikih di usia tua.” (Thabaqatu as-Sunniyah fi Tarajimi al-Hanafiyah, Maktabah asy-Syamilah Aliya, halaman 265).
Begitulah ciri seorang mukmin sejati, tiada lelah mencari belajar dan tetap mencari ilmu sepanjang hayat, meski nyawa di ujung badan.*