Theresa May, PM Baru Inggris yang Boikot Pendakwah Zakir Naik

Theresa May yang akan menggantikan David Cameron sebagai perdana menteri Inggris memiliki cerita tersendiri dengan pendakwah Zakir Naik. Pada 2010, ketika ia mulai menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, May melarang Zakir Naik masuk ke Inggris.

Alasannya, Naik dianggap membuat komentar yang mencerminkan sikap ia tak dapat diterima. Sikap itu termasuk mempublikasikan materi mengandung unsur provokasi tindakan teroris.

“Saya telah mengecualikan Naik,” ujarnya kepada Telegraph saat itu. “Saya tidak akan mengizinkan mereka yang tak kondusif buat publik masuk ke Inggris,” ujarnya.

Kementerian Dalam Negeri mengutip pernyataan Naik yang kontroversial. “Ketika perampok melihat polisi ia takut. Sehingga buat perampok, polisi adalah teroris. Sehingga dalam konteks ini, setiap Muslim harus menjadi teroris bagi perampok,” ujar Naik seperti dikutip pemerintah Inggris.

Baca juga, Theresa May, PM Wanita Kedua Penentu Nasib Inggris.

Theresa May telah diumumkan sebagai pemimpin baru Partai Konservatif dan akan menggantikan David Cameron menjadi Perdana Menteri Inggris. May menjanjikan Inggris yang lebih baik dan membuat keputusan British Exit atau Brexit sebagai sebuah keberhasilan.

Seperti dilansir laman BBC News, Selasa (12/7), May diapit oleh puluhan anggota parlemen Konservatif menyampaikan pidato pertamanya setelah kemenangan.

Ia sempat memuji Cameron atas kepemimpinannya di Partai Konservatif dan pemerintahan. Berbicara di luar Gedung Parlemen, May mengatakan merasa terhormat dan dengan rendah hati akan menggantikan Cameron.

May berhasil meraih kemenangan, setelah rival satu-satunya dalam perebutan kursi kepemimpinan partai menarik diri pada Senin (11/7). Andrea Leadsom tiba-tiba menyatakan berhenti dan mengatakan ia tak memiliki dukungan untuk membangun pemerintahan yang kuat dan stabil.

 

Sumber : Telegraph/Republika Online

Mengenal Theresa May, PM Baru Inggris yang Dikenal Anti-Islam

Inggris dipastikan memiliki Perdana Menteri baru, setelah David Cameron meletakkan jabatannya pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa atau British Exit (Brexit). Theresa May yang menggantikan Cameron di Downing Street akan menjadi PM wanita kedua Inggris setelah Margaret Thatcher yang menjabat pada 26 tahun lalu.

Sayangnya, May punya catatan buruk dengan Muslim Inggris. Ia membatasi gerak Muslim Inggris dengan membuat RUU Keamanan pada 2015.

RUU itu pun sukses membungkam para mahasiwa Muslim untuk menyuarakan pendapatnya karena takut dianggap ekstremis. Selama menjadi menteri dalam negeri, May mengklaim berhasil mempersempit ruang gerak teroris sehingga negaranya menjadi lebih aman.

“Tapi dia hanya sedikit mengakui umat Muslim adalah bagian dari Inggris,” kata seorang Muslim Inggris, seperti dinukil dari The Independent.

Karier politik May dimulai saat ia terpilih menjadi anggota parlemen pada 1997 untuk daerah pemilihan Maidenhead, Berkshire. Selang dua tahun, saat Partai Konservatif dipimpin William Hague, ia terpilih menjadi menteri bayangan untuk mengurusi sektor pendidikan. Kariernya kian moncer setelah pada 2002 ia menjadi pengurus inti partai di bawah kepemimpinan Iain Duncan Smith.

Namun, peran May sempat tenggelam dan ia tidak mendapatkan posisi strategis saat David Cameron dan George Osborne meroket. Nasib politiknya baru membaik pada 2009 saat pos menteri bayangan untuk bidang ketenagakerjaan dan pensiunan dipercayakan kepada dia.

Saat Partai Konservatif berkuasa dengan berkoalisi dengan Liberal Demokrat, Theresa ditunjuk menjadi menteri dalam negeri. Ia pun membuktikan sebagai politikus kelas wahid dan menghancurkan mitos kursi mendagri adalah “kuburan” bagi para politikus.

Perlahan tapi pasti, perempuan yang lahir pada 1 Oktober 1956 di Sussex itu mampu menurunkan angka kejahatan. Tetapi kebijakannya mendeportasi ulama Abu Qatada menuai kontroversi.

