Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) mengecam keras penggusuran paksa masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau. PP Muhammadiyah sebut konflik Pulau Rempang bukti pemerintah gagal laksanakan konstitusi dan hak asasi manusia.
Dalam Pernyataan Pers Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) & Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebutkan, konflik pulau Rempang dan penggusuran masyarakat Pulau Rempang merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi.
“Pemerintah telah gagal dalam melindungi hak-hak warga negara, terutama hak atas tanah,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (13/9).
Berdasarkan keterangan Pers, PP Muhammadiyah bahwa warga Pulau Rempang telah tinggal di pulau tersebut sejak ratusan tahun lalu. Mereka memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam di pulau tersebut. Pemukiman dan warga tercatat telah ada sejak 1834, tempat tinggal dan pemukiman itulah yang saat ini terancam digusur.
“Pemerintah tidak boleh menggusur mereka begitu saja,” tulisnya
Lebih lanjut, PP Muhammadiyah menilai perampasan tanah oleh negara ini bermula dari proyek Rempang Eco city merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek Rempang Eco city dari segi hukum yang sangat bermasalah.
Pasalnya payung hukumnya baru disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
“Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. Pengadaan tanahnya terindikasi kerap merampas tanah masyarakat yang tidak pernah diberikan hak atas tanah oleh pemerintah,” tegasnya.
Untuk itu, LHKP dan Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik pemerintah untuk menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan industri swasta.
Pola pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan bahkan terlihat brutal, pada 7 September 2023, ini sangat memalukan. Pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan.
Lebih dari itu, LHKP dan MHH PP Muhammadiyah menilai pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menyatakan bahwa “tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap” sangat keliru. Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834.
Menko Polhukam nampak jelas posisinya membela kepentingan investor swasta dan menutup mata pada kepentingan publik, termasuk sejarah sosial budaya masyarakat setempat yang telah lama dan hidup di pulau tersebut.
Untuk itu, PP Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk menghentikan penggusuran paksa masyarakat Pulau Rempang. “Pemerintah juga harus menjamin hak-hak warga Pulau Rempang untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak,”
Sebaliknya, melalui penggusuran paksa itu, negara mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka berupa Proyek Eco-city seluas 17.000 hektar.
Sikap Tegas LHKP dan MHH PP Muhammadiyah
Karena itu, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdiri bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang sudah turut bersolidaritas menyatakan sikap tegas konflik Pulau Rempang;
- Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden juga didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan.
- Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.
- Mendesak Pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan cara cara damai yang mengutakaman kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.
- Mendesak DPR RI untuk mengevalusi beragam peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi karena akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio ekologis.
- Mendesak Kementrian PPN/Bappenas untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi
- Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk segera memerintahkan penarikan pasukan dari lokasi yang menjadi milik masyarakat Pulau Rempang, mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan yang terjadi pada tanggal 7 September 2023 di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil.