Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama Nusantara yang pernah mengajar di Masjidil Haram, dilahirkan pada hari Senin, 6 Dzulhijjah 1276 H/1860 M di Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkek Candung, Bukittinggi. Syekh Ahmad Khatib ini merupakan putra dari Buya Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al-Khatib Al-Jawi, seorang Ulama’ yang tidak diragukan keilmuannya pada zamannya. Sedangkan ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak yang bersaudara dengan H. Thaher Jalaluddin, seorang ulama ahli ilmu falak yang masyhur di Malaysia.
Belajar di Sekolah Belanda
Ahmad Khatib belia tumbuh bersama empat saudaranya diantaranya H. Mahmud, Hj. Aisyah, Hj. Hafsah, dan Hj. Safiah. Ahmad Khatib secara bersamaan menempuh pendidikan formal di sekolah Belanda dan informal dengan belajar agama langsung kepada ayahnya. Seperti ditulis Eka Putra Wirman dalam Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi: Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan, pendidikan formalnya ditempuh di Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja), sekolah yang dirancang untuk mendidik calon-calon guru yang akan ditempatkan di daerah-daerah Hindia Belanda. Sementara pendidikan formal Ahmad Khatib dilakukan di hadapan ayahandanya sendiri dengan mempelajari dasar-dasar islam dan membaca Al-Quran hingga beliau bisa menghafalkan beberapa juz.
Seperti dikutip dari Ahmad Fauzi Ilyas dalam Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, ketika usia Syekh Ahmad Khatib 11 tahun, beliau bersama ayahnya melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun setelah selesai berhaji, Syekh Ahmad Khatib memutuskan untuk menetap di sana sedangkan ayahnya langsung kembali ke tanah air. Setelah tinggal di Mekkah, ia sempat pulang sesaat memenuhi panggilan ibunya lalu kembali lagi ke Mekkah dan menetap selama 5 tahun.
Diberi Gelar Syekh Di Usia Muda
Selama di Mekkah, ia belajar (talaqqi) kepada beberapa Ulama besar di Mekkah diantaranya Sayyid Ahmad Zaini al-Dahlan, Syekh Abu Bakar Syatha’ dan Syekh Yahya al-Qabli. Berkat ketekunan dan kealiman beliau, ia mendapatkan gelar syekh dan menjadi imam besar Masjidil Haram yang bermazhab Syafi’i.
Diberikannya gelar Syekh pada Ahmad Khatib ini dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, pengangkatan tersebut berdasarkan usulan mertua beliau, Syekh Saleh Kurdi. Ini didasari kekaguman Syekh Saleh terhadap kerajinan dan kedalaman ilmu menantunya itu yang mensunting anak pertamanya Khadijah. Namun selang beberapa hari, Khadijah meninggal dunia dan Syekh Ahmad Khatib dinikahkan kembali dengan anak kedua Syekh Saleh bernama Fatimah. Dari pernikahan dengan anak kedua Syekh Saleh, Syekh Ahmad Khatib dikaruniai 3 orang anak yakni Abdul Malik, Abdul Hamid, dan Khadijah.
Kedua, kepiawaian beliau dalam penyampaian ilmunya saat mengajar di sana, dan keberanian beliau membenarkan bacaan Imam yang salah ketika jamaah shalat maghrib yang pada saat itu sedang diimami oleh Syarif Husein.
Ia memang dikenal memiliki kedalaman ilmu yang tidak hanya sebatas ilmu syariat agama seperti fikih, melainkan juga mahir dalam bidang falak dan hisab, tasawuf, hingga Mawarits.
Kelapangannya dalam memahami ilmu ini menurut Syekh Ahmad Khatib, merupakan berkah mimpi bertemu Nabi Saw. Dalam buku beliau al-Ayāt al-Bayyināt li al-Munshifīn fī Izālah Khurafāt Ba’dh al-Muta’asshibīn, beliau mengutarakan pernah bermimpi bertemu dengan Rosulullah SAW yang memerintahkan beliau untuk membuka mulutnya dan kemudian Rasul meludah ke dalam mulut beliau. Menurut beliau, mimpi tersebut menjadi isyarat yang melatarbelakangi lebih cepat dan mudahnya pemahaman terhadap buku atau kitab-kitab agama.
