Ucapan Selamat Natal Menurut Madzhab Syafi’i

Asy-Syarbini (wafat 977 H) –rahimahullah-, salah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i mengatakan:

“Dan diberi hukuman ta’zir*, seorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya” (Mughnil Muhtaj, Asy-Syarbini, 5/526).

Hal senada juga disebutkan dalam banyak kitab syafi’iyyah lainnya, diantaranya: Al-Iqna’ fi halli Alfazhi Abi Syuja’ (2/526), Asnal Matholib (4/162), Tuhfatul Muhtaj (9/181), Hasyiata Qolyubi wa Amiroh (4/206), Annajmul Wahhaj (9/244).

Bahkan lebih tegas lagi Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 982 H) –rahimahullah– mengatakan: “Kemudian aku lihat ada sebagian para imam kami yang muta’akhirin telah menyebutkan keterangan yang sesuai dengan apa yang telah kusebutkan, dia mengatakan:

‘Diantara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya – hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi –shallallahu alaihi wasallam– telah bersabda: Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka‘.

Bahkan Ibnul Hajj mengatakan: ‘Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut’” (Fatawa Fiqhiyyah Kubra, Ibnu Hajar Al-Haitami, 4/239).

Mungkin sebagian dari mereka beranggapan bahwa dengan mengucapkan selamat untuk hari raya mereka akan menjadikan mereka tertarik untuk masuk Islam. Tapi tidakkah mereka mengingat Firman Allah ta’ala (yang artinya):

Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani TIDAK AKAN rela kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka“. (QS. Al Baqoroh: 120).

Begitu pula firmanNya (yang artinya):

Orang-orang kafir akan TERUS memerangi kalian hingga mereka menjadikan kalian keluar dari agama kalian” (QS. Al Baqoroh: 217).

Jika mereka ingin umat lain masuk Islam, maka hendaklah mereka mendakwahi mereka dengan sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, misalnya dengan akhlak mulia dan dakwah yang penuh hikmah. Ingatlah tujuan yang mulia haruslah ditempuh dengan jalan yang mulia pula. Wallohu a’lam.

*) ta’zir adalah hukuman yang diberikan waliyul amr dalam rangka untuk memberi efek jera, terhadap perbuatan yang melanggar syariat namun tidak ditentukan hukuman dan kafarah-nya dari syariat, karena melihat adanya maslahah, dan jenis hukumannya ditentukan berdasarkan ijtihad hakim.

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Selamat Natal

MENJELANG perayaan Natal seperti ini, biasanya muncul perdebatan di tengah masyarakat tentang hukum seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani atau siapa saja yang memperingatinya. Tidak jarang, perdebatan itu menimbulkan percekcokan, bahkan vonis kafir (takfr). Untuk menjawab hukumnya, penulis akan mengupasnya dalam beberapa poin.

Pertama, tidak ada ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).

Kedua, karena tidak ada ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:

Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.

Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini. Karenanya, mereka berbeda pendapat.

Pertama, sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Jafar, Syekh Jafar At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.

Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu wa taala dalam surat Al-Furqan ayat 72:

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa taala menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram.

Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, nomor 4031).

Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram.

Kedua, sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jumah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa taala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa taala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.

Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam riwayat Anas bin Malik:

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata:

“Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).”

Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)

Menanggapi hadis tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadis ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).

Pada hadis di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan. Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan. Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan.

Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya (Quds/Palestina):

“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, halaman 609) [nuol]

*Ustaz Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU Malaysia.

INILAH MOZAIK

Surat Maryam Ayat 33 Apakah Dalil Bolehnya Ucapan Selamat Natal?

Mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani adalah sebuah kesalahan dan merupakan perbuatan yang terlarang dengan kata sepakat dari para ulama. Karena hari Natal dan juga keyakinan-keyakinan yang terkait dengannya, yaitu bahwa Isa ‘alaihissalam adalah anak Tuhan, bahwa ia adalah salah satu tiga Tuhan, bahwa ia disalib selama dua hari dua malam, dan sebagainya adalah hal-hal yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Maka bagaimana mungkin kita ucapkan selamat atas hal itu?

Namun sebagian orang yang dengan hawa nafsunya berpendapat bahwa boleh mengucapkan selamat Natal, mereka beralasan dengan satu ayat dalam surat Maryam. Yaitu ayat:

وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘alaihissalam), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS. Maryam: 33).

