Teladan Nabi adalah Menjenguk dan Memaafkan Orang Yang Pernah Memusuhi

Beriman bukan sekedar meyakini apa yang wajib diimani yang dalam Islam terangkum dalam doktrin 6 rukun iman. Sejak sekolah madrasah ibtidaiyah hingga saat ini, saya mungkin sudah menjadi orang paling beriman karena sudah hafal di luar kepala 6 rukun iman tersebut.

Apakah segampang itu iman? Iman adalah persaksian sekaligus perwujudan dalam perilaku. Karena itulah, Rasulullah seringkali menggandengkan kata iman dengan kebajikan sosial. Misalnya, tidak beriman orang yang tidak mencintai saudara, tidak menghormati tamu, dan tidak menghormati tetangga. Lalu, Nabi pernah mengatakan malu adalah perisai iman.

Intinya, iman bukan sekedar keyakinan, apalagi kata-kata. Lalu, Rasulullah memberikan satu ajaran dan sekaligus teladan penting tentang puncak iman. Rasulullah SAW bersabda, “Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada,”.

Barangkali ini kita-tentu saja saya- belum sampai pada puncak iman seperti yang dinyatakan Nabi. Bagaimana mungkin saya bersabar terhadap orang yang terus menerus mencaci-makiku, memusuhiku dan bahkan mau mencelakaiku. Apakah saya lantas memaafkan ketika melihat orang tersebut sudah lemah dan lelah atas segala perbuatan yang pernah dilakukan terhadap diri kita.

Duh, rasanya saya belum sampai pada batas mencapai puncak keimanan itu ya Rasul. Namun, Nabi bukan sekedar mengajarkan, tetapi memberikan teladan. Kisah ini sudah cukup populer dan didengar sejak menimba pelajaran tarikh atau sirah nabawiyah di madrasah.

Kisah seorang Yahudi yang kerap berlaku buruk ketika Rasulullah melewati depan rumahnya menuju masjid. Sang Yahudi melempar kotoran ketika Rasulullah melintas. Rasulullah marah? Ya, kita yang marah mendengar cerita itu. Tapi, Rasulullah tidak marah.

Hingga suatu saat Rasulullah heran karena ketika melewati rumah itu tidak ada lagi lemparan kotoran. Setelah menanyakan ke tetangga si Yahudi, Rasulullah mendapati kabar ia terbaring sakit. Kemudian, Rasulullah meminta untuk diantarkan ke rumah orang Yahudi tersebut.

Saatnya balas dendam saat dia lemah dan terkulai lemas? Iya, mungkin itu apabila saya yang sedang mengalami di posisi Rasulullah. Tidak dengan Rasulullah. Si Yahudi saja masih berprasangka buruk dengan kedatangan Nabi : mengapa anda harus menunggu sampai aku sakit untuk membalas dendam terhadapku? Mengapa anda tidak datang ketika aku masih sehat?”.

Nabi menepis anggapan si Yahudi dan mengatakan dengan lembut dan penuh ketulusan : “kedatanganku semata-mata untuk menjengukmu dan merasa prihatin atas yang engkau derita”. Tidak hanya itu, Rasulullah mendoakan kesembuhannya.

Masyallah, rasanya belum mampu umatmu ini meniru dan meneladani sikap anggun, lembut dan pemaafmu ya Rasulullah. Umatmu ini masih terbelenggu dendam dan kebencian ketika berada di posisimu.

Tapi, Rasulullah sungguh tidak hanya mengajarkan, tetapi memberikan teladan. Si Yahudi pun bergumam : betapa mulianya lelaki ini.  setelah kejadian itu, si Yahudi memutuskan masuk Islam.

Teringat kembali satu pelajaran dari baginda Nabi : Orang yang paling penyantun di antara kalian adalah orang yang bersedia memberi maaf walaupun ia sanggup untuk membalasnya.” (HR. Al-Anshari).

Mungkin orang-orang yang berhati luhur dan bukan budak emosi dendam dan benci yang bisa melakukan itu. Mereka memilih menjenguk dan memaafkan orang yang pernah memusuhinya. Tentu, ia sudah sampai pada batas puncak keimanan sebagaimana diajarkan Rasulullah.

Manisnya iman ketika merasa hanya pemberian Tuhan yang paling berharga. Bukan pujian manusia yang kerapkali berubah senjata membinasakan. Bukan takut cemooh dan cacian manusia yang seolah diri menjadi nista dan hina. Yang diharapkan hanya ampunan dan maaf dari Allah.

Tentu umatmu yang fakir ini selalu berharap bisa meneladanimu, ya Rasul. Lalu, saya akan menutup dengan sabda beliau : “Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah)”. (HR At-thabrani).

ISLAMKAFFAH