Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 14): Muliakan Ulama

Bismillah

Ulama itu ibarat ayah untuk ruh, seperti bapak adalah ayah untuk jasmani. Sebagaimana dikatakan oleh ulama kita,

الشيخ أب للروح كما أن الوالد أب للجسد

“Ulama/guru/ustadz adalah ayah untuk ruh, sebagaimana bapak adalah ayah untuk jasad.”

Sebagaimana kita wajib menghormati ayah kandung, demikian pula para ustaz, kyai, atau ulama yang telah mengajarkan ilmu kepada kita juga harus dihormati.

Kita simak bagaimana keteladanan para ulama dalam menghormati guru mereka. Kita coba resapi ungkapan Syu’bah bin Hajaj Rahimahullah ini,

كل من سمعت مته حديثا فأنا له عبد

“Siapa pun yang pernah aku dengarkan hadis darinya, maka aku adalah budaknya.”

Dalil memuliakan ulama

Muhammad bin Ali Al-Udfuwi Rahimahullah mengungkap sebuah ayat yang mendasari ucapan Syu’bah Rahimahullah di atas,

إذا تعلم الإنسان من العالم واستفاد منه الفوائد فهو له عبد، قال تعالى (وإذ قال موسى لفتاه)، وهو يوشع بن نون، ولم يكن مملوكا له، وإنما كان متلمذا له متبعا له، فجعله الله فتاه لذلك

“Bila seorang belajar kepada seorang berilmu (alim), lalu dia mendapat manfaat dari ilmunya, maka dia adalah budak bagi orang alim itu. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ

‘Ingatlah ketika Musa berkata kepada budaknya‘ (QS. Al-Kahfi : 60).

Budak yang dimaksud adalah Yusya’ bin Nun. Padahal sebenarnya Yusya’ bukanlah budaknya Musa. Sejatinya beliau adalah murid dan pengikut setia Musa. Namun, ternyata Allah Ta’ala menyebut Yusya’ sebagai hamba sahayanya Musa.”

Kita semua mengenal siapakah Yusya’ bin Nun ‘Alaihissalam. Beliau juga nabi sebagaimana Musa ‘Alaihissalam. Meskipun beliau juga nabi, saat beliau berguru kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Ta’ala menyebut Yusya’ sebagai hamba sahayanya Musa ‘Alaihissalam. Beliau yang nabi saja seperti itu kedudukannya di hadapan gurunya, bagaimana lagi kita orang yang bukan nabi dan bukan orang saleh? Wallahu a’lam. Oleh karena itu, kita lebih butuh lagi untuk memuliakan para guru dan ulama kita.

Islam secara tegas memerintahkan kita memuliakan para ulama. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari sahabat Ubadah bin Shomit Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليس من أمتي من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه

“Bukan termasuk umatku, siapa saja yang tidak mengormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, atau tidak tahu hak-hak para alim ulamanya umat kami.”

Contoh adab memuliakan ulama

Pertama, berperilaku tawadu’ (rendah hati) di depannya.

Kedua, memperhatikan dan mendengarkan petuahnya.

Ketiga, perhatian kepadanya.

Keempat, berbicara santun dan sopan saat mengobrol dengannya.

Kelima, mengharumkan nama guru saat bercerita tentangnya dengan pemuliaan yang wajar kepada guru yang juga manusia.

Keenam, berterima kasih atau merasa berhutang budi karena ilmu yang telah beliau ajarkan.

Ketujuh, tidak menampakkan ketidaktertarikan pada kajian atau nasihat-nasihatnya.

Kedelapan, berhati-hati dengan tidak menyakiti beliau, baik dengan ucapan ataupun perbuatan.

Kesembilan, mengingatkan beliau jika salah dengan cara yang santun dan lembut.

Enam sikap beradab sebagai respon terhadap kesalahan guru

Murid juga perlu mengingatkan gurunya dengan cara yang santun dan lembut jika gurunya melakukan kesalahan. Hal ini karena beliau juga manusia, walaupun setinggi apapun ilmu dan ketakwaannya. Manusia adalah tempatnya salah dan aib. Ada saatnya juga guru itu berbuat salah. Sebagaimana murid juga bisa berbuat salah.

