Saat Nabi Muhammad Melarang Sahabat Korupsi dan Ambil Suap

Nabi Muhammad melarang sahabat melakukan korupsi dan mengambil suap.

Kasus korupsi yang menjerat pejabat publik kembali meramaikan pemberitaan. Padahal dalam agama Islam melalui Nabi Muhammad, korupsi berupa konflik kepentingan dan suap-menyuap merupakan hal yang dilarang keras.

Sebagaimana diketahui, Rabu (8/1) lalu, Komisioner pusat Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan (WS), terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). WS terjaring saat menerima suap untuk memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P.

Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi yang merupakan karya dari kumpulan bahtsul masail ulama-ulama NU disebutkan, hal paling mendasar dalam konflik kepentingan adalah adanya kepentingan kelompok maupun pribadi yang ingin berkesinambungan. Baik itu di lingkup pengusaha, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Dengan adanya fakta partai politik yang melahirkan para wakil rakyat dan pemimpin memiliki komitmen finansial tertentu, hal ini sangat besar memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Namun begitu hingga saat ini, belum ada aturan yang tegas untuk mengatur bahwa seorang pengusaha harus lepas sama sekali dari partainya.

Penguasa sekaligus sebagai pengusaha dimungkinkan akan menimbulkan mudharat akibat kecenderungan munculnya konflik kepentingan. Ibnu Khaldun bahkan berpendapat, kedua profesi yang dijalankan beriringan ini dapat mengarahkan pelakunya untuk berusaha memperkaya diri atau kelompoknya.

Nabi Muhammad sedari dulu telah mengantisipasi umatnya untuk mencegah konflik kepentingan ini. Pada masa Rasul, terdapat contoh konflik kepentingan antara petugas pemungut zakat yang juga sekaligus pendakwah Islam di Yaman.

Kala itu, petugas tersebut ditugaskan di Yaman karena masyarakatnya sedang dibina mengenai zakat. Nabi kemudian mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah. Dalam pengakuan Mu’az bin Jabal, sesaat setelah Nabi melepasnya dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi ternyata melupakan satu wasiat penting. Hingga akhirnya, beliau mengutus kembali seseorang agar mereka kembali baru dilepaskan lagi.

Usai mereka kembali, peristiwa ini pun terekam dalam hadis shahih riwayat Ahmad: “Dari al-Hars bin Amr dari beberapa orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Nabi mengutus Mu’az dan beliau bertanya: ‘bagaimana kamu akan memutuskan hukum?’, Mu’az pun menjawab akan memutuskan hukum dengan dasar Kitabullah.

Kemudian, Rasulullah bertanya kembali: ‘Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?’, Muaz menjawab akan merujuk dasar sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi: ‘Kalau tidak kau dapatkan dalam sunnah Nabi?’ Muaz menjawab akan melakukan ijtihad dengan pemikirannya. Mendengar ini, Rasulullah pun bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasulullah SAW,”.

Rasulullah juga berpesan kepada Mu’az untuk tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama bertugas menjadi pendakwah dan pejabat di Yaman.
Berdasarkan hadis riwayat At-Tirmizi diceritakan:

“Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata: Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata: apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu,”.

Atas dasar hadis tersebutlah, cakupan ghulul pada tahun ke-10 hijriah bukan hanya sebatas pada harta rampasan perang sebagaimana yang terjadi di tahun sebelumnya. Uang tip, pelicin, dan uang keamanan masuk dalam kategori tindakan korupsi. Dalam istilah Nabi, uang-uang ini disebut al-maksu atau pungutan liar.