Sehingga mereka mengatakan boleh mengucapkan selamat Natal asalkan ucapan selamat tersebut diniatkan untuk Nabi Isa, atau ucapan semisal. Benarkah alasan ini?

Tafsiran para ulama

Mari kita lihat pemahaman para ahli tafsir mengenai ayat ini:

  • Imam Ath Thabari menjelaskan: “Maksud salam dalam ayat ini adalah keamanan dari Allah terhadap gangguan setan dan tentaranya pada hari beliau (Nabi Isa) dilahirkan yang hal ini tidak didapatkan orang lain selain beliau. Juga keselamatan dari celaan terhadapnya selama hidupnya. Juga keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian. Juga keselamatan dari kepanikan dan kebingungan ketika dibangkitkan pada hari kiamat sementara orang-orang lain mengalami hal tersebut ketika melihat keadaan yang mengerikan pada hari itu” (Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 18/193).
  • Al Qurthubi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku] maksudnya keselamatan dari Allah kepadaku -Isa-. [pada hari aku dilahirkan] yaitu ketika di dunia (dari gangguan setan, ini pendapat sebagian ulama, sebagaimana di surat Al Imran). [pada hari aku meninggal] maksudnya di alam kubur. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] maksudnya di akhirat. karena beliau pasti akan melewati tiga fase ini, yaitu hidup di dunia, mati di alam kubur, lalu dibangkitkan lagi menuju akhirat. Dan Allah memberikan keselamatan kepada beliau di semua fase ini, demikian yang dikemukakan oleh Al Kalbi” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an, 11/105).
  • Dalam Tafsir Al Jalalain (1/399) disebutkan: “[Dan keselamatan] dari Allah [semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali]”.
  • Al Baghawi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan] maksudnya keselamatan dari gangguan setan ketika beliau lahir. [pada hari aku meninggal] maksudnya keselamatan dari syirik ketika beliau wafat. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] yaitu keselamatan dari rasa panik” (Ma’alimut Tanzil Fi Tafsiril Qur’an, 5/231).
  • As Sa’di menjelaskan: “Maksudnya, atas karunia dan kemuliaan Rabb-nya, beliau dilimpahkan keselamatan pada hari dilahirkan, pada hari diwafatkan, pada hari dibangkitkan dari kejelekan, dari gangguan setan dan dari dosa. Ini berkonsekuensi beliau juga selamat dari kepanikan menghadapi kematian, selamat dari sumber kemaksiatan, dan beliau termasuk dalam daarus salam. Ini adalah mu’jizat yang agung dan bukti yang jelas bahwa beliau adalah Rasul Allah, hamba Allah yang sejati” (Taisir Kariimirrahman, 1/492).

Dan yang paling istimewa adalah penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat ini. Beliau menjelaskan: “Dalam ayat ini ada penetapan ubudiyah Isa kepada Allah, yaitu bahwa ia adalah makhluk Allah yang hidup dan bisa mati dan beliau juga akan dibangkitkan kelak sebagaimana makhluk yang lain. Namun Allah memberikan keselamatan kepada beliau pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba. Semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada beliau” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5-230).

Demikianlah penjelasan para ahli tafsir, yang semuanya menjelaskan makna yang sama garis besarnya. Tidak ada dari mereka yang memahami ayat ini sebagai dari bolehnya mengucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani apalagi memahami bahwa ayat ini dalil disyariatkannya memperingati hari lahir Nabi Isa ‘alaihis salam.

Sanggahan

Oleh karena itu, kepada orang yang mengatakan bolehnya ucapan selamat natal atau bolehnya natalan dengan ayat ini, kita katakan:

Pertama: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menerima ayat ini dari Allah tidak pernah memahami bahwa ayat ini membolehkan ucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani atau bolehnya merayakan hari lahir Nabi Isa ‘alahissalam. Dan beliau juga tidak pernah melakukannya, padahal ada kaum Nasrani yang hidup di masa beliau. Namun tidak pernah diriwayatkan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengucapkan atau mengirim ucapan selamat natal kepada mereka.