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi Hafidzohullah menerangkan ada enam sikap beradab sebagai respon terhadap kesalahan guru/ustaz, yakni:

Pertama, tabayun atau mencari penjelasan apakah benar sang guru melakukan kesalahan tersebut.

Kedua, berikutnya mencari penjelasan apakah benar kesalahan tersebut benar-benar tepat dinilai sebagai kesalahan. Bisa jadi sebab kesalahan yang dituduhkan adalah karena salah paham. Padahal apa yang dituduhkan kepada sang guru sejatinya bukan kekeliruan. Seperti kata penyair,

وكم من عائب قولا صحيحا    #    وآفاته من الفهم السقيم

“Betapa banyak orang menyalahkan ucapan yang benar, sebabnya hanya salah paham.”

Cara tabayun langkah ke dua ini adalah dengan bertanya kepada ustaz yang lain atau orang yang dipandang berilmu. Karena hanya orang berilmu yang tahu apakah kesalahan yang dituduhkan adalah benar kesalahan ataukah tidak.

Ketiga, tetap kita katakan salah jika guru terbukti melakukan kesalahan, meskipun yang melakukan adalah orang yang sangat kita hormati dan kita pandang berilmu.

Keempat, berusaha keras mencari alasan untuk berpikir positif.

Kelima, menyampaikan masukan dengan cara yang santun dan lembut. Jangan bersikap dan berkata kasar, apalagi memviralkan ketergelinciran guru.

Keenam, tidak merendahkan nama baik guru, walaupun guru telah terjatuh pada kesalahan. Tetap jagalah nama baiknya di hadapan kaum muslimin. Agar kebaikan yang beliau dakwahkan tetap bermanfaat untuk masyarakat luas.

Sekian penjelasan dari kami. Wallahul muwaffiq, semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kami dan pembaca sekalian untuk dapat memuliakan guru dan ulama.

***

Referensi :

Khulashoh Ta’dhiimil Ilmi, karya Syekh Sholih Al-‘Ushoimi Hafidzohullah.

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72718-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-14-muliakan-ulama.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 13): Hafalkan, Diskusikan, dan Bertanyalah

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 12): Carilah Teman yang Mendukungmu Belajar Agama


Bismillah

Ada tiga hal yang jika diupayakan seorang penuntut ilmu, maka ilmu akan bersemai di dalam jiwanya:

Pertama, menghafal.

Kedua, berdiskusi dengan rekan belajar/kajian.

Ketiga, bertanya kepada ahli ilmu

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi hafizhahullah menerangkan di dalam kitab Khulashoh karyanya,

إذ تلقيه عن الشيخ لا ينفع بلا حفظ له ومذاكرة به وسؤال عنه، فهؤلاء تحقق في قلب طالب العلم تعظيمه، بكمال الالتفات إليه والاشتغال به، فالحفظ خلوة بالنفس، والمذاكرة جلوس إلى القرين والسؤال إقبال على العالم

Belajar kepada seorang guru (syekh, ustaz, dll) tidak bermanfaat tanpa menghafal, berdiskusi, dan bertanya kepada guru. Tiga hal itu akan mewujudkan pengagungan ilmu di dalam dada sesuai kadar totalitas mempelajarinya. Menghafal adalah khalwat seorang penuntut ilmu dengan dirinya sendiri. Berdiskusi adalah duduk bersama rekan-rekannya. Bertanya adalah menghadap kepada ulama.

Dengan mengupayakan tiga hal di atas, seorang penuntut ilmu menjadi seimbang waktu belajarnya. Ada saat-saat dia harus menyendiri dengan dirinya, itulah saat menghafal. Ada saat-saat ia harus bersosialisasi dengan teman-temannya, itulah saat ia berdiskusi. Ada saat-saat ia harus welcome, konsentrasi kepada gurunya, yaitu saat bertanya kepada guru.

Ketiga poin di atas kita perjelas lagi dengan catatan di bawah ini:

Menghafal

Orang-orang yang sukses dalam menuntut ilmu, yakni para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar rahimahumullah, dan yang lainnya, perjuangan belajar mereka tidak lepas dari upaya menghafalkan ilmu. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyampaikan testimoni dari kegiatan menghafal beliau di masa-masa belajar,

حفظنا قليلا وقرأنا كثيرا، فانتفعنا بما حفظنا أكثر من انتفاعنا بما قرأنا

Kami menghafal sedikit dan banyak membaca. Ternyata manfaat yang kami dapat dari hafalan lebih banyak daripada yang didapat dari membaca.”