KHAZANH REPUBLIKA

Menyogok Masuk PNS (Kerja) dan Hukum Gajinya

Hukum menyogok untuk masuk kerja

Menyogok untuk masuk kerja tentu tidak diperbolehkan dalam Islam dan hukumnya adalah haram. Kita dapati ada oknum (segelintir orang) yang berusaha untuk menyogok agar bisa diterima oleh PNS (semoga tidak terjadi lagi di negara kita tercinta Indonesia). Mereka berpikir tidak apa-apa menyogok dengan jumlah uang yang besar untuk masuk PNS. Sangkaan mereka bahwa ketika jadi PNS, maka hidup mereka akan terjamin oleh negara sampai mati, bahkan ada pesangon untuk anak dan istri sepeninggalnya.

Memberikan sogok (suap) dan menerima sogokan (suap) adalah dosa besar dan mendapat laknat. Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ

“Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. [HR. Abu Daud, shahih]

Kerusakan di muka bumi ini terjadi karena merajalelanya sogok dan suap. Allah Ta’ala berfirman mengenai sifat orang Yahudi,

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” [Al-Maidah : 42]

Maksud memakan yang haram (أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ) yaitu suap dan sogok. Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya,

أي : الحرام ، وهو الرشوة كما قاله ابن مسعود وغير واحد أي : ومن كانت هذه صفته كيف يطهر الله قلبه؟ وأنى يستجيب له

“Yaitu harta yang haram berupa sogok/suap sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud dan yang lainnya. Apabila ada orang yang bersifat dengan sifat ini, bagaimana Allah akan membersihkan hatinya? Bagaimana bisa doanya dikabulkan?” [Tafsir Ibnu Kastir]

Demikian juga Allah berfirman agar manusia jangan saling memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang haram. Termasuk dalam hal ini adalah harta dari suap/sogok.

Allah berfirman,

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Bagaimana hukum gaji apabila dahulunya masuk kerja dengan cara menyogok atau menyuap?

Dalam hal ini dirinci, perlu dibedakan antara hukum masuk kerja dengan cara menyogok dan gaji yang didapatkan setelah dia bekerja. Rinciannya sebagai berikut:

Pertama:

Apabila ia tidak ahli dan tidak kompeten dalam pekerjaan tersebut, maka dia harus mengundurkan diri dan gajinya adalah haram

Bisa jadi dia menyogok karena tidak ahli/kompeten atau bukan bidangnya (tidak profesional) dalam pekerjaan tersebut, akan tetapi karena dia menyogok, maka ia diterima pada pekerjaan tersebut. Dalam hal ini dia harus bertaubat dan segera mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut, karena dia telah melakukan kedzaliman bekerja bukan pada keahliannya. Sebuah amanah pekerjaan harus diserahkan pada ahlinya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)

Kedua:

Apabila ia ahli dan kompeten dalam pekerjaan tersebut, maka ia harus bertaubat dari menyogoknya, berusaha memperbaiki diri dan gajinya adalah halal

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa gajinya halal apabila dia adalah seorang yang kompeten dan ahli hanya saja dia harus bertaubat dari perbuatan menyogok.

لا حرج إن شاء الله، عليه التوبة إلى الله مما جرى من الغش، وهو إذا كان قائما بالعمل كما ينبغي ، فلا حرج عليه من جهة كسبه؛ لكنه أخطأ في الغش السابق، وعليه التوبة إلى الله من ذلك

“Tidak mengapa (gajinya halal) –insyaallah- dan wajib baginya bertaubat karena telah melakukan sogok. Hal ini apabila ia mampu (kompeten) melakukan pekerjaan tersebut sebagaimana seharusnya. Tidak mengapa baginya dari sisi pekerjaannya (gajinya), akan tetapi dia telah salah dalam perbuatan sogok sebelumnya dan wajib baginya bertaubat kepada Allah.” [Majmu’ Fatawa 19/31]

Hendaknya ia benar-benar memperhatikan zakat hartanya untuk membersihkan hartanya. Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103)

dan hendaknya banyak bersedekah juga dari gajinya tersebut.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43746-menyogok-masuk-pns-kerja-dan-hukum-gajinya.html

Suap karena Terpaksa, Bolehkah?