Kedua: para sahabat Nabi ridwanullah ‘alaihim, generasi terbaik umat Islam, yang ada ketika Nabi menerima ayat ini dari Allah, mereka memahami isi dan penerapan ayat ini, pun tidak pernah mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani. Bahkan Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengatakan:

أَعْدَاءَ اللَّهِ ؛ الْيَهُودَ , وَالنَّصَارَى ، فِي عِيدِهِمْ يَوْمَ جَمْعِهِمْ , فَإِنَّ السَّخَطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ , فَأَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ

“jauhilah perayaan-perayaan kaum musuh Allah yaitu Yahudi dan Nasrani. Karena kemurkaan Allah turun atas mereka ketika itu, maka aku khawatir kemurkaan tersebut akan menimpa kalian” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya hasan).

Ketiga: Ayat ini bukti penetapan ubudiyah Isa ‘alaihis salam kepada Allah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Karena beliau hidup sebagaimana manusia biasa, bisa mati, dan akan dibangkitkan pula di hari kiamat sebagaimana makhluk yang lain. Dan beliau mengharap serta mendapat keselamatan semata-mata hanya dari Allah Ta’ala. Ini semua bukti bahwa beliau adalah hamba Allah, tidak berhak disembah. Sehingga ayat ini justru bertentangan dengan esensi ucapan selamat natal dan ritual natalan itu sendiri, yang merupakan ritual penghambaan dan penyembahan terhadap Isa ‘alaihissalam. Jadi tidak mungkin ayat ini menjadi dalil ucapan selamat natal atau natalan.

Keempat: ulama menafsirkan السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ‘keselamatan dari Allah‘, bukan ucapan selamat. Andai kita terima bahwa السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ucapan selamat, lalu kepada siapa ucapan selamatnya? Ayat menyebutkan السَّلامُ عَلَيَّ ‘as salaam alayya (kepadaku)’, berarti ucapan selamat seharusnya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam. Bukan kepada orang Nasrani. Dan andai kita ingin mendoakan keselamatan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, maka waktunya luas, bisa kapan saja dan di mana saja tanpa harus dikhususkan pada perayaan Natal dan di depan orang Nasrani.

Kelima: jika ada yang mengatakan “biarlah mereka memahami bahwa kita mengucapkan selamat Natal kepada mereka, namun niat kita di dalam hati ingin mendoakan Nabi Isa“. Maka kita katakan:

  1. Ini adalah tauriyah. Tauriyah adalah seseorang meniatkan perkataannya berbeda dengan ucapan zahirnya. Kata para ulama tauriyah itu termasuk dusta, dibolehkan jika ada kebutuhan dan tidak mengandung kezaliman. Sedangkan dalam kasus ini tidak ada kebutuhan bagi seorang Muslim untuk mengucapkan selamat Natal dan juga terdapat kezaliman di dalamnya. Karena kezaliman yang terbesar adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya.
  2. Dengan melakukan tauriyah demikian, maka di dalam anggapan orang Nasrani, Muslim yang mengucapkan selamat natal telah menyetujui esensi dari perayaan natal dan akidah-akidah yang batil di dalamnya.

Keenam: andai kita terima “tafsiran” mereka bahwa dari ayat ini dibolehkan mengucapkan selamat natal pada hari lahir Nabi Isa. Maka pertanyaannya adalah, mana bukti otentik bahwa Nabi Isa lahir tanggal 25 Desember?? Para ahli perbandingan agama menyatakan tidak ada bukti otentik dan dalil landasan bahwa perayaan hari lahir Isa ‘alaihissalam adalah tanggal 25 Desember.

Andrew McGowan, seorang pendeta Nasrani dekan di Yale Divinity School, dalam tulisan ilmiah berjudul “How December 25 Became Christmas” mengatakan: “Celebrations of Jesus’ Nativity are not mentioned in the Gospels or Acts; the date is not given, not even the time of year. The biblical reference to shepherds tending their flocks at night when they hear the news of Jesus’ birth (Luke 2:8) might suggest the spring lambing season; in the cold month of December … The extrabiblical evidence from the first and second century is equally spare: There is no mention of birth celebrations in the writings of early Christian writers such as Irenaeus (c. 130–200) or Tertullian (c. 160–225)

Artinya: “Perayaan kelahiran Yesus tidak disebutkan di dalam kitab Gospel dan kitab Acts. Tidak ada tanggal yang disebutkan di situ, bahkan tahun lahir saja tidak ada. Referensi yang ada adalah mengenai pengembala yang mengembalakan ternak mereka di malam hari ketika mereka mendengar Yesus lahir (Luke 2:8), ini mungkin menjadi ide awal dimunculkannya sangkaan waktu musim semi masa-masa beternak kambing di bulan Desember… Dan bukti-bukti di luar injil di abad pertama dan kedua menyimpulkan hal yang serupa: bahwa tidak disebutkan mengenai perayaan kelahiran dari tulisan-tulisan para penulis kristen terdahulu seperti Irenaus (130-220M) atau Tertullian (160-225M)”

Beliau juga mengatakan sebagai kesimpulan tulisannya: “In the end we are left with a question: How did December 25 become Christmas? We cannot be entirely sure. Elements of the festival that developed from the fourth century until modern times may well derive from pagan traditions. Yet the actual date might really derive more from Judaism“.