Karena ilmu yang didapat dari menghafal, akan lebih kokoh tersimpan di dalam jiwa daripada yang didapat dari membaca. Meski kedua metode ini sangat bermanfaat. Ada ilmu yang memang harus dihafal. Ada yang cukup dengan membaca. Namun, jangan pernah menganggap sepele metode menghafal dalam belajar, kemudian mencukupkan dengan pemahaman. Manfaat menghafal bagi penuntut ilmu telah dirasakan sendiri oleh orang-orang yang telah sukses belajar.

Berdiskusi

Sering terjadi pada diri pelajar, pemahaman-pemahaman yang rinci atau detail itu bisa didapat setelah berdiskusi dengan rekan sesama pelajar. Dan pemahaman yang remang-remang menjadi terang benderang setelah berdiskusi. Tentu saja diskusi yang didasari niat yang baik, dari hati yang bersih dari egois, untuk belajar, untuk mengasah ketajaman ilmu kita, bukan untuk menang-menangan atau saling menjatuhkan. Tetapi, diskusi untuk belajar mendengar dari orang lain, menerima masukan, dan legowo mendapatkan koreksi jika ternyata pemahaman kita terbukti salah. Jika niat yang baik ini menjadi dasar diskusi, maka keberkahan diskusi akan kita dapatkan. Sebagaimana dinyatakan oleh para ulama,

وبالمذاكرة تدوم حياة العلم في النفس

Dengan berdiskusi, kehidupan ilmu di dalam jiwa akan langgeng.

Al-Quran sebagai ilmu yang telah Allah mudahkan. Itu saja masih perlu muraja’ah agar hafalan Al-Qur’an terjaga dengan baik. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنما مثل صاحب القرآن كمثل صاحب الإبل المعلقة

Sesungguhnya permisalan penghafal Al-Qur’an itu seperti pemilik unta yang untanya terikat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam permisalkan hafalan Al-Qur’an itu seperti unta yang terikat, karena unta adalah binatang yang jika terlepas, susah ditangkap. Hafalan Al-Qur’an memiliki karakter yang sama. Jika telah lepas dengan tidak di-muraja’ah, maka menghafalnya kembali susah. Ini benar-benar kenyataan, silahkan anda bisa bertanya kepada para penghafal Al-Qur’an.

Jika demikian bentuk arahan Nabi kita shallallahu ’alaihi wasallam kepada Al-Qur’an, ilmu yang telah ditegaskan Allah Ta’ala sebagai ilmu yang Allah mudahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikatnya baik-baik. Maka bagaimana gerangan dengan ilmu syar’i selain Al-Qur’an?!

Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan,

وإذا كان القرآن الميسر للذكر كلإبل المعلقة من تعاهدها أمسكها فكيف بسائر العلوم؟!

Jika Al-Qur’an yang dimudahkan untuk diingat seperti unta yang terikat. Jika diikat, maka tuannya bisa menguasainya. Maka, bagaimana lagi dengan ilmu yang lain?!” (At-Tamhid)

Poin yang menjadi titik temu antara muraja’ah Al-Qur’an dengan motivasi untuk mempersering diskusi adalah bahwa metode menjaga hafalan Al-Qur’an yang terbaik adalah dengan menyimakkan hafalan kepada yang lain. Sebagaimana petunjuk Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, beliau sering menyimakkan hafalan Al-Qur’annya kepada malaikat Jibril ‘alaihissalam. Maka demikianlah, cara menjaga ilmu yang paling mujarab. Paling baik adalah dengan ‘menyimakkan’ ilmu itu kepada orang lain, yaitu dengan cara diskusi bersama rekan-rekan sesama penuntut ilmu.

Bertanya

Kata Syekh Sholih Al-‘Ushoimi hafizhahullah,

وبالسؤال عن العلم تفتتح خزائنه

Dengan bertanya, akan terbukalah perbendaharaan ilmu.” (Mukhtashor Ta’dzhiimil ‘Ilmi)

Bahkan para ulama salaf menilai bahwa baiknya pertanyaan adalah setengahnya ilmu.