Praktik suap menjadi salah satu musuh besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Termasuk dalam usaha reformasi aparatur negara. Praktik suap seolah sudah masuk semua lini. Bukan hanya menimpa pejabat tinggi, aparatur pemerintah di level bawah pun terindikasi akrab dengan praktik ini.

Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seseorang melakukan suap karena keterpaksaan. Pasalnya, lingkungan tertentu membuat seseorang mau tidak mau mengeluarkan suap untuk memperlancar urusan. Lalu apakah boleh melakukan suap karena keterpaksaan?

Pada dasarnya suap itu masuk dalam kategori risywah. Praktik risywah jelas sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu.” (QS an-Nisa’ [4]:29).

Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]:188).

Ancaman keharaman suap ini berlaku bagi tiga golongan, yakni pemberi suap  (ar-rasyi), si penerima (al-murtasyi), dan penghubung antara keduanya (ar-raa’sy).

Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah RA. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT sangat murka (melaknat) orang yang menyuap dalam bidang hukum, orang yang menerima suap dan orang yang menjadi penghubung di antara keduanya.” (HR Ahmad)

Begitu berbahayanya suap sehingga setiap pihak yang terlibat di dalamnya jatuh ke dalam larangan tersebut. Maka seseorang tak boleh memberikan sesuatu kepada pejabat dengan harapan dimudahkan urusannya.

Begitu juga sang pejabat tidak boleh menerima sesuatu sebagai imbalan agar urusan yang berkaitan dengan kuasa diberi kemudahan. Termasuk orang yang menghubungkan antara sang pemberi dan penerima.

Dalam suap terkandung banyak unsur kezaliman, seperti mengambil hak orang lain, menghalalkan yang haram atau sebaliknya, dan bisa memengaruhi keputusan penguasa yang merugikan pihak lain.

Lalu bagaimana jika seseorang sebenarnya tidak ingin memberi suap tetapi terpaksa? Beberapa ulama membolehkan memberi sesuatu kepada orang yang berkuasa dengan beberapa syarat.

MUI DKI Jakarta dalam salah satu poin fatwanya pada 25 April 2000 menyebutkan jika ada suap yang diperbolehkan. Klausul ini hanya diperuntukkan bagi yang memberi, bukan yang menerima.

Jika seseorang melakukan suap karena terpaksa untuk membela, mempertahankan, atau merebut hak, menurut MUI DKI Jakarta, hal itu diperbolehkan. Namun, bagi penerima, suap tersebut tetaplah haram.

Bagi pemberi diperbolehkan karena jika tidak memberikan suap (risywah), dia tidak akan mendapatkan haknya atau akan diperlakukan secara zalim. Sedangkan, bagi penerima hukumnya haram karena dia tidak berhak menerima hal itu.

Misalnya, seseorang yang mengurus sesuatu ke aparat pemerintahan. Sang aparat tidak akan mengurus kebutuhannya jika tidak diberi suap. Berbagai cara sudah dilakukan agar suap tersebut tidak dilakukan. Sementara, kebutuhannya sangat mendesak. Maka bagi pemberi suap seperti ini tak masalah. Namun, bagi penerima, tetaplah ia masuk kategori risywah.

Ustaz Bachtiar Nasir juga mengamini jika ada sedikit pengecualian bagi seseorang yang melakukan suap dengan jalan amat terpaksa.

Menurut Ustaz Bachtiar, jumhur ulama memberikan suap untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman atas dirinya. Dan, ini hanya dibolehkan bagi yang memberi, sedangkan bagi yang menerima suap tersebut hukumnya tetap haram dan tidak ada seorang pun ulama yang membolehkannya.

Jadi, syarat untuk dibolehkannya seseorang membayar suap kepada seseorang, pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Sementara, jika ia membayarnya untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut.

