Tidak Berlebihan dalam Beramal Itu Lebih Utama

Suatu amal yang dikerjakan secara proposional (mudah dan lapang) itu lebih utama daripada amalan yang dikerjakan dengan cara takalluf (berlebih-lebihan) sehingga membebani diri melampaui batas kemampuan dirinya. Agama Islam adalah agama yang dilandasi dengan prinsip kemudahan.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Jika Allah Ta’ala saja tidak membenani seseorang kecuali dengan apa yang hamba-Nya mampu, bagaimana mungkin seseorang ingin mengerjakan sesuatu di luar kemampuannya. Tidak mungkin syariat Islam mengajarkan suatu amalan yang melampaui batas.

Allah Ta’ala juga berfirman,

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menginginkan kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk meniti jalan pertengahan, tidak ifrath (ekstrim/melampaui batas) dan tidak tafrith (meremehkan/meninggalkan).

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَتْ عِنْدِي امْرَأَةٌ، فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «مَنْ هَذِهِ؟» قُلْتُ: فُلَانَةُ، لَا تَنَامُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ، فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا» ، قَالَتْ: وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينَ إِلَيْهِ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

Dari Aisyah radiyallahu ‘anha, “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menemuiku dan di sisiku ada seorang wanita.” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Siapa wanita ini?” Aisyah menjawab, “Ia adalah wanita yang tidak tidur karena sepanjang malam ia mengerjakan salat.” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, “Wajib bagi kalian beramal dengan amal yang kalian mampu. Demi Allah, Allah tidak akan bosan sampai kalian sendiri yang merasa bosan.” (Lihat Shahih Abu Dawud no. 1238, riwayat serupa dalam HR. Bukhari no. 41)

Tetaplah beramal dengan amal yang sederhana, sedikit-sedikit tidak masalah yang penting istikamah.

Nabi melarang berlebih-lebihan dalam ibadah

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا،

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita bahwa engkau berpuasa di waktu siang (maksudnya, puasa setiap hari, pent.), lalu salat malam sepanjang malam?”

Saya menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Salat malam dan tidurlah! Karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu, istrimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang lain,

إن الدين يسر ولن يشاد الدين إلا غلبه فسددوا وقاربوا وأبشروا واستعينوا بالغدوة والروحة وشيء من الدلجة

Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya, kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, bersikap tengahlah (luruslah), sederhanalah (berupaya mendekati amal yang sempurna), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala), serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang, dan sebagian malam.(HR. Bukhari)

Kemudahan dalam ibadah

Salah satu kemudahan beribadah dalam Islam adalah keringanan dalam mengerjakan salat.

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya pernah terkena wasir, maka saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

‘Salatlah dengan berdiri! Jika kamu tidak bisa, maka duduklah. Dan jika tidak bisa, maka salat dengan berbaring.’(HR. Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencontohkan perihal bolehnya menjamak (menggabungkan) salat ketika ada kebutuhan dan men-qashar (meringkas) salat ketika safar.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

جَمَع النبيُّ صلى الله عليه وسلم بين المغرب والعشاء بِـجَمْع، لِكُلِّ واحدة منهما إقامة، ولم يُسَبِّحْ بينهما، ولا على إثْرِ واحدةٍ مِنْهُمَا

“Rasulullah pernah menjamak salat Magrib dan Isya. Setiap salat didahului dengan ikamah. Beliau tidak salat sunah di antara keduanya dan tidak juga di akhir salatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu ‘Umar adhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ وَعُمَرُ بَعْدَ أَبِى بَكْرٍ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaksanakan salat di Mina dua rakaat, begitu pula Abu Bakr setelah itu dan juga Umar setelahnya.” (HR. Muslim)

Di antara keringanan salat yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan salat wajib di rumah bagi laki-laki jika turun hujan.

Dari Usamah bin Umair radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ مُطِرْنَا فَلَمْ تَبُلَّ السَّمَاءُ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada waktu Hudaibiyah dan hujan pun menimpa kami tapi tidak sampai membasahi sandal-sandal kami. Lalu, muazin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengumandangkan, ‘Shallu fii rihaalikum (salatlah ditempat tinggal kalian).’ (HR. Ahmad, 5: 74  dan Abu Dawud no. 1057)

Begitu pula dalam ibadah puasa wajib (Ramadan), maka Allah telah memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berat melaksanakannya sebagaimana orang sakit, musafir, orang tua renta, ibu hamil, dan menyusui.

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka, barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Semoga kita terhindar dari sikap berlebihan dalam ibadah dan mendapatkan kemudahan dari Allah Ta’ala untuk istikamah dalam beramal saleh.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88856-tidak-berlebihan-dalam-beramal-itu-lebih-utama.html