Murid-Murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Diantara murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi banyak menjadi ulama yang dikenal luas di Indonesia dan wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Diantaranya adalah:
- Syekh Muhammad Khatib ‘Ali Padang, tokoh pembela tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah dengan menerbitkan majalah Soeloeh Melajoe (Suluh Melayu)
- Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Canduang, pendiri organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
- Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas
- Syekh Muhammad Jamil Jaho
- Hadhratu as-Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdatul Ulama yang berguru kepada beliau tahun 1893-1900,
- K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah),
- Syekh Hasan Maksum (Mufti Kerajaan Deli),
- Syekh Musthafa Husein (Pendiri Pesantren Purba Baru),
- K.H. Wahab Hasbullah,
- K.H. Bisri Syansuri.
Fatwa-Fatwa Syekh Ahmad Khatib
Fatwa-fatwa beliaupun dijadikan rujukan agama oleh para Raja di semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura). Pemerintah Turki memberikan gelar “Bey Tunis” (semacam Doktor Honoris Causa) yang umumnya hanya diberikan untuk orang yang berjasa besar dalam Ilmu Pengetahuan. Seperti yang disebutkan oleh Burhanuddin Daya dalam bukunya Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, pemikiran Syekh Ahmad Khatib cenderung keras dan teguh pendirian dalam beberapa hal terkait agama, namun beliau sama sekali tidak menanamkan atau mengharuskan taklid kepada murid-muridnya. Ia membolehkan murid-muridnya memilih untuk berijtihad, mempunyai kebebasan berfikir dan meneruskan perjuangan pembaharuan dalam pemikiran islam atau menentangnya.
Martin Van Bruinessen mengistilahkan Syekh Ahmad Khatib sebagai Bapak Reformis Islam Indonesia, yang berani mengkritik, menentang dan membangun polemik sebagai upaya membuka cakrawala masyarakat terutama para muridnya untuk berfikir kritis juga menghargai perbedaan pendapat. Seperti gagasannya yang menentang adanya ajaran Tarekat Naqsabandiyah yang Ketika itu berkembang di Minangkabau karena dianggap mengotori kemurnian Islam dalam hal fikih dan hukum Islam.
Setiap fatwa dan respon beliau terhadap polemik yang ada tersebut, selalu beliau tuangkan dalam bentuk tulisan. Sebagaimana syair yang selalu beliau pegang: “Ilmu adalah binatang buruan, sedangkan menulis adalah tali ikatannya.”
Dalam otobiografinya, beliau menyatakan telah menulis 47 karya dalam 2 bahasa yakni Arab dan Jawi, sebanyak 23 telah dicetak dan 24 masih berupa manuskrip. Berikut beberapa karyanya,
- ad-Dā’ī al-Masmū’ fii ar-Radd ‘ala Man al-Ikhwah wa Aulad al-Akhwat ma’a Wujūd al-Ushūl wa al-Furū’ dalam bahasa Arab. Kitab ini membantah adat hak waris yang berlaku di Minangkabau, yang diwariskan kepada saudara atau keponakan seseorang dengan mengabaikan anak dan orang tuanya. Kitab ini menuai penolakan serta kritikan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat setempat.
- al-Riyadh al-Wardiyah fi al-Ushul al-Tauhidiyyah wa al-Furu’ al-Fiqhiyyah dalam bahasa melayu (dengan huruf Arab Jawi) yang menampung perihal fikih ibadah.
- Fath al-Mubin Liman Salaka Thariqal-Washilin dalam bahasa jawi yang merupakan bantahan terhadap salah satu praktik dalam tradisi tarekat Naqsyabandiyah yaitu praktik “Rabithah” yang dianggap menyimpang oleh beliau.
Dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang menghidupkan dan bertujuan meluruskan pemikiran umat Islam terkhusus pada awal mula pembaruan pemikiran islam di daerah Minangkabau, Sumatra Barat.
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau wafat pada tanggal 9 Jumadil Awal 1334 H di Mekkah, Saudi Arabia.