Ustaz Bachtiar memberikan catatan jika kedaruratan tersebut tidak berarti boleh terus-menerus dilakukan. Jika pekerjaan tersebut membuat terus-menerus harus menyogok, sifat keterpaksaannya menjadi hilang. Hukumnya pun menjadi hukum asal risywah baik pemberi maupun penerima mendapat dosa besar.

Pendapat ini juga dikeluarkan Imam Nawawi dalam Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin. Menurutnya, jika orang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realitas, memberi suap hukumnya haram. Sedangkan, suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.

Masuk Kerja Nyogok, Halalkah Gajinya?

SERING kita mendengar bahwa dalam penerimaan pegawai; baik swasta maupun negeri, terjadi sogok-menyogok uang dengan tujuan agar si pelamar dapat diterima bekerja di tempat yang bersangkutan.

Apakah gaji yang diterima si pelamar yang telah menyogok itu dapat dikatakan “halal”? Bagaimana hukumnya? Apa yang harus dilakukan jikalau si pelamar telah terlanjur bekerja di tempat tersebut?

Jawaban:

Waalaikumussalam. Kita semua yakin bahwa melakukan sogok untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya hukumnya haram, bahkan termasuk dosa besar. Yang menanggung dosa bukan hanya penerima sogok, termasuk orang yang menyogok. Termasuk dalam hal ini adalah menyogok untuk mendapatkan pekerjaan. Semua pihak yang terlibat dalam tindak kriminal ini turut mendapatkan laknat atas perbuatannya, sampai dia bertobat.

Untuk kasus sogok dalam rangka mendapatkan pekerjaan, selama penerimaan pegawai untuk lowongan pekerjaan itu berdasarkan tes setiap pelamar, maka sogok dalam kasus ini statusnya haram. Karena sogok bukanlah alasan untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih berhak mendapatkan pekerjaan tersebut, dan posisi pekerjaan tersebut bukanlah hak bagi penyogok.

Barangkali orang yang masih penerapkan praktik kotor semacam ini perlu merenungkan hadis:

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang nyogok dan penerima sogok.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)

Bagaimana status gajinya?

Jika si pegawai hasil nyogok ini telah bertobat kepada Allah, dan telah menyedekahkan sebagian hartanya, maka tidak masalah dia tetap bertahan di posisi tersebut. Dengan syarat: dia memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya tersebut, karena mengampu pekerjaan, sementara dia tidak memliki kemampuan termasuk mengkhianati amanah. Dan dampak buruk perbuatannya bisa jadi menimpa banyak orang.[]

Disadur dari: Fatawa Islam, oleh Syaikh Muhammad Al-Munajed, no. 112128

 

INILAH MOZAIK

Mengerikan, Inilah Hukuman Bagi Penerima Suap

DEWASA ini praktik suap menjadi problematika di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Bahkan tidak berlebihan bila kita katakan, bahwa persoalan ini sudah menjadi masalah yang multi dimensional. Melihat telah merambah dalam ranah sosial, moral, hukum, ekonomi dan pendidikan.

Seorang yang melakukan suap, biasanya ia memberikan suap untuk suatu kepentingan; baik berupa keuntungan tertentu atau supaya terbebas dari jerat hukuman. al Fayyumi rahimahullah, dalam Mishbahul Munir menjelaskan makna daripada risywah,

“Risywah (gratifikasi) adalah sebuah pemberian seseorang kepada hakim atau selain hakim, supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi menuruti keinginannya” (1)

al-Jurjani dalam at-tarifat menerangkan,

“Risywah adalah, harta yang diberikan untuk tujuan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah” (2)

Maka tidaklah heran, bila pihak yang paling rawan berhubungan dengan suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah, yang memiliki peranan penting dalam memutuskan perkara. Semisal dalam pemberian izin ataupun pemberian mandat proyek.

Dalam urusan administrasi, juga tidak lepas dari suap. Untuk saat ini, pejabat yang berwenang mengeluarkan surat administrasi ataupun identitas; semisal paspor, KTP, SIM dan lain-lain, rentan berhubungan dengan suap.