Artinya: “Akhir kata, kita masih meninggalkan pertanyaan: mengapa tanggal 25 Desember bisa menjadi hati perayaan natal? Kita belum yakin secara pasti. Elemen dari festival yang berkembang mulai dari abad ke 4 hingga sekarang bisa jadi merupakan turunan dari tradisi kaum pagan. Bahkan yang ada pada masa ini bisa jadi merupakan turunan dari tradisi Judaisme (Yahudi)” 1.

Jadi perayaan ini sebenarnya tidak ada asalnya! Nabi Isa ‘alaihissalam pun ternyata tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mengadakan ritual demikian. Mengapa sebagian kaum muslimin malah membela bahwa ritual natalan itu ada dalilnya dari Al Qur’an, dengan pendalilan yang terlalu memaksakan diri?

Penutup

Pembahasan ini semata-mata dalam rangka nasehat kepada saudara sesama muslim. Kami meyakini sebagai muslim harus berakhlak mulia bahkan kepada non-muslim. Dan untuk berakhlak yang baik itu tidak harus dengan ikut-ikut mengucapkan selamat natal atau selamat pada hari raya mereka yang lain. Akhlak yang baik dengan berkata yang baik, lemah lembut, tidak menzhalimi mereka, tidak mengganggu mereka, menunaikan hak-hak tetangga jika mereka jadi tetangga kita, bermuamalah dengan profesional dalam pekerjaan, dll. Karena harapan kita, mereka mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam. Dengan ikut mengucapkan selamat natal, justru membuat mereka bangga dan nyaman akan agama mereka karena kita pun jadi dianggap ridha dan fine-fine saja terhadap agama dan keyakinan kufur mereka.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29156-surat-maryam-ayat-33-apakah-dalil-bolehnya-ucapan-selamat-natal.html

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Bagaimana hukum mengucapkan selamat natal? Berikut ini fatwa dari para ulama dan organisasi Islam mulai dari MUI, Muhammadiyah, NU, hingga Syaikh Yusuf Qardhawi dan Zakir Naik.

Akhir Desember seperti ini, banyak umat Islam yang bertanya tentang hukum mengucapkan selamat natal. Pasalnya, persoalan ini termasuk krusial. Bagi umat Islam yang hidup di pedesaan yang 100 persen warganya adalah muslim serta tidak pernah berinteraksi dengan non muslim, tentu tidak akan ada masalah dan tidak butuh fatwa mengenai hukum mengucapkan selamat natal.

Namun, bagi muslim yang memiliki teman atau kolega Nasrani, akhir Desember seperti ini menjadi dilema. Apakah ia harus mengucapkan selamat natal atau tidak. Jika tidak mengucapkan, khawatir hubungan mereka terganggu atau dicap intoleran. Jika mengucapkan, apakah hal itu dibenarkan dalam syariat Islam?

Berikut ini fatwa sejumlah ulama dan ormas Islam tentang hukum mengucapkan selamat natal.

Fatwa MUI tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.

Dalam fatwa tersebut, ditetapkan dua ketentuan hukum sebagai berikut:

1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Fatwa itu tidak secara spesifik menetapkan hukum mengucapkan selamat natal. Namun dalam poin “Memperhatikan”, MUI mencantumkan dua pendapat ulama tentang hukum mengucapkan selamat atas hari raya keagamaan orang kafir, yaitu:

Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:

ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….

“Dihukum ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)…”.

Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

Fatwa lengkap MUI tersebut bisa dibaca di Panjimas

Fatwa Muhammadiyah tentang Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Majelis Tarjih Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum mengucapkan selamat natal. Hal itu tertuang dalam Fatwa Majelis Tarjih cetakan VI tahun 2003 halaman 209-210.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr M Nurhakim menjelaskan, isi fatwa itu menyatakan umat Islam dibolehkan bekerja sama dan bergaul dengan umat-umat agama dalam masalah keduniaan. Namun tidak diperbolehkan mencampuradukkan agama dengan aqidah dan peribadatan agama lain seperti meyakini Tuhan lebih dari satu, Tuhan mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya.

