Di nusantara, ada dua tarekat yang paling ditakuti penjajah Belanda. Menurut Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra, kedua tarekat yang paling dikhawatirkan penjajah itu adalah Tarekat Qadariyah dan Tarekat Naksabandiah. Mengapa penjajah takut terhadap dua tarekat tasawuf itu?
Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori tarekat memang sangat beralasan. Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin tokoh tarekat atau pengikut tarekat tertentu. Karena itulah, tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda.
Lantas mengapa tarekat sangat ditakuti prapenjajah pada masa kolonial dulu? Menurut Bruinessen, antara tasawuf dan tarekat memang terdapat dua persepsi yang bertolak belakang. “Para pejabat penjajah Belanda, Prancis, Italia, dan Inggris lazim mencurigai tarekat karena dalam pandangan mereka, fanatisme kepada guru dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik,” papar Bruinessen.
Tarekat Naksabandiyah, menurut Ensiklopedi Islam, tersebar ke nusantara pada abad ke-19 M. Tarekat ini dibawa para pelajar asal Indonesia yang menimba ilmu di tanah suci Makkah atau melalui jamaah yang pulang dari menunaikan ibadah haji.
“Pada abad ke-19 M, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naksabandiyah yang dipimpin oleh Sulaiman Effendi,” tulis Ensiklopedi Islam. Markas Tarekat itu berada di kaki gunung Abu Qubais. Sejarawan J Spencer Trimingham, pernah menyebutkan bahwa sekitar 1845 M, seorang syekh Naksabandiyah dari Minangkabau di baiat di Makkah.
Di Indonesia, terdapat dua versi tarekat Naksabandiyah: Khalidiah dan Muzhariyah. Tarekat Naksabandiyah Khalidiah disebarkan oleh Syekh Ismail al-Khalidi di Minangkabau. Penyebaran tarekat ini dimulai dari kampung halaman sang syekh, yakni Simabur, Batusangkar, Sumatra Barat.
“Dari Simabur, tarekat ini menyebar ke Riau, kemudian ke Kerajaan Langkat dan Deli, selanjutnya ke Kerajaan Johor,” ungkap Ensiklopedi Islam. Sedangkan Tarekat Naksabandiyah Muzhariyah bersumber dari Sayid Muhammad saleh az-Zawawi. Kedua syekh penyebar tarekat dengan versi beda itu hidup sezaman.
Selain kedua Tarekat Naksabandiyah itu, di nusantara juga dikenal Tarekat Kadiriyah Naksabandiyah. Tarekat itu merupakan penggabungan antara Tarekat Kadiria dan tarekat Naksabandiah yang dipelopori oleh Syekh Ahmad Khatib sambasi, yang berasal dari kampung Dagang atau Kampung Asam di daerah Sambas, Kalimantan Barat.
Seperti halnya Tarekat Naksabandiyah, Qadariyah yang juga menyebar di Indonesia berasal dari Makkah. Ada yang menyebutkan, Tarekat Qadiriyah menyebar di nusantara pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur, dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Tarekat ini mengalami perkembangan yang amat pesat pada abad ke-19 M, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Menurut Annemerie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan guna menandingi kekuatan lain.
Pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani itu benar-benar mengguncang Belanda karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Menurut Martin van Bruneissen, para pemberontak yang melawan penjajah itu adalah pengikut Tarekat Qadiriyah yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim dan KH Marzuki. Belanda dibuat keteteran oleh gerakan kaum sufi itu.