Salah satu bukti nyata belajar dengan model bertanya itu sangat bermanfaat adalah tanya jawab murid-murid Imam Ahmad rahimahullah kepada beliau yang kemudian diriwayatkan dan dikumpulkan menjadi buku. Sungguh manfaatnya sangat terasa.

Betapa sering ilmu yang samar menjadi terang benderang setelah bertanya. Atau faedah -faedah tersembunyi yang tidak tertulis di kitab atau tidak tersebut di kajian bisa kita dapatkan dari bertanya. Inilah tiga hal yang bisa merawat ilmu:

Menghafal, itu ibarat menamam.

Berdiskusi, itu ibarat menyirami dan memupuk.

Lalu, bertanya itu ibarat mengembangbiakkan atau menambah ilmu.

Demikian

Waffaqanallah waiyyakum.

***

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72716-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-13-hafalkan-diskusikan-dan-bertanyalah.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 9): Sabar Belajar, Sabar Mengajar

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 8): Jangan Terburu-Buru

Bismillah…

Menjadi orang berilmu adalah cita-cita mulia. Dan sudah menjadi sunatullah di dunia ini, tak ada satupun cita-cita mulia kecuali harus diraih dengan kesabaran. Oleh karennya, hanya ada satu solusi agar seorang dapat istiqomah menggapai cita-cita mulia, yaitu mensabarkan diri untuk terus berjuang. 

Di dalam Al-Quran, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bersabar pada dua hal,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali Imran : 200)

Perintah sabar yang pertama, adalah sabar mewujudkan iman yang pokok. 

Kemudian sabar yang kedua, untuk mewujudkan penyempurna iman. 

Ini menunjukkan pentingnya sabar, dan kita diperintah sabar, sampai bertemu Allah. Karena memperjuangkan agar iman ini semakin dan semakin sempurna; diantara yang paling urgent berjuang melalui ilmu, adalah perjuangan sampai akhir hayat. Ini juga bukti bahwa sabar itu tidak ada batasnya. Karena pahalanya pun tak terbatas.

Setelah kita sadar dan menjalani bahwa belajar itu perlu sabar, fase setelahnya pada ayat yang lain, Allah mengajak kita untuk bersabar dalam menyampaikan ilmu/mengajar,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. (QS. Al-Kahfi : 28)

Ini menunjukkan bahwa, kesetiaan bersama ilmu itu meliputi dua fase sabar: 

  1. Sabar saat belajar.
  2. Sabar saat mengajar.

Saat belajar perlu sabar, karena menghafal ilmu harus sabar, memahami ilmu dan konsisten hadir di kajian, juga butuh sabar.

Saat mengajar juga perlu sabar, karena untuk betah duduk menyampaikan ilmu kepada masyarakat, perlu sabar, memahamkan mereka, perlu sabar, saat menjumpai kekurangan murid, juga harus bersabar.

Termasuk di dalam fase kedua ini adalah, mengamalkan ilmu. Karena diantara cara mengajar adalah, memberikan teladan yang baik.

Kesimpulannya, bersama ilmu, harus siap bersabar.

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi menasehatkan,

وفوق هذين النوعين من صبر العلم, الصبر على الصبر فيهما و الثبات عليهما

“Kesabaran lebih tinggi dari dua fase sabar terhadap ilmu di atas adalah, sabar untuk bisa bersabar serta konsisten dalam sabar pada dua fase tersebut.” (Khulashoh Ta’dhimil Ilmi, hal. 29) 

Para ulama memberikan nasehat kepada kita tentang pentingnya sabar bersama ilmu :

Yahya bin Abi Katsir

Beliau menafsirkan yang dimaksud dalam surat Al-Kahfi ayat 28 di atas adalah, 

هي مجالس الفقه 

majelis-majelis fikih/ilmu.

Beliau juga mengatakan,

لا يستطاع العلم براحة الجسد

Ilmu ini tak akan bisa didapat dengan bersantai-santai.

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55574-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-9-sabar-belajar-sabar-mengajar.html