Bahkan saat ini, suap ditengarai sudah merambah ke dunia pendidikan. Baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswa baru, kenaikan kelas, kelulusan atau untuk mendapatkan nilai bagus dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah.

Amat menyedihkah bukan melihat kenyataan yang seperti ini (?!) Lembaga pendidikan yang dielu-elukan menjadi tonggak masa depan bangsa, pun ternyata tak lepas dari parktik sogok. Yang sudah barang tentu praktik haram seperti ini akan menghilangkan keberkahan daripada ilmu. Untuk itu perlu digalakan lagi gerakan penyadaran masyarakat akan bahaya risywah atau gratifikasi.

Pandangan Islam terhadap gratifikasi

Di antara prinsip dasar Islam adalah, mendatangkan segala hal yang bisa memberikan maslahat bagi kehidupan manusia, dan mencegah segala perkara yang bisa merugikan kehidupan manusia atau meminimalisir dampaknya. Di antara perkara yang merugikan kehidupan manusia adalah praktik risywah (gratifikasi). Oleh karenanya, Islam menetapkan keharaman praktek ini.

Bahkan sebagian ulama telah menukilkan ijma (kesepakatan di kalangan ulama) akan keharaman risywah. Di antaranya adalah Taqiyyuddin as Subki rahimahullah dalam kitab fatwanya (3). Mereka menyimpulkan dari banyak dalil yang secara tegas melarang perbuatan ini.

Di antaranya adalah berikut ini:

Pertama: firman Allah taala,

“Mereka (orang-orang Yahudi) itu suka mendengar kebohongan-kebohongan para pendeta mereka dan suka memakan as-suht” (QS Al Maidah 42).

“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) berlomba-lomba berbuat dosa dan permusuhan serta memakan harta as-suht. Sungguh amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu” (QS. Al-Maidah : 62)

Lalu apa gerangan makna as-suht pada ayat di atas?

Ternyata makna as-suht pada ayat di atas adalah risywah, sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahualaihiwasallam dalam sabdanya,

“Setiap daging yang tumbuh karena as-suht, maka api neraka lebih pantas untuknya. Para sahabat bertanya, Wahai Rasul, apa as-suht itu? Beliau menjawab, Risywah dalam memutuskan perkara.” (HR. Baihaqi).

Ibnu Masud radhiyallahuanhu juga menerangkan makna as-suht,

“Suht adalah engkau memenuhi keperluan saudaramu, kemudian dia memberikan hadiah kepadamu, lalu engkau menerima hadiah tersebut.” (4)

Para pembaca yang dimuliakan Allah, konteks ayat di atas sedang membicarakan sifat orang-orang Yahudi, yang mana mereka biasa memakan harta suht. Dan telah kita simak bersama pemaparan mengenai makna suht, bahwa maknanya adalah risywah atau harta suap. Dari sini dapat kita ketahui, bahwa diantara sifat orang-orang Yahudi adalah biasa melakukan prkatek risywah.

Oleh karenanya, larangan terhadap perbuatan ini tidak hanya karena keharaman harta suap itu sendiri, namun juga karena terdapat unsur tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi.

Kedua, Allah taala berfirman,

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil.” (QS Al Baqarah: 188).

Imam Qurtubi rahimahullah, dalam tafsirnya menukilkan salah satu penjelasan ahli tafsir mengenai makna ayat ini, “Maksud ayat ini adalah, janganlah kalian merayu para hakim dengan menyuap mereka, dengan harta kalian.Untuk memenangkan siapa yang iming-iming uangnya paling banyak.”

Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Athiyyah rahimahullah, yang menunjukkan tarjih (pilihan) beliau terhadap penafsiran ini, “Penafsiran inilah yang paling kuat. Karena hakim memang rawan menerima suap. Kecuali hakim yang mendapat taufik untuk menjauhi praktek haram tersebut dan mereka hanya segelintir.” (5)

Realita di lapangan memang demikian. Suap sering diberikan kepada aparat penegak hukum atau para pejabat di lingkungan birokrasi pemerintahan, yang memiliki peranan penting dalam memberikan suatu keputusan.