Haram bagi umat Islam mengikuti perayaan natal. Sebab perayaan Natal tidak bisa dipisahkan dari perkara aqidah Kristen tentang ketuhanan Yesus.

Mengucapkan selamat natal dianjurkan untuk tidak dilakukan. Sebab mengucapkan selamat natal merupakan bagian dari perayaan natal.

“Jika kita mengucapkan selamat Natal berarti mengakui kelahiran Tuhan Yesus. Ini bukan perkara toleransi. Toleransi itu, biarkan mereka merayakan sesuai akidahnya, kita tidak usah ikut-ikut,” tandasnya seperti dikutip pwmu.

Pendapat Nahdlatul Ulama (NU) seputar Selamat Natal

Menurut Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin, mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim adalah persoalan ijtihadiyyah. Alasannya, menurut tokoh kelahiran Pringsewu ini, tidak terdapat teks Al-Qur’an maupun Hadits yang secara tegas melarang atau mengharamkannya.

Di antara ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat natal adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan Syaikh Utsaimin.

Sedangkan ulama yang memperbolehkan mengucapkan selamat natal, menurutnya adalah: Syaikh Muhammad Rasyid Ridla, Syaikh Yusuf Qaradhawi, Prof. Dr. Abdussattar Fathullah Sa’id, Syaikh Musthafa al-Zarqa’, Prof. Dr. Muhammad Sayyid Dusuqi, Syaikh Syurbashi, Syaikh Abdullah bin Bayyah, Syaikh Farid Muhammad Washil, dan Syaikh Ali Jum’ah.

Fatwa Syaikh Dr Yusuf Qardhawi tentang Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Di atas telah disinggung oleh Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin bahwa Syaikh Yusuf Qardhawi memperbolehkan mengucapkan selamat natal. Seperti apa?

Fatwa Syaikh Yusuf Qardhawi tentang hukum mengucapkan selamat natal ada dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3 halaman 842 – 849. Di situ Syaikh Qardhawi menjawab pertanyaan seorang muslim yang sedang menempuh S3 di Jerman. Banyak rekannya yang beragama Kristen dan biasa mengucapkan selamat hari raya kepada mahasiswa muslim.

Syaikh Yusuf Qardhawi menerangkan bahwa pertanyaan itu juga diajukan oleh sejumlah muslim yang tinggal di Eropa dan Amerika. Syaikh Qardhawi lantas memulainya dengan sikap muslim atas non muslim yang menerima dan tidak memusuhi mereka, yakni berbuat baik kepada non muslim tersebut sebagaimana Surat Al Mumtahanah ayat 8-9.

Syaikh Qardhawi juga menjelaskan hadits khaaliqin naasa bi khuluqin hasan, bahwa muslim diperintahkan untuk “pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” bukan sekedar “pergaulilah kaum muslimin dengan akhlak yang baik.”

Dengan dasar akhlak yang baik ini, Syaikh Qardhawi menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi lembaga atau pribadi muslim mengucapkan selamat hari raya kepada non muslim dengan beberapa ketentuan:

1. Ucapan selamat itu tidak mengandung syiar agama mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya salib.

2. Ucapan selamat itu tidak boleh mengandung unsur pengakuan terhadap aqidah mereka atau ridha dengan gama mereka.

3. Haram mengikuti perayaan hari raya mereka. Misalnya, natal bersama.

Dr. Zakir Naik seputar Ucapan Selamat Natal

Dr Zakir Naik secara tegas menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal hukumnya haram. Alasannya, mengucapkan selamat natal berarti mengakui bahwa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan seorang anak pada 25 Desember.

Berikut ini pernyataan lengkap Zakir Naik tentang hukum mengucapkan selamat natal:

“Ketika Anda mengucapkan selamat natal, sebenarnya Anda telah melakukan pengakuan (na’udzubillah) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan seorang anak pada 25 Desember. Biarkan kami mengoreksi mereka ketika Anda mengucapkan selamat natal kepada teman kristiani. Anda memberikan pengakuan. Anda memberikan kesaksian bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melahirkan seorang anak pada 25 Desember.