Kebijakannya dianggap timpang lantaran ia menghentikan ekstradisi Gay McKinnon ke AS, namun tidak bagi Talha Ahsan. Keduanya didakwa atas kejahatan yang hampir serupa. Perbedaanya Ahsan adalah seorang Muslim.

“Dalam melakukan ini, ia memberi kami pesan yang jelas. Ada satu aturan untuk orang kulit putih di Inggris Theresa May dan satu lagi untuk umat Islam yang tinggal di sana.”

Label May tidak menyukai umat Muslim kian terlihat saat meraih penghargaan Islamphobia of the Year 2015. “Ini jelas, tindakan May sebagai mendagri menciptakan suasana di mana kebencian dan kekerasan terhadap Muslim menjadi norma sosial. Ketika diumumkan ia menjadi perdana menteri, saya membayangkan tiga juga Muslim Inggris akan dipaksa melepaskan iman mereka.”

Ia menyarankan May melepaskan ketakutannya terhadap umat Muslim seperti saat menjabat sebagai mendagri.

 

sumber: Republika Online

‘Sebagai Muslim Inggris, Saya Takut Theresa May Jadi Perdana Menteri’

Surat terbuka disampaikan Muslim Inggris menyusul terpilihnya Theresa May menjadi Perdana Menteri menggantikan David Cameron. Dalam suratnya yang dipublikasikan Independent, Sahen Sattar menyinggung Undang-Undang Counter Terrorism and Security Bill 2015 yang dianggap menyudutkan Muslim.

Theresa May dianggap berperan penting dalam lahirnya aturan itu. Aturan tersebut membungkam suara Muslim di universitas yang ingin berpendapat saat kuliah maupun pelajaran karena khawatir dianggap ekstremis.

“Sudah jelas aturan ini memberi ruang warga untuk menjadi Islamofobia dengan memberi pandangan terorisme adalah ‘masalah Muslim'” tulisnya.

Theresa May merupakan perdana menteri wanita kedua Inggris setelah Margareth Thathcer. Ia terpilih menjadi pemimpin Partai Konservatif setelah PM David Cameron mengundurkan diri menyusul hasil Brexit.

May, kata Sattar, mengklaim telah memperkuat respons terhadap terorisme sejak menjadi Menteri Dalam Negeri. Namun pada kenyataannya ia hanya membuat Muslim Inggris semakin sedikit yang mengidentifikasikan budaya Inggris.

Menurut Sattar, dengan keinginannya menjadi Iron Lady di abad moderen, ia justru khawatri akan membuat komunitas Muslim kian tersudut. Pada 2015, May bahkan mendapat penghargaan Islamophobe of the Year dari Komisi Hak Asasi Manusia Islam.

Baca juga, Theresa May PM Baru Inggris yang Boikot Pendakwah Zakir Naik.

Sudah terbukti, saat May menjadi menteri dalam negeri, ia menciptakan atmosfer kebencian dan kekerasan terhadap Muslim. “Kenaikannya sebagai perdana menteri sangat berat untuk dirayakan jika Anda menjadi seorang Muslim seperti saya,” ujarnya.

Sattar menegaskan, jika May ingin membuka jalan Inggris ke arah lebih baik, ia harus menyingkirkan ketidakpercayaan dan ketakutan yang dibangun saat menjadi menteri dalam negeri.

“Di saat seperempat pemuda di Inggris mengatakan tidak percaya terhadap Muslim, maka hal ini harus menjadi prioritas sebelum kita mengecam generasi masa depan yang penuh dengan kecurigaan, perpecahan serta memecah belah negara,” ujarnya.

Theresa May yang akan menggantikan David Cameron sebagai perdana menteri Inggris memiliki cerita tersendiri dengan pendakwah Zakir Naik. Pada 2010, ketika ia mulai menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, May melarang Zakir Naik masuk ke Inggris.

Alasannya, Naik dianggap membuat komentar yang mencerminkan sikap ia tak dapat diterima. Sikap itu termasuk mempublikasikan materi mengandung unsur provokasi tindakan teroris.

“Saya telah mengecualikan Naik,” ujarnya kepada Telegraph saat itu. “Saya tidak akan mengizinkan mereka yang tak kondusif buat publik masuk ke Inggris,” ujarnya.

Kementerian Dalam Negeri mengutip pernyataan Naik yang kontroversial. “Ketika perampok melihat polisi ia takut. Sehingga buat perampok, polisi adalah teroris. Sehingga dalam konteks ini, setiap Muslim harus menjadi teroris bagi perampok,” ujar Naik seperti dikutip pemerintah Inggris.