Salah satu syarat sah melakukan ibadah adalah suci dari najis dan hadas. Maka hal yang harus dipelajari oleh setiap muslim saat ia menjadi mukallaf (seseorang yang terkena kewajiban ibadah) adalah tata cara bersuci. Tapi bagaimana dengan suadara muslim yang memiliki kesulitan bersuci dan istjina` yang menjadi penyandang disabilitas? Sedangkan bagi mereka, selama akal pikiran sehat, tetaplah masuk kategori mukallaf.
Tentunya, orang-orang penyandang disabilitas memiliki kemampuan berbeda untuk melakukan tata cara bersuci. Bahkan bisa jadi, tidak sesempurna saudara muslim lainnya. Sebenarnya, para ulama sudah banyak membahas kajian fikih bagi penyandang disabilitas dengan mengangkat beberapa kasus. Mereka mengkajinya dengan menerapkan teori dan kaidah fikih yang ada.
Dalam kajian fikih, seseorang yang tidak mampu bersuci dengan dirinya sendiri, ia boleh dibantu oleh pasangan halalnya atau mahramnya. Jikalau mereka tidak memiliki mahram, maka dibolehkan untuk tetap melanjutkan bersuci semampunya, sebagaimana pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Maliki.
Dijelaskan dalam kitab Rad al-Mukhtar karya Ibnu Abidin dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, pada halaman 341 juz 1 terbitan Dar al-Fikr,
فِي التَّتَارْخَانِيَّة: الرَّجُلُ الْمَرِيضُ إذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ امْرَأَةٌ وَلَا أَمَةٌ وَلَهُ ابْنٌ أَوْ أَخٌ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ قَالَ يُوَضِّئُهُ ابْنُهُ أَوْ أَخُوهُ غَيْرَ الِاسْتِنْجَاءِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَمَسُّ فَرْجَهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ الْمَرِيضَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ وَهِيَ لَا تَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ وَلَهَا بِنْتٌ أَوْ أُخْتٌ تُوَضِّئُهَا وَيَسْقُطُ عَنْهَا الِاسْتِنْجَاءُ. اهـ. وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَذَا التَّفْصِيلَ يَجْرِي فِيمَنْ شُلَّتْ يَدَاهُ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَرِيضِ
“dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: seorang laki-laki yang sakit dan tidak memiliki istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudhu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudhu tetapi tidak boleh membantunya istinja` sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja` itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut.
Seseorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami, sedangkan dia tidak mampu untuk berwudhu tetapi memiliki anak perempuan atau saudara perempuan maka boleh dibantu oleh mereka untuk berwudhu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja`. Dan sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit.
Bahkan dalam Bughyat al-Musytarsyidin karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-hadramy, salah satu rujukan Mazhab Syafi’i, mendukung pengikut mazhabnya (seperti mayoritas muslim Indonesia) untuk mengikuti Mazhab Hanafi saat dalam keadaan seperti ini. Meskipun dalam pandangan Mazhab Syafi’i beberapa syarat bersuci yang dilakukan oleh penyandang disabilitas tersebut tidak sah.
Sebab, ulama Mazhab Hanafi menyatakan, seperti yang dikutip dalam Bughyat al-Musytarsyidin,
وقال أبو حنيفة : لا يفترض عليه مطلقاً ، لأن المكلف عنده لا يعد قادراً بقدرة غيره ، وعليه لو تيمم العاجز عن الوضوء بنفسه ، أو صلى بنجاسة أو إلى غير القبلة مع وجود من يستعين به ولم يأمره صحت
Imam Abu Hanifah berkata, secara mutlak tidak wajib baginya (penyandang disabilitas) untuk meminta bantuan (tersebut) karena seorang mukallaf tidak bisa disebut mampu apabila kemampuannya harus dibantu oleh orang lain. Jika ia bertayammum untuk menggantikan wudhunya, atau shalat dengan membawa najis atau tidak menghadap kiblat, sedangkan bersamaan dengan itu ada orang yang bisa membantunya tapi ia tidak meminta bantuan maka sah shalatnya.
Pandangan beliau terkait dengan pengertian mukallaf itu sendiri, sehingga seorang muslim yang mukallaf diwajibkan melaksanakan kewajiban ibadahnya sesuai kemampuannya saja.
Demikian penjelasan mengenai tata cara bersuci, termasuk istinja` bagi penyandang disabilitas. Islam tidaklah menyulitkan umatnya untuk tetap beribadah. Semua dilakukan sesuai kemampuannya saja seperti yang sudah dijelaskan. Tapi bukan berarti memudahkan, hanya saja ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh penyandang disabilitas untuk bersuci dari najis atau hadas.