Jika natal tiba, tanyakan saja kenapa Anda merayakan natal, mereka akan menjawab bahwa ini adalah kelahiran Jesus. Siapa itu Jesus? Mereka menjawab, Jesus adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Langsung saja Anda memulai dakwah: tak ada satu pun pernyataan yang jelas di seluruh Alkitab bahwa Jesus sendiri berkata ‘aku adalah tuhan dan sembahlah aku’.

Jika ada seorang Kristen yang bisa menunjukkan aku bagian manapun di alkitab, pernyataan yang jelas di seluruh alkitab, pernyataan yang jelas bahwa Jesus mengatakan bahwa aku adalah tuhan dan sembahlah aku, maka saya siap masuk Kristen.”

Demikian fatwa dan pandangan sejumlah ulama dan organisasi Islam mengenai hukum mengucapkan selamat natal. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

 

BERSAMA DAKWAH

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Aku Tak Ucapkan Selamat Natal, Itu Prinsipku

BAGAIMANA hukum mengucapkan selamat natal pada rekan atau teman yang beragama Nashrani? Apakah boleh seorang muslim mengucapkan selamat natal? Ada diskusi menarik sebagai ilustrasi bahwa mengucapkan selamat natal tidaklah pantas bagi seorang muslim walau hanya sekedar kata-kata di lisan.

(Muslimah = Muslim, Natali = Nashrani)

Natali : Mengapa engkau tidak mengucapkan selamat natal padaku?

Muslimah : Ooh maaf, untuk yang satu ini aku tidak bisa. Agama kami mengajarkan berbuat baik terhadap sesama termasuk pada non muslim. Namun jika ada sangkut paut dengan urusan agama, maka prinsip kami, “Lakum diinukum wa liyadiin”, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Monggo kalian berhari raya, kami tidak mau turut campur. Demikian toleransi antar beragama dalam agama kami.

Natali : Kenapa tidak mau ucapkan selamat? Bukankah itu hanya sekedar kata-kata? Teman muslimku yang lain mengucapkannya padaku.

Muslimah : Mungkin mereka belum tahu kalau itu tidak boleh. Natali, coba seandainya saya suruh kamu mengucapkan “dua kalimat syahadat”, asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, engkau mau?

Natali : Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya. Itu akan mengganggu kepercayaan saya.

Muslimah : Kenapa gak mau? Bukankah itu hanya sekedar kata-kata? Ayo, ucapkanlah. Sekali saja.

Natali : Baik, sekarang, saya mengerti.

Inilah logika yang sederhana namun cerdas cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya hubungan antara kedua umat yang berbeda keyakinan. Sementara hari ini banyak orang yang dianggap “tokoh” masyarakat level nasional/lokal dari kalangan muslim tampil sok humanis, pluralis, wisdom, menjadi pahlawan, pemimpin hebat kemudian mengucapkan “selamat natal” kepada umat Nashrani tanpa disadari hal tersebut telah merusak akidah dirinya dan umat Islam. Tentu ini menabrak tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sosok muslim yang kehilangan jati diri, “muslim KTP” yang eksis terlepas dari pakem dan manhaj hidup yang digariskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang suatu apa pun, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.

Adapun natal adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa Al Masih alaihis salam) yang dalam pandangan umat Nashrani saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak serta meyakini ajaran Trinitas. Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang bertolak belakang dan jelas berbeda pemahamannya mengenai Nabi Isa mendoakan kaum Kristen keselamatan atas apa yang mereka pahami tadi? Padahal dengan sangat jelas Allah menyatakan mereka sebagai orang kafir,

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu). ” (QS. Al Maidah: 72-75).

Jadi, sekiranya ada umat muslim yang berkata, “Selamat Hari Natal” berarti dia menganggap, bahwa Yesus itu memang pernah lahir pada tanggal 25 Desember, sebagai anak Tuhan. Dan jelaslah hal ini haram. Karena telah merusak akidah Islamnya. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Soal Ucapan Selamat Natal, Ini Penjelasan MUI

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’di menyatakan, bahwa MUI tidak bisa melarang siapa pun yang memiliki pendapat bahwa mengucapkan selamat Natal itu hukumnya haram atau dilarang oleh agama. Karena, pendapat ini didasarkan atas pendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu bagian dari keyakinan agama.

Sebaliknya, kata dia, MUI juga tidak bisa melarang bagi yang berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu boleh dan tidak dilarang oleh agama. Karena, yang berpendapat seperti ini beranggapan bahwa ucapan selamat natal itu sebatas memberikan penghormatan atas dasar hubungan kekerabatan, bertetangga, teman sekerja atau relasi antarumat manusia.

