Solusi Saat Anggapan Sial Menghampiri

Saat ini kita hidup di zaman yang maju dan serba modern, di mana perkembangan teknologi dan informasi berlangsung begitu cepat, berubah dan bertransformasi. Zaman di mana diri kita mendapatkan banyak kemudahan karena pesatnya teknologi yang berkembang.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan kemodernan dalam hidup ini, jauh-jauh hari sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan kepada kita bahwa akan tetap ada keyakinan-keyakinan dan pemikiran terbelakang lagi primitif (jahiliah) yang bersarang di dalam hati masyarakat modern ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk dalam perbuatan jahiliah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah).” Lalu, beliau bersabda, “Orang yang meratapi mayit, apabila ia wafat sebelum bertobat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (HR. Muslim no. 934)

Di dalam hadis tersebut disebutkan bahwa di antara sifat-sifat primitif dan terbelakang (jahiliah) yang tidak mudah untuk dihilangkan dan ditinggalkan masyarakat adalah tathayyur atau biasa disebut juga dengan ‘anggapan sial’.

Sejarah tathayyur dan keberagamannya di Indonesia

Tathayyur berasal dari kata tha’ir yang artinya burung. Anggapan sial diistilahkan dan dikaitkan dengan burung karena dahulu kala, orang Arab jahiliyah apabila hendak melakukan perjalanan, mereka akan melihat pergerakan burung terlebih dahulu. Apabila ada burung yang terbang ke arah kanan, maka itu adalah pertanda baik untuk melakukan perjalanan. Namun, apabila mereka mendapati burung terbang ke arah kiri, maka mereka tidak akan memulai perjalanan tersebut. Karena mereka menganggap hal tersebut adalah pertanda buruk atau kesialan.

Di lingkungan masyarakat Indonesia, anggapan sial sangatlah merebak dan perlu diwaspadai. Dimulai dari anggapan bahwa seseorang yang kejatuhan cicak, maka ia akan mendapatkan musibah pada hari tersebut. Atau ketika mendengar burung gagak, seseorang beranggapan akan mendapatkan kesialan atau bahkan kematian. Banyak juga yang beranggapan bahwa angka tiga belas adalah angka sial, sampai-sampai lift-lift di gedung-gedung tinggi tidak memuat angka tiga belas di dalamnya.

Parahnya lagi, keyakinan dan anggapan-anggapan batil tersebut seringkali menjadi bahan pertimbangan sebagian masyarakat kita di dalam menentukan tanggal dan bulan pernikahan. Bahkan, sebagian masyarakat menunda pernikahan atau bahkan menggagalkan pernikahan hanya karena perselisihan dan perbedaan pendapat di dalam menentukan tanggal pernikahan tersebut.

Sungguh ini semua adalah perbuatan syirik yang harus kita waspadai dan kita jauhi. Kesyirikan karena mengaitkan sesuatu bukan pada sebab hakikinya, meyakini bahwa sesuatu dapat menimbulkan mara bahaya tanpa seizin Allah Ta’ala.

Manfaat dan mudarat adalah ketetapan Allah Ta’ala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu masih kecil,

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ

“Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh makhluk (di langit dan di bumi) berkumpul untuk mendatangkan suatu manfaat untukmu, niscaya mereka tidak dapat memberikan manfaat untukmu, kecuali apa yang Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk mendatangkan bahaya untukmu, niscaya mereka tidak dapat mendatangkan suatu pun bahaya untukmu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena (penulis takdir) telah diangkat dan catatan (takdir) telah mengering.” (HR. Tirmizi no. 2516, dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmizi)

Saat kita membutuhkan atau mengkhawatirkan sesuatu, maka yang kita perlukan hanyalah bertawakal dan bersandar kepada Allah Ta’ala. Memasrahkan seluruh urusan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman di dalam surah At-Thalaq,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalaq: 3)

Allah Taala juga berfirman,

قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Katakanlah (hai Muhammad kepada orang-orang musyrik), ‘Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhala itu dapat menghilangkan kemudaratan itu? Atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku, apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, hanya kepada-Nyalah orang orang yang berserah diri bertawakkal.’” (QS. Az-Zumar: 38)

Bahaya menganggap sial sesuatu

Menganggap sial sesuatu minimalnya akan mengurangi kadar ketauhidan dan keimanan seorang hamba. Lebih parah lagi, menganggap sial sesuatu dapat meniadakan tauhid dan iman secara total. Pertama, karena orang tersebut tidak memiliki rasa tawakal kepada Allah Ta’ala dan justru bergantung kepada selain Allah. Dan kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayyul, dikarang-karang, dan hasil dari keragu-raguan.

Thiyarah, menganggap sial sesuatu termasuk perbuatan syirik yang menafikan kesempurnaan tauhid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

“Thiyarah (anggapan sial) itu syirik. Thiyarah itu syirik. Thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja, Allah menghilangkannya dengan tawakal kepada-Nya.” (HR. Abu Dawud no. 3910, Tirmidzi no. 1614, Ibnu Majah no. 3538, dan Ahmad no. 3687)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa mengurungkan niatnya dari menunaikan sebuah kebutuhan karena thiyarah (anggapan sial), maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad no. 7045 dan At-Thabrani 14: 35 no. 14622)

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menuturkan,

“Orang yang melakukan tathayyur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang yang paling penakut, paling sempit hidupnya, dan paling gelisah jiwanya. Banyak memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan justru memberikan mudarat kepadanya. Tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan (untuk berbuat kebaikan-pent.).” (Miftah Daris Sa’adah, 3: 273)

Orang yang terbiasa menganggap sial sesuatu, maka akan menjadi orang yang pesimis, mudah putus asa, dan pada akhirnya sering melewatkan kesempatan untuk berbuat baik atau mendapatkan kebaikan. Hanya karena kejatuhan cicak misalnya, ia pun menunda keluar untuk bekerja atau melakukan ibadah. Padahal keduanya jelas merupakan kebaikan bagi dirinya. Ini menunjukkan betapa buruknya anggapan sial terhadap sesuatu.

Solusi saat anggapan sial menghampiri

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa salah seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur (di masa jahiliah).”

Lalu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ذاكَ شيءٌ يَجِدُهُ أحَدُكُمْ في نَفْسِهِ، فلا يَصُدَّنَّكُمْ

“Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian. Akan tetapi, janganlah engkau jadikan hal tersebut sebagai penghalang bagimu (untuk melakukan sesuatu).” (HR. Muslim no. 537)

Beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya ada pada diri dan keyakinan orang tersebut. Perasaan semacam ini mungkin saja timbul di hati kita. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadis ini memberikan solusi agar diri kita tidak terjatuh ke dalam kesyirikan. Yaitu, dengan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penghalang bagi diri kita untuk melakukan suatu perbuatan.

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya perihal tebusan yang harus dilakukan oleh seseorang yang terpengaruh oleh thiyarah sehingga mengurungkan niatnya untuk melakukan sesuatu. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

“Hendaklah ia mengucapkan, ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan, kecuali kebaikan dari Engkau. Tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu. Dan tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” (HR. Ahmad no. 7045 dan At-Thabrani 14: 35 no. 14622)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Menjadikan kita salah satu hamba yang tidak bergantung kepada siapapun selain Allah Ta’ala. Karena hanya Allahlah satu-satunya yang dapat memberikan manfaat dan menimpakan kemudaratan.

Wallahu A’lam bis-shawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.