Sampai kapan umroh dan haji kembali normal?
Pandemi Covid-19 memporandakan segalanya. Tak hanya kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi ambruk. Seluruh orang di semua penjuru wilayah dunia hidup terkendala. Semuanya menjadi ada batasan. Hidup bebas yang selama ini dirasakan terasanya menyempit.
Pada semua kegiatan keagamaan yang bersifat massal juga tak ada. Termasuk bagi umat Islam ketika ingin melaksanakan haji dan umrah. Haji pun sudah dua tahun terselenggara terbatas hanya untuk jamaah dalam negeri Arab Saudi. Jamaah Indonesia yang setiap tahunnya mencapai 230 ribu orang juga tak bisa datang. Padahal antrean dalam daftar tunggu haji mencapai 5,5 juta orang. Antrian yang rata-rata sudah mencapai 26 tahun, kini dipastikan makin panjang. Tak terbayangkan lagi bila terjadi di banyak daerah di Sulawesi Selatan yang sudah mencapai lebih dari 40 tahun panjang antrean berhajinya. Malah antrean untuk haji di Malaysia kini mencapai 100 tahun.
Tak hanya itu, jamaah umrah yang pada hari biasa setiap tahunnya mencapai 1 juta orang kini tak dapat pergi ke tanah suci. Umrah perdana memang ada, tapi hanya percobaan dan akan dievaluasi. Ketikaan layanan jamaah pergi berumrah tidak hanya menjadi kerugian spritual umat Islam, tetapi juga menjadi kerugian bisnis yang besar. Dua tahun bisnis perjalanan ini amburk. Banyak ssekali biro umrah tutup dan perusahaanya ditawarkan dijual ke publik. Seorang biro perjalanan umrah yang punya gedung megah tiga lantai di Jakarta Selatan yang dahulu bisa berangkatkan jamaah sampai lebih dari 60 ribu per tahun, kini kantornya sepi. Bahkan sang pemilik mengatakan dengan berkelakar kini bironya jadi tempat jualan sepeda.
Tak ayal lagi, misalnya bila umrah–dan haji — dibuka maka akan semakin eklusif sifatnya. Tak hanya biaya dan juga terkait soal usia. Untuk ukuran besaran biaya haji misalnya, sampai hari ini masih belum ditentukan.
Tapi kalau melihat situasi pandemi, pasti akan ada aturan khusus dan berimbas akan biaya perjalanan haji semakin mahal. Begitu juga umrah, harga layanan ‘paket hemat’ yang lazimnya mencapai 17 juta kini mendekati dua kali lipatnya, atau bahkan mendekat Rp 40 juta. Tambahan biaya ini pasti dengan menghitung biaya lain-lainnya, seperti karantina, hingga test kesehatan. Jamaah lansia dan tak terlalu sehat yang dahulu bebas berangkat umroh kini pun terpaksa harus membatalkan niatnya.
Pada sisi lain, bila melihat keadaan ekonomi negara, menjadi sangat masuk akal bila nanti total jamaah umrah untuk jamaah Indonesia, hanya berkisar 5-7 persen dari biasanya. Jumlah yang masih terbatas ini akan naik bila keadaan ekonomi membaik dan paparan pandemi menurun. Tapi kapankah akan berakhir? Itu tak ada yang tahu. Berangkat pengalaman pada pandemi Flu Spanyol di tahun 1918-an, pandemi baru hilang setelah empat tahun. Ironinya, pandemi flu Spanyol itu juga memicu perang dunia dan juga menjadi salah satu penyebab terjadi krisis besar ekonomi dunia di tahun 1930. Krisis ekonomi ini dikenal dengan sebutan ‘great depression tahun 1930’ (depresi besar tahun 1930).
Alhasil, pandemi ini memang menjadi penuh teka-teki. Bagi kaum Muslim Indonesia jelas hanya bisa berdoa paparan Covid-19 segera berakhir. Hal yang sama juga bagi para pengelola biro perjalanan umrah, pandemi jangan bertambah panjang lagi. Harus diakui umat Islam memang sudah sangat ribu bertawaf di Ka’bah, tapi apa daya kendala terjadi.
Depresi besar ekonomi dan paparan pandemi menjadi teka-teki penyelenggaraan umrah dan haji saat ini?
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika Pemerhati Isu Haji