“Para ulama dalam masalah ini juga berbeda pendapat, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Sehingga MUI mempersilakan kepada umat Islam untuk memilih pendapat mana yang paling sesuai dengan keyakinan hatinya,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Senin (25/12).

MUI sendiri, lanjut dia, belum pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan selamat natal karena ulama juga berbeda pendapat. Sehingga, MUI hanya mengembalikan kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada.

“Masalah tersebut di atas juga bisa menjawab viral yang beredar di masyarakat tentang adanya toko kue yang menolak untuk menuliskan ucapan selamat natal karena berkeyakinan itu haram hukumnya. Untuk hal tersebut MUI tidak bisa melarangnya. Tetapi jika ada toko kue yang mau melayani pembeli untuk menuliskan ucapan selamat natal, MUI juga tidak bisa menyalahkannya,” katanya.

Dalam momen perayaan natal di Indonesia, MUI mengimbau, kepada masyarakat untuk arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut dan tidak menjadikan polemik yang justru bisa mengganggu harmoni hubungan antaruma beragama.

“MUI berpesan marilah kita terus menjaga ukhuwah atau persaudaraan diantara sesama anak bangsa. Baik persaudaraan keislaman maupun persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Karena sebagaimana kata Imam Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahbahwa ‘mereka yang bukan saudaramu dalam iman, mereka adalah saudaramu dalam kemanusiaan,” tandasnya.

 

REPUBLIKA

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Mengucapkan Natal demi Menjaga Hubungan?

BOLEHKAH bertamu pada non muslim untuk mengucapkan selamat natal? Kebiasaan seperti ini masih dilakukan di sebagian tempat apalagi yang berada di tempat yang mayoritas tetangganya adalah Nashrani. Hal ini pun kita temukan pada sebagian pegawai ketika mengucapkan selamat natal pada atasannya yang non muslim.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat Natal dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?”

Beliau rahimahullah menjawab, Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.

Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita samakan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan hanya mengikuti hawa nafsu.

 

INILAH MOZAIK

Saudara ada yang Nasrani, Bolehkah Ucapkan Natal?

BOLEHKAH mengucapkan selamat natal pada kerabat? Karena barangkali di antara kerabat ada yang non muslim, bisa jadi orang tua, saudara atau yang masih punya hubungan dekat seperti hubungan mahram.

Allah Taala berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).

Ayat ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari hamba yang beriman adalah mencintai orang yang beriman dan loyal padanya, serta benci pada orang yang tidak beriman dan menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya walau itu adalah kerabat dekat. Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 848.

Berarti dukungan apa pun pada agama dan perayaan kerabat yang non muslim tidak dibolehkan. Termasuk bentuk dukungan yang tidak boleh adalah menghadiri perayaan non muslim seperti perayaan natal. Ibnul Qayyim menuturkan bahwa Allah telah menyebut perayaan non muslim dengan istilah “az zuur”. Inilah yang dimaksudkan dari ayat, “Dan orang-orang yang tidak menghadiri az zuur” (QS. Al Furqan: 72). Adh Dhahak menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah perayaan orang-orang musyrik. (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 492)

Ibnul Qayyim menerangkan, “Sebagaimana mereka tidak boleh menampakkan hari raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin, kaum muslimin pun tidak boleh turut serta, membantu dan hadir dalam perayaan mereka tersebut. Hal ini telah disepakati oleh para ahli ilmu (para ulama) dan telah dinyatakan oleh para ulama empat madzhab di kitab-kitab mereka.” (Idem)

Untuk menghadiri perayaan tersebut saja tidak boleh, apalagi sampai kaum muslimin yang merayakan atau membuat acaranya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah memiliki kata sepakat akan tidak bolehnya orang kafir menampakkan perayaan hari raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin. Maka bagaimana mungkin kaum muslimin yang dibolehkan merayakannya? Atau mau dikata kalau muslim tidaklah masalah dari merayakannya daripada kafir yang merayakannya terang-terangan?!” (Iqtidha Ash Shirothil Mustaqim, 1: 510).

Bentuk dukungan yang tidak boleh ada pula adalah mengucapkan selamat natal. Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma (kesepakatan) para ulama.” (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 154).

 

INILAH MOZAIK