Imam al Baghowi dalan tafsirnya juga menjelaskan makna ayat ini, “Memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, maksudnya adalah memakan harta milik saudaramu dengan cara yang tidak halal.”

Beliau melanjutkan, “Memakan dengan cara batil ada banyak macamnya. Bisa dengan cara menggosob atau merampok. Bisa pula berupa harta yang didapat dari hasil judi atau gaji penyanyi dan lain yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (6)

Ketiga, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memakan harta yang baik dan halal. Di antaranya adalah firman Allah taala,

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepada kalian. Dan bertakwalah kepada Allah. Tuhan yang kalian imani” (QS. Al-Maidah: 88).

Dalam kaidah ushul fikih disebutkan,

Perintah terhadap sesuatu, bermakna larangan terhadap perkara sebaliknya.

Ayat di atas memerintahkan kaum mukminin untuk memakan rezeki yang baik dan halal. Dari kaidah ushul fikih di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa perintah ini mengandung makna larangan dari perkara sebaliknya, yaitu segala macam rezeki yang haram. Dan termasuk dalam kategori rezeki yang haram adalah harta risywah atau gratifikasi.

Keempat, laknat Rasulullah terhadap orang yang menyuap dan yang menerima suap.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu, beliau mengatakan,

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Juga riwayat dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu,

“Rasulullah shallallahualaihi wasallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap” (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al-Albani).

Kelima, hadis dari sahabat Abu Humaid as Saidi radhiyallahuanhu, bahwa beliau menceritakan,

Nabi shallallahualaihiwasallam mempekerjakan seseorang dari suku Azdy, namanya Ibnu Al Utbiyyah untuk mengurusi zakat. Tatkala ia datang iapun berkata (kepada Rasulullah) ,”Ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.”

Nabipun lantas bersabda, “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu? Demi Allah, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak. Kalau unta atau sapi atau kambing, semua bersuara dengan suaranya.”

Kemudian beliau mengangkat tangan sampai kelihatan putih ketiak beliau, seraya bersabda, “Ya Allah, tidakkah telah aku sampaikan” Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali” (HR. Bukhari).

Keenam, hadis Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

“Penyuap dan orang yang menerima suap berada dalam neraka” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir).

Hati-hatilah, Risywah adalah Dosa Besar

Diantara dalil telah yang kami paparkan di atas, terdapat hadis yang menerangkan ancaman laknat bagi para penyuap dan yang menerima suap. Sedang Para ulama menjelaskan,

“Setiap dosa yang hukumnya berupa laknat, maka dosa tersebut termasuk dosa besar.”

Ini menunjukkan bahwa risywah masuk dalam kategori dosa besar, yang seharusnya diwaspadai.

Di samping itu, Allah taala juga menerangkan, bahwa kebiasaan memakan harta suap adalah sifat orang-orang Yahudi. Sehingga praktik suap termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai ciri khas) orang-orang kafir. Dan tasyabbuh kepada orang kafir termasuk dosa besar. Karena Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya” (HR. Abu Daud no. 4031. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676).

Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam Al Kabair menggolongkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, ke dalam dosa besar. Beliau menyatakan, “Dosa besar ke 20: Kedzoliman dalam bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.” Kemudian beliau menyampaikan firman Allah taala,

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil ” (QS: Al Baqarah188). (7)

Tentu tak diragukan lagi, termasuk memakan harta dengan cara yang batil adalah, praktik sogok atau suap menyuap. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al Baghowi dalam tafsirnya,

“Memakan harta manusia dengan cara yang batil ada banyak macamnya. Bisa dengan mengghosob atau merampok. Bisa hasil judi atau gaji penyanyi dan yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (8)

Wabillahi at taufiq.

Catatan kaki:

[1] Mishbahul Munir hal. 228, dalam Nadhrotun Naim 10/4542

[2] at-Tarifat hal. 116, dalam Nadhrotun Naim 10/4542

[3] Fatawa as Subki, 1/204, maktbah Syamilah

[4] Al-Kabair hal. 143

[5] Tafsir Al-Qurtubi 2/226

[6] Tafsir Al Baghowi 1/165

[7] Al Kabair hal: 86

[8] Tafsir Al Baghowi 1/165. [Ahmad Anshori]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2365235/mengerikan-inilah-hukuman-bagi-penerima-suap#sthash.4Z0AE1EX.dpuf

Budaya Sogok Menyogok

Budaya sogok menyogok alias suap menyuap di negeri ini telah mendarah daging dan terjadi di berbagai sendi kehidupan. Kalau suap menyuap nasi itu mesra, asalkan dilakukan dengan istri atau suami maka halal

Budaya sogok menyogok alias suap menyuap di negeri ini telah mendarah daging dan terjadi di berbagai sendi kehidupan. Kalau suap menyuap nasi itu mesra, asalkan dilakukan dengan istri atau suami maka halal. Namun kalau suap menyuap sama lawan jenis yg bukan mahrom tentunya haram.

Demikian juga kalau suap menyuap dalam urusan pemerintahan atau birokrasi agar dimuluskan jalan yg berlubang alias salah jalan, maka itu haram tentunya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Semoga laknat Allah ditimpakan kepada penyuap dan yang disuap” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dll)

Upaya memerangi praktek suap menyuap di negri kita seakan berhenti di tempat, atau paling kurang gali lubang membuka lubang yang lebih lebar, dan demikian seterusnya. Yang demikian itu karena upaya perang terhadap suap menyuap tidak diiringan dengan pembangunan iman dan ketakwaan kepada Allah, yang merupakan pondasi moral dan perilaku umat islam.

Begitu melekatnya budaya suap menyuap sampai-sampai ada seorang jamaah haji yang ingin menyuap nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ceritanya, teman saya yang bertugas menjaga kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh salah seorang saudara kita seorang jamaah haji indonesia. Jamaah haji tersebut mengamati kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan penuh santun. Pandangannya terus tertuju ke arah kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah mengamati beberapa saat lamanya, tiba-tiba jamaah haji indonesia tersebut melemparkan uang kertas pecahan Rp 100.000,- ke arah kuburan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Tak ayal lagi, sikap saudara kita ini mengejutkan penjaga kuburan, yang kebetulan seorang mahasiswa Islamic University dari kota Jogjakarta. Setelah melemparkan uang pecahan Rp 100.000,- jamaah haji itu bergegas pergi.

Aneh memang, sikap seperti ini, kalau mau bersedekah kepada Nabi, maka beliau telah meninggal dunia, sehingga tidak membutuhkan uang. Bila ingin bersedekah kepada penjaga kuburan, kok dilemparkan ke arah kuburan bukan langsung diserahkan kepada yang jaga. Walaupun secara peraturan yang berjaga di kuburan beliau tidak dibenarkan menerima hadiah apapun dan dari siapapun.

Mungkinkah, jamaah haji tersebut ingin memberi hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar beliau kelak memberinya syafaat di hadapan Allah? Namun, Tahukah saudara bahwa menerima hadiah karena suatu rekomendasi alias syafaat adalah salah satu bentuk korupsi? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَفَعَ لِأَحَدٍ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنَ الرِّبَا»

Barang siapa memberikan suatu rekomendasi kepada seseorang, lalu yang ia beri rekomendasi memberinya hadiah dan iapun menerimanya, maka berarti ia telah memasuki satu pintu besar dari pintu riba“. (HR. Ahmad dan lainnya).

Dengan demikian tidak mungkin Nabi menerima hadiah semacam ini andaipun beliau masih hidup di dunia.

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id